Skip to main content

Posts

Showing posts with the label sastra

[Cerpen]: "Menengok Makam Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Bangka Pos, Minggu, 21 Juli 2019)     Biru pasir itu begitu berpengaruh di pikiranku. Aku ingin pulang dan tidur berjam-jam lamanya, tetapi rasa kantuk ini harus kulawan. Aku tidak akan pulang sebelum Ayah kutemukan. Ayahku sudah lama menderita kepikunan. Dari waktu ke waktu tiap tindakannya makin memperkuat dugaanku kalau Ayah tak akan pernah mengenali cucunya sendiri.     Anakku lahir tepat ketika Ayah mulai senang bepergian keluar rumah lewat tengah malam. Beliau memang tinggal bersama keluarga kecilku, karena saudara tertuaku tidak terlalu peduli padanya. Saudara kedua bahkan tidak pernah saling bertegur sapa sejak Ayah masih sehat dan kuat bertahun-tahun silam. Hanya akulah anak yang paling patuh padanya, sehingga Ayah pun lebih dekat denganku.     Di hari-hari tuanya, Ayah tak memiliki apa-apa. Rumahnya disita oleh pihak bank karena persoalan utang-piutang. Tanpa pikir panjang, aku dan istri memboyongnya ke rumah sederhana kami di kampung nelayan. Kami sudah

[Cerpen]: "Kapten Tua" karya Ken Hanggara

Gambar dari pixabay.com (Dimuat di Cendana News dengan judul Kapten Kapal pada Sabtu, 20 Juli 2019)     Seorang kapten kapal ditemukan mati tergeletak di kolong bus. Tak ada yang tahu di mana terakhir lelaki tua itu terlihat; mereka hanya lama tak mendengar suara khasnya saat bernyanyi lagu-lagu dari Prancis atau Inggris. Bahasa itu sangatlah asing di kuping seluruh warga desa, kecuali segelintir saja, yang sayangnya tak pernah ada waktu untuk menjelaskan maksud setiap lagu tersebut. Jadi, orang hanya akan tahu andai suatu pagi yang dingin tiba-tiba seseorang bersenandung dengan bahasa aneh, bahwa di sanalah dia berada, sang kapten tua yang nyaris tak memiliki teman dekat.     Kapten tua punya kapal yang juga tua, yang lama tidak beroperasi. Tiada yang tahu kapan terakhir kali kapal tersebut disandarkan ke dermaga, tetapi para nelayan pastilah bisa mengerti kalau kapal yang dimaksud hanya akan menjadi rumah, meski sehari-hari itu berada di antara perahu-perahu kecil yang se

Boleh Tergoda, tapi Tak Perlu Meniru

Dalam berbagai kesempatan, saat awal aku nulis tahun 2012 dulu, beberapa orang yang lebih dulu terjun di bidang ini mengajarkan trik nulis yang mudah dan praktis andai selalu kesulitan memulai karya, yakni dengan memodifikasi karya orang. Menurut penjelasan "beberapa orang" itu (yang tak perlu kusebut siapa saja, dan pula ada sebagian yang kulupa namanya), modifikasi ini bisa dilakukan dengan mengambil karya utuh orang lain (penulis terkenal atau tidak) yang sudah terbit dan disukai (biasanya cerpen atau esai) di internet, lalu diedit/ganti banyak kata oleh si modifikator; bisa kata kerja, kata keterangan waktu, nama tokoh, nama kota, dan sebagainya. Itu dilakukan terus menerus sampai karya "editan" tersebut tampak sebagai sebuah karya baru. Saat itu lumayan banyak yang berterima kasih atas trik yang kelihatannya menyenangkan itu. Tapi, buatku pribadi, cara itu justru tidak kusuka. Aku tak pernah sekalipun tertarik mencobanya. Alasanku sederhana. Dengan

[Cerpen]: "Sebentuk Tubuh, Sebuah Mulut, Sepasang Mata dan Telinga" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto edisi Minggu, 14 Juli 2019)      1/ Sebentuk Tubuh     Maka, saya terpotong-potong. Saya tawanan perang di dongeng masa kini. Kepala di bawah, kaki di atas, tumpang tindih, bersatu-padu bersama yang lain, dan banjir amis pekat membuat saya layu.     Di sini bau keringat sangat mahal, karena dalam hitungan jam sudah akan pergi ke tempat jauh. Hilang dan tidak kembali bau keringat itu, kata saya. Lalu saya benar-benar diam tanpa daya, diseret ke sana kemari, ditendang, dibungkus, dimasukkan ke bagasi, dilepas bebas.     Tidak sekali-kali saya pergi andai Maria melepas saya ke suatu tanah lapang. Kalau di sungai, saya bisa berkelana ke tempat-tempat yang sangat jauh. Kalau di darat, sedikit demi sedikit bagian saya luruh, minggat tanpa pamit, dan tak usah kembali sebagaimana saya. Sarang semut alangkah banyak. Tuhan menaruhnya di semua tempat.     Akan lebih baik bila saya dilepas ke sungai. Di mana-mana banyak sungai dan saya menyapa banyak tukan

[Cerpen]: "Jalur Rahasia" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Solopos edisi Minggu, 14 Juli 2019)     Sepulang bekerja, kudapati dapurku berantakan. Aku tak tinggal bersama siapa pun dan sudah dua bulan terakhir tak ada yang ganjil di rumah yang kubeli ini. Awalnya aku menduga ada maling yang membobol. Tapi, tidak lama kemudian, aku tahu tebakan itu salah.     Aku pikir tikus atau binatang lain tidak membuat kerusakan macam ini; beberapa benda seperti microwave dan kaleng cat yang baru sepertiga kupakai, yang tergeletak di lantai dapur, tidak mungkin digerakkan beberapa tikus.     Aku tidak membayangkan hal lain selain bahwa seseorang telah mempunyai kunci cadangan rumah ini. Aku membeli rumah ini dalam kondisi bagus dari seseorang yang tidak kukenal. Kabarnya, rumah ini dijual karena pemiliknya bangkrut dan rumah ini harta satu-satunya yang tersisa. Kabarnya lagi, si pemilik rumah ingin kembali ke negeri asalnya di Eropa dan bersumpah tidak akan kembali kemari.

Cerita Pendek dan Perjalanan Panjang yang Nikmat

Tumpukan edisi media cetak yang menayangkan cerpen-cerpenku. Ketika kemarin Dang Aji Sidik tiba-tiba bertanya berapa sudah cerpenku yang tayang di berbagai media, pikiranku langsung melesat ke masa beberapa tahun lalu, ke akhir tahun 2013. Itulah kali pertama aku ingin menembuskan cerpenku ke media. Karena minimnya info tentang itu, juga belum "luasnya" jaringan pertemananku di dunia maya dengan lebih banyak cerpenis, aku hanya bisa coba kirim cerpen ke dua media raksasa saja, yang alamat e-mailnya kutahu dari googling, yakni Kompas dan Jawa Pos. Tentu cerpenku jauh dari bagus saat itu, hingga kiriman-kirimanku sebanyak 2-4 cerpen dalam sebulan (kadang hanya 1 sebulan) tak pernah lolos. Tahun 2014, aku pun lebih fokus ke perlombaan skala nasional yang beberapa di antaranya berhasil kumenangi, dengan banyak gelar "juara 2" atau "10 besar", sampai seorang teman yang kini tak lagi menulis bilang, "Kamu ini spesialis runner-up ." Kami pu

[Cerpen]: "Cerita Ibu dan Hujan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Harian Rakyat Sultra edisi Senin, 1 Juli 2019)     Ibuku mati dimakan hujan. Sebelas tahun silam kukisahkan di depan kelas bahwa ibuku mati dimakan hujan. Aku tidak tahu pasti apa beliau memang kehilangan nyawa ketika insiden itu terjadi, tetapi Ibu tidak pernah pulang. Ada tetangga yang tidak pulang selamanya, dan ketika kutanya pada semua orang, kudapat jawaban kalau tetanggaku itu sudah mati.     Mungkin, ibuku juga sudah mati dimakan hujan. Banyak yang tidak percaya cerita ini, tapi Leli percaya. Dia duduk di belakangku dan mengintip diam-diam apa saja yang kulakukan selagi jam pelajaran berlangsung. Aku menggambar dengan pensil warna atau crayon. Ada gedung di suatu kota. Ada monster makan mobil dan manusia. Lalu, jembatan roboh dan lain-lain.     Kataku pada Leli, "Kulihat itu semua di film lama."     Ibuku suka menonton film, tapi itu dulu, sebelum beliau dimakan hujan. Aku sedih melihat Ibu diseret dengan begitu ganasnya oleh ribuan tetes air y

[Cerpen]: "Antimati" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Bromo, Minggu, 23 Juni 2019)     Mugeni kurang puas melihat adu panco di warung Yu Nah. Seharusnya adu jotos, biar ada yang mampus, katanya sinis. Entah dalam rangka apa, menurutnya, dua finalis kurang jantan—penghalusan dari kata 'banci'. Padahal Togog dan Bakir, dua sasarannya, tidak lembek. Mereka termasuk orang-orang yang diperhitungkan kekuatannya.     Sebagian tahu Mugeni mabuk, namun tidak sedikit menganggapnya guyon . Togog atau Bakir, sama sekali tak tersinggung. Siapa tidak kenal Mugeni? Lelaki usia setengah abad, pengangguran total, tanpa anak cucu (karena konon menurut pengakuannya, demi merawat ilmu kebal, ia tidak boleh kawin). Tak peduli petarung panco level berapa pun, kalau sudah ketemu dia, cuma bisa mesam-mesem .     Sejak muda, Mugeni mampu menaklukkan apa pun, mulai dari pesilat paling hebat, binatang liar, hingga benda-benda tak masuk akal. Tank dan berbagai kendaraan perang paling mutakhir sekalipun—andai didatangkan kemari, Mu

[Cerpen]: "Hari yang Baik untuk Terkena Hipnotis" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Minggu Pagi, Jumat, 21 Juni 2019)     Aku pergi menjenguk sahabatku yang sakit dan tinggal di luar kota. Meski sangat membenci bus, pada akhirnya aku harus naik kendaraan itu juga. Mobilku diperbaiki di bengkel dan aku tidak punya satu pun motor. Dengan membawa bingkisan dan beberapa buah-buahan, aku berdiri di halte sembari berdoa.     Doa dalam tiap kesempatan selalu kubuat lebih panjang dari doa siapa pun. Aku senang berdoa panjang-panjang, karena konon akan lebih mudah tiba di hadapan Tuhan, dan lebih gampang dikabulkan. Aku tak bisa membuktikan itu, tapi aku mengimaninya. Hanya saja, kali ini, ketika akan pergi ke luar kota, doaku tak sepanjang biasanya.     Doaku hanya, "Semoga bus yang kutumpangi baik-baik saja."     Ini berkaitan dengan masa lalu. Kalau tidak, mustahil kubenci bus hingga bertahun lamanya. Sejak kejadian itu aku enggan naik bus meskipun dipaksa dan diancam dengan banyak cara. Suatu saat, bertahun silam, orangtuaku frustrasi meli

[Cerpen]: "Kota tanpa Manusia" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Padang Ekspres, Minggu, 16 Juni 2019)     Belum lama ini sepertinya orang-orang mengejar saya. Ada yang membawa batu, double stick , tongkat baseball , pedang, dan bahkan ada beberapa juga yang membawa senjata api. Orang-orang itu tampak geram. Saya tidak tahu di mana saya terbangun. Siang itu saya cuma tahu seseorang baru saja mengantarkan minuman dingin ke meja yang saya tempati. Saya duduk di pojok sana, di dekat mesin pemutar musik yang sudah bobrok, hingga saat seorang bocah coba memilih musik di sana, seseorang di seberang ruangan, yang entah siapa, berteriak pada si bocah agar sebaiknya pergi dari situ.     "Barang rombeng itu tidak membuatmu terhibur!" katanya.     Saya pikir pemutar musik itu rusak. Orang yang berteriak itu barangkali pemilik tempat ini atau sekadar orang yang memahami tempat ini, karena terlalu sering kemari. Mungkin. Tempat macam apa ini? Jika ini sebuah kedai, kenapa begitu sepi? Bagaimana saya bisa ada di sebuah kedai dengan

[Cerpen]: "Mati dan Tak Kembali" karya Ken Hanggara

(Dimuat di nyimpang.com pada 15 Juni 2019)     Orang-orang baru saja berangkat bekerja dan aku masih tidur di kasur temanku di apartemen kumuh. Aku kabur dari polisi gara-gara terlibat perampokan dan semalam mereka menembak betisku. Temanku, pemilik apartemen ini, amat baik. Dia memberiku tumpangan, sementara luka di betisku dia rawat dengan telaten.      "Sebaiknya kamu cari pekerjaan," katanya datar sesaat setelah berhasil mencatut peluru dari betisku. Benda itu berkelontangan di suatu panci, yang dia ambil dari dapur, dan aku hanya bisa bergumam.     Pekerjaan apa? Sudah bertahun-tahun mencoba, dan ujung-ujungnya tidak pernah baik. Aku harus selalu kabur dari todongan senjata orang atau lari dari polisi. Aku harus bersembunyi sampai masa amanku tiba dan masa aman ini tidak pernah lama.     "Aku bosan."     Hanya itu yang bisa kukatakan. Selama sisa malam, teman lamaku tak lagi tanya soal nasib burukku, dan membuka topik tentang masa lalu gemilang k

[Cerpen]: "Berakhirnya Kuasa Tuan Tanah" karya Ken Hanggara

(Dimuat di ideide.id pada 11 Juni 2019)     Tuan Markoni memberiku segenggam tanah untuk kubawa pulang. Orang-orang di teras rumah mewah itu menatapku gembira. Aku tak bisa berkata apa-apa. Bukan karena tak mampu melawan, melainkan terlalu banyak lelaki bertubuh kekar berdiri mengawal tuan tanah keparat itu. Akhirnya, aku mundur. Pulang, meski jelas semua tahu entah ke mana aku bisa pulang. Satu-satunya yang terlintas di benakku adalah rumah Sapono.     Rumah itu terletak di tepi desa, dekat sebuah hutan dan jurang yang semenjak dulu dikabarkan sebagai titik terkutuk; iblis dan sekutunya kerap bercengkerama di jurang itu. Tidak sedikit orang mencari harta dan kuasa di bagian tergelapnya. Entah sejak zaman apa jurang dan hutan itu dianggap keramat dan entah berapa banyak orang yang sudah membuktikan. Orang-orang desa sendiri tak tahu. Mereka hanya berkata, "Sapono yang tahu tentang itu."     Aku sendiri mengenal Sapono sejak masih kecil. Setahuku, dari dulu hingga

[Cerpen]: "Akhir Hidup Kritikus Bunuh Diri" karya Ken Hanggara

(Dimuat di kompas.id pada 8 Juni 2019)     1/     Kalau saya berdiri di sana, orang kira saya bunuh diri. Mereka panik lalu berteriak mencegah saya. Hal setolol itu tidak seharusnya terjadi dan hanya ada di kepala saya. Saya hampir selalu mengira orang yang di posisi ini pasti mau bunuh diri.     Dari dulu saya lihat banyak orang bunuh diri. Kira-kira enam puluh lima. Kematian demi kematian yang saya lihat tidak seseram yang orang bilang tentang Izrail; tidak ada sosok hitam atau kelebat bayangan sebelum orang yang bunuh diri meninggal. Rata-rata tubuh mereka berproses menuju diam sama sekali. Sebatas itu. Saya juga tidak melihat nyawa orang-orang itu terbang, selain darah atau lidah yang menjulur atau sesekali buih berkumpul di bibir.     Meski begitu, saya tidak tahu apa enaknya bunuh diri?     Kata teman, "Kamu bisa lari dari takdir."     Sungguh bodoh. Lari dari takdir bisa dilakukan dengan cara yang lebih aman. Saya pernah, yakni dengan menjadi orang la

[Cerpen]: "Mati Tergoda" karya Ken Hanggara

  (Dimuat di Potret News edisi Mei 2019)     Leni memintaku turun dari mobil setelah perdebatan kami. Aku tidak turun sampai perempuan itu menarikku keluar dan menyumpahiku dengan kata-kata kasar. Aku tidak pernah mendengarnya bicara dengan cara itu, tetapi kukira memang pantas Leni bicara kasar padaku. Tadi sore, dia menangkap basah aku selingkuh dengan sahabat dekatnya.     Kubilang, "Kalau aku dimangsa serigala, kamu yang salah."     "Tidak ada serigala. Hutan ini aman, karena dekat dengan rumah penduduk," kata Leni dengan tergesa-gesa.     Perempuan itu pergi setelah melempar barang-barangku yang tertinggal. Tidak ada salam perpisahan, tetapi aku tahu, detik itulah terakhir kali kami bertemu. Tidak ada lagi pertemuan, karena Leni berjanji di sela perdebatan kami tadi, bahwa dia tidak sudi melihatku lagi. Seiring semakin jauh mobil Leni, udara dingin perlahan menyerbu dari berbagai arah.     Aku tahu aku brengsek, tetapi meninggalkan seseorang yang mel

[Cerpen]: "Mukjizat untuk Lelaki yang Bukan Nabi" karya Ken Hanggara

Ilustrasi cerpen "Mukjizat untuk Lelaki yang Bukan Nabi" di bacapetra.co oleh Olivia Nagung (Dimuat di bacapetra.co pada 7 Mei 2019)     Tak ada seorang pun yang mendengarku. Akhirnya aku duduk untuk beberapa lama dan membayangkan tubuhku tiba-tiba mampu menembus tembok. Kubayangkan tubuh ini seringan kapas, sehingga aku tak perlu cemas dengan kedua kakiku yang dipatahkan. Aku akan terbang melayang, menembus tembok besi itu, menuju kebebasan.     Ada berapa lapis tembok besi yang dibangun untuk orang sepertiku? Sesuatu telah mengancam keberadaanku sejak kugaungkan kebenaran-kebenaran yang selama ini tak terungkap di mata publik. Puluhan foto kusebar dengan berbagai cara dan sejak hari itu, hidup atau mati, orang-orang menjadikanku sasaran buruan.     Ada beberapa harga yang pantas bagiku, tapi seseorang, bekas anak raja dari suatu masa yang kelam, menawarkan harga yang cukup tinggi, bahkan hanya untuk sepotong jemariku. Sidik jarinya saja cukup, begitu katanya, m

[Cerpen]: "Melahap Kenangan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Selatan edisi Senin, 22 April 2019)     Sudah seminggu terakhir ini kulahap kenangan tua yang mendekam di lemari baju. Mereka, kenangan-kenangan itu, berupa kupu-kupu yang kuperangkap dalam botol air mineral. Botol-botol ini tentu kurawat bertahun lamanya, dengan harapan mereka dapat menyembuhkanku dari rasa rindu setiap waktu.     Itu dulu. Pemikiran bahwa kenangan tua yang tidak selalu manis dapat mengobati rindu, jelas salah besar, dan aku sadar itu baru-baru ini. Aku sadar betapa selama ini aku tenggelam oleh koleksi kenangan yang seharusnya kubuang sejak dulu.     Bagaimana aku yakin soal ini, adalah dari fakta yang kualami bahwa sejak terakhir kali ditinggal kawin pacarku, aku tidak pernah jatuh cinta, kecuali sekali, dan itu pun gagal. Setelah bertahun-tahun lewat, dadaku kosong melompong, dan bangsa setan pun mengisi waktu luang di sana. Setan-setan menguasaiku dan berbuat dosa lewat tubuhku, sebab itu bentuk balas dendam terbaik dari masa lalu.     Ka

[Cerpen]: "Makhluk Bernama Kenangan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Fajar Makassar edisi Minggu, 21 April 2019)     Sekarang rumah benar-benar sepi. Aku juga ingin pergi setelah kematian suamiku, tetapi ada sesuatu yang menahan. Sepotong demi sepotong kenangan yang kami timbun di sini mulai hidup dan mencegahku. Aku tak tahu wujud kenangan, tapi ia terasa eksis, meski tak nampak, dan membuat banyak keanehan, sehingga rumah ini tidak mungkin kutinggal. Kenangan yang kumaksud membuat ukiran-ukiran aneh di tembok dekat ruang baca. Ukiran-ukiran tanggal dan hari-hari penting bersama Markoni, almarhum suamiku.     Mungkin aku gila, tapi itu terjadi setiap hari. Maksudku, setiap hari ada saja ukiran baru. Tidak cuma di ruang baca, tapi kadang-kadang di kursi ruang makan, atau bagian atas kayu dipan tempat tidurku. Jika ukiran-ukiran itu muncul setiap hari dan aku sadar aku tak bangkit dari tidur dan tak memiliki bakat membuat kerusakan, artinya kenangan ini benar-benar hidup.     Jadi, aku tidak meninggalkan rumah walau merasa sepi.

[Cerpen]: "Membuang Kutukan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 14 April 2019)     Tubuhku sudah matang ketika hujan akhirnya turun. Orang-orang berbaris pulang dan tidak ada yang benar-benar ingin melihatku, kecuali segelintir orang yang terbilang pemberani. Mereka bertanya-tanya akan diapakan tubuhku?     Tak juga terdengar kesepakatan sampai hujan yang turun disusul petir menggelegar dan angin kencang. Di telinga warga barangkali saja telah tersebar kabar kematanganku dan mereka bersorak ria di rumah masing-masing, karena si pria pembawa sial ini telah mampus.     Hanya saja, di puncak bukit, mereka yang belum pulang terbenam dalam pikiran-pikiran keruh. Beberapa di antara orang-orang ini percaya, mengubur jasad gosongku di bukit tidak menyelesaikan masalah. Akan ada bencana, kata mereka, dan itu belum termasuk kematian-kematian yang terjadi pada siapa pun yang memusuhiku.     "Semua orang memusuhi Sapono," kata seseorang.     "Betul."     "Akan ada kematian bagi seluruh wa

[Cerpen]: "Sang Pemegang Kendali" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Solopos edisi Minggu, 14 April 2019)     Empat puluh tahun aku bergelut di bidang seni. Ribuan lukisan sudah kuhasilkan. Tapi, tidak ada satu pun dari mereka yang mampu memberiku kepuasan. Orang-orang di luar sana mungkin bilang, "Ali Sapono adalah seniman masa kini yang karya-karyanya akan terus menyihir setiap orang hingga kiamat nanti."     Buatku, semua itu sungguh omong kosong.     Tak ada sihir dalam karya-karyaku yang membuat hidup orang lain jadi jauh lebih baik atau membuat siapa pun merasa lebih rupawan atau malah lebih kaya. Sihir yang mereka maksud, tentu, berkaitan dengan kata-kata bual. Aku bahkan menyesal mencipta lukisan-lukisan itu. Mereka tak ada gunanya. Semua lukisan itu hanya terkesan sebagai kotoran yang kubuang dari tubuhku, seperti ludah atau air kencing atau bahkan tinja. Aku sama sekali tak membutuhkan mereka.     Aku tak ingat kapan pertama kali seseorang menghargai lukisanku sedemikian rupa. Aku hanya ingat bahwa dulu, saat masi

[Cerpen]: "Pengetahuan Baru Umat Manusia" karya Ken Hanggara

(Dimuat di basabasi.co pada 5 April 2019)     Suatu ketika, dunia berjalan dengan cara yang aneh. Tiap manusia mendapat mimpi tentang hari kematian mereka. Pengetahuan tentang maut, yang jauh sebelum masa saat dinosaurus berkelana di muka bumi akan selalu dirahasiakan, tiba-tiba saja menjadi cara bagi umat manusia untuk menentukan masa depan masing-masing.     Maut bukan lagi sesuatu yang paling ditakuti. Bahkan, kadang-kadang maut adalah teman sejati, jika kau dapati di sebuah mimpi seorang gadis kecil berbisik di telingamu dan yang kau dengar adalah angka seratus dua puluh, misal. Berapa banyak manusia di bumi ini yang mati pada usia seratus dua puluh?     Sebagian orang merasa sangat tidak beruntung, andai yang harus dihadapi hitungan hari. Beberapa hanya melamun jika mautnya datang hanya dalam beberapa jam, menit, atau bahkan beberapa detik ke depan. Orang-orang yang mendapat pengetahuan bahwa mereka akan mati dalam hitungan hari akan mencari tempat berdamai atau kadang jug