(Dimuat di Suara Karya, Sabtu, 17 Oktober 2015)
Kepada Yang Tercinta,
Iwami di garis depan...
Bagaimana kabarmu, Sayang? Kuharap kondisi Kanoya tidak buruk—tentu kau
membantahnya. Aku tahu kedekatan kita tidak akan lebih dari yang sudah-sudah
(aku tak menyesali takdir di masa kritis ini). Jadi sepatutnya kupastikan
kondisi pangkalan tempatmu lebih baik dari sebelumnya.
Selepas menutut ilmu, sebuah tugas dan kewajiban penting menunggumu. Aku
tak percaya dan berharap ini mimpi saja. Tak bisa kubayangkan kau berseragam
persis mereka yang di Formosa itu. Aku melihat beritanya. Meski sesudahnya
mereka bilang kau bukan direkrut untuk serangan khusus, aku percaya kaulah
bakal sejarah penting dalam silsilah keluarga. Kaulah cerita yang kukenang
nanti, bersama anak cucuku, yang hanya kau kenal dari kuil dekat rumah—dan
mereka mengenalmu sebagai legenda.
Indahkah itu?
Iwami sayang, aku berharap air mata ini jatuh karena bangga, bukan putus
asa. Kukira surat ini menghiburmu di sana, maka aku tulis dengan penuh semangat
dan cinta. Di sini aku bahagia. Setiap hari membayangkan pemandangan serupa di
kampung halaman kita, pasti membuatmu nyaman: sungai selebar lima meter,
mengalir berkelok melewati rerumpun bambu dan ladang gandum. Bunga-bunga liar
mekar di sepanjang tepinya.
Aku berharap para malaikat hinggap di sana, di pucuk bunga-bunga putih itu,
lalu menghiburmu dan membuatmu tahu suara hati kita kembar: kematian bukanlah
akhir segalanya. Bila malam tiba dan para pilot serangan khusus[1]
berpesta sebelum esok menjemput maut, kau ajak bicara satu di antara seribu
malaikat, lalu kau sampaikan seluruh pesanmu untukku.
Kadangkala seseorang tidak bisa berpikir, apalagi bila emosinya tak tentu.
Menulis surat adalah salah satu yang harus menelan dampak. Aku tahu kamu akan
sukar menulis hal yang sinkron dengan kondisi hatimu sesaat sebelum
terbang—lebih-lebih panggilan mendadak pasukan kamikaze tidak bisa
diprediksi—sehingga kelak selembar surat yang sampai ke kamarku tidak sesuai
dengan kenyataanmu. Itu membuatku sedih.
Jadi, kuharap sampaikanlah pesan hatimu melalui para malaikat. Di sini
bunga liar putih mekar sangat manis. Di sana sama, ya? Lalu kamu pergi ke dekat
sebuah lapangan dan membantu para petani dekat pangkalan di Kanoya memanen
gandum sampai sore. Para petaninya kebanyakan sudah tua. Mereka dibantu
cucu-cucu yang kecil dan tak banyak tahu situasi Jepang sedang kritis. Setelah
berhasil mendesak tentara Jepang di Filipina, Sekutu menaklukkan Shikoku,
Kyushu, Honshu, dan kini mendarat di Okinawa. Tentu saja, pangkalanmu cukup
jauh dari sana. Tapi, adakah kemungkinan kau maju ke depan?
Iwami sayangku, betapapun kawan-kawanmu di Kanoya menutupi fakta, aku tahu
kamu ada di garis depan. Kubayangkan sulitnya situasimu. Aku tahu kamu bangga
dan kamu tidak merasa sengsara sedikit pun. Tetapi kepastian tugasmu adalah
satu hal yang selalu dinanti. Setiap hari, bahkan setiap jam, kau selalu
bertanya pada komandanmu, apa sekarang giliran saya? Bisa kutebak mimik wajahmu
ketika itu; persis dengan saat di suatu senja sepulang kuliah kamu berkata:
"Maukah kamu jadi istriku?"
Di garis depan kau dapat jatah makan istimewa, suguhan terakhir sebelum
kamu pergi. Begitulah "tradisi baru" berjalan. Persiapan
keberangkatan kira-kira dua hingga empat jam, kalau aku tidak salah. Ada banyak
waktu mengemas kenangan untuk dibawa ke alam baka. Aku tak tahu kenapa
laksamana[2]
itu menggagas ide gila: penabrakan pesawat ke kapal-kapal musuh demi
memutarbalikkan kondisi. Sangat tidak logis.
Tapi anggapan itu kini hilang. Aku mengerti kematian bukan akhir segalanya,
dan memang begitulah konsep hidup yang kita anut sejak nenek moyang dulu.
Keadaan di Filipina ketika itu tidak memungkinkan. Betapa ajaib andai Jepang
bisa mengalahkan lawan dalam jumlah yang sangat banyak dengan bekal hanya
beberapa belas pesawat? Nyatanya sedikit banyak, taktik serangan bunuh diri
ampuh menahan, meski tak sanggup membalikkan lawan yang arogan.
Tapi, Iwami, aku tak mau membayangkan hal buruk. Seperti darah dan
kehancuran fisikmu di titik serang—bila kamu benar-benar melakukannya kemarin
dulu. Sebaiknya kubayangkan kau bebaris dan meminum air perpisahan bersama
rekan-rekan senasibmu yang juga berangkat mati hari itu. Pilot-pilot kamikaze
yang menunggu giliran serang, berbaris di sisi lain sambil melantunkan lagu
kuno yang pilu tetapi juga menggugah keberanian:
Umi yukaba
Mizutsuku kabane
Yama yukaba
Kusa musu kabane
Ogimi no ge ni koso shiname
Nodo niwa shinaji[3]
Syair yang indah dan dalam. Sesudah itu kamu terbang membawa bom yang siap
dihempaskan bersama pesawat dan raga manusiamu. Pada detik ini kau telah menjadi
dewa, lepas dari keinginan duniawi. Namun satu yang kutahu pasti: penabrakan
diri itu tidak sia-sia. Sayangnya seseorang tidak bisa memberitahu hasil
keberanianmu, karena kau telah mati.
Sampai di sini aku berhenti dan kubayangkan kau berenang kembali ke
daratan, lantas berlari pulang dengan tubuh yang tak lagi dapat kulihat. Di
Kuil Yakusuni[4] kamu
jumpai teman-teman yang lebih dulu mati. Di sana persahabatan abadi tercipta.
Atas nama beratus juta saudara sebangsa setanah air kalian sumbangkan nyawa.
Dan kalian pulang dalam kondisi damai.
Sekali waktu aku sedih. Di Filipina, awal pembentukan korps serangan khusus
ini didasari sikap spontanitas, bahkan heroik. Sayangnya, saat musuh menginvasi
Okinawa, pandangan itu lain. Aku tahu kamu menolak perubahan sikap sebagaimana
para pilot lain seangkatanmu. Serangan kamikaze yang dulu terjadi atas
dorongan hati, kini suatu kewajiban tak tersangkal saat tiba giliranmu
dipanggil. Tiap bintara sepertimu murung dan terkadang ada yang sulit menerima
nasib. Aku berharap tahu kamu tidak begitu setelah memastikan suatu hari datang
bersama ibumu ke Kanoya, lalu kutemukan kamarmu kosong sementara para petani
dan bocah-bocah belum merampungkan tugas panen. Aku berjingkat dan memandang
sekeliling kamar, memastikan kamu nyaman di situ sebelum akhirnya terbang
menunaikan tugas.
Iwami, alangkah bahagia jika saat itu kusentuh tempat tidur bambu bekasmu,
lantas kuhirup aroma kepahlawanan. Bersama bunga-bunga, para malaikat membawa
pesanmu ke hatiku, dan aku tak perlu bersedih meski kau tak sempat menulis
apa-apa.
Bagaimanapun, kepergianmu menyisakan bekas yang dalam di sini, di hati.
Seperti bunga ceri yang mekar di musim semi, kurelakan kau gugur, bersih dan
bersinar.
Salam sayang dari tunanganmu, Miyoko. [ ]
Gempol, 25-8-15
[1] Yang dimaksud di sini adalah pilot
serangan kamikaze, pasukan udara berani mati Jepang pada Perang Dunia 2.
[2]
Laksamana Ohnisi, penggagas utama
taktik kamimaze, serangan bunuh diri Jepang dengan menabrakkan pesawat
untuk menenggelamkan kapal-kapal musuh. Korps Kamikaze dibentuk pada bulan
Oktober 1944.
[3]
Terjemahan: Jika saya pergi ke laut,
saya akan kembali sebagai mayat yang terdampar. Jika tugas memanggil saya ke
gunung, padang rumput hijau akan menjadi penutup jenazahku. Maka untuk Kaisar,
saya tidak akan mati dengan tenang di rumah (syair ini dikutip dari buku
"Kisah Para Pilot Kamikaze - Pasukan Udara Berani Mati Jepang pada Perang
Dunia 2" Penerbit Komunitas Bambu, 2008).
[4] Kuil yang didedikasikan pada para pahlawan
Jepang yang gugur demi membela negara.
Ureshimo ne.. sugoii.. aku suka sama cerita yg ini.. *perasaan hati seorang istri* bahasa cewek-nya kena banget bang ken.. saluuuttt..
ReplyDeleteDan alur cerita-nya juga menyenangkan.. kereeennn.. ><