(Dimuat di Metro Riau, Minggu, 11 Oktober 2015)
Janji itu merupa kado
kecil. Kau membungkusnya dengan rapi, diberi kertas motif beruang Teddy
berbagai kostum, warna dasar pink, dibaluti pita biru tua, dan terakhir,
di satu sudut kubus, sebuah kertas karton wangi ukuran 5 x 10 cm digantung,
bertuliskan: Buat yang terkasih, Asmara.
Kadang-kadang kau berpikir
dirimu adalah Teddy, beruang lucu yang amat kusukai. Kau selancar ke suatu
pantai dengan tanpa kaus. Kau daki gunung dengan sarung tangan dan ransel. Kau
pelesir ke luar negeri dan menatap tempat-tempat baru seperti menatap kekasih.
Kau memesona dan mobilitasmu tak diragukan. Itu terjadi andai kau benar
Teddy-ku.
Kau—dengan segenap kenangan
di kepala—berharap waktu bisa diputar-balik. Kita melangkah seakan jalanan
tempat kau menjemputku adalah roda bergerigi. Gigi geliginya bersinergi, stop
mendadak, bekerja dalam sistem kebalikan, dan semesta pun mendukung apa yang
terjadi. Memutar balik segala yang seharusnya maju. Kita berjalan mundur tanpa
takut terbentur.
"Seperti yang Coelho
bilang di bukunya The Alchemist, bahwa kau akan mendapat apa yang kau
mau karena seisi alam bekerjasama membantumu," katamu di suatu sore yang
hangat.
Aku tak lupa secuil pun
kutipan yang kau comot begitu saja dari buku bacaanmu, meski aku selalu tampak
ogah-ogahan mendengarnya. Entah berapa puluh, entah berapa ratus. Rasanya di
tiap obrolan selalu tercuplik satu-dua kalimat. Kadang begitu dalam. Kadang
bagai tanpa makna, karena tak kutahu hubungan antara kalimat indah dari buku
itu dengan yang terjadi pada kita.
"Kita nggak harus
mencontoh buku," kataku iseng, menggodamu.
Namun kau malah setuju,
dengan alasan aku tidak selalu memahami maksudmu. Kutipan itu bisa diganti
tindakan, seperti janji yang merupa kado, katamu. Hanya saja, proses pengalihan
hati itu sulit.
Aku tak mengerti maksud
ucapanmu itu.
Setiap menjemputku kau diam
dan kita duduk di kursi masing-masing, tanpa suara, tanpa kutipan sebagaimana
di pusat keramaian—tepatnya di antara gemerlap gedung- gedung tinggi yang tak
seorang pun penghuninya kita kenal. Keramaian yang terasa menjauhkan kita dari
kehidupan. Mungkin ruang di dalam mobilmu tidak membuatmu nyaman bicara, atau
mungkin kau tidak nyaman terlalu dekat denganku, sangat dekat, meski tidak
pernah lebih dekat dari sebatas duduk di bangku depan mobilmu? Apa kau risih
bila mobil menerabas hujan sementara kita, berdua di sini, berbagi udara dan
rasa hangat meski tanpa pelukan?
Aku tidak tahu kenapa kau
tidak nyaman. Yah, kata-kataku ini bukan berarti tidak didasari kesadaran siapa
diriku dan seberapa kotor aku di mata manusia umumnya. Aku tidak jenuh, meski
kau sekadar mengajakku jalan-jalan melihat pemandangan kota kecil, tidak
mengajakku tidur berlapis selimut di suatu tempat agar tidak kedinginan. Apakah
kau yang jenuh? Tapi, kalaupun jenuh, mana mungkin kau rela menjemputku setiap
malam sepanjang tahun, bukan?
Kata teman-teman, itu
menjelaskan sesuatu tanpa kata-kata, tanpa kutipan-kutipan khas buku.
"Maksudnya?"
"Dia suka kamu!"
Aku tak percaya. Bukan
karena menganggap kau buruk bagiku, tetapi sebaliknya: aku terlalu timpang jika
disandingkan denganmu.
Apa yang ada di kepalamu
sehingga menaruh perempuan sepertiku, di dalam batok kepala, lalu menjadikanku
mimpi-mimpimu? Dan mewujudkan suatu janji dalam kado yang dibungkus dengan
kertas bergambar beruang Teddy, yang diikat pita biru tua menawan?
Aku tak habis pikir
bagaimana suatu mimpi bekerja. Di satu waktu mimpi itu bisa jadi indah. Di lain
waktu mimpi bisa sangat buruk. Dan, di waktu yang tidak terduga mimpi bisa juga
cabul. Sayangnya manusia tidak bisa memilih. Pada suatu kesempatan ketika
manusia tidur, ia tidak akan diberitahu mimpi macam apa yang menyambangi. Ia
juga tidak bisa menolak andai tidak suka mimpinya. Apa karena mimpi bukan
sesuatu yang bisa dibeli?
"Mimpi itu Tuhan yang
memberi," katamu, ketika kucoba membahas soal ini. "jadi, mana
mungkin bisa kau beli?"
"Bila Tuhan memberi
mimpi, bagaimana mungkin Dia tega membuat kita bangun tergeragap oleh mimpi
buruk?"
"Mungkin ... agar kita
belajar," jawabmu setelah beberapa saat diam.
"Bisa juga
setan," kataku asal.
Kamu bertanya dari mana aku
tahu mimpi buruk datang dari setan. Kujawab saja dengan logika paling
sederhana: bahwa setan tidak suka manusia bahagia dan masuk surga.
"Coba kamu pikir,
seandainya kamu bermimpi kita berdua kencan di suatu tempat di Paris, tempat
yang romantis katamu, dan kau menjadi Teddy Bear yang kusayang, apa yang kamu
rasakan?"
"Hmm... Aku, mungkin,
bahagia."
"Nah, setan tidak suka
kamu bahagia begitu, maka dia memberimu mimpi buruk."
"Berarti setan suka
kamu? Sepertinya dia cemburu kalau kita bersama, meski di mimpi sekalipun. Dan
meski kita bukan pasangan kekasih."
"Tidak tahu. Jangan
sampailah!"
"Kenapa setiap orang
berbahagia dalam mimpi tanpa alasan yang jelas?"
Pertanyaanmu membingungkan,
tapi kucoba menjawab, tentu sambil diam-diam berharap responmu sesudah ini
lebih menyenangkan, "Barangkali karena tidak semua manusia tahu apa yang
dia mau."
Kamu diam bergeming. Bersuaralah.
Jangan melihat ini sebagai sesuatu yang jauh sembunyi dalam kepalamu sehingga
yang kau perbuat sama sekali tak berhubungan dengan itu.
Mendadak aku merasa menjadi
bukan diriku dan aku terjebak perasaan. Sesuatu yang selama ini justru kujauhi.
Kenapa kau membuatku bimbang? Dan kenapa pula kau diam? Apa kau tak tahu yang
kau mau? Lalu dengan begitu janji itu merupa dalam bentuk kado dan kepalamu
masih penuh berisi kenangan?
Kau masih menjemputku,
sambil sesekali bicara soal buku dan nilai kehidupan yang tekandung di sana.
Tidak harus selalu buku fiksi, kau pun berpendapat bahwa kita perlu
keseimbangan, meski kau tahu aku tak pernah suka membaca buku jenis apa pun,
entah fiksi, entah non-fiksi.
"Bila keseimbangan
didapat," katamu dengan penuh ketenangan, "maka seseorang akan
mengerti apa yang dia inginkan. Dia tidak berdiri di satu sisi sehingga
timbangan tidak timpang. Keadilan pada jiwa raga membuat papan kehidupanmu
bertahan di atas titik tumpu."
"Sumpah aku nggak
ngerti maksudmu!"
Kita pun tertawa dan kau
diam seketika usai beberapa saat air mata bahagia—yang bukan buncah dalam suatu
mimpi indah—membasahi sudut matamu ... juga mataku.
Aku beruntung hingga
berpikir mungkin kita berada di perjalanan dalam suatu adegan mimpi, jika mobil
berhenti dan kau menyuruhku menunggu diam, tidak boleh nakal. Ah, tidak sekali
ini kau menganggapku seperti anak kecil. Itu sengaja, sebagai bahan candaan
abadi. Aku cubit perutmu lalu mengedipkan mata manja. Kau tersenyum. Tidak
tampak secuil pun nafsu berahimu. Alangkah berbeda dirimu. Alangkah istimewa.
Biasanya di mobil aku tak
berbuat apa-apa, meski mengancam akan membongkar dashboard-mu, berharap
menemukan lipstik seseseorang yang tertinggal, atau mungkin —bila kau ahli
pura-pura: bungkus karet pelindung, atau sekadar majalah dewasa. Kau hanya
tertawa dan melambaikan tangan tanda mempersilakan. Tidak, aku tidak pernah
melakukan itu (aku tak selancang itu, meski sesekali bersikap kekanak-kanakan),
dan kau tak tahu itu. Dalam masa menunggu 15 menit itu, aku lebih suka diam dan
berharap kata-katamu sesudah ini bukan lagi tentang buku-buku kesukaan,
tetapi... tentangku. Tentang kita.
Apa yang ada dalam kepalamu
tentang diriku? Kau—dengan segenap kenangan di kepala—berharap pulang ke masa
lalu dan kita berjalan mundur di atas roda kehidupan yang bergigi-geligi. Kau
bilang, alam semesta bekerjasama membantumu. Tapi, adakah mereka akan kesal dan
berhenti, setelah tahu bahwa sosok yang dibantu itu selalu diam dan diam?
Janji itu merupa kado
kecil. Kau membungkusnya dengan rapi, diberi kertas motif beruang Teddy
berbagai kostum, warna dasar pink, dibaluti pita biru tua, dan terakhir,
di satu sudut kubus, sebuah kertas karton wangi ukuran 5 x 10 cm digantung,
bertuliskan: Buat yang terkasih, Asmara.
Itu namaku. Asmara. Nama
pemberian ibuku, bukan ayahku, karena aku tak tahu siapa ayahku. Dan itu semua,
detil sederhana kesukaanku, yang dengan segera membuat teman-teman menyimpulkan
ada cinta di hatimu.
Aku tak yakin. Bagaimana
kau tahu, sedangkan kita tak bicara hal-hal kecil yang kusuka, sebab itu memang
tidak layak? Sampai kau memberiku kado serupa. Sampai kau mengajakku bicara
hal-hal yang bersifat personal. Lelaki macam apa kau? Apa kau dikirim Tuhan
dengan suatu misi—membaca isi hati manusia lain—agar aku percaya bahwa hidupku
tidak seburuk yang kukira?
Bagaimana tak kupikir kita
timpang? Kau orang kantoran. Hidup mapan. Ganteng dan idaman banyak wanita.
Bagaimana mungkin kau pergi bersama seorang tuna susila?
Kembalimu ke mobil semakin
membuatku gundah. Ini kali kesembilan kau beri kado serupa namun dengan isi
yang berbeda. Malam ini, isinya cermin. Kau ingin aku bercermin?
Tanpa disuruh, bahkan
setiap hari cermin sudah jadi temanku. Menatap wajah dan tubuhku amat menyenangkan.
Hanya jiwaku yang takut kulihat. Berharap semoga sampai kapan pun aku tak akan
tahu bentuk jiwa di balik ragaku ini.
Karena, pada suatu malam
yang baru, saat janji-janji merupa kado itu menumpuk di kamar kostku, saat aku
mulai jenuh dan mengira kau mempermainkan perasaanku, dengan kesal kuhampiri
tempatmu dan kutemukan kau memandangi foto seorang gadis. Foto itu, kau bilang—akhirnya
kau tak bisa menyembunyikan ini—adalah foto calon istrimu. Ia meninggal sebulan
sebelum kalian menikah.
"Tidakkah kau
sadar," ucapmu saat kutatapi foto itu seraya menangis, "kadang aku
berharap perjalanan itu kulakukan bukan denganmu, tapi dia. Dia yang
sorot mata dan lekuk bibirnya begitu mirip denganmu. Apa Tuhan kekurangan
bentuk saat mencipta kau, juga dirinya?"
Kini aku tak lagi berharap,
kecuali menerima kado-kado yang harusnya dia terima darimu, dan
mendengar kutipan-kutipan tak berguna yang harusnya dia pahami.[]
Gempol, 20-09-2015
Comments
Post a Comment