(Dimuat di Bangka Pos, Minggu, 21 Juli 2019) Biru pasir itu begitu berpengaruh di pikiranku. Aku ingin pulang dan tidur berjam-jam lamanya, tetapi rasa kantuk ini harus kulawan. Aku tidak akan pulang sebelum Ayah kutemukan. Ayahku sudah lama menderita kepikunan. Dari waktu ke waktu tiap tindakannya makin memperkuat dugaanku kalau Ayah tak akan pernah mengenali cucunya sendiri. Anakku lahir tepat ketika Ayah mulai senang bepergian keluar rumah lewat tengah malam. Beliau memang tinggal bersama keluarga kecilku, karena saudara tertuaku tidak terlalu peduli padanya. Saudara kedua bahkan tidak pernah saling bertegur sapa sejak Ayah masih sehat dan kuat bertahun-tahun silam. Hanya akulah anak yang paling patuh padanya, sehingga Ayah pun lebih dekat denganku. Di hari-hari tuanya, Ayah tak memiliki apa-apa. Rumahnya disita oleh pihak bank karena persoalan utang-piutang. Tanpa pikir panjang, aku dan istri memboyongnya ke rumah sederhana kami di kampung nelayan. Kami sudah
Menghibur dengan Sepenuh Hati