Skip to main content

[Cerpen]: "Mati Tergoda" karya Ken Hanggara

 (Dimuat di Potret News edisi Mei 2019)

    Leni memintaku turun dari mobil setelah perdebatan kami. Aku tidak turun sampai perempuan itu menarikku keluar dan menyumpahiku dengan kata-kata kasar. Aku tidak pernah mendengarnya bicara dengan cara itu, tetapi kukira memang pantas Leni bicara kasar padaku. Tadi sore, dia menangkap basah aku selingkuh dengan sahabat dekatnya.
    Kubilang, "Kalau aku dimangsa serigala, kamu yang salah."
    "Tidak ada serigala. Hutan ini aman, karena dekat dengan rumah penduduk," kata Leni dengan tergesa-gesa.
    Perempuan itu pergi setelah melempar barang-barangku yang tertinggal. Tidak ada salam perpisahan, tetapi aku tahu, detik itulah terakhir kali kami bertemu. Tidak ada lagi pertemuan, karena Leni berjanji di sela perdebatan kami tadi, bahwa dia tidak sudi melihatku lagi. Seiring semakin jauh mobil Leni, udara dingin perlahan menyerbu dari berbagai arah.
    Aku tahu aku brengsek, tetapi meninggalkan seseorang yang melukaimu di tengah hutan bukan ide yang bagus. Mungkin Leni ingin membunuhku pelan-pelan. Aku tahu Leni bukan psikopat, tetapi jelas sekali dia berharap aku mati di hutan ini. Mungkin dia benar tentang tak adanya serigala di sini. Tapi, tak ada yang menjamin tempat ini aman dari binatang buas lainnya.
    Sepanjang jalan yang mobil Leni lalui baru saja, tidak ada tiang lampu. Hutan ini benar-benar gelap dan jauh dari peradaban. Yang Leni bilang tentang rumah penduduk tadi, kukira hanya dugaan, karena jalanan ini asing baginya. Kami ada di suatu acara di luar kota, yang mana kami sama-sama berperan sebagai tamu di acara tersebut. Tentu saja, sebelumnya kami berkendara empat jam dari kota tempat di mana kami menetap. Akan sangat mustahil bagi Leni untuk mengenal betul hutan ini.
    Dengan pemikiran ini, kuyakinkan diriku bahwa yang pertama harus kulakukan di sini adalah menjaga diri. Hari telah gelap. Suara binatang terdengar dari sana-sini. Aku berjalan dengan langkah cepat, mengikuti arah mobil Leni. Hanya itu arah satu-satunya yang memungkinkanku bertemu manusia lain, dalam jarak entah berapa.
    Harapan ini bukan sia-sia. Setelah kira-kira satu jam dan tidak ada satu mobil pun kulihat, tampak sekelompok gadis duduk di bawah pohon besar. Gadis-gadis itu seperti gadis rumahan. Kusimpulkan dari baju yang mereka kenakan yang hanya berupa kaos oblong dan celana pendek. Aku berjalan dengan lagak santai agar tidak dikira penjahat, dan setelah posisiku cukup dekat, kukatakan dengan setenang mungkin, "Rumah paling dekat dari sini di mana, ya?"
    Mereka menjawab setelah memandangiku beberapa detik: "Tidak jauh, Mas. Cuma dua menit jalan kaki."
    Aku sangat lelah, tetapi demi menjaga agar mereka tidak mencurigaiku, aku coba tetap terlihat bugar di depan gadis-gadis itu. Mereka empat orang sedang aku hanya satu. Dengan gadis-gadis itu, aku bisa meminta sesuatu, misal telepon, untuk dapat bantuan agar sampai terminal terdekat. Aku bisa menumpang bus dari terminal untuk pulang ke rumahku. Aku juga bisa meminta sedikit makanan atau minuman dari mereka, sebab membawa barang-barang yang berupa tas berisi laptop dan berbagai perlengkapan kerja, membuat tenagaku terkuras.
    Agaknya seorang dari mereka tahu aku sedang sial, sehingga bertanya apakah baru saja seseorang merampokku? Oh, tidak, kataku dengan tetap santai. Aku katakan kalau aku bertengkar dengan pacarku dan dia pergi begitu saja dan tidak sudi membiarkanku duduk bersamanya di mobilnya.
    "Benar-benar tidak berperasaan!" kata salah satu gadis.
    "Kamu percaya kalau kusebut dia sinting? Orang seganteng ini ditinggalkan sendiri di hutan?"
    "Memang sinting. Kalau cowoknya mati, dia mau tanggung jawab?"
    Gadis-gadis itu mengobrol sendiri, sementara aku berdiri kelelahan dengan tasku di pundak. Kuletakkan tas tersebut di tanah dan kutanyakan apakah ada satu dari mereka yang mau mengantarku ke rumah penduduk terdekat? Mereka bilang, mereka berempat akan mengantarku ke tempat yang kumau, ke mana pun itu, bahkan ke ujung dunia. Aku tertawa pelan, tetapi gadis-gadis itu cekikikan.
    "Dengar ya, Mas," sela seorang dari mereka, sementara yang lainnya masih terlihat geli, "kami ini manusia dan bukan hantu."
    "Saya tidak berpikir kalian hantu. Mana ada hantu memakai kaos oblong?"
    Mereka tertawa mendengar responsku, tetapi jujur saja, aku memang sempat takut kalau mereka hantu. Di tempat begini, hantu-hantu senang menyamar. Tetapi, setelah kami sampai di rumah yang dimaksud, suatu rumah besar yang berdiri di tengah hutan dan cuma bisa diakses melewati jalan setapak becek selebar tubuh orang dewasa, aku tahu mereka bukan hantu. Dari rumah itu keluar beberapa lelaki dan perempuan dewasa, yang kesemuanya menyambutku dengan respons beragam.
    Ada seorang lelaki, yang kukira berumur empat puluhan, dan bernama Mudakir. Ia bertanya banyak hal padaku, termasuk tentang bagaimana seorang perempuan bisa tega meninggalkan pacarnya sendiri di tengah hutan?
    Aku tidak mengatakan yang sebenarnya tentang perselingkuhan tersebut, tetapi aku katakan, "Yah, menjalin hubungan seperti kami ini, memang sering kali ada yang tidak cocok atau tidak sejalan. Saya kira itu wajar."
    "Oh, ya. Pernah baca soal itu," sahut Mudakir.
    Karena hari sudah malam, orang-orang hutan ini memintaku menginap dulu saja di rumah mereka. Uniknya, meski penghuninya cukup banyak, termasuk empat gadis yang tadi mengajakku kemari, rumah besar ini tampak tidak memiliki kejanggalan, baik dari luar maupun dalam. Aku melihat sistem di rumah ini diatur dengan sangat baik. Misal, beberapa perempuan mengatur urusan dapur, lalu beberapa lagi mengatur cucian kotor. Beberapa lelaki bertugas berburu dan yang lain bertugas tidur-tidur dan santai, serta di pelukan mereka selalu teronggok senjata. Kaum lelaki yang bertugas tidur dan menjaga rumah dari serangan binatang buas ini, juga mendapat tugas menjaga para gadis yang masih belia agar tidak jadi korban kebejatan orang asing sepertiku.
    Aku merasa tidak nyaman ketika Mudakir dan beberapa rekannya, yang memegang senjata, menanyaiku macam-macam. Mereka tidak puas dengan jawabanku sejauh ini dan menuntut penjelasan yang lebih detail.
    Dengan kesal kubilang. "Leni tidak suka saya memeluk sahabatnya sendiri. Saya memang salah, tetapi bukan saya yang memulai!"
    Orang-orang ini diam memandangiku, dan kemudian pergi satu per satu. Mudakir belum pergi sampai dia memintaku tidur di sofa yang kami duduki. Besok pagi-pagi, mereka mengantarku ke rumah besar lain, dan di sanalah nanti aku bisa telepon polisi untuk menjemputku.
    Aku setuju. Setelah makan malam yang mereka sajikan memenuhi perutku, tak ada keinginan lain selain tidur. Aku sangat lelah. Aku tidur begitu saja di sofa yang sudah kusam dan tua, dan seseorang menyelimutiku setelah sejam tertidur. Aku bangun dan melihat salah satu gadis yang menolongku duduk tepat di dekat kepalaku. Aku merasa gugup, karena bau tubuhnya harum, namun si gadis rupanya menangkap gelagatku yang ingin menghindar.
    "Sudahlah, Mas. Kita di sini saja. Semua sudah tidur," katanya.
    Aku tidak tahu apa yang terjadi berikutnya. Apa tergolong pengalaman terhipnotis atau berjalan oleh kesadaran? Aku tak benar-benar tahu. Tapi, aku tersadar saat si gadis tersenyum mengenakan pakaian dalamnya. Ia berterima kasih karena telah memberinya kehangatan yang tak bisa ia dapatkan selama ini.
    "Kamu terlalu muda dan itu wajar saja," tukasku dengan penuh penyesalan. Tidak seharusnya kulakukan tindakan tak pantas pada gadis asing yang membantuku.
    "Memang aku masih muda, tetapi aku penasaran. Mas sendiri juga senang!"
    Kami terdiam sampai rasa lelah kembali menidurkanku. Aku bangun besoknya saat matahari sudah menerangi sebagian lantai ruang tamu tempatku tertidur. Di sampingku berkumpul beberapa orang, tetapi mereka tidak seramah semalam. Orang-orang ini lalu dengan geram menarikku dari sofa dan mengikatku ke balok kayu berbentuk salib.
    "Anda benar-benar keterlaluan. Leni meninggalkan Anda di sini karena ada sesuatu yang kotor di tubuh Anda, tetapi bukannya jera, Anda mengulanginya ke salah satu istri teman kami!" sembur seseorang tepat di depan wajahku.
    Aku tidak tahu maksudnya, tetapi dari suatu ruang yang berada di belakang rumah, seseorang berteriak frustrasi, dan aku mengenal itu suara Mudakir. Seseorang lagi aku dengar menangis di kamar lain, tetapi tak perlu penjelasan lebih jauh guna memahami apa yang membuat mereka begitu. Gadis yang semalam bermain bersamaku, tidak lain adalah istri Mudakir. Kini gadis itu juga sedang dihukum, entah dengan cara apa.
    Orang-orang tidak peduli penjelasanku tentang bagaimana istri Mudakir merayuku semalam. Mereka mengikatku di kayu serupa salib dan pergi ke bagian belakang rumah yang penuh semak belukar. Mereka terabas jalur rimbun itu sambil memikul salibku. Mereka berhenti di tanah lapang di dekat jurang, dan di sinilah mereka meninggalkanku sendiri, dalam kondisi terikat dan berpeluang jadi mangsa binatang buas.
    Aku tidak tahu; manakah yang lebih baik, antara berjalan berkilo-kilometer menuju ke suatu perabadan, ataukah menunggu maut dengan cara semacam ini? Aku berharap kejadian tidak masuk akal ini cuma mimpi, dan pada saat terbangun nanti, kulihat Leni tersenyum kepadaku dengan penuh cinta. [ ]

    Gempol, 2017-2019

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (Unsa Press, 2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (Basabasi, 2018).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri