Ini kejadian tahun 2010. Suatu
pagi saya iseng mengikuti seorang teman, tetangga kost saya di Jakarta,
untuk pergi ke Bekasi demi sebuah pekerjaan harian yang seru. Apa itu?
"Penonton bayaran," jawabnya tanpa basa-basi. Ketika itu, jujur saja,
saya baru tahu bahwa acara talkshow di TV kebanyakan--menurut teman
saya--disetting sedemikian rupa dengan banyak penonton yang ternyata
dibayar. Uniknya, teman saya ini seperti sudah menjadikannya pekerjaan
sampingan. "Yang penting halal," bisiknya malu-malu, setelah saya tatap
beberapa detik dengan ekspresi senyum campur heran.
Dia menyuruh
saya memakai pakaian kantor karena talkshow "langganan"-nya ini adalah
acara serius yang membahas masalah sosial dan kemanusiaan, di salah satu
televisi lokal. Saya iyakan saja. Kebetulan sedang tidak ada acara di
kostan dan itu hari libur. Baiklah, saya ikut.
Kami naik taksi
dari Cilandak. Saya tidak terlalu memperhatikan jalan, karena teman
saya--yang juga mengajak seorang teman lain--heboh telepon seseorang
karena takut terlambat. Saya rasa kami tidak turun di Bekasi, karena
terlalu dekat jarak yang kami tempuh, tetapi saya diam saja, tidak
bertanya dan ikut berjalan menyisir trotoar di kawasan yang tidak saya
kenal.
Kawasan ini cukup mentereng. Banyak gedung-gedung tinggi.
Di trotoar kami dipandangi beberapa pengguna jalan sebab di hari libur
malah tampak buru-buru jalan sambil membenahi dasi. Di sebelah rumah
makan cepat saji telah berdiri beberapa pemuda, juga berpakaian kantor,
menjabat tangan kami. Kenalan teman saya rupanya. Barulah saya paham
bahwa ternyata nanti kami ramai-ramai dijemput sebuah bus yang disewa
khusus oleh orang studio guna mengantar para penonton ini.
Tentu
saja, karena pertama kali ikut--itu pun karena iseng--tidak satu pun
saya kenal pemuda-pemudi yang kemudian satu demi satu berdatangan dan
duduk-duduk di pelataran parkir rumah makan cepat saji itu. Beberapa
perempuan, mungkin seusia saya, menjabat tangan dan berkenalan dengan
saya, padahal saya diam saja dan memainkan ponsel. Kata teman saya itu,
"Lu ganteng sih!" Saya tertawa saja. Dari mana dia bilang saya ganteng?
Ketika itu saya sangat kurus dan rambut saya lumayan gondrong dengan
gaya persis Vino G. Bastian di film Serigala Terakhir saat berfoto
dengan para sobat masa kecilnya. Seorang asisten sutradara bahkan pernah
bilang bahwa seharusnya rambut saya tidak gondrong, karena tidak
pantas.
Saya pun diam saja dan lebih banyak manggut-manggut
mendengar mereka semua ngobrol banyak topik. Saya merasa seperti manusia
tersesat dan tidak tahu jalan pulang, kecuali mengikuti apa yang mereka
semua akan kerjakan. Saya merasa dihempaskan tiba-tiba di kursi wasit
pertandingan bulutangkis, sehingga saya harus menoleh ke kiri dan ke
kanan, lalu ke kiri dan ke kanan lagi, untuk tak ketinggalan info soal
talkshow hari itu, sekaligus mengingat wajah-wajah baru. Saya hitung ada
lebih dari dua puluh orang di sana.
Bus datang dan kami naik
dengan tertib. Saya duduk di dekat bangku sopir. Di situ duduk pula
beberapa perempuan muda yang belum sempat berkenalan dengan saya, yang
pada akhirnya menjabat tangan saya. Teman saya mengikik geli dan
berbisik, bahwa saya tidak bakal rugi, karena selain dapat honor, dapat
kenalan banyak pula. Saya senang mendapat banyak teman baru, tapi
sekaligus bingung apa yang bakal kami kerjakan sebagai penonton?
Bukankah hanya duduk saja? Lalu kenapa teman saya tadi bilang kami
pulang tengah malam?
"Ini tapingan, Bro. Empat taping!"
celetuknya yang duduk di dekat jendela. Oh, saya paham. Jadi, proses
shooting dilakukan bukan secara live, melainkan direkam. Dan kami hari
itu akan menjadi penonton dalam empat episode di satu talkshow yang
sama. Mendadak saya mulas dan mual. Menjadi penonton selama itu, sulit
dibayangkan betapa kami akan jenuh. Tapi wajah-wajah di sekeliling saya
segar. Mungkin karena--seperti kata teman saya--sudah jadi pekerjaan
sampingan, maka mereka pun biasa saja.
Tidak jauh dari kursi
saya, ada seorang wanita, mungkin usia 30-an, yang tampaknya memimpin
kelompok ini. Mereka semua yang di bus sangat akrab dengannya. Saya
belum sempat berkenalan dan tidak terpikir untuk sok akrab, karena itu
bukan ciri khas saya. Lagi pula saya tak punya niat suatu hari mengulang
lagi menjadi penonton bayaran. Tapi tetap saja ujung-ujungnya saya
diajak berkenalan, setelah beberapa perempuan berbisik memberi tahu si
wanita, bahwa saya adalah orang baru. Pada saat itu, saya merasa saya
adalah anak TK. Dan di sekitar saya semua orang mendadak perhatian pada
saya. Seolah siap sedia membelikan mainan dan es krim dan pizza
seandainya saya mulai lapar. Barangkali demi membuat saya nyaman dan
tidak jenuh. Entahlah.
Setiba di lokasi, yang berada di sebuah
kompleks perumahan yang cukup sepi dan asri, kami turun. Suara
cetak-cetok high heels para gadis plus empasan sepatu pantofel para
pemuda, terdengar nyaring memasuki lobi depan. Di teras bangunan itu ada
beberapa kardus ditumpuk. Juga peralatan shooting seperti genset,
kamera, layar monitor, dan sebagainya, yang kemudian diangkut oleh para
kru ke dalam. Saya biasa melihat pemandangan ini, tetapi belum pernah
melihat bagaimana acara talkshow dibuat, jadi lumayan antusias
juga--meski ngeri membayangkan nanti pantat saya bakal keras karena
duduk berjam-jam dari pagi sampai malam.
Di dalam, kami
dipersilakan masuk ke ruang make-up. Besar sekali. Ada cermin sepanjang
hampir sepuluh meter dan kami semua berdiri berjajar di sana untuk
merapikan rambut dan dasi. Para gadis memakai bedak, sementara yang
lelaki sibuk membentuk gaya rambut dengan minyak rambut. Beberapa orang
meminta minyak rambut saya dan saya persilakan. Di sini kekompakan
seperti sudah jadi harga mati, sehingga saya tak perlu heran ketika
antara satu dan lain saling pinjam meminjam atau tukar menukar barang,
seperti misalnya dasi, blazer, atau sisir dan bedak, demi penampilan
terbaik--meski sebagai penonton.
Teman saya, meski maco dan
lumayan ahli bela diri, meminjam bedak dan ia tanpa malu memoles
wajahnya. Tak ada perempuan tertawa melihat tingkahnya, karena ternyata
shooting segera akan dimulai. Kami buru-buru. Kata teman saya itu, "Biar
gak kucel." Saya iyakan saja, meski ogah mengikuti caranya. Saya cukup
membersihkan wajah dengan air dan sapu tangan, meniru kebiasaan seorang
artis senior yang pernah saya jumpai.
Kami dipersilakan sarapan
dulu, namun tidak boleh lebih dari sepuluh menit. Sarapan disediakan
dalam nasi kotak dan isinya lumayan. Teman saya makan dengan lahap,
karena ia bilang jarang-jarang makan enak. Beberapa gadis meliriknya dan
tertawa cekikikan. Memalukan. Selesai makan, kami pun berbaris masuk
melalui lorong berisi ruang-ruang kantor. Di sana ada beberapa kru TV
sedang meeting. Ada dapur dan toilet juga. Di sebuah pintu hitam,
barisan mengerucut karena jalurnya hanya selebar satu orang. Kami baris
persis semut menuju ruang gelap di belakang panggung, sebelum akhirnya
sorotan lampu terang membuat mata silau di satu belokan. Yah, kami
sampai di deretan bangku. Semacam tribun, namun tidak terlalu besar dan
jumlahnya ada empat. Ketika itu saya baru tahu bahwa penonton yang
disewa bukan hanya dari kelompok kami. Pantas di depan tadi ada dua bus
lain yang parkir.
Langsung saja seorang berseragam TV mengatur
duduk setiap orang. Yang ganteng dan cantik dipadukan dengan yang
berwajah sedang-sedang, biar merata. Demi sopan santun, saya menyingkir
ke tempat khusus wajah 'sedang-sedang', namun mbak-mbak kru ini bilang,
"Lu kan ganteng, Bro. Sana! Sebelah sana!"
Saya patuh saja,
daripada jadi pusat perhatian. Sial. Suara mbak-mbak itu tadi kencang
juga. Saya memilih duduk di tengah-tengah, karena selain tempatnya tidak
terlalu dingin--karena pagi itu cuaca agak mendung dan AC membuat saya
malah menggigil--saya pun bisa lebih leluasa memperhatikan proses
shooting sebuah talkshow.
Begitulah, tapingan--meminjam istilah
teman saya--pertama dan kedua lancar. Setiap tapingan kami disuruh ganti
kemeja dan dasi. Istirahat siang, kami makan lagi. Lauknya lebih enak
dan saya siap-siap menjauh demi tidak terlihat konyol berada dekat
dengan teman yang bertingkah memalukan. Tapi agaknya dia sangat lapar
sehingga tidak banyak bicara. Dan saya pun makan dengan tenang.
Masuk studio kira-kira setengah jam kemudian. Pembawa acara talkshow,
yang juga presenter era 90-an, protes pada sutradara karena sepanjang
tapingan pertama dan kedua merasa terganggu dengan ulah penonton yang
kelihatannya seorang banci. Memang berisik. Saya duduk kira-kira tujuh
meter darinya, dibatasi beberapa orang, namun suaranya yang melengking
cari perhatian itu mengganggu. Akhirnya dia dipersilakan menunggu di
luar saja dan shooting berlanjut.
Di tapingan terakhir, pada sesi
tanya jawab, sutradara memilih saya menjadi satu dari empat penonton
yang bertanya, sehingga mau tidak mau saya harus di-makeup sebagaimana
seorang pemuda di tribun seberang.
Seorang gadis berkulit putih
dan cantik, yang tadi ikut di bus kami, segera berdiri dan menghampiri,
mendandani saya dengan cekatan. Merapikan dasi dan rambut saya seperti
seorang istri menata tampilan suaminya sebelum ngantor. Beberapa
penonton dari kelompok kami ber-ehm ganjil, batuk berjamaah, sehingga
gadis itu menunduk malu. Saya bingung dan tentu saja tak kalah malu.
Gadis itu
tetap mendandani saya sampai selesai, tidak peduli ledekan teman-teman.
Dia tidak membedaki saya, hanya menyuruh mengelap wajah dengan sapu
tangan saja. Padahal dia juga penonton, yang belakangan saya tahu
ternyata keponakan wanita usia 30-an ke atas tadi. Lagi pula, dari
tadi, jika ada dari kelompok kami mendapat tugas bertanya, tidak ada
yang me-makeup kecuali kru TV.
"Apa gue bilang? Kagak bakal rugi
dah!" kedipan mata teman saya seolah berkata demikian. Padahal saya
tidak berniat cari pacar di situ, walau saya akui gadis tadi memang
cantik. Tapi cinta pada pandangan pertama rata-rata tidak enak dan
berakhir cepat. Maka saya santai saja ketika kembali duduk di bangku.
Saya bertanya dengan lancar, meski kalimat yang dihafal cukup panjang.
Oh, ya, menjadi penonton talkshow yang satu ini sama sekali tidak bisa
dianggap remeh. Ini acara cerdas. Kami mendapat banyak pengetahuan dari
narasumber, juga dipancing kritis dengan menulis pertanyaan untuk setiap
topik di atas kertas. Nah, pertanyaan-pertanyaan dari para penonton
inilah yang dipilih secara acak untuk 'dibacakan' oleh keempat penonton
per episode.
Perjalanan pulang di bus tidak banyak suara. Semua
sudah mengantuk dan perlahan, sebagaimana harapan saya pada mulanya,
satu demi satu wajah-wajah baru itu pun menjauh. Saya memang tidak
kembali menjalani hari sebagai penonton bayaran, tapi satu hari bersama
mereka sangat berkesan. Mereka 'bekerja'sepenuh hati meski bayaran tak
seberapa. Dan saya tak mengerti kenapa semua penonton semacam ini mesti
diidentikkan dengan hal-hal remeh temeh, hanya karena ada sebagian oknum
di antaranya yang sengaja atau tidak menampilkan diri untuk divonis
begitu? Kita tidak berhak memukul rata itu.
Meski lelah, benar
kata teman, saya tidak rugi. Saya tidak tahu harus membagi kenangan ini
dengan siapa, karena tidak satu pun teman-teman baru tadi saya ketahui
akun FB-nya. Dan teman saya, tetangga yang mengajak saya itu, kini entah
tidak jelas keberadaannya.
Barangkali memang beginilah hidup;
segalanya datang dan pergi, seperti makanan yang dicerna lantas dibuang
dalam bentuk kotoran. Dan yang tersisa adalah kandungan bermanfaat untuk
tubuh, yang hanya bisa kita bayangkan tanpa pernah bisa menyentuhnya.
Itulah kenangan. Ia mengalir dalam darah dan setiap hari kita membawanya
ke mana-mana. Kita tidak bisa membunuhnya, kecuali saat waktu kita
benar-benar habis.
Comments
Post a Comment