Skip to main content

Cerpen: "Lelaki Puisi" karya Ken Hanggara

"Lelaki Puisi"

cerpen Ken Hanggara di harian Metro Riau
Ilustrasi cerpen "Lelaki Puisi" oleh Ken Hanggara
 (Dimuat di Metro Riau, Minggu, 4 Oktober 2015)
Sejak minggu kedua kepergianmu, aku sering menelan kertas-kertas itu. Tidak ada yang bisa kulakukan selain mengubur kenangan tentang kita sendiri. Dan itu hanya bisa kulakukan dengan menelannya habis.
Apa kau kira aku kenyang? Tidak. Aku tidak kenyang, malah mual dan harus dibawa ke dokter. Ketika kukatakan selama dua minggu ini aku sering diam-diam menelan kertas-kertas itu, dokter kira aku sudah gila. Ia kira, andai aku sulit melupakanmu, ada baiknya kalau kubakar saja kertas itu. Kau tahu apa jawabanku?
"Andalah yang gila, Dok. Mana mungkin saya bakar puisi-puisi itu? Itu artinya saya tidak menghargai jerih payah kekasih saya."
"Tapi sekarang, 'kan, dia bukan pacarmu?"
"Iya, memang sudah bukan pacar saya. Tapi jujur, Dok, saya masih cinta. Sebagian hati saya menyuruh menghapus, sementara sebagian lain meminta saya tetap menyimpan."
Aku tidak tega membakar puisi-puisimu. Kalau mau, sudah dua minggu lalu kulakukan. Tapi aku justru memakannya. Karena berdebu, aku sering bersin-bersin sebelum kertas tersebut sampai di dasar lambungku. Ketika kertas-kertasmu tiba di sana, aku tidak merasa kenyang, malah sepi.
Kau tahu alasan kenapa kertas-kertas itu berdebu? Karena tiap usai membaca aku selalu menyimpannya di atas lemari. Aku tidak pernah membuang puisi-puisimu. Kamu tahu itu. Dan tidak perlu kujelaskan terlalu panjang kenapa saran dokter itu kuanggap sebagai saran paling tidak logis. Dulu aku berjuang mati-matian agar Bapak tidak tahu hubungan kita. Hanya dengan mencampur kertas-kertas itu dengan tumpukan benda usanglah, aku bisa menjaga rahasia kita.
Mengingat tentang kita, rasanya aku tidak bisa melupakan pertemuan pertama itu. Kau duduk di bangku besi panjang, dengan bertumpuk buku di sampingmu. Sendiri, kau seperti mengingat-ingat sesuatu (itu yang ketika itu ada di pikiranku). Ketika kuhampiri, kau bilang bahwa seketika itu masalahmu selesai. Kau berterima kasih padaku, karena katamu akulah sumber inspirasimu.
Oh, ternyata mencari inspirasi, tanyaku.
Kamu mengangguk takzim.
Aku tersipu. Kenal saja tidak, kau memujiku seperti itu. Tapi aku tahu kau lelaki baik-baik. Bukan maksudmu kurang ajar. Aku terlalu banyak belajar menilai kejujuran seseorang dari wajahnya. Di mata itu, di matamu ketika itu, aku melihat kejujuran.
Sejak sore itu, setiap akhir pekan kau mengajakku bertemu di taman, di bangku yang sama, dengan peralatan yang sama; buku-buku dan pensil. Di pertemuan kedua itu aku paham kalau kau pecinta keindahan. Segala bentuk keindahan kau simpan di atas kertas kosong. Kau jadikan apa saja yang membuatku terpukau, atau kadang tersenyum seorang diri sepulang menemuimu.
"Aku suka puisi," katamu. "Puisi-puisi tentang kehidupan. Dari puisi-puisi itu, aku bernapas, berjalan, tidur, dan bahkan, jika tiba saatnya, aku bisa mati dengan puisi-puisiku."
Lalu tanpa ragu kau mengajariku menulis puisi. Aku tertarik bukan karena aku suka puisi, tapi lebih kepada sesuatu yang misteri di hatiku. Aku jatuh cinta. Itu bukan kali pertama aku jatuh cinta. Aku pernah mencintai lelaki, tapi selalu kecewa. Sebagai wanita, aku kadang berpikir terlalu bodoh, tidak bisa cepat belajar dari pengalaman. Mungkin karena kecintaanmu pada keindahanlah, juga kejujuran itu, yang membuat dinding traumaku runtuh saat itu.
Sebutan 'kau' berubah menjadi 'kamu'. Setelah kuterima puisi pernyataan cintamu, intensitas pertemuan bertambah: tiga kali seminggu. Kemajuan yang menyenangkan. Tapi waktu itu kamu tidak tahu. Gara-gara pertemuan kita setiap sore, aku harus sering bohong pada Bapak. Aku mengarang cerita pamit ke suatu tempat yang bukan taman, di mana saja, yang tidak menimbulkan kecurigaan. Jangan tanyakan seberapa takut aku. Kamu tahu bapakku.
Oh, ya, kamu dulu juga memberiku hadiah sebuah buku. Buku itu istimewa, karena di sana tersimpan puisi-puisi pertamamu. Sejak itulah kamu mulai rutin memberiku kertas-kertas itu, puisi-puisi itu.
Suatu waktu kamu bilang, "Entah kapan aku bisa mengumpulkan kehidupan, lalu menjadikannya penerusku, agar keindahan tak kehilangan pengagumnya."
Ketika itu aku tidak berpikir apa-apa, karena kita saling tahu sebagian kata-katamu kadang mengandung realitas dan kadang mengandung imajinasi. Jadi aku berpikir saja kalau kamu bermaksud mencari murid. "Jadikan aku muridmu," kataku.
"Kamu tidak pantas menjadi muridku, Sayang. Kamu adalah temanku, teman yang ada di sini," sahutmu menunjuk dadamu. Entah kenapa, rasanya damai melihat tatap mata teduhmu ketika itu.
Pembicaraan tentang murid berakhir setelah aku memutuskan menjadi teman yang baik bagimu, teman di hati. Kita saling menyayangi, saling mencintai. Bahkan, jika sampai salah satu dari kita sakit dan tidak bisa memenuhi janji bertemu di taman, yang lain akan tersiksa sepanjang penyakit itu belum pergi dari tubuh yang lain.
Aku merasa kamulah hati terakhir yang Tuhan takdirkan untukku. Kupikir, tanpa perlu menggalimu, aku tahu kalau kamu pasti punya pemikiran yang sama.
"Tidak semudah itu, Sayang," katamu tiba-tiba. Petir serasa hadir di siang bolong.
"Kenapa? Bukankah jelas? Aku mencintaimu dan kamu mencintaiku!"
"Iya, betul, tapi bisa saja Tuhan punya cerita baru yang tidak kita tahu."
Sejak itu kita jarang membahas puisi. Bahkan pertemuan kita jadi seminggu sekali. Kita mulai bertengkar. Aku menangis sampai Bapak merasa perlu tahu apa masalahku. Bodoh, harusnya tidak kubiarkan seorang pun tahu. Tapi Bapak telanjur tahu. Aku dihajar setelah tahu ada selembar puisi di tas. Kubilang kalau aku ciptakan sebuah lagu, iseng-iseng. Tapi kamu sendiri tahu aku tidak pernah mengenal alat musik.
Beruntung Bapak tidak tahu bahwa sudah ada bertumpuk puisi di atas lemariku. Aku tetap menjaganya. Itu rahasia tentangmu, tentang kita. Sudah ada ratusan judul. Aku takjub. Kita lalui waktu-waktu indah bertahun lamanya, lalu kini semua itu berada di ujung tanduk, hanya karena keinginanku atas serupanya pemikiranmu soal Tuhan dan kita. Salahkah aku berkeinginan begitu sebagai wanita yang mencintai?
"Tidak ada yang keliru. Kamu bisa bermandikan keindahan. Kalau mau, sekarang kuberikan semua puisi dalam darahku. Kuberikan semuanya untuk mengisi tubuhmu."
"Berikan, Sayang. Isi puisi-puisimu padaku, agar kamu tidak perlu mengajariku berpuisi. Sekalian puisi-puisi itu menjadi darah dan hidupku!"
Tentu saja, puisi-puisi itu nikmat, karena sejak mengenalmu sore itu, aku mulai bisa meresapi jenis-jenis keindahan. Puisi-puisi kita bagi berdua, menjadikan masa depan mulai jelas di mataku, bahwa kamu tidak perlu susah-susah mencari pengganti.
"Keindahan itu tetap dinikmati sampai kapan pun, sampai kelak kita mati," katamu setelah malam itu kita berpuisi sampai puas. "Kalau kamu mau bermandikan puisi lagi, detik ini juga kubawa kamu ke air terjun puisi. Kita bermain di sana sampai kamu merasa tidak perlu mencari tahu diksi-diksi ganjil yang bisa membuat puisi kita lebih bernyawa."
Dan, kamu pun membawaku ke sana. Kita berbasah ria dengan puisi. Sampai akhirnya Bapak tahu tentang ini. Bapak yang benci puisi, benci keindahan, berkata: "Tak ada kebenaran dari lelaki puisimu itu. Sampai kau mati, aku tidak sudi menganggapmu anak!"
Betapa perih hatiku. Hanya karena cintaku yang tumbuh pada puisi, dan tentunya lebih dulu disebabkan oleh cintaku padamu, semua urusan jadi rumit. Aku pergi. Bapak mengusirku. Kubawa semua barangku, dan pastinya kertas-kertas puisimu yang berdebu. Aku panik dan tak mengabarkan padamu bahwa aku butuh tempat. Selain karena kamu satu-satunya cintaku, hanya kepadamulah puisi-puisi itu ada. Aku telanjur menjadi puisi. Itulah alasanku mencarimu.
Tapi, sampai larut malam kamu tidak datang, meski kutelepon berkali-kali. Dan, pada usaha kesekian, teleponmu tidak bisa dihubungi. Ada apa? Kenapa kamu tiba-tiba pergi? Aku ingin kita terus berpuisi sampai mati, seperti katamu dulu.
Akhirnya aku dapat tempat atas bantuan temanku. Kami mencarimu selama berhari-hari, sampai aku putus asa. Semua petunjuk kepadamu seolah bukan puisi. Tidak ada puisi di mana-mana. Tidak ada keindahan di mana-mana. Kamu sudah membawa mereka dan sejak hari itu kamu kembali menjadi 'kau'.
Hanya dengan menelan kertas-kertas itu, aku membuang sekaligus menyimpanmu. Aku membuangmu dari penglihatan, padahal aku masih mencinta. Aku takut puisi-puisi yang kau isikan padaku tempo hari tidak lagi bisa menjadi puisi sejati. Maka, hanya dengan memberinya asupan puisi yang kau tulis langsung lewat tangan, kukira masalah ini beres. Kukira dengan menelan kertas-kertas itu, aku bisa memberi makan benih puisimu dengan puisi sejati. Semoga puisi di janin yang ada pada rahimku bisa jadi penggantimu kelak. Semoga! [ ]
Gempol, 8 Sept '15
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Juara 2 kategori bahasa Indonesia di ASEAN Young Writer Award 2014 dan 4 besar Siwa Nataraja Award 2015 kategori cerpen. Menjabat UNSA Ambassador 2015.

Comments

  1. Ini blog kok gak bisa di join site ya. Puisi yang ditelen itu gurih manis? atau ada manis-manisnya gitu? Eh ... keren Good Job Chelsea, eh

    ReplyDelete

Post a Comment

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri