Dengar salah satu lagunya Ari Lasso di ponsel, tiba-tiba ingat
seorang teman lama. File lagu ini dulu saya minta darinya di teras
sebuah kamar kost di Cibubur. Kalau dihitung, seumur hidup kami hanya
bertemu langsung--bertatap muka maksudnya--tak lebih dari sepuluh kali.
Hidup di perantauan, mengejar mimpi, jauh dari keluarga, membuat kami
cepat dekat, meski usia terpaut jauh. Pergi ke tempat casting sama-sama,
berbagi makanan di tempat shooting, bahkan melawan tindakan jahat seseorang kami juga pernah. Jumlah pertemuan yang terbilang singkat untuk berbagai hal luar biasa, ya?
Beberapa bulan berikutnya kami tak lagi bertemu. Saya dengar ia repot
mengurus usaha bandengnya di Blitar. Saya tidak lagi mendengar kabarnya
sampai waktu mengantar saya ke tempat baru dengan cerita-cerita baru
yang tak kalah mengesankan.
Malam itu, dalam kondisi kecewa, kesepian, patah hati, nyaris merasa hidup di badan orang lain, tanpa arah meski bisa dibilang karier yang saya kejar mulai menunjukkan jalan, saya yang sempat mencetuskan mimpi omong kosong menjadi penulis di sebuah kontrakan busuk penuh nyamuk dan dekat kolam lele yang bau, menerima sebuah SMS. Oh, dari teman lama itu. Dia berada di tanah suci, sedang menunaikan ibadah haji katanya. Dan, entah dari mana dia tahu soal pencetusan mimpi omong kosong itu, dia berkata: "Dik, di sini kamu Mbak doakan supaya bisa jadi penulis sukses. Semangat, ya."
Detik sesudahnya saya merasa segar dan hampir menangis. Apa ini? Saya tak selemah itu. Terlalu banyak duri dan racun saya telan bulan-bulan sebelumnya dan saya mulai kebal, lalu mendadak saya melankolis. Apa ini?
Doa ikhlas memang ajaib. Doa yang datang dari teman--tidak, ia lebih pantas disebut sahabat baik--dengan jumlah pertemuan kurang dari sepuluh kali. Doa semacam itu bukankah istimewa?
Dua tahun sesudahnya, cerpen pertama saya (benar-benar yang pertama) terbit dan dibaca khalayak. Menyusul cerpen dan puisi terbit berturut-turut, begitu cepat dan lancar, sehingga dalam setengah tahun, tumpukan bukti terbit terkumpul di kamar. Sesudahnya, setiap karya saya terbit, saya selalu ingat sahabat yang mendoakan saya itu. Dalam hati saya doakan dia dan berharap kami bertemu lagi, mengenang masa-masa sulit dan menertawakan tindakan jahat seseorang waktu itu.
Kini, tiga tahun lebih setelah karya pertama terbit, malam ini, SMS ajaib itu hinggap di otak saya dan terkuaklah semua kenangan. Tiba-tiba saya ingin meneleponnya dan berkata terima kasih untuk kesekian kali atas doanya malam itu. Maka, bila orang bilang keakraban tak menjamin perbuatan baik, bolehlah saya tambah dengan: teman baru, dengan jumlah tatap muka kurang dari sepuluh kali, tak menjamin ketidakpedulian.
Malam itu, dalam kondisi kecewa, kesepian, patah hati, nyaris merasa hidup di badan orang lain, tanpa arah meski bisa dibilang karier yang saya kejar mulai menunjukkan jalan, saya yang sempat mencetuskan mimpi omong kosong menjadi penulis di sebuah kontrakan busuk penuh nyamuk dan dekat kolam lele yang bau, menerima sebuah SMS. Oh, dari teman lama itu. Dia berada di tanah suci, sedang menunaikan ibadah haji katanya. Dan, entah dari mana dia tahu soal pencetusan mimpi omong kosong itu, dia berkata: "Dik, di sini kamu Mbak doakan supaya bisa jadi penulis sukses. Semangat, ya."
Detik sesudahnya saya merasa segar dan hampir menangis. Apa ini? Saya tak selemah itu. Terlalu banyak duri dan racun saya telan bulan-bulan sebelumnya dan saya mulai kebal, lalu mendadak saya melankolis. Apa ini?
Doa ikhlas memang ajaib. Doa yang datang dari teman--tidak, ia lebih pantas disebut sahabat baik--dengan jumlah pertemuan kurang dari sepuluh kali. Doa semacam itu bukankah istimewa?
Dua tahun sesudahnya, cerpen pertama saya (benar-benar yang pertama) terbit dan dibaca khalayak. Menyusul cerpen dan puisi terbit berturut-turut, begitu cepat dan lancar, sehingga dalam setengah tahun, tumpukan bukti terbit terkumpul di kamar. Sesudahnya, setiap karya saya terbit, saya selalu ingat sahabat yang mendoakan saya itu. Dalam hati saya doakan dia dan berharap kami bertemu lagi, mengenang masa-masa sulit dan menertawakan tindakan jahat seseorang waktu itu.
Kini, tiga tahun lebih setelah karya pertama terbit, malam ini, SMS ajaib itu hinggap di otak saya dan terkuaklah semua kenangan. Tiba-tiba saya ingin meneleponnya dan berkata terima kasih untuk kesekian kali atas doanya malam itu. Maka, bila orang bilang keakraban tak menjamin perbuatan baik, bolehlah saya tambah dengan: teman baru, dengan jumlah tatap muka kurang dari sepuluh kali, tak menjamin ketidakpedulian.
Comments
Post a Comment