Skip to main content

[Cerpen]: "Kota tanpa Manusia" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Padang Ekspres, Minggu, 16 Juni 2019)

    Belum lama ini sepertinya orang-orang mengejar saya. Ada yang membawa batu, double stick, tongkat baseball, pedang, dan bahkan ada beberapa juga yang membawa senjata api. Orang-orang itu tampak geram. Saya tidak tahu di mana saya terbangun. Siang itu saya cuma tahu seseorang baru saja mengantarkan minuman dingin ke meja yang saya tempati. Saya duduk di pojok sana, di dekat mesin pemutar musik yang sudah bobrok, hingga saat seorang bocah coba memilih musik di sana, seseorang di seberang ruangan, yang entah siapa, berteriak pada si bocah agar sebaiknya pergi dari situ.
    "Barang rombeng itu tidak membuatmu terhibur!" katanya.
    Saya pikir pemutar musik itu rusak. Orang yang berteriak itu barangkali pemilik tempat ini atau sekadar orang yang memahami tempat ini, karena terlalu sering kemari. Mungkin. Tempat macam apa ini? Jika ini sebuah kedai, kenapa begitu sepi? Bagaimana saya bisa ada di sebuah kedai dengan pemutar musik yang sudah bobrok?
    Saya coba mengingat-ingat lagi seluruh kejadian jauh sebelum itu, tapi saya cukup kepayahan. Bahkan untuk berjalan lurus saja belum becus. Saya memutuskan berdiri di dekat sebuah mobil dan berpegangan pada kendaraan itu sambil menatap genangan air di mana-mana. Hujan pasti belum lama mengguyur kawasan ini. Saya tatap sekeliling. Tidak ada siapa pun kecuali seekor anjing yang mengendus-endus sesuatu di selokan di dekat pom bensin.
    Saya tidak tertarik pada anjing jenis apa pun. Saya hanya memikirkan apa yang tak saya ketahui tentang tempat ini? Bagaimana saya berada di sini? Bangunan-bangunan di sekitar situ juga tampaknya kosong; beberapa pintu terbuka, tetapi setelah saya periksa kemudian, tidak ada siapa pun di sana. Dan, inilah yang menarik: saya mendapati aroma gosong dari sebuah dapur.
    Saya ingat sedikit saja tentang tempat yang menguarkan aroma gosong ini. Kepala saya mendadak saja berdenyut, dan seakan-akan ada lonceng kecil di dalam sana, saya pun dapat melihat beberapa potong momen dari saat sebelum saya tidak sadarkan diri. Lonceng itu berasa berdenting-denting dan di tiap dentingnya sebuah suara, yang mirip suara saya, yang juga menghuni bagian dalam otak saya, bersuara, seperti misal: "Kursi di pojok itu tempat saya kentut diam-diam sambil menunggu minuman dingin itu tiba."
    Saya juga teringat sedikit tentang pelayan wanita, bukan pria, yang pergi menuju ke meja tersebut seraya meletakkan gelas berisi minuman dingin dengan warna kuning cerah. Parfum wanita itu juga melesap masuk ke ingatan, yang membuat saya terkenang pada masa-masa saya masih sangat muda dan penuh gairah. Pada saat itu saya merekam aroma tertentu dari ketiak perempuan yang saya kagumi, yang juga memberikan saya pengalaman pertama bercinta. Aroma parfum kedua perempuan ini sama, dan karena ini jugalah kemudian saya sempat merasa bagian bawah tubuh saya bergetar. Pada saat itu, di dekat saya, seorang bocah sedang sibuk mengamati sebuah mesin.
    "Siapa orang yang berteriak tadi? Dari mana bocah tersebut dan pergi ke mana dia setelah diusir?" bisik saya secara tidak sadar saat tiba di dapur dan denting demi denting lonceng dalam otak telah sirna.
    Di sana tersaji beberapa potong daging gepeng yang telah hangus dan tidak lagi menyerupai daging. Beberapa benda terbakar dan jika saja saya datang terlambat, tentu tempat ini sudah kebakaran. Meski masih kebingungan tentang apa yang telah menimpa saya, saya tidak mungkin membiarkan api membakar tempat ini. Saya padamkan api itu dengan cara mengambil beberapa kain basah yang tergeletak di dekat rak untuk mencuci piring, lalu melingkupkannya ke alat pemanggang dan meja kayu yang ada di sisinya.
    Setelah api padam, saya buka jendela kecil yang ada di atas kompor dan menyadari betapa tempat ini bukan sekadar pom bensin dengan tempat makan serta mungkin juga tempat menginap untuk umum (bangunan-bangunan lain yang sebelumnya saya amati pintunya sudah terbuka dan dari luar terlihat perabotan kamar seperti tempat tidur dan sejenisnya). Dari pemandangan yang saya dapatkan dari jendela dapur, saya sadar tempat ini rest area di gerbang sebuah jalan tol.
    Maka, saya berjalan keluar, dan kali ini langkah saya sudah agak mantap. Tak lagi terasa pusing. Saya mulai menghitung ada berapa mobil yang terparkir dan mencoba sekali lagi menemukan seseorang, tapi bahkan setelah memeriksa ke satu-satunya toilet yang ada, saya tidak menemukan satu pun makhluk selain diri saya dan anjing tadi.
    Saya bisa saja pergi dengan salah satu mobil yang tergeletak. Ada sebuah mobil yang sangat mirip dengan mobil seseorang yang saya kenal, lalu saya pun mencoba untuk mengingat-ingat sesuatu. Jauh sebelum orang-orang bermata geram itu mengejar saya dengan segala benda dan senjata, bahkan jauh sebelum perempuan yang membuat saya terkenang akan persetubuhan pertama saya mengantarkan jus jeruk, saya telah melihat mobil ini. Tidak salah lagi. Begitu lonceng aneh dalam otak saya bersuara sekali lagi, saya pun ingat bahwa dengan mobil inilah saya tiba di tempat ini.
    "Tapi, untuk apa?"
    Saya masih belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Saya hanya bisa duduk di bangku kemudi mobil milik kenalan saya tersebut sambil mencari potongan ingatan lain yang belum tergenapi. Pada saat itu, anjing tadi berlari-larian pelan menuju ke arah sini sambil membawa sesuatu pada moncongnya. Begitu agak dekat, saya tahu anjing aneh itu membawa sepotong telapak tangan.
    Saya melompat keluar dari mobil dan mencegat anjing tersebut demi mencari tahu telapak tangan milik siapa itu. Siapa tahu saya melihat semacam tanda tertentu di sana sehingga secara tidak terduga ingatan lain akan kembali pada saya dan saya tahu alasan kenapa saya bisa ada dalam kondisi seganjil ini.
    Anjing itu bukannya lari atau melawan, tapi dia muntahkan telapak tangan itu dan segera berbaring dengan kepala menunduk-nunduk seakan takdirnya hanya boleh patuh kepada saya. Ketika saya dekati, anjing itu melenguh pelan dan kemudian berlari amat cepat ke arah jalan tol. Saya tidak dapat mengejarnya. Saya tidak mengenal anjing itu. Tidak ada ingatan apa pun soal dirinya. Yang saya tahu cuma anjing itu tidak melawan.
    Untuk sementara, urusan anjing siapa itu tidak lagi saya pedulikan, karena telapak tangan tadi jauh lebih aneh. Saya periksa telapak tersebut dan tidak menemukan tanda apa pun di sana. Saya hanya membuangnya ke tempat parkir, karena semut-semut telah merubungnya. Bagaimana anjing tadi dapat mengatasi rasa sakit dirubung semut yang kemungkinan telah lebih dulu merubung telapak tangan misterius itu?
    Pada akhirnya, saya pun memutuskan pergi saja setelah berpikir cukup lama tanpa ada ingatan apa pun yang kembali. Sepanjang perjalanan, saya tidak menemukan mobil atau kendaraan lain apa pun, kecuali beberapa benda bergeletakan di tengah jalan raya. Sejak meninggalkan gerbang tol, saya juga tidak melihat seorang pun melintas. Jalanan benar-benar sepi. Semuanya terasa sangat aneh dan memusingkan setelah saya tiba di pusat kota dan tak menemukan satu pun makhluk selain diri saya sendiri.
    Apa yang sebenarnya terjadi? Ingatan yang tak lengkap tadi itu soal apa?
    Mendadak saya ingat aroma parfum pada tubuh si pelayan wanita di rest area tadi, dan mencoba berkhayal sedikit untuk melupakan keanehan ini yang membuat saya ketakutan. Saya berkhayal menemukan seorang wanita di bar atau kafe atau bahkan di toko buku, dan kami pun berkenalan, lalu mengobrol, dan tidak lama sesudahnya kami bercinta. Pasti itu akan jadi momen paling menyenangkan saat keadaan kota seaneh saat ini.
    Maka, demi membuang ketakutan-ketakutan yang belum jelas pangkalnya ini, saya pergi ke sembarang arah sambil jalan kaki dan memasuki setiap bangunan, memeriksa setiap sudutnya, memanggil siapa pun dengan kalimat minta tolong atau bahkan makian. Tidak ada hasil sampai malam merambat. Tidak ada seorang pun yang saya temukan.
    Saya mencoba bersabar dengan bersumpah akan mengulangi sekali lagi usaha ini besok pagi, dan demi membuat ketakutan tadi agak terobati, saya membayangkan kalau sebenarnya tidak perlu ada hari esok yang serupa hari ini. Dengan kata lain, besok pagi orang-orang pasti kembali. Kota kembali hidup. Saya tidak lagi bertanya-tanya karena ada seseorang yang menjelaskan segala sesuatunya pada saya.
    Tetapi, esok masih sama. Kota ini tetap tanpa manusia, kecuali saya. Ada beberapa kucing dan anjing yang kemudian saya jumpai, tetapi mereka berlari ketakutan bahkan sebelum saya mencoba mendekat. Apakah dunia ini kiamat? Beginikah bentuk kiamat? Orang-orang mendadak tak ada di segala penjuru. Bagaimana dengan diri saya? Kenapa saya masih di sini?
    Pada hari itu saya berkendara dengan mobil lain yang tergeletak di depan restoran Cina yang pintunya terkuak. Saya makan sebentar di sana sebelum berkendara dan tidak menemukan ingatan apa pun sehingga rasa takut ini sampai pada puncaknya. Saya tidak bisa terus di sini. Saya harus ke kota sebelah dan berharap ada seseorang di sana yang menyambut saya.
    Memang benar. Saya sangat girang hingga melonjak-lonjak saat menemukan para lelaki berbaris di perbatasan kota sebelah. Mereka menatap saya dengan ekspresi yang sangat ganjil. Saya tidak tahu apa yang orang-orang itu pikirkan. Saya kira keanehan ini juga mengacaukan batin mereka. Begitu mobil saya cukup dekat, orang-orang itu malah mengangkat segala senjata yang ternyata sejak tadi mereka bawa tanpa saya sadari.
    Saya tidak tahu apa yang terjadi, tetapi orang-orang itu menyuruh saya segera pergi ketimbang menyesal untuk selamanya. Tentu saja saya belum mendapat penjelasan apa pun, tetapi bahkan orang-orang ini tidak ingin memberi saya kesempatan untuk bicara. Saya pun pergi entah ke mana, dengan hati yang benar-benar hancur. [ ]
   
    Gempol, 21 Mei 2019

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, dan skenario FTV. Karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Dosa di Hutan Terlarang (Basabasi, 2018).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri