Skip to main content

Pencapaian Tahun Ini dan Resolusi Tahun 2016



Tahun ini tahun paling beda. Suatu ketika, Januari 2015 lalu, saya tak pernah membayangkan akan terjadi lompatan kedua, setelah sejak setahun lebih sebelumnya (sejak medio 2012) saya menikmati berjuang di satu arena. Sejak awal saya lebih sering mengirimkan tulisan saya (kebanyakan cerpen) untuk dilombakan. Mengirim ke media tentu saja saya coba, namun tak sesering untuk lomba. Sebagian naskah yang dilombakan itu mendapat juara atau nominasi, namun sebagian gagal. Itu wajar dan saya semakin mantap memegang tuas gas agar ke depan apa yang saya lakukan kelak membuahkan hasil yang lebih nyata. Tidak apa walau kecil-kecil dulu. Namanya juga berproses.

Begitulah saya menikmati proses itu. Sampai Januari 2015, saya tetap sama semangat dan motivasinya, meski mendapat hadiah-hadiah yang lumayan membuat orangtua tidak lagi menganggap kegiatan menulis saya cuma main-main, apalagi ikut-ikutan. Saya tidak pernah suka ikut-ikutan dari dulu. Contohnya saja, belasan tahun lalu, ketika saya masih SD dan belum banyak yang memiliki scooter (persis kendaraan Teletubbies, kalau kawan-kawan tahu), saya sudah menginginkannya. Tetapi setelah itu menjadi booming, saya malah ogah dan berpikir soal mainan lain: Tamiya--yang segera setelah kakak saya dan saya mempopulerkan itu di kampung kami, semua ikut-ikutan. Januari 2015 saya tetap sama: tidak merasakan perbedaan soal semangat atau motivasi, meski satu kegagalan besar saya telan bulat-bulat, yang tak perlu saya ceritakan kegagalan apa itu, dan sebenarnya bukan karena kesalahan saya. Anehnya, saya hanya butuh waktu sehari untuk bangkit setelah kegagalan itu terjadi. Kemudian saya kembali ke arena untuk berjuang seperti semula. Motivasi itu selalu saya jaga.
Awal 2015 saya mendengar dan melihat beberapa kejadian yang rasanya terlalu panjang untuk ditulis. Kejadian itu soal sindiran tak langsung agar jangan nyaman di zona aman. Saya mulai memikirkan itu sejak akhir Januari. Saya sadari, meski 2-3 kali tiap pekan saya rutin mengirim cerpen ke salah satu media nasional sejak 2013, saya merasa kurang tangguh di arena ini karena belum sekali pun cerpen saya dimuat. Sejauh itu hanya esai dan puisi saja yang berhasil menembus. Memang benar, sepanjang 2012-2014 saya sering mendapat kebahagiaan karena lomba cerpen, dan di tahun-tahun yang sama juga menulis belasan naskah novel (walau belum terbit dan hanya satu yang di-ACC), tetapi saya merasa belum lengkap bila arena yang satu itu--media massa--belum saya taklukkan dengan satu jenis tulisan kesukaan saya.

Februari 2015 saya mulai membulatkan tekad, bahwa jurus sehari minimal satu cerpen harus terwujud. Ini tidak mudah. Sebelum tekad ini muncul, seminggu rata-rata saya hanya menghasilkan 3-4 cerpen, itu pun belum bagus dan banyak kurangnya. Memang pernah dalam kurun waktu dua mingguan saya menulis 19 cerpen yang akhirnya terbit di buku "Minus Menangis", tetapi efeknya otak dan fisik saya jadi sangat payah setelahnya. Saya merasa belum terbiasa. Saya merasa saya harus terbiasa. Saya pikir, tidak ada yang bisa mendorong saya kecuali diri sendiri. Karena nanti, bila tujuan menulis bisa saya capai, toh yang bahagia diri sendiri juga, 'kan?

Bisa dibayangkan betapa payahnya saya di awal 2015. Sebulan pertama sangat sulit. Dari rata-rata dua hari satu cerpen menjadi sekali duduk satu cerpen, memaksa saya mengolah bahan sekecil apa pun yang saya tangkap dalam banyak kesempatan dengan cepat dan tanpa ragu saat membuka laptop. Tentu saja, hasilnya tidak selalu mulus. Seandainya kawan mengenal salah satu redaktur media-media yang saya tuju pada awal 2015 itu, mereka bisa memberitahumu betapa cerpen-cerpen saya ketika itu boleh jadi agak aneh dan mungkin gila. Misalnya saja hari ini saya menulis soal orang yang berubah jadi sapi, namun besok saya boleh jadi menulis kapten tim sepakbola yang ditembak kepalanya waktu melakukan tendangan penalti.

Cerpen-cerpen itu menurut saya memang buruk. Saya akui. Pantas saja tidak dimuat. Tapi saya terus membiasakan diri: sehari minimal satu cerpen dan segera dikirim setelah lima belas menit dibaca perlahan; entah ke media mana. Ya, kali itu saya baru mulai merambah banyak media, dari yang sebelumnya hanya itu-itu saja. Di waktu yang sama, jika tidak menulis cerpen, saya pakai waktu luang dengan membaca lebih banyak buku. Bagaimana saya membagi waktu? Mudah. Sehari 24 jam dan saya bisa pakai 4 jam untuk menulis dan membaca. Pertama, sehabis subuh satu jam. Kedua, lepas ashar, satu jam. Dan ketiga, sebelum tidur dua jam (bisa juga lebih, karena ini paling luang menurut saya).

Maka sepanjang 2015 ini entah berapa ratus cerpen saya tulis dan seratus lebih buku saya baca. Saya tidak percaya bila melihat folder khusus yang sengaja disediakan di Flashdisk untuk menyimpan cerpen-cerpen yang saya kirim sepanjang tahun ini. Saya tak menyebutkan jumlah, tetapi yang pasti tidak semua hari saya lalui dengan cerpen. Ya, dalam hal ini saya terbilang gagal menerapkan jurus sehari minimal satu cerpen. Sebabnya: beberapa kali saya tumbang karena sakit, juga dalam dua bulan (kalau tidak salah April dan Juni 2015) saya lebih banyak menghabiskan waktu dengan membaca. Tentu saja tak ada target apa-apa selain secara jujur saya katakan, saya hanya ingin cerpen saya dimuat. Keinginan itu begitu sederhana, sehingga--kalau ini bisa disebut target, entahlah--saya sudah sangat bahagia bila sepanjang 2015 ada setidaknya tiga saja cerpen saya yang dimuat.

Begitulah. Saya bekerja dan tetap memproduksi cerpen yang saya bisa. Tidak setiap hari, memang. Tapi lumayan membuat saya bahagia karena paling tidak setiap waktu ada saja yang bisa saya kirim ke media, walau tidak jua dimuat. Setelah lima bulan menjajal jurus itu, akhirnya satu cerpen tembus. Dan sejak itu, hampir tiap minggu cerpen saya dimuat. Dengan demikian, satu arena telah saya tapaki, walau masih anak bawang. Tidak apa.

Lagi pula di sela menulis cerpen itu saya juga berhasil merampungkan tiga naskah buku. Pertama, buku non-fiksi "Silabus Menulis Cerpen Itu Gampang" (sudah terbit). Kedua, novel anak. Dan ketiga, novel sastra. Sebenarnya di tahun yang sama saya sempat menulis tiga bab novel komedi, hanya saja saya kurang bisa meluangkan waktu untuk "dia" sehingga sampai hari ini belum selesai.  Oh, ya,satu yang berkesan adalah ketika ide cerita saya diangkat jadi FTV akhir tahun ini.

Banyak teman bertanya bagaimana saya membagi waktu. Jawaban sudah saya tulis di atas. Saya rasa pastilah minimal kita punya 3 jam waktu luang untuk menulis dan membaca (karena memang kegiatan menulis tidak akan baik tanpa membaca). Maka bila ditanya apa resolusi untuk tahun 2016, saya hanya bisa menjawab: melakukan yang lebih baik dari apa yang bisa saya lakukan. Ini bukan soal jumlah, tapi konsistensi.Ya, saya ingin tahun depan lebih konsisten berkarya dan kesehatan tubuh selalu terjaga. Saya juga harus lebih banyak berolahraga dan mengurangi begadang. Selain tentu saja menjajal dan mempelajari dunia baru yang sejak lama juga saya inginkan. Semoga itu terwujud. Aamiin.

Comments

  1. Amiiin..kalau saya kagak suka ikut2an tapi gak bisa jadi trendsenter karena orgnya males..hehe:-D

    ReplyDelete
  2. Sangat runtut sekali cerita-nya.. ^^

    Dan entah kenapa setelah membacanya.. aku ngerasa kalo di tahun 2016 nanti dan di tahun2 berikutnya.. bang ken akan menjadi seorang motivator yang bercerita tidak hanya di medsos saja.. melainkan akan menjadi seorang motivator yang berada di tengah2 orang yang menyaksikan cerita dan pengalaman bang ken secara langsung.. aamiin..

    #Keep_Semangat bang ken.. >.<

    ReplyDelete
  3. inspiratif mas,,,saya juga pengen nyoba nulis cerpen ala mas Ken :D

    ReplyDelete
  4. Wah inspiratif sekali, Mas Ken.

    ReplyDelete

Post a Comment

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri