(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 13 Desember 2015)
Tidak ada yang lebih tragis
ketimbang kisah cinta Mugeni. Bertahun-tahun ia coba merayu pujaan hatinya,
tetapi bukan cinta yang didapat, melainkan diam. Adakah yang lebih tragis
ketimbang sikap diam, bahkan sekalipun Anda ditolak perempuan berkulit buaya?
Mugeni memang keras kepala,
tetapi kebanyakan menyebutnya gila, kecuali saya. Saya sebut Mugeni setia,
sehingga saya juga dianggap gila. "Orang gila kok Anda bela," kata
warga. Tapi di sini kita tidak bicara soal saya, melainkan Mugeni. Jadi, biarpun
saya dianggap gila oleh mereka, silakan saja. Toh segala bentuk peristiwa,
bahkan yang paling celaka di desa itu, tidak mengubah apa yang sudah Mugeni
janjikan.
Bertahun-tahun—kalau tidak
salah hitung, lima tahun lebih tujuh bulan—Mugeni tetap setia pada perasaannya.
Sarmila bukan perempuan berkulit buaya yang kasar dan bersisik dan menjijikkan
kalau dilihat, memang. Ia amat sangat cantik dan manis, meski agak gendut.
Kulitnya bersih dan harum. Mungkin, kalau dilihat di sekujur badannya, hampir
tidak ada satu pun panu sebagaimana umumnya perempuan desa sini.
Tentu saja, Sarmila
bidadari. Saya pernah jatuh cinta padanya, tapi itu tidak lama. Saya kira
seseorang mengambilnya dan saya tidak keberatan, sedang saya tahu orang itu
bukan Mugeni. Di sini, Mugenilah yang malang. Sudah tahu si gadis diambil
orang, tetap dikejar. Alangkah tragis romansa Mugeni. Anda pasti setuju saya
bilang: jauh lebih baik ditolak mentah-mentah perempuan jelek daripada
didiamkan lima tahun lebih tujuh bulan.
Dengan kesetiaan dibungkus
kantung keresek, Mugeni pergi setiap sore ke rumah Sarmila. Gadis itu baru
pindah persis selama waktu yang sudah dicatat langit; padahal hari itu Mugeni
sudah siapkan kalimat pernyataan. Ia juga sudah siap kalau ditolak. Ia pergi
membawa sekantung doa, semoga cintaku diterima, dan kalaupun ditolak, semoga
aku dapat gantinya.
Mugeni ingin kepastian.
Saya tahu itu. Dia sering cerita pada saya kalau kami lagi makan di warung Yu
Nah atau sekadar nongkrong di pinggir kebun. Topiknya seputar Sarmila dan masa
depan. Ada bayi, ada rumah yang dibangun di Surabaya, ada sepeda motor. Semua
tentang kehidupan rumah tangga dibahas terang-terangan, padahal orang tahu dia
pengangguran kelas berat. Dan Mugeni sangat pemalas. Tidak pernah bertahan
lebih dari tiga bulan di satu majikan.
Biasanya, dengan mulut
berbusa-busa, Mugeni bilang, "Sarmila harus menerima atau sekalian
menolakku. Tidak apa dia kawin dengan orang lain, denganmu misalnya— jangan
dikira aku tidak tahu kamu juga suka sama pinggulnya yang seksi itu. Pokoknya
apa pun yang Sarmila bilang, semua harus pasti. Biar tidak ada pikiran jelek
lagi. Biar adem atiku."
Saya paham maksudnya.
Mugeni tidak gila. Meminta kepastian suatu hal adalah wajar, termasuk perkara
cinta. Cinta harus pasti. Kalau tidak pasti, ending-nya tidak enak.
Mugeni paham walau bukan pakar asmara dan belum pernah pacaran karena dua belas
kali sebelumnya ditolak.
Ketika mencintai Sarmila,
semua terasa berbeda. Selain tubuh yang indah, watak si gadis juga idaman; saya
menduga, kalau dia jadi istri, suami betah di rumah setiap hari meski tubuh
Sarmila kian mekar sekalipun. Sepertinya gadis itu lahir dengan darah yang
dipenuhi cinta, sehingga keberadaannya sangat memengaruhi akal dan jiwa setiap
lelaki.
Karena belum jadi miliknya,
Mugeni sering berpikir yang tidak-tidak, misalnya Sarmila diculik makhluk luar
angkasa sehingga ia tidak akan pernah dapat kepastian itu sampai kiamat. Atau
ia bayangkan Sarmila jelmaan bidadari dari langit ke tujuh, lalu ketika ia siap
menyatakan cinta, perempuan itu habis masa kontrak di muka bumi dan terbang ke
khayangan—entah apa yang dilakukan bidadari di bumi, entah misi apa yang ia
bawa. Kalau itu benar terjadi, Mugeni akan gila gara-gara tidak dapat
kepastian.
Sayangnya, Mugeni tidak
berani bicara, bahkan berdiri di jarak lebih dari sebelas meter dari Sarmila,
ia bergetar hebat. Saya bilang, "Kamu harus ngomong. Bagaimana
dapat kepastian kalau kamu diam begitu?"
Mugeni cuma mengangguk dan
bilang, "Aku belum siap. Aku takut."
Takut apa? Saya kejar terus
dia. Sebagai sahabat, walau Sarmila juga membikin saya mimpi basah, saya rela
dia buat Mugeni. Tapi, teman saya tetap saja gugup.
Begitulah yang terjadi;
saya mendorong Mugeni, di sisi lain yang didorong selalu ciut. Suatu hari ada
kabar datang: seseorang mengincar Sarmila dan dalam waktu dekat, akan
membawanya pergi. Saya saksi kejadian ini. Pada hari itu, persis lima tahun
lebih tujuh bulan lalu, yakni hari di saat Mugeni siap menyatakan cinta setelah
saya desak empat puluh tiga kali, teman saya yang malang ini pontang-panting ke
rumah Sarmila.
"Dia sudah tidak
ada," kata tetangganya.
Rumah itu kosong dan Mugeni
menangis karena terlambat. Melalui usaha saya, kami tahu di mana Sarmila kini
tinggal. Ia belum menikah, tetapi sudah diambil orang itu. Kami tidak kenal
orang kurang ajar itu, tetapi sosoknya terkenal dan disegani, sehingga kepala
desa yang juga mengincar kemontokan Sarmila pun, mengurungkan niat cabulnya.
Orang itu tinggal di desa
sebelah, tidak jauh dari jalan raya ke arah Surabaya. Saya dengar Sarmila
diperlakukan dengan baik di sana, tetapi Mugeni jelas menderita. Teman saya
nekat ke rumah baru Sarmila pada suatu sore. Saya tidak mencegahnya, tetapi juga
berpikir mungkin Mugeni memutuskan duel dengan orang itu. Mungkin orang itu
diajak carok dan ujung-ujungnya Mugeni yang kalah. Kalau dia mati,
alangkah tragisnya.
Tapi Mugeni kembali dengan
badan utuh. Saya kira saya berlebihan. Ia bertemu Sarmila dan pulang. Itu saja.
Ia tidak bicara apa-apa, hanya memandang Sarmila. Itulah yang ia ceritakan.
"Aku cuma memandangnya, dan dia—mungkin—memandangku juga. Aku tahu aku
sangat mencintainya sampai hari ini walaupun dia sudah diambil orang, tapi dia
belum kasih kepastian."
"Sudahlah. Cari
perempuan lain," kata saya.
Mugeni malah marah. Besok
sorenya ia balik ke rumah baru Sarmila. Saya buntuti dia. Saya selidiki. Mugeni
tidak gugup. Amat jauh perubahan teman saya itu. Barangkali saking dalamnya
penyesalan akibat terlambat menyatakan cinta dan dapat kepastian. Mugeni tampak
tenang dan mulai mengucapkan, "Aku suka kamu." Tapi, seperti yang
sudah saya bilang, Sarmila diam dan hanya memandang kosong padanya.
Begitulah bertahun-tahun—kalau
tidak salah, lima tahun lebih tujuh bulan—si lelaki setia pada perasaannya.
Mula-mula saya hampir selalu mengantarnya setiap sore, tapi pada sore
kedelapan, karena tidak ada peluang berhasil, saya mundur. Saya biarkan Mugeni
pergi sendirian ke rumah Sarmila, rumah milik seseorang yang sangat disegani di
desa ini. Dan karena itulah dia dianggap gila.
Saya bilang, "Mugeni
tidak gila. Dia meminta kepastian sebagaimana Anda semua meminta kepastian soal
tanah sengketa yang baru-baru ini diributkan."
Saya marah ketika itu.
Mungkin mata saya merah dan melotot dan hampir loncat dari tengkorak. Sejak itu
saya dijauhi karena dianggap membela pengangguran Mugeni yang gila sekaligus
mengungkit-ungkit soal sensitif yang membikin hati orang panas.
Mugeni tidak peduli. Dulu
ia berjanji, untuk siapa pun, bukan hanya demi Sarmila, bahwa perasaannya harus
dipastikan. Rasa cinta harus punya jalan: diterima atau ditolak, bukan
digantung. Ia pikir, waktu terus berjalan sedang usianya semakin menua.
"Aku terlalu tua.
Kalau tahun depan aku menikah—itu pun kalau Sarmila sudi menerimaku, dan kalau
ditolak, pastilah aku harus cari perempuan lain dulu— kira-kira dua tahun lagi
baru punya anak. Kelak, saat anakku kelas lima SD, bapaknya mulai
sakit-sakitan. Masuk SMP, bapaknya ini makin tidak kuat. Ketika SMA, aku bahkan
tidak yakin anakku bakal melihat lagi muka bapaknya yang dulu sempat nganggur
selama beberapa tahun."
Sering kali Mugeni
menyesali keadaannya, tetapi tidak mau berusaha soal karier. Ia hanya berpikir,
bila cinta menyambutnya, pekerjaan pun datang dengan cara berbeda. Ia kira,
beristrikan orang yang dicintai bakal membuatnya semangat kerja dan tidak
pindah di bawah tiga bulan, bahkan akan betah mengabdi pada satu majikan sampai
kiamat.
Ia butuh cinta untuk
membuatnya bangkit, lalu mencari pekerjaan halal dan hidup sebagai suami gagah
perkasa. Tahun ini usianya hampir kepala empat. Alangkah tua dia untuk kisah
romansa semacam ini. Berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun, musim panas
dan hujan, setiap sore, berbekal sekantung keresek berisi kesetiaan, Mugeni
pergi ke rumah baru Sarmila, tetapi si gadis tetap diam.
Di tahun kelima, Mugeni
benar-benar seperti pertapa yang tersesat di desa dan semua orang membencinya
karena dianggap meresahkan. Saya tidak tahu menolongnya dengan cara apa.
Sarmila memang dibawa seseorang. Dan itu bukan sembarang orang, melainkan
Izrail, malaikat pencabut nyawa. [ ]
Gempol, 8-12-15
Comments
Post a Comment