Skip to main content

Bang Jo dan Ponsel Berisi Puisi-puisi Pertama

Ini cerita saat kehilangan puisi-puisi awal saya, yang disimpan di ponsel karena saat itu belum punya laptop. Ketika itu bisa dibilang saya 'nomaden' di Jakarta. Suatu kali saya merasa betah di satu tempat dan memutuskan tinggal di sana lebih lama. Di tempat baru ini saya kenal seorang lelaki. Usianya kira-kira sepuluh tahun lebih tua dari saya, tapi gayanya menyamai saya yang waktu itu belum 19 tahun. Di kompleks kostan ini rata-rata penghuninya seumuran saya dan semua pekerja keras. Tak jauh dari tempat kost ada studio besar tempat produksi sinetron dan FTV, dan sesekali layar lebar. Dia--sebut saja Bang Jo (bukan nama sebenarnya)--sudah malang melintang di dunia hiburan sejak 1998, begitulah ia mengaku. Saya percaya saja karena dia terlihat jujur dan sangat terbuka, serta tentu saja teman ngobrol yang asyik.

Namun ketika itu Bang Jo sedang terpuruk. Ia sepi job dan terlunta-lunta berkat suatu masalah dengan keluarga yang tidak bisa ia ungkapkan, juga masalah dengan management artist tempat ia bernaung. Meski tidak terkenal, saya ingat pernah melihat wajahnya sesekali di TV, dulu saat masih SD atau SMP. Maka mula-mula saya heran, sebelum akhirnya ber-oh pelan usai mendengar bahwa sebagai manusia, roda kehidupan menahan Bang Jo di bawah.

Teranglah alasan bagaimana seorang talent berpengalaman sepertinya berkeliling studio dengan penampilan kelewat sederhana, bahkan terkesan (maaf) jorok. Ia sendiri bertemu dengan saya awalnya karena menumpang pada seorang teman. Saya berpikir, mungkin masalah hidup membuat Bang Jo bosan dan muak, sehingga sekali waktu ia mengaku percaya adanya Tuhan tapi menolak untuk sembahyang. Dan dia juga pernah mengaku nyaris meniduri pacarnya yang seusia saya, namun batal karena takut masuk neraka. Sebuah anomali di kepala seorang lelaki terpuruk yang membuat saya bingung.

Saya diam saja mendengar cerita-ceritanya. Saya menjadi pendengar yang baik. Bahkan sesekali menjadi tempat ia meminjam uang. Kami pernah jalan sekilo jauhnya hanya untuk mempermak celana panjangnya, yang oleh karena dengan tarif murah, hasilnya sangat buruk dan ia pun menyumpalkan celana bahan itu ke dalam tas kumalnya, seperti tak akan pernah mengambilnya sampai kiamat.

Perkenalan dengan Bang Jo membuat saya belajar banyak hal. Saya tahu ia sering bohong soal makan. Dan setiap penghuni di kompleks kost itu juga tahu dompet Bang Jo sedang sekarat. Ia sering tidak makan dan terpaksa berhenti merokok karena tidak punya uang. Sekali waktu ia mengajak saya jalan ke studio dan menemui seorang produser, merekomendasikan saya yang katanya bintang muda berbakat dan berkarakter. Saya tertawa geli saja dalam hati, karena tahu betapapun Bang Jo mengenal 'orang penting' itu, dari sorot mata produser saya tak melihat penghargaan yang layak untuk seorang dengan jam terbang tinggi macam teman baru saya ini.

Saya tak tahu apa masalah Bang Jo, karena ia terbuka soal beberapa hal dan tertutup soal hal-hal tertentu. Seorang teman mengaku pernah mendengar keluh kesahnya bahwa Bang Jo di-blacklist karena angkuh dan sering menolak job sesuka hati.

Kira-kira dua bulan sejak perkenalan kami, Bang Jo agaknya mulai berbenah. Masih dengan wajah ceria dan gaya anak muda, seakan-akan masalah hidup bakal menyingkir dalam waktu dekat, ia sesekali melempar keluhan tak langsung bahwa ponselnya terpaksa dijual untuk makan, dan bahwa kini ia bingung, sebab kemungkinan job baru dari seorang sutradara dalam waktu dekat tidak bisa ia terima. Ia butuh handphone dan kesempatan kedua ini tak boleh disia-siakan.

Seketika saya ingat kesusahan yang menimpa saya beberapa bulan sebelumnya, di saat orang-orang baik membuka kedoknya bahwa itu semua semata demi uang. Spontan saya terbuang dan tersingkirkan. Maka, karena tak seorang pun mau membantu, saya tergerak untuk membantu Bang Jo. Ia teman yang baik. Meski saya sendiri sedang kesulitan, saya rasa tak ada salahnya sementara meminjamkan salah satu ponsel untuknya.

Malam itu Bang Jo berangkat ke Bogor untuk shooting selama 4 hari. Sesudahnya, ia berjanji akan mengembalikan ponsel berisi puisi-puisi awal saya, plus utangnya selama ini. Ya, saya sering meluangkan waktu dengan berpuisi di ponsel itu. Ketika itu saya sudah bermimpi ingin menjadi penulis suatu saat, meski belum tahu jalannya.

Di malam ketika Bang Jo pergi, sebuah perasaan ganjil melintas dan saya tak tahu apa itu. Setahu saya, itulah terakhir kali saya melihat wujud Bang Jo dengan kaus cokelat, celana jeans, tas ransel kusam, serta rambut klimis sehabis mandi. Saya ingat beberapa minggu sebelumnya ia menunjukkan KTP-nya, sebuah nama asli yang tak sempat saya catat di ingatan. Ia bahkan menceritakan beberapa hal yang cukup personal, sehingga tak menyangka kedekatan kami harus berhenti di malam akhir Mei 2010 itu, karena ternyata ia tak pernah kembali. Ia tak pernah pergi ke Bogor dan panggilan job dari sobat sutradaranya itu--menurut seorang teman yang jengkel--adalah omong kosong.

Saya tidak marah ketika itu. Aneh sekali. Saya hanya sedih karena puisi-puisi di ponsel itu mungkin berakhir di tangan penjual handphone entah di kota apa. Barangkali diplagiat untuk dikirim ke seorang pacar, saya tak tahu. Atau barangkali dihapus karena sangat jelek, saya juga tak tahu.

Beberapa tahun kemudian, saat saya benar-benar melupakan pernah kenal seorang bernama Bang Jo, dalam film "The Raid"saya melihat ia bertarung dengan Iko Uwais dalam salah satu scene penggerebekan yang fenomenal itu. Ya, Bang Jo jadi satu dari sekian banyak anak buah penjahat di film tersebut. Setelah itu, beberapa kali saya lihat ia di layar kaca. Tampaknya ia sehat-sehat saja.

Saya tentu saja senang ia bisa kembali. Dan saya tidak marah meski utang itu tak terbayar. Saya ikhlaskan. Hanya saja, puisi-puisi yang hilang menoreh luka tersendiri. Sebuah luka yang akhirnya membuat saya dendam pada puisi dan merasa harus membunuhnya setiap malam karena ia terus berjejalan di otak saya. Puisi terus menggandakan diri sampai saya tak berdaya.

Untunglah luka itu sembuh. Entah kenapa, malam ini, saya merasa suatu saat kami bertemu kembali. Dan saya akan menyiapkan kalimat pamungkas untuknya, "Hei, Bogor, lama tak jumpa!"

Saya sudah bisa membayangkan wajah tanpa dosa itu, yang segera menjabat tangan saya malu-malu, karena ia tidak mungkin lupa janjinya malam itu. Sebuah janji yang membuat saya belajar banyak hal.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri