Suatu ketika saya pernah menyewa rumah bersama beberapa kawan di kawasan
Jaksel. Kami memberlakukan sistem patungan. Ketika itu kami pikir cara ini
lebih hemat ketimbang per orang sewa kamar kost masing-masing. Di kawasan itu,
rata-rata per kamar dibandrol 500 ribu per bulan (tahun 2010).
Bagi kami yang hidup di tanah orang, jauh dari keluarga, jumlah itu
lumayan besar. Maka ketimbang menyewa kamar, lebih baik sewa rumah sederhana
saja, seharga 600 ribu per bulan, untuk berlima. Rumah itu cukup nyaman dan layak,
meski dekat dengan kebun. Tentu saja, selain fasilitas air bersih dan listrik
gratis, kami juga bebas memancing lele di depan.
Di rumah inilah saya kenal seorang perantau asli Minang, sebut saja
Mahmud (bukan nama sebenarnya). Dia tidak tinggal di rumah ini, tetapi sekali
waktu mampir, sekadar membawakan nasi kotak dari lokasi shooting yang ia bawa
untuk sahabatnya, yang tinggal serumah dengan saya. Tetapi kadang-kadang Mahmud
juga kemari untuk ngobrol dengan saya.
Sahabat Mahmud yang tinggal bersama saya ini dari Cilacap, sebut saja
Joni (bukan nama sebenarnya juga). Keduanya sangat sedikit bicara, dan jika
bicara, lebih sering bakal jadi bahan candaan bagi teman-teman lain. Mahmud dan
Joni memang tidak begitu fasih berbahasa Indonesia. Namun mereka punya kisah
luar biasa. Di bagian ini, saya ingin cerita soal mereka.
Kepada Joni, saya lebih dekat. Ini karena dia teman seangkatan saya di
satu management, saat pertama kali--benar-benar untuk pertama kalinya--masuk di
dunia hiburan. Malam itu saya tidak akan lupa. Kami dan beberapa teman lain
yang baru datang, langsung di-casting. Joni yang berwajah mirip vokalis The
Changcuters ini membuat saya tergelak karena cara bicaranya sangat lucu. Saya
bukan sedang menertawakan logat Cilacapnya, tetapi gesture leher gerak
maju-mundur, sorot mata serius, plus intonasi yang hampir mirip orang baca
puisi ketika ia bicara. Membuat saya percaya ia terlahir sebagai pelawak.
Urusan logat, itu semata warna. Dalam hati saat itu, saya yakin ia bisa jadi
teman yang baik.
Karena kelucuan itulah Joni langsung dikenal. Sayangnya kebanyakan
menjadikan dia bahan guyon. Dan saya selalu diam ketika, misalnya, seorang
teman dengan tega dan kurang ajar, membawa-bawa soal suku dalam bahan
lawakannya, sementara Joni malah tersenyum, atau sesekali tertawa. Saya tidak
bisa marah, karena heran melihat wajah lugunya. Juga heran bagaimana cara ia
mengontrol emosi.
Hari-hari berikutnya--ketika itu kami masih di Cibubur--Joni mulai
membuka diri. Dulunya ia tertutup dan saya tak tahu bagaimana ia bisa hidup
menyendiri. Pernah tengah malam, tak ada angin, tak ada hujan, Joni berjalan
keliling kompleks perumahan hanya untuk cari nasi goreng. Saya tahu kawasan itu
cukup angker. Teman kami pernah digoda hantu perempuan atau monyet raksasa gaib
berbulu merah. Ketika saya bilang soal itu, dia cuma jawab, "Masa seh? Ora
ngerti aku." Sambil nyengir persis tokoh utama di film God Must Be Crazy.
Pernah juga saya pergoki dia beli odol di sebuah warung yang jaraknya beberapa
gang dari basecamp, padahal tidak jauh dari sini ada warung juga.
Joni memang aneh dan penuh kejutan. Barangkali karena itu ia tak banyak
memiliki teman. Ditambah ketertutupannya, semakin jauhlah ia dari siapa pun.
Saya dan beberapa teman yang lumayan sering ngobrol bahasa Jawa dengannya,
tidak lebih dari lima orang. Dan dia, kadang-kadang secara polos, bicara dengan
teman dari daerah lain dengan bahasa Jawa seolah-olah semua tahu yang ia
maksud.
Saya ingatkan dia, "Kamu jangan gitu, nanti diledek." Tapi toh
Joni tetaplah Joni. Suatu ketika saya ajak dia membaur, tapi tidak merespon.
Malah tanya soal novel yang tempo hari saya beli (Joni orang pertama yang
mengajak saya bicara soal buku, meski tak banyak). Kesendirian Joni kalau bukan
ditemani buku, ya tidur. Kalau tidak tidur, dia akan menyanyi sampai puas,
meski suaranya amat sangat sumbang.
Bagi kami, yang dekat dengannya, Joni adalah Mister Bean, yang diam dan
diam, tapi sekalinya bertingkah, bikin ketawa. Tetapi kami tidak melecehkannya
seperti yang beberapa orang lakukan. Maka terbukanya diri Joni, bagi kami
adalah sesuatu yang menarik, karena tidak banyak orang tahu. Saya tidak tahu
sebabnya dia membuka diri. Saya kira itu terjadi secara natural saja;
barangkali karena saya lebih sering memulai obrolan dengannya, ketimbang teman
lain. Entahlah.
Pada titik ini, seandainya semua tahu siapa Joni, tidak akan setega itu
membuatnya jadi bahan lelucon. Saya sesak mendengar cerita bahwa lulus SMP
beberapa tahun silam, ia langsung ke Bandung dan kerja di pabrik roti. Di sana,
ia menyukai seorang cewek dan menembaknya dengan cara dramatis ala FTV. Dan
berhasil. Dia tunjukkan foto pacarnya. Saya tergelak; bukan mau ketawa, tapi
salut. Tahu Jessica Alba semasa muda dan bermain di film Idle Hand? Nah,
kira-kira secantik itu, namun kulitnya putih bersih. Batin saya ketika itu,
bener-bener tangguh Joni ini. Saya tahu dia hanya setahun lebih tua dari saya,
namun lebih diam-diam menghanyutkan ketimbang teman paling pendiam di basecamp,
seorang yang kerjaannya hanya merokok dan merokok dan bicara soal puisi.
Sejak itu saya tahu Joni bukan sekadar manusia lugu tanpa visi dan misi.
Ia punya rencana di kepalanya yang jarang klimis. Dan saya tak tahu apa itu.
Sampai beberapa bulan berlalu, kejadian demi kejadian lewat, saya yang sempat
tak tinggal dengan Joni karena hengkang dari management dan memutuskan mencari
jalan sendiri, bertemu lagi di rumah kost yang saya tulis di awal status ini.
Saat itu keadaan kami sangat sulit. Uang sering kali tak ada di dompet
karena mencari job sendiri di lokasi shooting dan tempat-tempat casting sama
sekali tidak mudah. Maka sekali waktu saya dan Joni, serta seorang teman lain,
pernah mengamen di kawasan Cilandak hanya untuk bisa makan. Tentu kami ingin
tampil yang terbaik. Selayaknya anak band, meski mula-mula malu--dan barangkali
dikira mau berbuat jahat, karena kami sempat berebut pegang gitar di suatu
gang--semua berakhir mulus. Begitu pulang, kami masak beberapa butir telur dan
mie instan, serta nasi sebakul untuk dimakan ramai-ramai.
Tapi memang hidup itu serupa roda. Ia akan terus berputar dan berputar.
Pelan-pelan kondisi saya membaik. Saya perluas jaringan perkenalan sehingga
job-job dengan honor lumayan saya lakoni. Sementara Joni? Ia masih jalan di
tempat. Sebagaimana dulu, ia tidak mendengar saran kami untuk lebih luwes
bergaul. Saya tanya, "Soal logatmu?" Ia geleng. Lalu apa? Ia tidak
jelaskan, karena memang tidak tahu. Ya diriku memang begini, kira-kira itulah
makna senyum hambar Joni ketika hari demi hari mengikis habis tubuhnya. Saya
sedih saat suatu hari semua teman serumah pergi untuk suatu job, sementara ia
diam di rumah, atau pergi entah ke mana. Ketika kami tanya, "Dari mana,
Jon?", ia jawab, "Jalan-jalaan..." Intonasi baca puisinya tak
jua hilang!
Sampai sebulan kami tak tahu apa yang Joni lakukan selama
"jalan-jalan". Ia bilang pada teman lain yang ketika itu numpang di
tempat kami--namanya Bang Jo (pernah saya bikin status soal dia)--bahwa rejeki
itu dijemput, bukan ditunggu.
Suatu hari dalam perjalanan di atas angkot, Joni dengan tekun mencatat
informasi yang ditempel sekenanya entah oleh siapa dan entah sejak kapan di
pintu angkot. Informasi itu menjelaskan semuanya. Tentang misi
"jalan-jalan", tentang rejeki harus dikejar, dan lain-lain yang
selalu ia ucapkan sambil mengangkat jemuran di teras depan. Saya tanya, setelah
tahu isi informasi di stiker itu, "Kamu yakin?" Joni dengan senyum
khasnya menjawab, "Yakinlah. Namanya hidup harus penuh keyakinan!"
Saya hanya diam dan memandang ke luar jendela. Anak ini sudah keluar
jalur, pikir saya. Tapi mulut saya terkunci sampai satu jam ke depan.
Ketika itu, di hari-hari yang tidak selisih jauh dengan kejadian ganjil
di atas angkot--saya menganggapnya ganjil, tetapi bagi Joni tidak--teman lain
yang bernama Mahmud justru berada dalam kondisi siap tempur. Baiklah, sampai di
sini kita "pause" dulu bagian Joni. Kita lihat wajah Mahmud yang
persegi dan hampir selalu basah oleh keringat. Pemuda Minang ini adalah orang
pertama di Jakarta yang saya kenal punya beberapa side job sekaligus di satu
waktu. Apa itu?
Saya kenal Mahmud saat ada di lokasi produksi sinetron Rama dan Ramona.
Waktu itu bersama dua orang teman, termasuk Joni, kami ke sebuah sasana tinju
di kawasan Jakarta Timur. Di sana Mahmud
tampak penuh semangat menjalani tugasnya sebagai figuran. Namun, saat break ia
bukannya duduk-duduk merokok atau minum kopi sebagaimana rekan-rekannya yang
lain; Mahmud malah keliling ke sana kemari sambil membawa keresek hitam besar.
"Bawa apa, Bro?" sapa saya.
"Ini... loe mau, beli, Sob," kata dia patah-patah--sekadar
info: mendengar Mahmud bicara adalah mendengar suara tertahan orang tercekik
yang berusaha lepas dari cekikikan, sehingga cenderung terdengar mengejan.
Namun, sesekali bila ia sedang tenang, nada suara Mahmud bisa sangat komikal dan
justru mirip kanak-kanak.
Seraya menjawab pertanyaan saya, Mahmud sodorkan keresek itu dan saya
melongok isinya. Oh, ternyata berbagai kalung dan gelang warna yang ketika itu
sedang tren dipakai pemuda-pemudi gaul. Tahu maksud saya? Di mana-mana hampir
semua anak muda pakai, bahkan hingga status ini kamu baca. Maka saya pun heran;
buat apa, Bro?
"Gue jual lah. Hahaha."
Beberapa teman tertarik membeli. Saya juga beli satu gelang. Karena
sepertinya Mahmud teman yang asyik--walau wajahnya terkesan galak (sekilas
melihat, mata Mahmud mengingatkan saya pada Billy Zane, pemeran tunangannya
Rose yang resek di film Titanic itu)--maka saya timpali tawarannya dengan candaan,
"Beli satu dapat satu!"
Saya ambil satu gelang lain, selain yang saya pilih, lantas menaruhnya di
saku kemeja saya dan tersenyum girang kepadanya. Mahmud, sebagaimana bocah yang
pensil barunya direbut teman sebangku, dengan rajin berusaha mengambil gelang
"bonus" tadi dari kemeja saya sambil membisik, "Rugi gue, Sob.
Rugi."
Tentu saja saya cuma bercanda. Tapi toh Mahmud tidak bersinggung. Meski
soal dagangan ia paling teliti, ia bisa juga diajak tertawa.
Sejak itu saya juga dekat dengan Mahmud. Masa-masa ini terjadi sebelum
saya mengamen pada suatu malam dengan Joni. Baru saya tahu, setelah beberapa
kali bertemu di lokasi shooting, juga beberapa kali saya ajak ngobrol di rumah
kost, Mahmud ternyata tidak hanya seorang figuran dan penjual kalung-gelang
warna, tetapi juga korlap (koordinator lapangan) untuk job lain yang juga
pernah saya tulis dalam status lain: penonton bayaran. Tapi sejauh yang saya
tahu, ia lebih sering keluyuruan dari satu lokasi ke lokasi lain, untuk menjual
dagangannya sekaligus pergi ke tempat casting.
Saya mulanya tidak tahu kehidupan Mahmud dan berpikir mungkin dia
sebagaimana diri saya yang biasa-biasa saja. Pikiran ini terus bertahan selama
beberapa bulan sejak mengenalnya di arena tinju itu. Suatu ketika saya diajak
mampir ke kamar kost Mahmud dan alangkah hati saya teriris. Ia menyewa kamar di
suatu rumah yang dihuni oleh keluarga "tidak waras"--itulah yang
beberapa tetangganya bilang ke saya, dan beberapa kali ketika melintas di
tempat itu, hampir tidak pernah tidak ada suara satu atau beberapa anggota
keluarga tersebut yang bertengkar. Kamar Mahmud ada di lorong samping rumah,
dekat tumpukan alat-alat berkebun dan entah apa lagi, saya tak bisa melihat
dengan jelas karena lorong itu gelap. Udaranya juga apek dan aneh.
Sesaat sebelum Mahmud mempersilakan saya masuk kamarnya, seekor tikus
sebesar anak kucing berlari cepat dari ujung ruang satu ke ujung ruang lainnya.
Saya melongo, tetapi Mahmud cuek saja. Belakangan saya tahu, tikus-tikus memang
biasa hadir di waktu tak terduga, dan kalau boleh disebut kamar berlampu bohlam
murah dan berdinding batu bata itu sebuah negara dan para tikus adalah pribumi,
maka Mahmud adalah kumpeni.
"Udah biasa, Sob," katanya pendek lalu menyeringai. Hari-hari
sesudahnya saya mulai tahu alasan Mahmud menyewa kamar semacam itu dengan harga
lima puluh ribu per bulan. Ia merantau ke Jakarta bermodal ijazah SD dan badan.
Orangtuanya petani dan Mahmud ingin membahagiakan mereka dengan perjuangannya.
Sejak pengetahuan ini datang, pikiran soal Mahmud yang biasa-biasa saja
mulai lenyap. Dari titik ini saya mulai melihat Mahmud sebagai contoh yang baik
bagi pejuang semacam saya yang sesekali masih berpikir soal kegagalan dan
menganggap itu sebagai beban.
Saya tidak tahu isi kepala lelaki berwajah persegi ini, tetapi jelas dia
tidak pernah menunjukkan lelah atau penderitaannya, meski saya yakin ia pasti
merasakannya; Mahmud jelas seorang yang pandai menyimpan kesedihan dan mengubah
itu menjadi energi positif bagi sekelilingnya. Di lokasi shooting tidak jarang
ia bersikap terlalu lebay. Bukan dalam berdagang; ia jarang bercanda kalau soal
bisnis. Yang saya maksud lebay adalah jika dalam pengambilan gambar ia berperan
sebagai pejalan kaki (figuran), maka setelah sutradara teriak "Cut!"
hampir selalu saya dapati ia berakting sedemikian rupa di depan figuran lain,
atau sesekali bicara panjang lebar dengan suara keras plus memakai gaya bahasa
"loe-gue". Dalam hal ini, semua orang tahu ia tidak lihai, tetapi
saya belum pernah menemukan orang sepede Mahmud sejak meninggalkan kampung
halaman beberapa bulan sebelumnya. Sayang sekali, bagi mereka yang suka meledek
atau menganggap rendah Mahmud, sikap mereka kurang tepat. Apa yang ia lakukan
sama sekali bukan bercanda. Ia serius, tapi beberapa orang justru merespon
dengan cara tidak adil.
Ketika bersama saya mendapat peran dengan honor yang lumayan di suatu
sinetron, Mahmud berkali-kali membuat saya harus menghindarinya. Masalahnya
bukan apa-apa; setiap break, ia bertingkah seakan dirinya benar-benar
teroris--sebagaimana peran kami ketika itu--sehingga bila ada kesempatan, ia
akan menjajal aktingnya di depan saya dengan saya sebagai korbannya.
"Mau mati kau, ha? Ingat, kawanmu tidak akan pernah tahu di mana kau
berada. Hahahaha! Hahahaha!"
Demikianlah dialog yang ia ucap sambil secara mendadak mencengkram kerah
leher jaket saya tanpa sempat saya mengelak. Bisa dibayangkan bagaimana
perasaan saya. Mahmud pekerja keras, tidur sehari hanya 2-3 jam, sering kali
berangkat subuh dan pulang lewat tengah malam, sehingga jarang mandi dan gosok
gigi. Kejadian itu membuat saya terharu sekaligus nyaris kehabisan napas. Ia
tidak tersinggung ketika saya ledek soal gosok gigi, sehingga saya harus
mencari tempat sembunyi sampai setidaknya pengambilan gambar berikutnya
dimulai.
Melihat Mahmud berjuang demikian keras, mau tidak mau saya kembali
melihat Joni yang terpuruk karena belum bisa mengkonversi niatnya menjadi
kenyataan. Pasalnya, iklan yang ditempel di pintu angkot tempo hari adalah
iklan lowongan pembantu sekaligus tukang kebun.
Saya ingat betapa marah salah satu teman saya. Ia tidak setuju. Saya juga
tidak setuju, tetapi saya lebih banyak diam mendengarkan ketika teman-teman
lain berdiskusi mencoba membuka hati Joni yang tampaknya mulai putus asa.
Berkali-kali mereka bilang, tujuanmu ke sini dan kehilangan pekerjaan di pabrik
roti bukan itu. Tapi Joni bergeming.
Sampai bertahun-tahun kemudian, saya tak pernah lupa bagaimana Joni
mencoba menenangkan pacarnya di telepon, yang ternyata menangis, karena
pacarnya dinilai gagal meraih mimpi dan akan menjadi pembantu. Waktu itu dia
telepon di sudut teras yang gelap dan hari sudah cukup larut. Saya tak sengaja
mendengarnya karena dia jongkok di depan jendela kamar saya.
Itulah yang membuat saya diam. Saya membayangkan Jesica Alba versi
Indonesia itu terpukul. Saya bayangkan wajahnya dan bagaimana ketika akhirnya
ia menyatakan hubungan mereka harus berakhir. Tak ketinggalan, saya juga
bertanya-tanya bagaimana Joni nanti? Ia benar-benar tampak kusut malam itu,
meski mencoba tersenyum sebagaimana biasa. Semua orang tahu, senyum Joni pada
masa-masa ini bukan senyum kebahagiaan.
Apa yang terjadi selanjutnya? Tentu kami cegah habis-habisan dia, sampai
akhirnya dia luluh. Hari-hari berikutnya, Joni mulai mau membuka diri lebih
luas, tidak sekadar di lingkungan kontrakannya, tetapi juga di tempat shooting.
Agaknya, saya kira, ini pengaruh Mahmud juga. Atau, jangan-jangan mantan
pacarnya juga membuatnya mulai berubah? Lagi-lagi saya katakan, saya tidak bisa
melihat isi kepala orang.
Selagi Mahmud sibuk mencari uang di sana-sini untuk dikirim ke kampung,
Joni pun menemukan pintu rezeki ketika ada tetangga mengenalkannya pada seorang
kru yang memberi kesempatan padanya untuk magang. Kami tahu honor Joni masih
sangat kecil, tetapi setidaknya dia tidak keluar jalur. Sejak itu, rumah
kontrakan mulai sepi dari nyanyian sumbang Joni karena ia sibuk di lokasi
setiap hari. Berangkat subuh-subuh, pulang dini hari, dan sesekali tidur di
dekat genset atau tumpukan kabel di tempat kerjanya bila sempat. Lama-lama,
Mahmud dan Joni terlihat tidak jauh berbeda.
Mereka sama-sama dua contoh manusia sarat derita yang berjuang mendapat
kebahagiaan dengan cara mereka. Sampai kapan pun mungkin saya tak akan lupa
bagaimana Mahmud ketika mengusir kantuk dan lelah fisik; ia mengambil tempat
duduk di sembarang tempat, tak peduli dekat selokan dan di depannya melintas
para aktor/aktris tanpa permisi, dan ia menoleh ke sana kemari sambil setengah
kelopaknya tertutup dan mulut nyengir. Begitulah ia terus menoleh ke sana
kemari, sambil memamerkan barisan gigi dan menatap sekeliling namun tak
benar-benar melihat, melainkan saya bayangkan ia mengingat keluarganya.
Soal Joni, yang tidak bisa saya lupakan adalah ketika ia biasa melamun
seraya mengumpulkan daki di lengan dan lehernya. Kedua tangannya terus bekerja
mengeruk daki di lengan dan leher sehabis "jalan-jalan", sementara ia
menatap langit putih di teras kontrakan, entah membayangkan apa. Biasanya saya
bertanya, apa yang kamu pikirkan? Apa kamu menyesal memilih tempat ini? Saya
sering menduga ia sedih jika melamun begitu. Tapi ia menjawab,"Ya ora
nyesal. Wis jalan hidup. Dilakoni bae." (Tidak menyesal kok. Sudah jalan
hidup. Dijalani saja).
Saya memang jarang bertemu Mahmud, tetapi sempat berteman di Facebook
setelah saya pindah. Sedangkan Joni, ia pernah saya buatkan akun Facebook,
hanya saja tidak pernah dipakai. Setelah beberapa tidak bertemu, saya tidak
tahu di mana Joni sekarang. Sedangkan Mahmud, di status terakhirnya ia menulis
adik kandungnya di kampung meninggal dan ia tidak bisa pulang mengantar jenazah
ke liang lahat. Saya masih ingat bagaimana saya menyampaikan rasa bela sungkawa
ketika itu dan dia balas komentar saya. Tapi sejak itu ia seperti menghilang.
Saya menulis ini dengan harapan siapa tahu mereka berdua membacanya.
Entah kapan,saya tidak bisa memastikan.
Comments
Post a Comment