Skip to main content

Bahagia ala Mahmud dan Joni



Suatu ketika saya pernah menyewa rumah bersama beberapa kawan di kawasan Jaksel. Kami memberlakukan sistem patungan. Ketika itu kami pikir cara ini lebih hemat ketimbang per orang sewa kamar kost masing-masing. Di kawasan itu, rata-rata per kamar dibandrol 500 ribu per bulan (tahun 2010).

Bagi kami yang hidup di tanah orang, jauh dari keluarga, jumlah itu lumayan besar. Maka ketimbang menyewa kamar, lebih baik sewa rumah sederhana saja, seharga 600 ribu per bulan, untuk berlima. Rumah itu cukup nyaman dan layak, meski dekat dengan kebun. Tentu saja, selain fasilitas air bersih dan listrik gratis, kami juga bebas memancing lele di depan.

Di rumah inilah saya kenal seorang perantau asli Minang, sebut saja Mahmud (bukan nama sebenarnya). Dia tidak tinggal di rumah ini, tetapi sekali waktu mampir, sekadar membawakan nasi kotak dari lokasi shooting yang ia bawa untuk sahabatnya, yang tinggal serumah dengan saya. Tetapi kadang-kadang Mahmud juga kemari untuk ngobrol dengan saya.
Sahabat Mahmud yang tinggal bersama saya ini dari Cilacap, sebut saja Joni (bukan nama sebenarnya juga). Keduanya sangat sedikit bicara, dan jika bicara, lebih sering bakal jadi bahan candaan bagi teman-teman lain. Mahmud dan Joni memang tidak begitu fasih berbahasa Indonesia. Namun mereka punya kisah luar biasa. Di bagian ini, saya ingin cerita soal mereka.

Kepada Joni, saya lebih dekat. Ini karena dia teman seangkatan saya di satu management, saat pertama kali--benar-benar untuk pertama kalinya--masuk di dunia hiburan. Malam itu saya tidak akan lupa. Kami dan beberapa teman lain yang baru datang, langsung di-casting. Joni yang berwajah mirip vokalis The Changcuters ini membuat saya tergelak karena cara bicaranya sangat lucu. Saya bukan sedang menertawakan logat Cilacapnya, tetapi gesture leher gerak maju-mundur, sorot mata serius, plus intonasi yang hampir mirip orang baca puisi ketika ia bicara. Membuat saya percaya ia terlahir sebagai pelawak. Urusan logat, itu semata warna. Dalam hati saat itu, saya yakin ia bisa jadi teman yang baik.

Karena kelucuan itulah Joni langsung dikenal. Sayangnya kebanyakan menjadikan dia bahan guyon. Dan saya selalu diam ketika, misalnya, seorang teman dengan tega dan kurang ajar, membawa-bawa soal suku dalam bahan lawakannya, sementara Joni malah tersenyum, atau sesekali tertawa. Saya tidak bisa marah, karena heran melihat wajah lugunya. Juga heran bagaimana cara ia mengontrol emosi.

Hari-hari berikutnya--ketika itu kami masih di Cibubur--Joni mulai membuka diri. Dulunya ia tertutup dan saya tak tahu bagaimana ia bisa hidup menyendiri. Pernah tengah malam, tak ada angin, tak ada hujan, Joni berjalan keliling kompleks perumahan hanya untuk cari nasi goreng. Saya tahu kawasan itu cukup angker. Teman kami pernah digoda hantu perempuan atau monyet raksasa gaib berbulu merah. Ketika saya bilang soal itu, dia cuma jawab, "Masa seh? Ora ngerti aku." Sambil nyengir persis tokoh utama di film God Must Be Crazy. Pernah juga saya pergoki dia beli odol di sebuah warung yang jaraknya beberapa gang dari basecamp, padahal tidak jauh dari sini ada warung juga.

Joni memang aneh dan penuh kejutan. Barangkali karena itu ia tak banyak memiliki teman. Ditambah ketertutupannya, semakin jauhlah ia dari siapa pun. Saya dan beberapa teman yang lumayan sering ngobrol bahasa Jawa dengannya, tidak lebih dari lima orang. Dan dia, kadang-kadang secara polos, bicara dengan teman dari daerah lain dengan bahasa Jawa seolah-olah semua tahu yang ia maksud.

Saya ingatkan dia, "Kamu jangan gitu, nanti diledek." Tapi toh Joni tetaplah Joni. Suatu ketika saya ajak dia membaur, tapi tidak merespon. Malah tanya soal novel yang tempo hari saya beli (Joni orang pertama yang mengajak saya bicara soal buku, meski tak banyak). Kesendirian Joni kalau bukan ditemani buku, ya tidur. Kalau tidak tidur, dia akan menyanyi sampai puas, meski suaranya amat sangat sumbang.

Bagi kami, yang dekat dengannya, Joni adalah Mister Bean, yang diam dan diam, tapi sekalinya bertingkah, bikin ketawa. Tetapi kami tidak melecehkannya seperti yang beberapa orang lakukan. Maka terbukanya diri Joni, bagi kami adalah sesuatu yang menarik, karena tidak banyak orang tahu. Saya tidak tahu sebabnya dia membuka diri. Saya kira itu terjadi secara natural saja; barangkali karena saya lebih sering memulai obrolan dengannya, ketimbang teman lain. Entahlah.

Pada titik ini, seandainya semua tahu siapa Joni, tidak akan setega itu membuatnya jadi bahan lelucon. Saya sesak mendengar cerita bahwa lulus SMP beberapa tahun silam, ia langsung ke Bandung dan kerja di pabrik roti. Di sana, ia menyukai seorang cewek dan menembaknya dengan cara dramatis ala FTV. Dan berhasil. Dia tunjukkan foto pacarnya. Saya tergelak; bukan mau ketawa, tapi salut. Tahu Jessica Alba semasa muda dan bermain di film Idle Hand? Nah, kira-kira secantik itu, namun kulitnya putih bersih. Batin saya ketika itu, bener-bener tangguh Joni ini. Saya tahu dia hanya setahun lebih tua dari saya, namun lebih diam-diam menghanyutkan ketimbang teman paling pendiam di basecamp, seorang yang kerjaannya hanya merokok dan merokok dan bicara soal puisi.

Sejak itu saya tahu Joni bukan sekadar manusia lugu tanpa visi dan misi. Ia punya rencana di kepalanya yang jarang klimis. Dan saya tak tahu apa itu. Sampai beberapa bulan berlalu, kejadian demi kejadian lewat, saya yang sempat tak tinggal dengan Joni karena hengkang dari management dan memutuskan mencari jalan sendiri, bertemu lagi di rumah kost yang saya tulis di awal status ini.

Saat itu keadaan kami sangat sulit. Uang sering kali tak ada di dompet karena mencari job sendiri di lokasi shooting dan tempat-tempat casting sama sekali tidak mudah. Maka sekali waktu saya dan Joni, serta seorang teman lain, pernah mengamen di kawasan Cilandak hanya untuk bisa makan. Tentu kami ingin tampil yang terbaik. Selayaknya anak band, meski mula-mula malu--dan barangkali dikira mau berbuat jahat, karena kami sempat berebut pegang gitar di suatu gang--semua berakhir mulus. Begitu pulang, kami masak beberapa butir telur dan mie instan, serta nasi sebakul untuk dimakan ramai-ramai.

Tapi memang hidup itu serupa roda. Ia akan terus berputar dan berputar. Pelan-pelan kondisi saya membaik. Saya perluas jaringan perkenalan sehingga job-job dengan honor lumayan saya lakoni. Sementara Joni? Ia masih jalan di tempat. Sebagaimana dulu, ia tidak mendengar saran kami untuk lebih luwes bergaul. Saya tanya, "Soal logatmu?" Ia geleng. Lalu apa? Ia tidak jelaskan, karena memang tidak tahu. Ya diriku memang begini, kira-kira itulah makna senyum hambar Joni ketika hari demi hari mengikis habis tubuhnya. Saya sedih saat suatu hari semua teman serumah pergi untuk suatu job, sementara ia diam di rumah, atau pergi entah ke mana. Ketika kami tanya, "Dari mana, Jon?", ia jawab, "Jalan-jalaan..." Intonasi baca puisinya tak jua hilang!

Sampai sebulan kami tak tahu apa yang Joni lakukan selama "jalan-jalan". Ia bilang pada teman lain yang ketika itu numpang di tempat kami--namanya Bang Jo (pernah saya bikin status soal dia)--bahwa rejeki itu dijemput, bukan ditunggu.

Suatu hari dalam perjalanan di atas angkot, Joni dengan tekun mencatat informasi yang ditempel sekenanya entah oleh siapa dan entah sejak kapan di pintu angkot. Informasi itu menjelaskan semuanya. Tentang misi "jalan-jalan", tentang rejeki harus dikejar, dan lain-lain yang selalu ia ucapkan sambil mengangkat jemuran di teras depan. Saya tanya, setelah tahu isi informasi di stiker itu, "Kamu yakin?" Joni dengan senyum khasnya menjawab, "Yakinlah. Namanya hidup harus penuh keyakinan!"

Saya hanya diam dan memandang ke luar jendela. Anak ini sudah keluar jalur, pikir saya. Tapi mulut saya terkunci sampai satu jam ke depan.

Ketika itu, di hari-hari yang tidak selisih jauh dengan kejadian ganjil di atas angkot--saya menganggapnya ganjil, tetapi bagi Joni tidak--teman lain yang bernama Mahmud justru berada dalam kondisi siap tempur. Baiklah, sampai di sini kita "pause" dulu bagian Joni. Kita lihat wajah Mahmud yang persegi dan hampir selalu basah oleh keringat. Pemuda Minang ini adalah orang pertama di Jakarta yang saya kenal punya beberapa side job sekaligus di satu waktu. Apa itu?

Saya kenal Mahmud saat ada di lokasi produksi sinetron Rama dan Ramona. Waktu itu bersama dua orang teman, termasuk Joni, kami ke sebuah sasana tinju di kawasan Jakarta Timur. Di sana  Mahmud tampak penuh semangat menjalani tugasnya sebagai figuran. Namun, saat break ia bukannya duduk-duduk merokok atau minum kopi sebagaimana rekan-rekannya yang lain; Mahmud malah keliling ke sana kemari sambil membawa keresek hitam besar.

"Bawa apa, Bro?" sapa saya.

"Ini... loe mau, beli, Sob," kata dia patah-patah--sekadar info: mendengar Mahmud bicara adalah mendengar suara tertahan orang tercekik yang berusaha lepas dari cekikikan, sehingga cenderung terdengar mengejan. Namun, sesekali bila ia sedang tenang, nada suara Mahmud bisa sangat komikal dan  justru mirip kanak-kanak.

Seraya menjawab pertanyaan saya, Mahmud sodorkan keresek itu dan saya melongok isinya. Oh, ternyata berbagai kalung dan gelang warna yang ketika itu sedang tren dipakai pemuda-pemudi gaul. Tahu maksud saya? Di mana-mana hampir semua anak muda pakai, bahkan hingga status ini kamu baca. Maka saya pun heran; buat apa, Bro?

"Gue jual lah. Hahaha."

Beberapa teman tertarik membeli. Saya juga beli satu gelang. Karena sepertinya Mahmud teman yang asyik--walau wajahnya terkesan galak (sekilas melihat, mata Mahmud mengingatkan saya pada Billy Zane, pemeran tunangannya Rose yang resek di film Titanic itu)--maka saya timpali tawarannya dengan candaan, "Beli satu dapat satu!"

Saya ambil satu gelang lain, selain yang saya pilih, lantas menaruhnya di saku kemeja saya dan tersenyum girang kepadanya. Mahmud, sebagaimana bocah yang pensil barunya direbut teman sebangku, dengan rajin berusaha mengambil gelang "bonus" tadi dari kemeja saya sambil membisik, "Rugi gue, Sob. Rugi."

Tentu saja saya cuma bercanda. Tapi toh Mahmud tidak bersinggung. Meski soal dagangan ia paling teliti, ia bisa juga diajak tertawa.

Sejak itu saya juga dekat dengan Mahmud. Masa-masa ini terjadi sebelum saya mengamen pada suatu malam dengan Joni. Baru saya tahu, setelah beberapa kali bertemu di lokasi shooting, juga beberapa kali saya ajak ngobrol di rumah kost, Mahmud ternyata tidak hanya seorang figuran dan penjual kalung-gelang warna, tetapi juga korlap (koordinator lapangan) untuk job lain yang juga pernah saya tulis dalam status lain: penonton bayaran. Tapi sejauh yang saya tahu, ia lebih sering keluyuruan dari satu lokasi ke lokasi lain, untuk menjual dagangannya sekaligus pergi ke tempat casting.

Saya mulanya tidak tahu kehidupan Mahmud dan berpikir mungkin dia sebagaimana diri saya yang biasa-biasa saja. Pikiran ini terus bertahan selama beberapa bulan sejak mengenalnya di arena tinju itu. Suatu ketika saya diajak mampir ke kamar kost Mahmud dan alangkah hati saya teriris. Ia menyewa kamar di suatu rumah yang dihuni oleh keluarga "tidak waras"--itulah yang beberapa tetangganya bilang ke saya, dan beberapa kali ketika melintas di tempat itu, hampir tidak pernah tidak ada suara satu atau beberapa anggota keluarga tersebut yang bertengkar. Kamar Mahmud ada di lorong samping rumah, dekat tumpukan alat-alat berkebun dan entah apa lagi, saya tak bisa melihat dengan jelas karena lorong itu gelap. Udaranya juga apek dan aneh.

Sesaat sebelum Mahmud mempersilakan saya masuk kamarnya, seekor tikus sebesar anak kucing berlari cepat dari ujung ruang satu ke ujung ruang lainnya. Saya melongo, tetapi Mahmud cuek saja. Belakangan saya tahu, tikus-tikus memang biasa hadir di waktu tak terduga, dan kalau boleh disebut kamar berlampu bohlam murah dan berdinding batu bata itu sebuah negara dan para tikus adalah pribumi, maka Mahmud adalah kumpeni.

"Udah biasa, Sob," katanya pendek lalu menyeringai. Hari-hari sesudahnya saya mulai tahu alasan Mahmud menyewa kamar semacam itu dengan harga lima puluh ribu per bulan. Ia merantau ke Jakarta bermodal ijazah SD dan badan. Orangtuanya petani dan Mahmud ingin membahagiakan mereka dengan perjuangannya.

Sejak pengetahuan ini datang, pikiran soal Mahmud yang biasa-biasa saja mulai lenyap. Dari titik ini saya mulai melihat Mahmud sebagai contoh yang baik bagi pejuang semacam saya yang sesekali masih berpikir soal kegagalan dan menganggap itu sebagai beban.
Saya tidak tahu isi kepala lelaki berwajah persegi ini, tetapi jelas dia tidak pernah menunjukkan lelah atau penderitaannya, meski saya yakin ia pasti merasakannya; Mahmud jelas seorang yang pandai menyimpan kesedihan dan mengubah itu menjadi energi positif bagi sekelilingnya. Di lokasi shooting tidak jarang ia bersikap terlalu lebay. Bukan dalam berdagang; ia jarang bercanda kalau soal bisnis. Yang saya maksud lebay adalah jika dalam pengambilan gambar ia berperan sebagai pejalan kaki (figuran), maka setelah sutradara teriak "Cut!" hampir selalu saya dapati ia berakting sedemikian rupa di depan figuran lain, atau sesekali bicara panjang lebar dengan suara keras plus memakai gaya bahasa "loe-gue". Dalam hal ini, semua orang tahu ia tidak lihai, tetapi saya belum pernah menemukan orang sepede Mahmud sejak meninggalkan kampung halaman beberapa bulan sebelumnya. Sayang sekali, bagi mereka yang suka meledek atau menganggap rendah Mahmud, sikap mereka kurang tepat. Apa yang ia lakukan sama sekali bukan bercanda. Ia serius, tapi beberapa orang justru merespon dengan cara tidak adil.

Ketika bersama saya mendapat peran dengan honor yang lumayan di suatu sinetron, Mahmud berkali-kali membuat saya harus menghindarinya. Masalahnya bukan apa-apa; setiap break, ia bertingkah seakan dirinya benar-benar teroris--sebagaimana peran kami ketika itu--sehingga bila ada kesempatan, ia akan menjajal aktingnya di depan saya dengan saya sebagai korbannya.

"Mau mati kau, ha? Ingat, kawanmu tidak akan pernah tahu di mana kau berada. Hahahaha! Hahahaha!"

Demikianlah dialog yang ia ucap sambil secara mendadak mencengkram kerah leher jaket saya tanpa sempat saya mengelak. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan saya. Mahmud pekerja keras, tidur sehari hanya 2-3 jam, sering kali berangkat subuh dan pulang lewat tengah malam, sehingga jarang mandi dan gosok gigi. Kejadian itu membuat saya terharu sekaligus nyaris kehabisan napas. Ia tidak tersinggung ketika saya ledek soal gosok gigi, sehingga saya harus mencari tempat sembunyi sampai setidaknya pengambilan gambar berikutnya dimulai.

Melihat Mahmud berjuang demikian keras, mau tidak mau saya kembali melihat Joni yang terpuruk karena belum bisa mengkonversi niatnya menjadi kenyataan. Pasalnya, iklan yang ditempel di pintu angkot tempo hari adalah iklan lowongan pembantu sekaligus tukang kebun.

Saya ingat betapa marah salah satu teman saya. Ia tidak setuju. Saya juga tidak setuju, tetapi saya lebih banyak diam mendengarkan ketika teman-teman lain berdiskusi mencoba membuka hati Joni yang tampaknya mulai putus asa. Berkali-kali mereka bilang, tujuanmu ke sini dan kehilangan pekerjaan di pabrik roti bukan itu. Tapi Joni bergeming.

Sampai bertahun-tahun kemudian, saya tak pernah lupa bagaimana Joni mencoba menenangkan pacarnya di telepon, yang ternyata menangis, karena pacarnya dinilai gagal meraih mimpi dan akan menjadi pembantu. Waktu itu dia telepon di sudut teras yang gelap dan hari sudah cukup larut. Saya tak sengaja mendengarnya karena dia jongkok di depan jendela kamar saya.

Itulah yang membuat saya diam. Saya membayangkan Jesica Alba versi Indonesia itu terpukul. Saya bayangkan wajahnya dan bagaimana ketika akhirnya ia menyatakan hubungan mereka harus berakhir. Tak ketinggalan, saya juga bertanya-tanya bagaimana Joni nanti? Ia benar-benar tampak kusut malam itu, meski mencoba tersenyum sebagaimana biasa. Semua orang tahu, senyum Joni pada masa-masa ini bukan senyum kebahagiaan.

Apa yang terjadi selanjutnya? Tentu kami cegah habis-habisan dia, sampai akhirnya dia luluh. Hari-hari berikutnya, Joni mulai mau membuka diri lebih luas, tidak sekadar di lingkungan kontrakannya, tetapi juga di tempat shooting. Agaknya, saya kira, ini pengaruh Mahmud juga. Atau, jangan-jangan mantan pacarnya juga membuatnya mulai berubah? Lagi-lagi saya katakan, saya tidak bisa melihat isi kepala orang.

Selagi Mahmud sibuk mencari uang di sana-sini untuk dikirim ke kampung, Joni pun menemukan pintu rezeki ketika ada tetangga mengenalkannya pada seorang kru yang memberi kesempatan padanya untuk magang. Kami tahu honor Joni masih sangat kecil, tetapi setidaknya dia tidak keluar jalur. Sejak itu, rumah kontrakan mulai sepi dari nyanyian sumbang Joni karena ia sibuk di lokasi setiap hari. Berangkat subuh-subuh, pulang dini hari, dan sesekali tidur di dekat genset atau tumpukan kabel di tempat kerjanya bila sempat. Lama-lama, Mahmud dan Joni terlihat tidak jauh berbeda.

Mereka sama-sama dua contoh manusia sarat derita yang berjuang mendapat kebahagiaan dengan cara mereka. Sampai kapan pun mungkin saya tak akan lupa bagaimana Mahmud ketika mengusir kantuk dan lelah fisik; ia mengambil tempat duduk di sembarang tempat, tak peduli dekat selokan dan di depannya melintas para aktor/aktris tanpa permisi, dan ia menoleh ke sana kemari sambil setengah kelopaknya tertutup dan mulut nyengir. Begitulah ia terus menoleh ke sana kemari, sambil memamerkan barisan gigi dan menatap sekeliling namun tak benar-benar melihat, melainkan saya bayangkan ia mengingat keluarganya.

Soal Joni, yang tidak bisa saya lupakan adalah ketika ia biasa melamun seraya mengumpulkan daki di lengan dan lehernya. Kedua tangannya terus bekerja mengeruk daki di lengan dan leher sehabis "jalan-jalan", sementara ia menatap langit putih di teras kontrakan, entah membayangkan apa. Biasanya saya bertanya, apa yang kamu pikirkan? Apa kamu menyesal memilih tempat ini? Saya sering menduga ia sedih jika melamun begitu. Tapi ia menjawab,"Ya ora nyesal. Wis jalan hidup. Dilakoni bae." (Tidak menyesal kok. Sudah jalan hidup. Dijalani saja).

Saya memang jarang bertemu Mahmud, tetapi sempat berteman di Facebook setelah saya pindah. Sedangkan Joni, ia pernah saya buatkan akun Facebook, hanya saja tidak pernah dipakai. Setelah beberapa tidak bertemu, saya tidak tahu di mana Joni sekarang. Sedangkan Mahmud, di status terakhirnya ia menulis adik kandungnya di kampung meninggal dan ia tidak bisa pulang mengantar jenazah ke liang lahat. Saya masih ingat bagaimana saya menyampaikan rasa bela sungkawa ketika itu dan dia balas komentar saya. Tapi sejak itu ia seperti menghilang.

Saya menulis ini dengan harapan siapa tahu mereka berdua membacanya. Entah kapan,saya tidak bisa memastikan.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri