Skip to main content

[Cerpen]: "Kapten Tua" karya Ken Hanggara

Gambar dari pixabay.com
(Dimuat di Cendana News dengan judul Kapten Kapal pada Sabtu, 20 Juli 2019)

    Seorang kapten kapal ditemukan mati tergeletak di kolong bus. Tak ada yang tahu di mana terakhir lelaki tua itu terlihat; mereka hanya lama tak mendengar suara khasnya saat bernyanyi lagu-lagu dari Prancis atau Inggris. Bahasa itu sangatlah asing di kuping seluruh warga desa, kecuali segelintir saja, yang sayangnya tak pernah ada waktu untuk menjelaskan maksud setiap lagu tersebut. Jadi, orang hanya akan tahu andai suatu pagi yang dingin tiba-tiba seseorang bersenandung dengan bahasa aneh, bahwa di sanalah dia berada, sang kapten tua yang nyaris tak memiliki teman dekat.
    Kapten tua punya kapal yang juga tua, yang lama tidak beroperasi. Tiada yang tahu kapan terakhir kali kapal tersebut disandarkan ke dermaga, tetapi para nelayan pastilah bisa mengerti kalau kapal yang dimaksud hanya akan menjadi rumah, meski sehari-hari itu berada di antara perahu-perahu kecil yang setiap hari memburu ikan. Kapal tua milik sang kapten diperkirakan tak bisa dijalankan lagi, karena terlalu lama menganggur serta tak pernah dirawat atau diperbaiki dan benda raksasa itu hanya ditinggali seakan-akan itu rumah dengan menyerap air dermaga sepanjang waktu, embus angin, terik matahari entah berapa dekade, dan, tentu saja, guyuran kencing dan tinja pemiliknya.
    Sang kapten memang tak memiliki rumah di desa itu, dan tak ada yang tahu juga di mana dia dulu berasal. Orang hanya mengerti dia memberikan sesuatu yang banyak dan berarti bagi desa pada masa yang lama berlalu, dan mereka pun menganggapnya bagian dari desa ini tanpa ada persoalan apa-apa.
    Sejak awal, kabarnya sang kapten kapal tak pernah menikah, sehingga hidupnya di sekitar dermaga dan desa sebagian diisi oleh wanita-wanita yang patah hati olehnya, dan hanya sebatas itu. Tak ada bayi, tak ada janji pernikahan, tak ada urusan atau perkara apa pun yang perlu disesali, kecuali waktu yang terus berputar.
    Barangkali, bagi sang kapten, waktu adalah barang tak berharga, sehingga tak ada yang pernah mendengarnya mengeluh tentang tubuhnya yang mulai gampang lelah dan sakit-sakitan. Orang lainlah yang justru melihat dirinya makin membungkuk dari waktu ke waktu dan mulai menaruh perhatian, meski tak pernah bisa sedekat yang mereka bisa harapkan.
    Sang kapten memang gagah perkasa; bekas petualangan masa mudanya tersebar di berbagai sudut kapal dan lorong-lorongnya, andai seseorang mendapat kesempatan bisa pergi menengok tempat tinggalnya itu. Entah berupa pedang-pedang dari berbagai suku dan kerajaan di belahan bumi lain, entah tulang-belulang binatang langka atau siluman dari pulau mistis (seperti yang dulu kerap dia kisahkan), entah juga berupa baju wanita dengan desain yang sangat aneh dan tak cocok untuk dikenakan oleh penduduk daerah sini, bahkan yang tercantik sekalipun. Dengan jejak masa mudanya itu, sang kapten tak pernah mau menerima bantuan dari siapa pun, sebab itu, agaknya, membuatnya merasa dikasihani. Dia menolak situasi itu.
    Maka, sang kapten pun tak banyak memiliki teman. Segelintir orang saja yang tahu dan paham betul bagaimana isi kapal sang kapten. Tak ada siapa pun yang bisa masuk sembarangan ke "rumah"-nya itu, kecuali ingin menerima sakitnya ditembak oleh sang kapten yang masih bermata tajam meski berusia senja.
    Sejak dulu juga, beberapa kali, sang kapten menghilang dari segala sudut desa; di pasar, di pelabuhan, di dermaga, bahkan di rumah bordir tempat di mana dia membunuh waktu masa mudanya yang terakhir, juga tak ada. Orang-orang lalu tahu bahwa kadang sang kapten juga butuh pergi ke berbagai tempat di masa mudanya untuk beberapa hal yang dulu belum dia bereskan, dengan berjalan kaki tentu saja.
    Tak ada yang tahu urusan macam apa itu atau ke mana dia pergi, tetapi toh kapten tua itu selalu kembali. Saat orang desa lama tak mendengar suara nyanyiannya, mereka kira sang kapten lagi-lagi pergi ke suatu tempat yang hanya dia saja yang tahu, namun suatu hari, setelah entah berapa lama laki-laki tua itu tak kelihatan batang hidungnya, tak sengaja seseorang menemukan tubuh kakunya di bawah kolong bus bekas yang tak lagi dipakai.
    Tubuh itu membusuk sedemikian rupa, dan orang menebak kematian sang kapten berlangsung beberapa hari sebelumnya. Jika demikian, berarti, dia telah pulang kemari sebelum benar-benar mati. Bagaimana mungkin orang tidak tahu?
    "Atau, ada yang membunuhnya di suatu tempat? Maksudku, seseorang di luar sana, yang barangkali dahulu adalah musuh bebuyutannya? Setelah dibunuh, Kapten dibawa ke sini, dibuang ke kawasan yang orang-orang ketahui sebagai tempat di mana kapalnya terakhir bersandar!" tebak seseorang.
    "Tidak. Kurasa dia keracunan makanan," bantah yang lain.
    "Bagaimana kalau dia kebetulan hanya meninggal saja?"
    "Kok bisa?"
    "Maksudnya?"
    "Kok bisa meninggal di kolong bus tua?!"
    "Mungkin dia sengaja tidur di situ selagi merasakan kematian akan datang padanya, dan dia enggan merepotkan kita dengan mengurus tubuhnya."
    "Sekarang kita juga masih harus mengurus tubuhnya, kan? Tebakan yang aneh!"
    "Setidaknya sekarang tubuhnya busuk dan mungkin petugas rumah sakit dan polisi yang justru bekerja!"
    "Benar juga."
    Memang, setelah sekelompok polisi datang dan memeriksa TKP, serta menanyakan beberapa hal pada warga, jasad kapten tua dibawa ke rumah sakit untuk diurus di sana. Tak berapa lama, jasad itu kembali bersama peti kayu sederhana dan orang-orang desa pun serempak menguburkannya. Hanya saja, tak banyak yang hadir karena itu jam sibuk. Banyak yang pergi melaut atau ada acara tertentu di kota, hingga para pelayat tak lebih dari tiga belas orang. Kata seseorang, itu angka yang sial. Kematian sang kapten tua ini, menurutnya, jelas sebuah kesialan. Tak ada anak-cucu, tak ada pasangan hidup, tak ada tetangga yang benar-benar akrab. Sudah begitu, tubuhnya busuk pula. Betapa kematian yang tragis.
    Demi mendengar ocehan tak sedap itu, seseorang yang lain menyuruh orang yang bicara soal kesialan untuk bungkam saja. Mulut, jika tak bisa digunakan untuk berbicara yang baik-baik, sebaiknya dibungkam atau dijahit bila perlu. Maka, tidak terdengar lagi suara apa pun sepanjang prosesi pemakaman sederhana itu berlangsung. Setelah tubuh sang kapten berada dalam urukan tanah dan batu nisan, orang-orang pergi pulang, tetapi mereka tak benar-benar ingin pulang dulu. Mereka penasaran apa isi kapal tua yang tak pernah lagi digunakan untuk berlayar itu? Bagaimana seseorang bisa hidup di situ tidak kurang dari lima puluh tahun (atau setidaknya segitulah yang orang bisa perkirakan)?
    Maka, setiap orang pun menelusuri segala sudut kapal raksasa tersebut dan tak ada yang menemukan sesuatu yang menarik selain barang-barang istimewa yang dulu sering dikisahkan para pengunjung khusus "rumah" sang kapten. Tak ada peristiwa aneh apa pun, jika seseorang berharap menemukan sesuatu yang bersifat gaib atau kutukan. Satu per satu mereka pulang. Hari beranjak gelap. Ketika para nelayan hendak melaut, tiada lagi pengunjung kapal yang tersisa, kecuali seorang pemuda yang masih terus menatap tiap inci dari tubuh kapal tua tersebut.
    Esoknya, sang pemuda mengusulkan untuk membongkar saja kapal besar tersebut; siapa tahu ada harta karun di dalam sana, yang tak terjamah dan belum ditemukan oleh para tamu terakhir. Siapa tahu mereka menemukan sesuatu yang lebih dari harta karun?
    "Sesuatu yang seperti apa maksudmu?"
    "Entahlah!"
    Tak ada yang menggubris pemuda yang sering dicap tidak waras itu. Tapi, semakin lama, kapal sang kapten semakin tampak menyedihkan saja karena tak ada lagi seorang kakek penyendiri yang menghuninya. Kepala desa dan sebagian warga lalu sepakat dan tak ada kompromi lagi untuk menyingkirkan benda tersebut; mereka cemas akan terjadi hal yang tak diinginkan, misal kapal itu jadi sarang hantu, atau lebih buruk lagi: kapal sang kapten akan dijadikan tempat persembunyian para bajingan.
    Tidak ada yang mencatat tanggal dan jam ketika kapal tersebut dibakar di perairan dangkal. Orang-orang lantas memungut benda sisa-sisa yang masih bertahan di dalam kobaran api seperti panci, wajan, gelas seng, jarum jahit, kepala sabuk, koin receh tiada guna, dan lain sebagainya. Abu kapal menyatu bersama air, ditelan ombak, dilamun oleh waktu, dan tak ada lagi yang peduli. Bertahun-tahun lagi, barangkali tak lagi ada yang mengingat betapa dulu pernah ada seorang mantan kapten, yang memutuskan pensiun dan tinggal di desa ini, yang juga pernah memberikan "sesuatu" yang berharga untuk desa (entah apa itu) di masa yang telah jauh berlalu, tapi kemudian dikubur dalam sepi usai jasadnya membusuk, dan satu-satunya harta peninggalannya dibakar hingga habis tanpa ada tetes air mata. [ ]

    Gempol, 15 Juli 2019

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, esai, puisi, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (2016), Babi-babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-hara (2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (2018).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri