Skip to main content

[Cerpen]: "Akhir Hidup Kritikus Bunuh Diri" karya Ken Hanggara

(Dimuat di kompas.id pada 8 Juni 2019)

    1/
    Kalau saya berdiri di sana, orang kira saya bunuh diri. Mereka panik lalu berteriak mencegah saya. Hal setolol itu tidak seharusnya terjadi dan hanya ada di kepala saya. Saya hampir selalu mengira orang yang di posisi ini pasti mau bunuh diri.
    Dari dulu saya lihat banyak orang bunuh diri. Kira-kira enam puluh lima. Kematian demi kematian yang saya lihat tidak seseram yang orang bilang tentang Izrail; tidak ada sosok hitam atau kelebat bayangan sebelum orang yang bunuh diri meninggal. Rata-rata tubuh mereka berproses menuju diam sama sekali. Sebatas itu. Saya juga tidak melihat nyawa orang-orang itu terbang, selain darah atau lidah yang menjulur atau sesekali buih berkumpul di bibir.
    Meski begitu, saya tidak tahu apa enaknya bunuh diri?
    Kata teman, "Kamu bisa lari dari takdir."
    Sungguh bodoh. Lari dari takdir bisa dilakukan dengan cara yang lebih aman. Saya pernah, yakni dengan menjadi orang lain. Tidak harus bunuh diri. Saya tidak suka saat ada orang bunuh diri, walau hampir tujuh puluh kali melihat. Dan, hari ini, saya malu andai orang kira saya mau bunuh diri, padahal di koran-koran saya suka menulis kritik kepada orang yang mati dengan cara bunuh diri.
    Kata teman yang sama, "Percuma lu tulis. Mereka juga sudah mati."
    Saya bilang, tidak apa walau yang baca hanya keluarganya. Ketidaksetujuan saya pada tindakan bunuh diri itu jelas. Lagi pula, siapa tahu tulisan saya berguna buat orang yang nyaris bunuh diri? Kritikan itu berisi segala risiko dan kerugian mati dengan cara yang bukan dikehendaki oleh Tuhan. Orang akan pikir beberapa kali buat melakukannya, bukan?
   

    2/
    Istri saya butuh uang untuk operasi kanker. Kemarin Paman telepon bahwa Bapak habis ditabrak becak dan mati seketika dan ibu saya meraung meminta uang ganti rugi kepada juragan becak namun tidak diberi. Meski dalam situasi stress, saya yang tidak dekat dengan Bapak harus bertindak biar tidak bikin malu.
    Saya katakan, "Biarin saja juragan becak. Uang urusan saya!"
    Dulu waktu kuliah saya kabur dari rumah dan tidak kembali selama delapan belas tahun sampai menikah, punya anak satu, bahkan sampai istri saya kena kanker—yang kata seorang teman akibat melawan orangtua. Saya mengutuk tindakan bunuh diri, tapi tidak mau disalahkan karena orangtua tidak setuju saya berpacaran dengan wanita beda agama. Tapi itu dulu. Saya buang jauh sudah masalah itu. Bapak tidak tahu saya punya anak atau tepatnya tidak mau tahu. Ibu juga tidak pernah telepon saya sama sekali. Tapi, sebagai anak, sayalah yang harus minta maaf.
    Selembar kertas saya raih. Pulpen saya jajal. Tintanya hampir habis. Saya genggam pulpen itu sambil memandang sekitar. Kemeja sudah saya lepaskan. Saya telanjang dada. Angin di sini kencang dan saya ingin kencing. Saya cari sesuatu untuk menjaga kertas itu agar tidak tertiup angin. Tidak ada.
    Saya pakai tas ransel yang berat buat ditindihkan ke kertas dan saya mencari sudut gelap untuk kencing. Itu saya lakukan karena celana panjang sudah saya lepas, hingga akhirnya yang tersisa hanyalah: seorang lelaki bercelana dalam sedang berdiri di atas gedung.
    Saya kencing lumayan lama karena sebelum kemari, sempat minum dua gelas air putih, tiga cangkir kopi, dan setengah gelas susu. Tentu tidak sekaligus. Kalau saja bawa arloji, saya katakan ini pukul 15.30. Saya belum kencing sama sekali dari pagi karena tidak ada yang bisa saya tulis di komputer. Saya berpikir keras dan itu bikin jengkel. Saya benci harus meninggalkan komputer tanpa hasil dan bertemu orang yang jorok di WC umum atau bertemu manusia yang benci kotoran seakan orang lain adalah sumber penyakit. Jadi, air kencing saya cukup banyak.
    Selama kencing, di kepala terkumpul gambar-gambar. Entah istri, entah ibu, entah anak yang minta ini-itu. Saya repot memilah mana yang lebih dulu diutamakan; apakah istri? Saya rasa memang. Saya tidak mau ia mati karena penyakitnya telat ditangani. Ibu? Tidak kalah penting. Kalau sudah bicara uang, Ibu suka memalukan.
    Kalau anak? Saya heran kenapa anak itu keras kepala dan apa yang diminta harus dituruti. Kalau tidak, dia mengancam bunuh diri. "Ya udah, matiin Andin aja! Matiin!" Kata-kata itu bikin saya tidak hanya sulit berpikir saat menulis, tetapi juga sulit makan. Itulah yang bikin saya minum lumayan banyak dari kebiasaan.
    Selesai kencing, saya balik ke tempat kemeja dan celana panjang yang tergeletak. Pulpen dan kertas saya ambil. Karena tidak yakin pulpen itu bertahan sedang pekerjaan saya belum kelar, saya cari alat tulis lain: pensil.
    Ponsel bergetar.
    "Halo?"
    "Papa di mana?"
    "Lagi kerja, Sayang."
    "Pokoknya Andin mau mati! Mati!"
    "Sabar, ya. Besok Papa belikan kamu mobil."
    "Serius?"
    Saya tahu saya salah. Telepon ditutup setelah anak itu melonjak girang dan bicara panjang lebar soal cowok blasteran dan lain-lain, yang entah siapa. Saya tahu ujungnya pasti clubbing atau pesta tidak jelas sampai subuh. Pernah juga ada rumor teman Andin hamil. Dunia sudah edan.
    Saya pusing karena pekerjaan saya sebagai kritikus bunuh diri membikin beberapa orang membenci saya. Mereka anggap saya kurang ajar dan sok beriman, lalu—dengan segala daya, upaya, kuasa—mereka bangun semacam aliansi untuk menjegal saya.
    Beberapa pelaku bunuh diri lahir dari golongan atas; mereka yang berharta banyak dan jenius. Saya tidak tahu apa yang buat mereka nekat, misalnya, menggantung dirinya di jembatan. Lalu saya tulis kritik atas kebodohan mereka di koran dan keluarga mereka membaca lalu tidak terima. Mereka tak menuntut saya, karena, menurut mereka, bunuh diri memang tindakan yang memalukan. Jadi, menjegal karier saya sebagai sang kritikus dirasa lebih dari cukup.
   
    3/
    Sampai juga di sana. Saya berdiri di tepi puncak gedung. Angin berembus dan saya kedinginan. Saya duduk dengan hati-hati agar tidak jatuh dan mulai mengamati sekitar. Tingkat bunuh diri di kota kami besar. Saya tidak sebut nama kotanya; perlu Anda catat bahwa tulisan ini mungkin terbang ke sana kemari, dibawa angin ke tempat-tempat yang jauh, sehingga sampai di kota Anda, lalu Anda baca. Ini bukan tentang kota Anda.
    Di kota kami, jumlah pelaku bunuh diri sangat mencengangkan. Dalam sehari bisa tujuh orang mati. Bahkan pernah belasan. Tapi, yah, tak semua saya lihat dan saya tulis. Yang saya kritik kalau bukan yang benar-benar saya saksikan pada saat yang tak terduga alias tidak sengaja, pastilah mereka yang cukup punya nama. Misal, selebritis idola anak muda atau politikus dengan segala kontroversinya.
    Lima hari lalu saya ditelepon seseorang. Mengingat suara itu, saya jadi agak tenang karena telanjur menyanggupi Andin membeli mobil baru. Sudah saya bilang, "Mamamu jauh lebih penting!"
    Kami tidak memiliki cukup uang, tapi ucapan soal kanker istri kepada anak saya, seakan mengisyaratkan saya punya uang beberapa juta untuk operasi. Anak busuk. Tapi, ia anak saya. Manusia yang lahir dari benih saya. Benar-benar sial.
    Orang misterius itu bilang, "Saya mau Anda mencatat, dari gedung tertinggi di kota Anda, berapa banyak yang bunuh diri dan buat kritikan dari semua tindakan itu."
    Saya paham di kota ini bunuh diri rata-rata dilakukan di tempat umum. Tapi tidak paham apa maksud perintahnya.
    Orang itu menambahkan, "Lakukan saja. Saya tahu Anda butuh uang. Koran mulai menolak tulisan-tulisan Anda yang tajam itu. Kalau tidak salah sebelas kasus bunuh diri sia-sia karena tidak terbit, bukan? Empat bulan keuangan Anda jadi bermasalah. Semua di kota ini tahu siapa Anda, wahai tukang kritik tindakan bunuh-diri. Bukankah keren? Anda satu-satunya yang menulis itu. Anda punya nilai."
    "Jelaskan intinya. Saya tidak paham!"
    "Kematian tidak selalu buruk. Orang memilih mati karena alasan jelas, bukan cuma takdir. Mungkin sebagian ingin hidupnya tidak lagi jadi beban bagi orang tercinta."
    "Anda sinting!"
    "Mungkin ucapan saya tidak benar. Kenyataannya ada yang begitu."
    "Jadi?"
    "Anda mau uang?"
   
    4/
    Pagi hari, saat orang memulai aktivitas dengan tubuh bugar, memungkinkan Anda gagal mati. Mereka cegah Anda dengan tubuh dan pikiran segar. Peluang sukses: 13%. Tidak tahu apa orang lain punya hasil beda jika menghitungnya, tapi ini pekerjaan saya dan saya satu-satunya. Ini bidang saya. Jadi, saya pilih sore hari.
    Di utara, puncak salah satu mal, seorang lelaki menggantung diri dengan sabuknya. Persis pukul 15.48. Kekacauan berpusat di sana. Belum ada yang tahu saya di gedung tertinggi dan menulis bahwa orang itu bisa saja melanjutkan hidupnya dengan pura-pura gila. Di barat, menyusul satu jam kemudian, seorang wanita terjun dari menara gereja. Kerumunan berpindah. Raungan ambulans bikin saya tenang.
    Dua kematian, enam paragraf. Kematian ketiga? Mungkin hari ini cuma dua. Enam paragraf di dua sisi kertas saya olah jadi sepuluh paragraf. Selesai menulis, saya lipat kertas itu dan saya selipkan di bawah ransel dekat tempat saya duduk.
    "Satu-satunya. Anda tahu berapa nilai Anda?"
    "Berapa?"
    "Enam milyar."
    Saya bilang, saya butuh jaminan. Dia bilang, jangan khawatir. Telepon istri Anda persis setelah pekerjaan menulis selesai—sebelum Anda akhiri. Maka, dari sini, detik ini, saya telepon istri dan menyuruhnya mengecek rekening.
    "Nanti sisanya setelah Anda bereskan. Paham?"
    "Baiklah."
    Maka, saya selesaikan. Demi istri, demi ibu yang gila duit, dan demi—tentu saja— Andin yang mengancam mati. Persetan kematian atau Izrail. Biar saya saja yang mati, daripada mereka. Saya tidak tahu apa yang harus saya tuliskan kalau ketiga orang yang paling berarti dalam hidup saya itu memilih bunuh diri karena kecewa. Yang terpenting untuk saya pikirkan saat ini adalah: semoga penelepon itu tidak bohong. [ ]
   
    Gempol, 2016-2019
   
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (2018).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri