Skip to main content

[Cerpen]: "Maria Pergi ke Hutan" karya Ken Hanggara




(Dimuat di Suara NTB, Sabtu, 26 Desember 2015)

Maria lama-lama bosan mengerjakan tugasnya: mendorong saya di ayunan. Saya bilang, "Dasar gendut pemalas. Mendorong begitu apa susahnya?" Dia marah dan janji tidak mau ketemu saya lagi. Setelah membanting piring, dia benar-benar pergi.
Saya tidak yakin Maria pergi lebih dari tiga jam. Biasanya, kalau dia marah, paling sembunyi ke hutan di belakang rumah. Kalau hari sudah tenggelam, dia pasti balik dan menangis dan minta maaf tidak akan menentang lagi. Pada saat itu, penampilan Maria sangat compang-camping.

Maria memang payah. Hutan itu sebenarnya tidak ada hantunya, itulah yang saya tahu. Tapi dia bilang di sana tinggal peri-peri jahat di tempat yang ditumbuhi banyak pohon jati. Mereka suka memangsa anak-anak dan menyisakan tulang dan bajunya saja. Daging dan semua organ tubuh korban habis ditelan peri seperti piranha menyisakan tulang belulang seekor sapi. Saya tidak percaya. Saya kira dia mengarang cerita itu biar saya tidak protes atau meledek karena kemarahannya tidak pernah lebih dari tiga jam.
Ingin saya bilang, "Bilang saja kamu lapar! Jangan bawa-bawa peri jahat deh!"
Setiap melihat wajah tololnya, saya selalu kesal. Tapi Maria satu-satunya yang bisa saya suruh-suruh seperti anak anjing. Dan dia kadang juga bersikap sangat lembut pada saya dan suka membela bila ada anak nakal mengganggu.
Hari ini, entah kenapa Maria melawan dengan cara lain. Biasanya kalau marah dia tidak pernah teriak-teriak, tetapi langsung duduk murung selama lima menit, lalu hilang ke hutan. Saya heran waktu tadi dia berontak dan mendorong saya keras-keras sampai hampir jatuh dari ayunan. "Kamu kenapa sih?!" Saya berteriak. Dia ambil piring di tikar piknik dan hampir memukul kepala saya. Saya melotot dan dia membanting piring itu ke tanah dan lari.
Saya pernah ke hutan itu, walau tidak sesering Maria. Saya rasa hutan itu memang seram. Saya tidak berpikir ada hantu atau siluman, tapi mengira di sana tinggal beberapa penculik jahat atau binatang buas yang bisa mencelakai anak-anak, apalagi kalau malam. Anak itu aneh. Sembunyi mestinya bisa dilakukan di tempat lain di dekat-dekat sini, tapi dia lebih suka hutan.
Selain aneh, Maria juga tidak asyik; rasa humornya ganjil. Mungkin karena dulu mamanya mati waktu dia kecil. Jadinya saya suka egois dan lebih senang menyuruh Maria ini-itu daripada harus duduk dengan saya. Kalau dia duduk di sisi saya, bisa jijik dan muntah saya. Anak kecil takut melihat seekor tikus dilahap kucing. Saya juga takut dan lebih suka menutup mata, karena kucing kalau ketemu mangsanya, bisa bersikap seperti harimau. Tapi Maria lain. Dia bertepuk tangan dan—sambil mengusap air liur yang terus menetes dari bibirnya—dia menarik-narik lengan baju saya, lalu tertawa terpingkal-pingkal sampai kucing itu pergi dengan perut kenyang.
Suatu hari saya mengutuknya, karena Maria biarkan kelinci peliharaan saya masuk mesin penggilingan di gudang belakang. Kelinci itu mati. Tubuhnya benar-benar hancur. Darah tercecer di mana-mana dan Ibu melihat saya dengan tatapan prihatin. Kelinci itu hadiah dari Ayah di ulang tahun saya yang ketujuh setahun lalu. Kecuali tubuh, saya masih bisa melihat kepala kelinci itu.
Ibu menatap Maria tajam. "Anak setan, kamu!" Ibu suruh saya masuk. Saya tidak mau. Saya menjerit-jerit dan Ibu pergi begitu saja. Saya kesal tapi Maria malah bertepuk tangan. "Kelinci lucu! Kelinci lucu!" Dia bernyanyi.
Saya bilang, pembohong seperti kamu masuk neraka saja. Dia menatap saya.
"Kamu senang begituan, tapi takut sama peri-peri jahat. Kamu pembohong!"
"Di hutan benar-benar ada peri. Mereka jahat dan giginya tajam-tajam!"
"Neraka tempat kembalimu, tukang bohong!"
"Maria tidak bohong! Maria tidak bohong!" Terus kalimat itu diulang-ulang sampai kuping saya sakit dan saya lempar wajahnya pakai sandal. Anak terkutuk, pergi kamu! Saya marah dan saya tidak mengajaknya bicara selama empat hari.
Insiden kelinci itu cukup membuat posisi Maria di rumah menjadi lebih sulit. Ayah sudah mati dan tidak ada lagi yang sayang padanya. Saya tidak tahu kenapa dulu Ibu nikah dengan orang yang sudah punya anak. Lagi pula, anaknya tidak cantik dan gendut dan memalukan.
"Cindy, ini saudaramu, ya. Perkenalkan, namanya Maria."
Om Rudy, yang setelah itu menjadi ayah baru saya, membawa anak terkutuk itu ke rumah. Ibu sendiri tidak senang, tapi suatu malam Ibu bilang ke saya diam-diam bahwa kami butuh tempat bernaung. Om Rudy—atau saya mulai memanggilnya 'Ayah'—punya bisnis yang cukup maju di ibukota.
Sejak itu saya berteman dengan Maria. Saya malu menyebut anak sial itu saudara, walau saudara tiri. Kami sekolah di tempat berbeda dan berangkat diantar sopir. Karena arah sekolah kami sama dan saya turun lebih dulu, Maria selalu melambai-lambai keluar jendela saat saya masuk gerbang sekolah.
Teman saya tahu dan bilang, "Lho, itu siapa?"
Anak pembantu, kata saya.
"Wah, kok boleh naik mobilmu?"
Iya, karena Ibu yang suruh dan pembantu itu kurang ajar. Saya tahu saya bohong dan saya diledek teman sekelas saat ketahuan Maria bukan anak pembantu. Mereka ke rumah untuk menjenguk saya yang sakit dan melihat Maria bermain dekat tempat tidur saya.
Sebagai balasan karena membunuh kelinci kesayangan saya, dan sebagai bayaran atas ledekan teman-teman di sekolah, Maria pantas saya suruh-suruh seperti anak anjing. Dan dia selalu menurut dan senang jika saya duduk di ayunan sementara dia yang tugas mendorong.
Dulu pernah, sebelum Ayah mati, saya disuruh gantian mendorong Maria. Tubuh itu gendut dan bau keringatnya tidak enak. Tapi saya sayang Ayah dan saya melakukan ini demi Ayah. Saya dorong dan dorong. Saya dorong dan dorong. Maria kentut dan baunya busuk.
Malamnya saya sakit karena kecapekan. Setiap ingat bau kentut itu, ingin rasanya saya suruh dia ke hutan dan tidak perlu kembali. Biar mati dimangsa peri, kata saya. Tetapi, justru Ayah yang mati dua hari kemudian. Pesawatnya jatuh di tengah laut.
***
"Maria... Maria... Pulang dong!"
Saya memanggil-manggil Maria, karena belum puas main ayunan. Tapi saya tahu kebiasaan dia ke hutan—meski heran kenapa tadi pakai membentak—jadi saya pun balik ke rumah. Di dapur, saya suruh Bi Marni, pembantu kami, masak puding cokelat.
"Biar kumakan sendiri dan kamu nggak kebagian!"
Saya bayangkan anak tolol itu, ketika pulang nanti, menjerit panik melihat baskom bekas puding cokelat tergeletak di tempat cuci piring. Saya senang mengganggu Maria dengan cara ini: menikmati makanan kesukaannya tanpa mengundangnya dan biar dia lihat bekas makanan itu. Dia akan menjerit-jerit dan minta saya memuntahkan makanan itu ke piring. Pada saat itu, saya akan meludah di baskom bekas wadah puding cokelat. Dan, seperti yang saya bilang, anak anjing memang penurut.
Maka begitulah, di dapur saya makan sampai kenyang. Saya juga suruh Bi Marni bikin segelas susu hangat plus menyiapkan beberapa potong brownies di kulkas untuk saya makan. Lalu saya suruh ia ke dalam dan tidak usah balik ke dapur. Saya ancam biar tidak cuci baskom itu. Saya lihat jam dinding. Tidak terasa hampir tiga jam sejak Maria pergi. Matahari tenggelam dan Ibu pulang.
Ibu, seperti saya, sangat membenci Maria. Dia tidak pernah tanya apa-apa, seperti misalnya, "Mana anak setan?" atau "Kamu kok sendiri?" Saya yakin Ibu lebih suka saya hidup sendiri di muka bumi daripada harus berdua dengan anak gendut jelek yang bikin susah.
Ibu mencium saya dan melihat bekas makan puding di pipi. Saya disuruh mandi dan saya mandi. Selesai ganti baju, saya nonton TV. Sesekali, dari ruang tengah, saya melongok ke dapur. Ibu sibuk di ruang kerjanya dan saya tidak mau mengganggu.
"Mana sih anak itu?"
Saya hitung sudah empat jam Maria pergi. Dulu-dulu tidak pernah selama ini. Saya kira mungkin ia tersesat dan baru sampai satu atau dua jam lagi. Biarlah, yang penting rencana saya mengerjainya berjalan lancar. Saya bayangkan anak setan itu datang; dari pintu belakang, ia merayap seperti hantu rawa-rawa. Rambut acak-acakan, tubuh penuh noda lumpur. Saya marah dan ia bersujud ke saya. Ia minta maaf dan menarik janjinya tidak mau ketemu lagi dengan saya. Dan, saat berdiri, saya suruh dia cuci baskom sebagai tanda keseriusan. Ketika itulah Maria tahu saya makan puding tanpa mengajak dirinya.
***
Waktu menunjuk angka sembilan dan saya mengantuk. Maria belum pulang. Ibu menyuruh saya tidur dan memanggil Bi Marni untuk mengunci semua pintu dan jendela. Pembantu bilang, Maria belum pulang. "Biar tidur di luar," kata Ibu. Bi Marni diam dan kembali ke kamarnya.
Pagi-pagi saya bangun dan berharap menemukan Maria meringkuk di luar pintu belakang sambil menangis sesenggukan. Ibu pernah tiga kali menghukum Maria dengan cara ini, yakni membiarkannya tidur di luar karena kelayapan di rumah tetangga yang punya air mancur. Tapi semalam dia bukan ke rumah tetangga, melainkan ke hutan.
Saya tidak bilang-bilang Ibu meskipun Ibu benci anak itu. Saya sibuk berpikir, kok anak itu tidak pulang? Apa jangan-jangan di hutan itu benar tinggal kawanan peri jahat bergigi tajam yang makan anak-anak? Apa jangan-jangan Maria mati dimangsa dan tinggal tulang belulangnya saja?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus mengendap di kepala saya sampai empat bulan ke depan dan polisi datang ke rumah kami karena laporan seorang tetangga yang tidak lagi melihat Maria.
Sampai kapan pun, kami tidak tahu ke mana dia pergi. Dan saya juga tidak dengar polisi melihat sarang peri-peri jahat di hutan atau tulang belulang anak-anak berumur dua belas tahun. Tapi satu yang pasti: saya mulai membiasakan diri bermain seorang diri di rumah, tanpa ada lagi yang bisa saya suruh-suruh seperti anak anjing. [ ]
Gempol, 2 Des '15

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Juara 2 kategori bahasa Indonesia di ASEAN Young Writer Award 2014 dan 4 besar Siwa Nataraja Award 2015 kategori cerpen. Menjabat UNSA Ambassador 2015.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri