Skip to main content

[Cerpen]: "Jalur Rahasia" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Solopos edisi Minggu, 14 Juli 2019)

    Sepulang bekerja, kudapati dapurku berantakan. Aku tak tinggal bersama siapa pun dan sudah dua bulan terakhir tak ada yang ganjil di rumah yang kubeli ini. Awalnya aku menduga ada maling yang membobol. Tapi, tidak lama kemudian, aku tahu tebakan itu salah.
    Aku pikir tikus atau binatang lain tidak membuat kerusakan macam ini; beberapa benda seperti microwave dan kaleng cat yang baru sepertiga kupakai, yang tergeletak di lantai dapur, tidak mungkin digerakkan beberapa tikus.
    Aku tidak membayangkan hal lain selain bahwa seseorang telah mempunyai kunci cadangan rumah ini. Aku membeli rumah ini dalam kondisi bagus dari seseorang yang tidak kukenal. Kabarnya, rumah ini dijual karena pemiliknya bangkrut dan rumah ini harta satu-satunya yang tersisa. Kabarnya lagi, si pemilik rumah ingin kembali ke negeri asalnya di Eropa dan bersumpah tidak akan kembali kemari.
    Tentu itu tidak menjamin tidak ada seorang pun yang memiliki kunci cadangan. Aku dapat memikirkan banyak kemungkinan seperti begini: dulu, si pemilik yang konon tidak pernah menikah itu, memiliki pacar dan orang itu dia beri kunci cadangan. Atau bisa juga pemilik lama mempunyai sepupu atau saudara kandung yang tinggal tak jauh dari sini, yang entah karena persoalan apa, jadi bentrok selama bertahun-tahun. Ketika pemilik rumah ini bangkrut, saudara itu tidak ingin membantu, jadi dia pun juga tidak tahu menahu urusan jual-menjual rumah ini, dan dengan demikian bukan tak mungkin suatu malam saudara yang semacam ini mendadak datang berkunjung untuk sebuah alasan. Misalnya, untuk merebut sesuatu yang menjadi alasan bentrok mereka selama bertahun-tahun.
    Selama semalaman itu aku terus memikirkan ini dan ternyata dugaan-dugaan ini membuatku lebih tenang. Aku tidak memikirkan ada penjahat berniat buruk kepadaku. Aku hanya perlu pergi ke toko bangunan besok pagi dan semua ini akan kelar kurang dari 24 jam.
    Besoknya kuganti seluruh gagang pintu dan jendela dengan kunci-kunci yang juga baru. Aku tidak ingin meninggalkan jejak masa lalu di sini yang dapat mengaitkanku dengan orang-orang jahat yang ingin melukai pemilik lama. Empat atau lima hari lewat, kondisi rumah kembali terasa wajar sampai suatu malam lagi-lagi dapurku kembali berantakan.
    Aku mengumpat habis-habisan dan nyaris menelepon polisi kalau tidak teringat di berbagai sudut di rumahku, terdapat beberapa benda berharga yang justru dibiarkan dan tidak tersentuh oleh tangan siapa pun.
    Ada entah berapa banyak lukisan dan karya seni dengan harga yang cukup fantastis, tapi mungkin orang yang melakukan semua ini sejenis orang lugu atau tolol. Hanya saja, aku belum perlu menelepon polisi dan mencoba mencari tahu sendiri apa yang terjadi? Siapa pelakunya? Dari mana dia masuk?
    Tidak ada jawaban lain setelah kuperiksa betapa tidak ada satu pun lubang kunci di rumah ini yang rusak, selain lubang ventilasi di bagian tergelap dapur, di suatu pojokan yang dekat dengan pintu menuju basement.
    Aku melangkah ke sana dan memasang dua lampu bertenaga besar sehingga titik itu kini terang benderang. Kuperiksa setiap incinya dan kutemukan keanehan pada katup ventilasi yang berada beberapa senti dari jangkauan tanganku ke udara.
    Kejanggalan itu membuatku mulai memikirkan kemungkinan yang sempat kutolak; kubayangkan tikus-tikus terkuat hidup di balik lubang itu, yang ternyata bukan lubang ventilasi, melainkan lubang yang mengantar siapa pun menuju ke ruang bawah tanah.
    Ya, aku sengaja membongkar semuanya, termasuk bagian dinding dan pintu ruang bawah tanah dan kutemukan suatu jalur, mirip jalur rahasia semut; berkelak-kelok, naik turun, bercabang-cabang. Hanya saja lubang itu seukuran lengan orang dewasa.
    Aku dapat membayangkan tikus-tikus mutan yang mungkin lolos dari laboratorium ilegal di suatu tempat dan membangun sarang di sekitar sini. Tikus-tikus itu berukuran setara kucing dewasa (sepertinya) dan mereka tentu saja bakal sanggup untuk sekadar menjatuhkan microwave dari atas dapur.
    Mendadak bulu kudukku berdiri dan kutelepon teman yang cukup berpengalaman menaklukkan binatang-binatang buas. Sejak dulu dia sering bertualang dan membawa cerita-cerita menakjubkan terkait penaklukan berbagai binatang buas dengan tangannya sendiri.
    "Apa yang barusan kamu bilang?" tanyanya seakan-akan kupingnya tuli, begitu dia kuhubungi lewat telepon.
    "Tikus-tikus raksasa menyatroni rumahku!"
    "Sebaiknya kamu kirim fotonya lewat e-mail. Aku tidak tahu binatang yang kamu maksud, tetapi kirim saja fotonya!"
    Aku tidak dapat membujuknya dengan cara apa pun, kecuali bahwa aku telah dapat beberapa gambar dari binatang-binatang laknat itu. Tentunya, aku tidak punya banyak waktu. Aku harus menyudahi semua ini. Aku tidak dapat tidur dengan nyenyak selagi di sekelilingku hidup para makhluk yang bukan tidak mungkin bisa menghabisi nyawaku.
    Dengan berbekal tongkat baseball, aku melangkah ke ruang bawah tanah dan tentu saja semua bermula di sini. Jalur rahasia serupa goa mini tadi ternyata berpangkal di sini, persis di dekat perapian tua yang entah sudah berapa tahun tidak terpakai. Aku bahkan tidak pernah tahu ada tempat seburuk ini di bagian bawah rumahku, jika saja tidak ada yang merusak isi dapurku.
    Tidak jauh dari pangkal goa mini tadi, yang berupa lubang dengan jejak-jejak kaki misterius seukuran kuku jempolku, ada tumpukan benda seperti sendok, pecahan piring atau gelas, kardus-kardus sereal, wadah sabun, spatula, potongan wajan, dan masih banyak lagi. Bermacam benda yang biasa ditemui di dapur itu terlihat menggunung dan dilingkupi debu di sana-sini dan aku pikir semua ini jelas ulah binatang-binatang aneh tadi.
    Tapi, binatang macam apakah mereka?
    Aku tidak dapat melihat seluruh bagian ruangan ini dengan hanya berbekal senter di tangan kiriku. Senter yang kugenggam alakadarnya itu pun tiba-tiba luput dari tangan dan entah berpindah ke mana. Seakan-akan sesuatu baru saja merenggutnya dariku. Aku berteriak panik setelah situasi menjadi gelap gulita. Yang dapat kulihat hanya cahaya di atas sana, di pintu basement yang perlahan mengecil seiring dengan menutupnya pintu tersebut di luar kendaliku.
    Ketika akhirnya semua benar-benar gelap dan tidak ada lagi cahaya yang tersisa, kudengar bisik-bisik di sekitarku, dan mendadak saja sesuatu yang besar menghantam kepalaku.
    Aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku pingsan dan tidur entah berapa lama. Sewaktu bangun, aku sudah berada di sofa di ruang tengah rumahku. Tetapi, kali ini aku tidaklah sendiri. Ada entah berapa banyak orang berlalu-lalang di sekitarku. Mereka sama sekali tidak kukenal, tetapi seakan-akan semua orang mengenalku. Mereka menatap tampang berantakanku yang baru saja bangun dari pingsan seolah inilah yang mereka tunggu.
    Aku pun duduk dan mengingat-ingat sesuatu; barangkali ada beberapa di antara orang-orang ini yang kukenal.
    "Oh, kamu tidak tahu siapa kami. Dan begitupun kami; tidak tahu siapa kamu. Tapi, itu sudah berlalu. Sekarang kami tahu siapa kamu dan kamu pun akan tahu siapakah diri kami," kata seseorang yang secara mengejutkan muncul dari balik punggungku.
    Aku bertanya-tanya dari mana semua orang ini masuk ke rumahku. Seluruh pintu dan jendela sudah kukunci dan seharusnya mereka memiliki sedikit sopan santun.
    Mendengar itu, hampir semua orang yang ada di ruang tengah tertawa.
    Di saat yang bersamaan, orang-orang lain yang tadinya berkumpul di ruang-ruang lain pun berbaris masuk ke ruang tengah. Pada saat ini aku sangat pusing, karena tidak kurang dari seratus orang berkumpul di ruang tengah rumahku dan tidak ada satu pun yang kukenal.
    Akhirnya ada yang sudi menjelaskan; ternyata tiap orang yang kutemui ini dulunya pernah tinggal di rumah yang kubeli. Aku tidak mengerti sampai orang itu mengisahkan tentang ilmu hitam yang dipelajari seorang tukang sihir agar dirinya kekal dan abadi. Ilmu itulah yang membawa siapa pun yang pernah tinggal di sini, sejak berabad-abad lalu, hilang tanpa jejak.
    "Sebetulnya, mereka tidak hilang," lanjutnya setelah menjeda beberapa detik, "tapi berpindah tempat ke ruang bawah tanah dengan pintu yang hanya bisa dibuka oleh siapa pun yang berhati bersih. Dan orang-orang ini, termasuk saya tentunya, dikutuk menjadi seukuran kucing. Sungguh pengalaman yang memuakkan!"
    Sebelum aku panik, orang-orang ini memberiku penjelasan bahwa kami semua tak lagi dikutuk menjadi seukuran kucing. Semua kembali dalam wujud normal dan inilah buktinya; keberadaan kami dalam rumah mewah ini. Dulu, setiap orang di sekelilingku ini selalu abai pada apa pun yang terjadi di dapur. Tak ada aksi yang mereka perbuat, karena mereka terlalu fokus pada uang dan nafsu duniawi.
    "Kami tidak pernah benar-benar mengurus rumah, sehingga tidak berbuat sejauh yang kamu perbuat—yang akhirnya menolong kami lepas dari sihir itu."
    "Memangnya apa yang saya perbuat?" kataku heran.
    "Membuka pintu basement. Tidak semua orang mampu membuka pintu itu, tetapi kamu bisa. Dan di sinilah kita."
    Begitu kutanyakan di mana sang penyihir (yang tak lain adalah makelar rumah ini) kini berada, orang-orang menjawab tidak tahu. Mereka telah menelusuri berbagai lokasi, tetapi tidak menemukan jejaknya.
    Jika saja mereka, orang-orang ini, yang kini telah bebas dari sihir aneh itu, hidup di tahun yang berbeda-beda, bagaimana mungkin pada saat ini tidak ada seorang pun dari mereka yang mati? Bagaimana mungkin setiap orang ini mendadak hidup di satu masa yang sama? Apakah tak satu pun dari mereka yang masih hidup?
    Aku tidak berani mempertanyakan yang terakhir. Pagi berikutnya, aku pergi begitu saja dan membawa barang seadanya. Pergi sejauh mungkin tanpa orang-orang itu tahu dan berharap tidak menemukan keanehan serupa sepanjang sisa umurku. [ ]
   
    Gempol, 2018-2019

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, dan skenario FTV. Karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (2018).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri