Tahun ini tahun paling beda. Suatu ketika, Januari
2015 lalu, saya tak pernah membayangkan akan terjadi lompatan kedua, setelah
sejak setahun lebih sebelumnya (sejak medio 2012) saya menikmati berjuang di
satu arena. Sejak awal saya lebih sering mengirimkan tulisan saya (kebanyakan
cerpen) untuk dilombakan. Mengirim ke media tentu saja saya coba, namun tak
sesering untuk lomba. Sebagian naskah yang dilombakan itu mendapat juara atau
nominasi, namun sebagian gagal. Itu wajar dan saya semakin mantap memegang tuas
gas agar ke depan apa yang saya lakukan kelak membuahkan hasil yang lebih
nyata. Tidak apa walau kecil-kecil dulu. Namanya juga berproses.
Begitulah saya menikmati proses itu. Sampai Januari
2015, saya tetap sama semangat dan motivasinya, meski mendapat hadiah-hadiah
yang lumayan membuat orangtua tidak lagi menganggap kegiatan menulis saya cuma
main-main, apalagi ikut-ikutan. Saya tidak pernah suka ikut-ikutan dari dulu.
Contohnya saja, belasan tahun lalu, ketika saya masih SD dan belum banyak yang memiliki
scooter (persis kendaraan Teletubbies, kalau kawan-kawan tahu), saya sudah
menginginkannya. Tetapi setelah itu menjadi booming, saya malah ogah dan
berpikir soal mainan lain: Tamiya--yang segera setelah kakak saya dan saya
mempopulerkan itu di kampung kami, semua ikut-ikutan. Januari 2015 saya tetap
sama: tidak merasakan perbedaan soal semangat atau motivasi, meski satu
kegagalan besar saya telan bulat-bulat, yang tak perlu saya ceritakan kegagalan
apa itu, dan sebenarnya bukan karena kesalahan saya. Anehnya, saya hanya butuh
waktu sehari untuk bangkit setelah kegagalan itu terjadi. Kemudian saya kembali
ke arena untuk berjuang seperti semula. Motivasi itu selalu saya jaga.
Awal 2015 saya mendengar dan melihat beberapa
kejadian yang rasanya terlalu panjang untuk ditulis. Kejadian itu soal sindiran
tak langsung agar jangan nyaman di zona aman. Saya mulai memikirkan itu sejak
akhir Januari. Saya sadari, meski 2-3 kali tiap pekan saya rutin mengirim
cerpen ke salah satu media nasional sejak 2013, saya merasa kurang tangguh di
arena ini karena belum sekali pun cerpen saya dimuat. Sejauh itu hanya esai dan
puisi saja yang berhasil menembus. Memang benar, sepanjang 2012-2014 saya
sering mendapat kebahagiaan karena lomba cerpen, dan di tahun-tahun yang sama juga
menulis belasan naskah novel (walau belum terbit dan hanya satu yang di-ACC),
tetapi saya merasa belum lengkap bila arena yang satu itu--media massa--belum
saya taklukkan dengan satu jenis tulisan kesukaan saya.
Februari 2015 saya mulai membulatkan tekad, bahwa
jurus sehari minimal satu cerpen harus terwujud. Ini tidak mudah. Sebelum tekad
ini muncul, seminggu rata-rata saya hanya menghasilkan 3-4 cerpen, itu pun
belum bagus dan banyak kurangnya. Memang pernah dalam kurun waktu dua mingguan
saya menulis 19 cerpen yang akhirnya terbit di buku "Minus Menangis",
tetapi efeknya otak dan fisik saya jadi sangat payah setelahnya. Saya merasa
belum terbiasa. Saya merasa saya harus terbiasa. Saya pikir, tidak ada yang
bisa mendorong saya kecuali diri sendiri. Karena nanti, bila tujuan menulis
bisa saya capai, toh yang bahagia diri sendiri juga, 'kan?
Bisa dibayangkan betapa payahnya saya di awal 2015.
Sebulan pertama sangat sulit. Dari rata-rata dua hari satu cerpen menjadi
sekali duduk satu cerpen, memaksa saya mengolah bahan sekecil apa pun yang saya
tangkap dalam banyak kesempatan dengan cepat dan tanpa ragu saat membuka
laptop. Tentu saja, hasilnya tidak selalu mulus. Seandainya kawan mengenal
salah satu redaktur media-media yang saya tuju pada awal 2015 itu, mereka bisa
memberitahumu betapa cerpen-cerpen saya ketika itu boleh jadi agak aneh dan
mungkin gila. Misalnya saja hari ini saya menulis soal orang yang berubah jadi
sapi, namun besok saya boleh jadi menulis kapten tim sepakbola yang ditembak
kepalanya waktu melakukan tendangan penalti.
Cerpen-cerpen itu menurut saya memang buruk. Saya
akui. Pantas saja tidak dimuat. Tapi saya terus membiasakan diri: sehari
minimal satu cerpen dan segera dikirim setelah lima belas menit dibaca
perlahan; entah ke media mana. Ya, kali itu saya baru mulai merambah banyak
media, dari yang sebelumnya hanya itu-itu saja. Di waktu yang sama, jika tidak
menulis cerpen, saya pakai waktu luang dengan membaca lebih banyak buku.
Bagaimana saya membagi waktu? Mudah. Sehari 24 jam dan saya bisa pakai 4 jam
untuk menulis dan membaca. Pertama, sehabis subuh satu jam. Kedua, lepas ashar,
satu jam. Dan ketiga, sebelum tidur dua jam (bisa juga lebih, karena ini paling
luang menurut saya).
Maka sepanjang 2015 ini entah berapa ratus cerpen
saya tulis dan seratus lebih buku saya baca. Saya tidak percaya bila melihat
folder khusus yang sengaja disediakan di Flashdisk untuk menyimpan
cerpen-cerpen yang saya kirim sepanjang tahun ini. Saya tak menyebutkan jumlah,
tetapi yang pasti tidak semua hari saya lalui dengan cerpen. Ya, dalam hal ini
saya terbilang gagal menerapkan jurus sehari minimal satu cerpen. Sebabnya:
beberapa kali saya tumbang karena sakit, juga dalam dua bulan (kalau tidak
salah April dan Juni 2015) saya lebih banyak menghabiskan waktu dengan membaca.
Tentu saja tak ada target apa-apa selain secara jujur saya katakan, saya hanya
ingin cerpen saya dimuat. Keinginan itu begitu sederhana, sehingga--kalau ini
bisa disebut target, entahlah--saya sudah sangat bahagia bila sepanjang 2015 ada
setidaknya tiga saja cerpen saya yang dimuat.
Begitulah. Saya bekerja dan tetap memproduksi
cerpen yang saya bisa. Tidak setiap hari, memang. Tapi lumayan membuat saya
bahagia karena paling tidak setiap waktu ada saja yang bisa saya kirim ke
media, walau tidak jua dimuat. Setelah lima bulan menjajal jurus itu, akhirnya
satu cerpen tembus. Dan sejak itu, hampir tiap minggu cerpen saya dimuat.
Dengan demikian, satu arena telah saya tapaki, walau masih anak bawang. Tidak
apa.
Lagi pula di sela menulis cerpen itu saya juga
berhasil merampungkan tiga naskah buku. Pertama, buku non-fiksi "Silabus
Menulis Cerpen Itu Gampang" (sudah terbit). Kedua, novel anak. Dan ketiga,
novel sastra. Sebenarnya di tahun yang sama saya sempat menulis tiga bab novel
komedi, hanya saja saya kurang bisa meluangkan waktu untuk "dia"
sehingga sampai hari ini belum selesai. Oh, ya,satu yang berkesan adalah ketika ide
cerita saya diangkat jadi FTV akhir tahun ini.
Banyak teman bertanya bagaimana saya membagi waktu.
Jawaban sudah saya tulis di atas. Saya rasa pastilah minimal kita punya 3 jam
waktu luang untuk menulis dan membaca (karena memang kegiatan menulis tidak
akan baik tanpa membaca). Maka bila ditanya apa resolusi untuk tahun 2016, saya
hanya bisa menjawab: melakukan yang lebih baik dari apa yang bisa saya lakukan.
Ini bukan soal jumlah, tapi konsistensi.Ya, saya ingin tahun depan lebih
konsisten berkarya dan kesehatan tubuh selalu terjaga. Saya juga harus lebih
banyak berolahraga dan mengurangi begadang. Selain tentu saja menjajal dan
mempelajari dunia baru yang sejak lama juga saya inginkan. Semoga itu terwujud.
Aamiin.
Pelajaran baru.. Trima kasih.. :-)
ReplyDeleteAmiiin..kalau saya kagak suka ikut2an tapi gak bisa jadi trendsenter karena orgnya males..hehe:-D
ReplyDeleteSangat runtut sekali cerita-nya.. ^^
ReplyDeleteDan entah kenapa setelah membacanya.. aku ngerasa kalo di tahun 2016 nanti dan di tahun2 berikutnya.. bang ken akan menjadi seorang motivator yang bercerita tidak hanya di medsos saja.. melainkan akan menjadi seorang motivator yang berada di tengah2 orang yang menyaksikan cerita dan pengalaman bang ken secara langsung.. aamiin..
#Keep_Semangat bang ken.. >.<
inspiratif mas,,,saya juga pengen nyoba nulis cerpen ala mas Ken :D
ReplyDeleteWah inspiratif sekali, Mas Ken.
ReplyDeleteMas Ken keren sekali. ^_^
ReplyDelete