Skip to main content

[Cerpen]: "Sebentuk Tubuh, Sebuah Mulut, Sepasang Mata dan Telinga" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto edisi Minggu, 14 Juli 2019)

    1/ Sebentuk Tubuh
    Maka, saya terpotong-potong. Saya tawanan perang di dongeng masa kini. Kepala di bawah, kaki di atas, tumpang tindih, bersatu-padu bersama yang lain, dan banjir amis pekat membuat saya layu.
    Di sini bau keringat sangat mahal, karena dalam hitungan jam sudah akan pergi ke tempat jauh. Hilang dan tidak kembali bau keringat itu, kata saya. Lalu saya benar-benar diam tanpa daya, diseret ke sana kemari, ditendang, dibungkus, dimasukkan ke bagasi, dilepas bebas.
    Tidak sekali-kali saya pergi andai Maria melepas saya ke suatu tanah lapang. Kalau di sungai, saya bisa berkelana ke tempat-tempat yang sangat jauh. Kalau di darat, sedikit demi sedikit bagian saya luruh, minggat tanpa pamit, dan tak usah kembali sebagaimana saya. Sarang semut alangkah banyak. Tuhan menaruhnya di semua tempat.
    Akan lebih baik bila saya dilepas ke sungai. Di mana-mana banyak sungai dan saya menyapa banyak tukang cuci atau para bocah. Saya bertahan lebih lama, hingga suatu hari saya lebih bisa dikenali sebagai masa lalu, bukan hanya sebagai serpih daging oleh kaum semut.
    Sayang, Maria tidak peduli keinginan saya. Lagi pula, bagaimana saya bisa bicara? Saya hanyalah tubuh. Kalau saya mulut, saya bicara sebanyak yang saya sanggup. Saya juga pasti protes. Hanya saja, sebagai mulut, sepertinya saya bakal dilakban.
    Sayang sekali saya hanyalah tubuh, sehingga apa pun itu, saya benar-benar tidak berdaya andai segala hal yang tumpang tindih tadi terpisah dari saya dan tidak ada lagi komponen bongkar pasang di otak korslet Maria yang harus dikembalikan. Itu sungguh bencana bagi saya.
   
    2/ Sebuah Mulut
    Maria membekapku setelah berdebat panjang soal masa depan dan kematian. Aku menang. Aku cerdas. Sekalimat berbalas dua kalimat ampuh. Seperti biasa. Aku unggul. Tentunya dia tolol. Tidak tahu aturan tapi tidak mau diarahkan.
    Kubilang, "Sebaiknya kamu ngaca. Kita tidak pantas bersanding!"
    Dia bukan pasrah dan mengalah dan berkata: oke, aku pergi dan tak ganggu kamu atau Nancy, pacarmu itu lagi—malah menyatroni rumah pemilikku dengan sebilah silet, air keras, dan obat nyamuk cair.
    "Pilih mana?"
    Sungguh biadab.
    Aku mengutuk pemilikku. Bagaimana bisa kenal orang gila ini? Di mana dapatnya? Harusnya bentengi dirimu dari awal, Bung, sebelum telat dan menyesal! Sayangnya kini itu sudah telat dan dia menyesal.
    Demikianlah. Maria menenggak obat nyamuk cair, agar masih mungkin buat dia untuk selamat. Silet, boleh jadi, masih menyisakan hidup. Tapi dia lemas kalau melihat darah dan aku tahu itu. Dulu aku pernah menjilat darahnya secara tidak sengaja, saat ia barusan kena pisau di jempolnya, dan ia menyodorkannya padaku. Sundal biadab. Kalau dengan air keras, wah ... tak perlu orang ber-IQ di atas standar guna mengetahui betapa tindakan itu hanya akan menambah buruk wajah Maria.
    Aku memang bukan sebutir bola mata, tetapi aku tahu banyak hal sebab tidak jauh tinggalku dari sepasang mata dan telinga. Mereka bawa berita-berita perihal si pemilik kami dan Maria.
    Suatu hari mereka menginap di hotel di perjalanan dinas. Di sini, Maria menagih janji. Mempelai pria dan wanita duduk di sana. Pakai baju pangeran dan putri. Alangkah megah dan berkesan. Itu yang ada di kepala bulat Maria. Pemilik kami tidak suka.
    "Gugurkan saja," kata si lelaki pendek.
    Alih-alih menggugurkan, Maria meniduri pasangannya lagi, berlagak seolah patuh, lalu membunuh si lelaki tanpa ampun.
    Aku di sini, sebagai mulut, ingin bersaksi Maria melakukan semua itu tanpa sedikit pun air mata. Memang aku cuma mulut, bukan mata, apalagi telinga. Tetapi, aku tinggal tidak jauh dari mereka.
   
    3/ Sepasang Mata dan Telinga
    Paling malas kalau suatu hari—ketika kami sudah lelah gara-gara pemilik tak henti bekerja demi uang lembur—mendadak ketemu Maria. Oh, Tuhan, kutukan macam apa yang Anda berikan pada kami?
    Sang pemilik mungkin bodoh, atau mungkin picik. Ada dua kemungkinan. Kalau dia bodoh, berarti kurang piknik dan kurang info bahwa di permukaan bumi yang bulat ini ada banyak perempuan cantik. Padahal pemilik kami banyak uang. Kalau nongkrong ke berbagai tempat mentereng sehingga membuat kami yang bertugas melihat semakin payah. Kalau kami yang dengar akan selalu enak, karena hampir tidak pernah ketemu lagu-lagu jalanan yang kami benci.
    Kemungkinan kedua, kepicikan terjadi karena siapa lagi kalau bukan adik pemilik, penghuni dasar dunia kecil yang kami tinggali, dunia berupa tubuh lelaki dewasa gagah perkasa, sehat wal 'afiat?
    Di sini tidak terlalu banyak yang aneh, misalnya beberapa bagian tubuh tidak sehat. Semua sehat, termasuk kami, sehingga penguni dasar dunia kecil yang kami tinggali ini —atau sebut saja seekor 'adik'—sama sekali membuat pemilik kami tidak bisa menolak kemolekan Maria, walau wajahnya jelek.
    "Kamu ngapain pacaran sama perempuan yang mukanya mirip babi begitu?" tanya si Mama.
    Pemilik kami cuma cengar-cengir. Si Mama tidak tahu kalau anaknya ini suka jajan sembarangan di tempat hiburan, sehingga tentang Maria yang tolol dan gratisan adalah sesuatu yang tidak bisa ditolak.
    Kadang kami yang sehari-hari mesti melihat, justru menelan kegelapan sepanjang suara-suara desah tak keruan merayap di sekitar dinding kamar hotel. Berbeda dengan sepasang mata yang sering lihat hal menggelikan, kami yang kedua— sepasang telinga —justru punya informasi baru soal pacar jadi-jadian ini. Cara bicara yang membuatmu teringat huruf 'G' yang diucap bocah kecil yang baru belajar berbicara. Setengah gagap, setengah bau. Tidak gosok gigi bikin cara bicara ini makin mengerikan, tetapi memang tidak selalu, kecuali saat sedang ingin bercinta.
    Kami tidak tahu urusan ini kenapa harus terjadi amat sering dan seperti apa rasanya bercinta? Tetapi sang pemilik dan Maria lumayan sering melakukan sampai suatu hari si wanita bunting dan, demi kehormatan keluarga, juga demi cinta mereka yang sebesar Titanic, dia menuntut agar sang pemilik menikahi dirinya.
    "Tidak sudi. Mending kamu gugurin saja," kata mulut.
    Begitulah akhirnya kami sampai di sini. Gara-gara saran masuk akal menurut tuan kami, Maria melakukan ini tanpa terlihat sedikit pun merasa menyesal.
   
    4/ Tokoh Utama
    Saya bawa tas besar itu dan memasukkannya ke mobil Mudakir. Lelaki itu ganteng, dan brengsek. Beraninya main-main. Begitu diajak serius, malah saya yang rugi. Saya memang niat agar kehamilan ini terjadi. Dan itu memang terjadi. Tetapi saya ditolak dan terpaksa bayi itu mati.
    Saya ajak dia tidur untuk masa penghabisan. Perpisahan, kata saya, lagian anak itu kubunuh. Memang saya ke dokter untuk menghabisi calon penerus. Tapi saya tidak rela Mudakir pergi bersama perempuan lain, walau saya sendiri sudah dipastikan batal jadi istrinya. Bukankah kalau saya tidak hamil, dia mau berkelana di lembah bangsa wanita walau tanpa ikatan?
    Hari ini saya ke kantor polisi dan menyerahkan sebutir kepala mantan pacar saya. Lalu saya mengaku saya masih hamil, sehingga mungkinkah hukuman saya agak ringan? Lagi pula, saya juga mengakui perbuatan saya.
    Tetapi, saya tidak datang begitu saja. Saya tahu ini agak aneh dan sedikit dramatis. Terlalu membawa perasaan bukan sifat asli saya, tapi saya kira kadang ini perlu sebagai pelajaran.
    Selesai melepas satu per satu potongan Mudakir, saya pandangi kepala itu. Mata bulatnya masih melotot dan lidahnya menjulur. Sebagai imbalan atas tindakan ini, saya simpan kepala itu di kulkas, sebelum mengambil benda yang dulu pernah saya bawa ke rumah Mudakir. Ada silet, air keras, obat nyamuk cair. Lengkap tak kurang sama sekali. Begitulah malam itu saya pandangi benda-benda tersebut dengan mata berkilat.
    Sesudah itu, baru saya ke kantor polisi.
   
    5/ Penjara yang Dirahasiakan
    Saya dipenjara, di sebuah sel yang dirahasiakan dari dunia luar agar orang tak tahu dan tak ambil pusing soal kedatangan saya tiba-tiba setiap malam Jumat Kliwon, yakni hari ketika Mudakir terbunuh.
    Malam itu juga saya bunuh diri dalam posisi memeluk kepala Mudakir yang kaku sebab sempat disimpan di kulkas selama sejam. Saya lalu ke kantor polisi. Saya ingin dipenjara, karena setelah dipikir-pikir, saya menyesal telah menghabisi nyawa orang itu, dengan cara kejam.
    Sayangnya, tidak ada yang bisa memenjarakan saya. Maka saya pergi ke penjara, ke sebuah sel yang kemudian dirahasiakan nomor dan segala tetek bengeknya dari dunia luar. Saya ada di situ, tiap malam Jumat Kliwon, memeluk sebutir kepala yang belum selesai menjulurkan lidah.
    Terkadang, kalau sepi, karung-karung itu kembali ke pangkuan saya entah dengan cara apa. Isinya berlompatan dan bersatu dan lantas membentuk lagi kesatuan bernama tubuh kekasih, hingga kami kembali bercinta dan bercinta. Seribu kali semalam. Sangat menyenangkan.
    Jika kamu menemukan bau amis pekat yang membuat layu, di sebuah penjara di suatu kota, yang datang bersamaan dengan potongan jasad yang dapat bergerak-gerak, merayap ke sana kemari, bersatu seperti robot dari masa depan yang kalau dihancurkan sejuta kali pun tetap bakal terus menyatu, serta desah tidak keruan merayap di dinding, maka di situlah kami berada.
    Kamu boleh dekat-dekat dan menguping, tapi tolong, jangan mengintip. [ ]
   
    Gempol, 19 Maret 2017-28 April 2019

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018) dan Dosa di Hutan Terlarang (Basabasi, 2018).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri