Skip to main content

[Cerpen]: "Pengetahuan Baru Umat Manusia" karya Ken Hanggara

(Dimuat di basabasi.co pada 5 April 2019)

    Suatu ketika, dunia berjalan dengan cara yang aneh. Tiap manusia mendapat mimpi tentang hari kematian mereka. Pengetahuan tentang maut, yang jauh sebelum masa saat dinosaurus berkelana di muka bumi akan selalu dirahasiakan, tiba-tiba saja menjadi cara bagi umat manusia untuk menentukan masa depan masing-masing.
    Maut bukan lagi sesuatu yang paling ditakuti. Bahkan, kadang-kadang maut adalah teman sejati, jika kau dapati di sebuah mimpi seorang gadis kecil berbisik di telingamu dan yang kau dengar adalah angka seratus dua puluh, misal. Berapa banyak manusia di bumi ini yang mati pada usia seratus dua puluh?
    Sebagian orang merasa sangat tidak beruntung, andai yang harus dihadapi hitungan hari. Beberapa hanya melamun jika mautnya datang hanya dalam beberapa jam, menit, atau bahkan beberapa detik ke depan. Orang-orang yang mendapat pengetahuan bahwa mereka akan mati dalam hitungan hari akan mencari tempat berdamai atau kadang juga membuat kekacauan yang sangat parah, dengan asumsi dia tak bakal mendapat perkara, meski terang-terangan meledakkan pusat perbelanjaan, misal.
    Memang yang seperti itu terjadi. Beberapa nyawa yang harusnya mati jauh dari itu, harus ikut tewas lebih awal demi orang-orang frustrasi yang masih tak dapat menerima jika tidak lama lagi mereka harus hengkang dari dunia fana. Bagi yang dapat berdamai, pergi ke tempat yang cukup jauh menjadi pilihan terbaik; benar-benar menjauh dan pada suatu tempat yang bisa saja rahasia, seseorang akan membiarkan dirinya mati tanpa ada yang mengganggu.
    Hanya saja, pergi dari kehidupan lama yang sarat rutinitas agaknya juga menggoda bagi seorang lelaki paruh baya, sebut saja Ali Sudarwin, yang setiap hari bekerja di pom bensin, sebagai pembersih toilet dan tukang sapu, yang bermimpi pada suatu malam dia sedang mengendarai balon udara. Di puncak suatu awan, seorang bocah berkata dengan begitu terang: "Dua puluh tahun lagi kamu akan mati."
    "Benarkah?"
    "Ya, betul," kata bocah itu.
    Begitu bangun dari mimpi, Ali Sudarwin tiba-tiba ingin pergi sejauh mungkin dari kamar kostnya yang busuk. Benarkah dia mendapat jatah hidup dua puluh tahun lagi? Tidakkah mimpi semacam ini harusnya hanyalah sebuah bunga tidur? Sebuah hiburan di tempat yang tak pernah memberinya ketenangan?
    Sebagaimana manusia-manusia lain, pada mulanya, di tengah malam yang terasa aneh itu, Ali Sudarwin bertanya-tanya apakah betul mimpinya berdasarkan sesuatu yang akan terjadi? Tentu saja ia sangat ingin itu terjadi. Dua puluh tahun agaknya lebih dari cukup untuk membuatnya pergi sejauh mungkin dari sini. Berbuat apa saja tanpa takut mati; bahkan ia bisa menghibur dirinya sendiri dengan cara-cara sebebas mungkin tanpa bekerja. Jika dulu bekerja adalah cara untuk tetap hidup. Mendapat pengetahuan tentang maut yang akan tiba dua puluh tahun lagi, hidup tanpa bekerja selama itu tidaklah jadi masalah, bukan?
    Mimpi-mimpi ini, entah bagaimana, memang datang menyergap setiap manusia di muka bumi pada suatu malam. Tentu saja anggapan bahwa mimpi ini adalah nyata tidak muncul begitu saja; pada suatu hari seseorang ditemukan mati di atas kasur tanpa ada penyakit atau sebab-sebab kekerasan. Hanya mati saja. Seseorang menemukan catatan di kamar si mayat bahwa dia bermimpi aneh dan dalam mimpi tersebut dia diberi tahu oleh bocah kecil, jika mautnya datang empat hari lewat beberapa menit dari saat dirinya bermimpi itu. Catatan itu mungkin dibuat persis setelah orang tadi bangun akibat mimpi anehnya. Kejadian lain menunjukkan bahwa mimpi tentang pengetahuan kematian juga benar-benar merenggut nyawa seseorang. Seorang public figure berkelakar di hadapan awak media, bahwa dia akan mati dua hari setelah wawancara terkait album terbarunya ini digelar.
    "Dua hari dari sekarang saya akan pergi sejauh mungkin dan tak kembali, Kawan! Ya, itulah yang saya dapat dari mimpi semalam," katanya seraya tertawa begitu keras.
    Lucunya, seluruh wartawan yang berkumpul di sana tak tertawa secuil pun. Setiap orang yang berdiri di sana atau sekadar lewat atau duduk atau bahkan tak peduli di situ ada acara peluncuran sebuah album penyanyi yang terkenal lewat Youtube, yang tidak sengaja mendengar kata-kata sang artis, diam dengan cara yang ganjil. Inilah pertanda bahwa setiap orang memang mendapat mimpi soal itu.
    Entah siapa yang benar-benar memulai. Pada sebuah siaran di radio lokal, seorang pria paruh baya bersumpah bahwa mimpi tentang pengetahuan kematian harus menjadi perhatian setiap orang. Dari siaran radio itu, lalu beralih pada tulisan-tulisan pendek di koran tentang kematian artis Youtube setelah wawancara anehnya, dan media sosial juga mulai mengangkat isu ini. Tak berapa lama, televisi menyusul, dan demikan isu tentang mimpi ini tersebar luas dan mulai diyakini setiap orang. Awalnya ada yang menolak, namun kejadian dan bukti-bukti yang turut menyertai, membuat para penyangkal tidak bisa berbuat banyak selain meyakininya.
    Akibat pengetahuan kematian yang sudah tidak lagi jadi rahasia bagi setiap orang, dunia jadi sedikit berbeda. Di belahan dunia tertentu, peperangan yang masih berjalan, mendadak dihentikan. Di kota-kota yang terkenal damai, ada berita-berita teror terbaru yang didasari oleh kepanikan sebagian orang. Situasi menjadi tak menentu. Toko-toko banyak yang hancur. Gedung-gedung dan seluruh kawasan industri, tempat perputaran uang di seluruh dunia, dioperasikan dengan tanpa maksimal, karena banyak para pekerja dan bahkan petinggi perusahaan-perusahaan itu yang memilih berhenti bekerja atau ada juga yang sudah mati terlebih dulu.
    Ali Sudarwin, si pembersih di sebuah pom bensin di Pulau Jawa, Indonesia, merasa semua ini adalah berkah. Ia tak seperti kebanyakan orang yang berbondong-bondong ke inti kekacauan. Ia malah minggat dengan mencari tempat tersunyi yang dapat dituju di suasana seperti ini. Tak ada yang Ali Sudarwin pikirkan selain pergi terlebih dahulu ke rumah seseorang yang sudah lama disukainya, lalu mengungkapkan cintanya, dan tidak lupa pula bertanya berapa lama waktu yang tersisa untuk perempuan itu.
    "Kenapa kamu hanya diam saja?" tanya Ali Sudarwin mendapati wajah perempuan di depannya justru terlihat ingin menerkam dan menelan sesuatu yang hidup dan kurus dan tak berguna macam dirinya.
    Sebelum jawaban yang ditunggu keluar, seorang lelaki berbadan kekar menggasak wajah Ali Sudarwin sampai dia terguling ke halaman depan, dan hidungnya berdarah. Ia tahu inilah suami si perempuan yang selama ini ditakutinya, yang terkenal mempunyai bisnis-bisnis kotor kelas teri di pinggiran ibu kota. Dengan tenang, Ali Sudarwin berdiri dan membalas dengan tendangan persis di selangkangan pria itu sampai lelaki yang tak ada bedanya dengan pegulat itu tersungkur tak sadarkan diri. Ali Sudarwin tertawa puas dan berkata dengan suara lantang: "Aku sangat mencintaimu sepenuh jiwaku. Dan kini, aku harus pergi, karena aku tahu kamu tak mungkin membalas cintaku!"
    Demikianlah, dia benar-benar pergi tanpa peduli reaksi si perempuan dan suaminya yang pingsan. Ali Sudarwin hanya membawa tas berisi pakaian seadanya, tanpa bekal apa pun selain sedikit uang. Gajinya baru akan cair beberapa hari lain, tapi ia tak peduli. Ia hanya mau pergi sejauh mungkin ke sebuah gunung, atau hutan atau pantai atau ke mana pun dia mau. Ia tak mau lagi bekerja membersihkan kotoran orang-orang. Sudah cukup hari-harinya untuk masa yang kelam itu. Kini, segala yang cerah telah menanti di depan. Dua puluh tahun, tentu, bukan waktu yang singkat. Akan ada banyak waktu bagi Ali Sudarwin untuk mendapatkan cintanya yang paling sejati. Itu bisa dicari ke mana pun dia pergi. Dan itu akan dimulainya hari ini.
    Suatu ketika, dunia berjalan dengan cara yang aneh. Tiap manusia mendapat mimpi tentang hari kematian mereka. Ali Sudarwin, si pembersih di sebuah pom bensin kecil di Pulau Jawa, Indonesia, memutuskan pergi ke sebuah hutan. Tanpa bekal apa-apa, selain pengetahuan bahwa dia tidak akan mati hingga dua puluh tahun mendatang. Tidak ada yang dapat menghentikannya, bahkan lapar sekalipun. Lapar tak akan membuat dirinya mati, karena dua puluh tahun lebih dari cukup untuk membuatnya mencari apa-apa yang bisa ditelan. [ ]

    Gempol, 17 Desember 2018

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Museum Anomali (Unsa, 2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (Basabasi, 2018).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri