Skip to main content

[Cerpen]: "Berakhirnya Kuasa Tuan Tanah" karya Ken Hanggara

(Dimuat di ideide.id pada 11 Juni 2019)

    Tuan Markoni memberiku segenggam tanah untuk kubawa pulang. Orang-orang di teras rumah mewah itu menatapku gembira. Aku tak bisa berkata apa-apa. Bukan karena tak mampu melawan, melainkan terlalu banyak lelaki bertubuh kekar berdiri mengawal tuan tanah keparat itu. Akhirnya, aku mundur. Pulang, meski jelas semua tahu entah ke mana aku bisa pulang. Satu-satunya yang terlintas di benakku adalah rumah Sapono.
    Rumah itu terletak di tepi desa, dekat sebuah hutan dan jurang yang semenjak dulu dikabarkan sebagai titik terkutuk; iblis dan sekutunya kerap bercengkerama di jurang itu. Tidak sedikit orang mencari harta dan kuasa di bagian tergelapnya. Entah sejak zaman apa jurang dan hutan itu dianggap keramat dan entah berapa banyak orang yang sudah membuktikan. Orang-orang desa sendiri tak tahu. Mereka hanya berkata, "Sapono yang tahu tentang itu."
    Aku sendiri mengenal Sapono sejak masih kecil. Setahuku, dari dulu hingga kini dia tampak seperti itu-itu saja. Tahun demi tahun menggiringku ke kedewasaan. Wajah Sapono tetap sama seperti saat aku pertama kali melihatnya.
    Tidak ada orang yang dekat dengan Sapono. Orang kerap bercerita yang aneh-aneh tentangnya, meski tidak ada bukti. Seperti tentang keluarga yang dia miliki, yang hilang tidak tentu rimbanya di hutan tersebut karena sebuah ritual sesat, namun tidak pernah ada usaha dari Sapono untuk mencari mereka. Versi lain mengatakan, dia menjadikan anak istrinya tumbal agar bisa hidup abadi. Tuduhan ini agak lebih mendekati masuk akal. Pasalnya, seperti yang sudah kubilang, wajah Sapono seakan terkurung oleh waktu; tak berubah bahkan mungkin hingga kiamat tiba nanti.
    Jika kini seseorang memotretku dan Sapono yang sedang duduk berdua, barangkali siapa pun yang melihat hasil potretnya akan menganggap kami seumuran. Tentu saja dia jauh lebih tua dariku. Aku sendiri tak pernah tahu bagaimana wajah istrinya dan juga tak pernah memiliki kenangan apa pun tentang seorang Sapono yang berkeluarga. Bagiku dan teman-teman sepantaranku, sedari dulu Sapono sudah terkenal sebagai lelaki tidak waras yang penyendiri.
    Dulu aku dan teman-teman suka menjadikan Sapono bahan ledekan, sebab mengira dia gila. Tapi, kami tak melakukannya di depan yang bersangkutan. Kami akan bersikap sopan dan tenang saat Sapono sang pendiam melintas, lalu menjadikannya bahan-bahan cerita humor yang kami buat sendiri begitu dia sudah sampai di jarak yang kiranya tidak bakal bisa mendengar ledekan kami. Jujur saja kisah-kisah kami tentang Sapono sangat keterlaluan, sehingga ketika usia kami sudah cukup disebut remaja, aku merasa sangat berdosa padanya, dan berhenti melakukan itu, meski sebagian teman masih saja gemar meledek Sapono di belakang.
    Sayangnya, perjalanan hidup yang tak mulus membuatku jarang lagi bisa bersama teman-teman. Waktu itu orang tuaku tak bisa berbuat apa-apa selain berutang ke seorang tuan tanah sekaligus lintah darat, Tuan Markoni, untuk menumpas penyakit aneh yang menggerogoti Ibu. Itu terjadi dua puluh tahun lalu. Ibu tidak sembuh. Dokter jelas tak bisa mencoba usaha lain karena tidak ada lagi yang bisa dipinjam dengan catatan utang dan bunga yang terlalu menumpuk. Ayahku, meninggal dalam lelah dan putus asa.
    Suatu ketika, saat tiap anak lelaki berlomba-lomba mencari perempuan, aku malah bekerja susah payah dari pagi hingga larut malam di pabrik pengolahan limbah milik Tuan Markoni. Gajiku sebagian besar dipotong guna mencicil utang pembiayaan ibuku dulu, sedangkan sedikit sisanya kupakai untuk makan seadanya. Dalam situasi semacam itulah, kedekatanku dengan Sapono mulai terjadi.
    Awalnya, aku menangis sendiri di tepi hutan dengan pikiran-pikiran akan mengajak iblis bersekutu demi memberiku kekayaan. Bagaimana tidak? Aku sudah buntu akal. Di tahun ke tujuh belas semenjak aku mengabdi pada tuan tanah itu, utang-utang kami tak juga dianggap lunas, padahal menurut hitunganku, utang kami sudah lunas sejak lima tahun lalu. Bunga yang terlalu gila dan tak masuk akal, yang terus berkembang dengan sesuka perut sang tuan tanah, menjadikanku tidak henti diperdaya, entah sampai kapan. Demi melihat teman-temanku telah menata hidup mereka, sedang aku sendiri entah tak ada yang tahu akan berakhir seperti apa, ingin rasanya aku bersekutu dengan iblis dan lepas dari jerat lintah darat itu.
    Aku belum benar-benar memasuki bagian tergelap jurang dan hutan ketika Sapono tiba-tiba menyapa dan mengajakku pulang ke rumahnya. Entah bagaimana dia mengerti perutku lapar. Dia menyuruhku makan sampai tidak mampu lagi menelan makanan. Dia bahkan memberiku uang untuk bekal sepekan ke depan.
    Aku tidak tahu cara membalas kebaikan orang, karena sepanjang hidupku tidak ada orang yang benar-benar berbuat baik padaku, kecuali Sapono. Maka, sering kali, di saat lelah dan tak ada pekerjaan di pabrik, aku pergi ke rumahnya. Sekadar menemani lelaki itu memandangi pepohonan liar dari belakang rumahnya. Kadang, kami duduk di depan televisi butut yang tak bisa lagi dinyalakan dan berbicara sepatah dua patah kata tentang hal-hal di luar sana; tentang perkotaan, tentang manusia modern, tentang politik, tentang apa pun. Tapi, tak pernah membahas diri kami sendiri. Karena itulah, meski mulai dekat dengan Sapono, aku belum juga tahu kebenaran tentang dia. Aku pun juga tak kepikiran untuk bertanya padanya.
    Suatu saat, Sapono bertanya, "Kamu percaya yang orang bilang tentangku?"
    Aku tak bisa menjawab, namun dia memberikan sedikit gambaran bahwa yang tiap orang sampaikan di luar sana tak sepenuhnya benar. Sapono tak memberikan penjelasan secara mendetail, tapi aku pernah melihat boneka berdebu di sudut ruang tengahnya. Di dapur aku juga pernah melihat celana dalam wanita dewasa yang sudah sangat kumal, yang dialih-fungsikan menjadi kain pel. Dengan pemandangan macam itu, kuasumsikan jika dulu Sapono benar pernah berkeluarga dan memang betul keluarganya kini tak lagi hidup bersamanya; entah apa yang terjadi, aku tak pernah ingin bertanya.
    Suatu kali yang lain, Sapono bertanya, "Kamu ingin menjadi kaya?"
    Tentu kujawab, "Ya, agar dominasi Markoni berhenti sesegera mungkin!"
    Kukatakan padanya kalau selama ini Tuan Markoni memang sengaja memperdaya diriku (dan beberapa orang malang lainnya, kukira) agar bisa memberinya pundi-pundi uang selagi dia terus memeras uang dari siapa pun yang berutang padanya. Bahkan ada pula rumor yang mengatakan, selain memiliki pabrik biasa, dia juga mengatur judi-judi tertentu di tempat paling strategis di kota, sehingga bisa dibilang dialah orang terkaya di desa sekaligus paling berkuasa, meski tidak memiliki jabatan apa pun. Kepala desa pun kabarnya tunduk pada telunjuk Tuan Markoni.
    Demi mendengar celotehku, Sapono cuma tersenyum dan, untuk pertama kalinya, dia mulai menyinggung tentang jurang dan hutan itu. Aku mendengar seluruh detail di obrolan kami kali ini. Aku menyimpan seluruh bagiannya, bahkan yang paling sepele. Sepulang dari obrolan yang kurasa sangat mendebarkan itu, aku terpikir untuk melawan. Tidakkah tujuh belas tahun cukup membuat seorang pemuda merasa muak?
    "Kutunggu di sini," ucap Sapono sebelum aku pergi saat itu.
    Aku kembali lima hari kemudian. Sapono menatap hampa begitu segenggam tanah pemberian Tuan Markoni kucampakkan ke halaman rumahnya. Itulah hasil perjuangan untuk seluruh hartaku yang tersisa di dunia ini. Rumah beserta isinya, disita oleh tuan tanah itu lantaran ucapanku yang mulai menolak untuk mencicil utang yang seharusnya sudah lama kulunasi. Aku mengomel panjang lebar, tetapi Sapono tidak berkata apa-apa selain hanya tampak seakan sedang menunggu sesuatu.
    Selepas omelanku kelar, Sapono bersuara, "Bagaimana?"
    Aku mengangguk. Kali ini benar-benar tanpa keraguan. Aku bahkan yakin meski di sisiku tak ada Sapono, aku pasti bisa menelusuri sudut-sudut hutan dan jurang, untuk mencari bagian tergelap yang kabarnya hanya bisa ditemukan oleh mereka yang sedang beruntung. Penanda bagian tergelap itu, konon, adalah sebuah prasasti berupa batu nisan yang menancap tepat di dekat pohon kersen.
    Sapono, dengan tubuhnya yang tampak kurus, begitu mudah menerabas tumbuhan liar dan semak belukar yang menghalangi, sementara aku kesulitan di beberapa bagian hingga suatu ketika aku tertinggal cukup jauh darinya. Pada satu titik, lelaki itu berhenti di depan sebatang pohon. Aku tahu di situlah bagian tergelap yang telah lama menjadi dongeng dan legenda di desa kami.
    "Tidak ada yang dapat mencapai titik ini, kecuali aku. Dulu hingga beberapa menit yang lalu, hanya aku. Sekarang kita berdua di sini. Apa yang kamu minta?"
    Aku tak bisa berkata-kata. Aku membayangkan banyak hal. Aku tak bisa mencoba memikirkan uang. Aku juga tak boleh memikirkan wanita secantik bidadari yang sedari lama kudamba. Aku hanya diperkenankan memikirkan wujud binatang liar. Sementara aku membayangkan kematian terburuk macam mana yang pantas bagi seorang rentenir, aku tahu pada saat itu pula Sapono tampak menatapku penuh dengan hasrat yang seakan lama dia tahan. Setelah wujud binatang itu kuputuskan, yakni seekor buaya, Sapono tak lagi bisa menahan hasratnya dan berkata, "Ini saatnya kuwariskan ilmuku. Menikahlah suatu hari nanti dan jangan berhenti hanya padamu."
    Kami pun memeluk batu prasasti itu. Mantra-mantra mengapung pada udara jurang yang pekat dan gelap. Tubuhku terasa dingin dan kaku, tapi kemudian segalanya terasa sangat aneh. Aku merasa tubuhku bebas dari seluruh penyakit. Aku merasa tersucikan, tapi Sapono mendadak terlihat sangat renta.
    "Pergilah, Nak, pergilah," demikianlah ucap lelaki tua itu. "Bereskan tuan tanah itu dulu sebelum membantuku pulang."
    Aku berlari sederas yang kubisa. Aku berlari dan berlari dan mendapati sisik demi sisik bertumbuhan pada permukaan kulitku. Aku tersandung dan jatuh, tapi dapat terus berlari dengan dua tangan dan dua kaki, tapi kemudian tanganku tak lagi terlihat seperti tangan. Seluruh bajuku robek dan kini aku melesat liar ke rumah musuhku dalam wujud lainku. [ ]

    Gempol, 27 Mei 2019

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, esai, puisi, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (2016), Babi-babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-hara (2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (2018).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri