Skip to main content

[Cerpen]: "Makhluk Bernama Kenangan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Fajar Makassar edisi Minggu, 21 April 2019)

    Sekarang rumah benar-benar sepi. Aku juga ingin pergi setelah kematian suamiku, tetapi ada sesuatu yang menahan. Sepotong demi sepotong kenangan yang kami timbun di sini mulai hidup dan mencegahku. Aku tak tahu wujud kenangan, tapi ia terasa eksis, meski tak nampak, dan membuat banyak keanehan, sehingga rumah ini tidak mungkin kutinggal. Kenangan yang kumaksud membuat ukiran-ukiran aneh di tembok dekat ruang baca. Ukiran-ukiran tanggal dan hari-hari penting bersama Markoni, almarhum suamiku.
    Mungkin aku gila, tapi itu terjadi setiap hari. Maksudku, setiap hari ada saja ukiran baru. Tidak cuma di ruang baca, tapi kadang-kadang di kursi ruang makan, atau bagian atas kayu dipan tempat tidurku. Jika ukiran-ukiran itu muncul setiap hari dan aku sadar aku tak bangkit dari tidur dan tak memiliki bakat membuat kerusakan, artinya kenangan ini benar-benar hidup.
    Jadi, aku tidak meninggalkan rumah walau merasa sepi.
    Yang pertama kulakukan adalah mencari tahu bentuk kenangan yang hidup ini. Ia tadinya tertimbun di ruang baca, dan aku tahu itu, sebab aku dan Markoni sering duduk di sana dan bicara tentang perjalanan. Sudah sampai mana kami? Sejauh mana?
    Aku dan Markoni saling menyayangi sampai ia ditembak perampok sebulan lalu, jadi bicara tentang fase-fase tertentu sejak kami muda dulu sama sekali bukan siksaan. Kami justru menikmati ini dan suatu ketika suamiku bilang, "Jika kenangan-kenangan adalah benda, ia atau mereka akan tertimbun di sana, dekat rak buku favoritku."
    "Bagaimana jika itu hidup dan menjadi anak kita?"
    Markoni tertawa; ia bilang, itu mungkin saja terjadi, sebab kami tidak akan pernah bisa mempunyai anak. Kehadiran anak barangkali bisa membuat obrolan soal kenangan makin seru, dan kenangan yang tertimbun akan tak keruan banyaknya.
    Jika kenangan-kenangan awal kami hidup sebagai bocah, akan ada kenangan baru yang biarlah menjadi benda mati, tertimbun di dekat rak baca Markoni, sehingga dengan demikian dapat terus terawetkan di kepala anak-cucu kami. Sayangnya, itu utopia.
    Suatu malam, seorang lelaki renta datang mengetuk pintu dan berkata bahwa ia menyetir mobil dan tiba-tiba menabrak sesuatu. Ada yang tergeletak dengan bersimbah darah di gerbang depanku.
    "Ini suami Anda?" tanyanya panik.
    Pada saat itu, sebenarnya Markoni sudah mati. Lelaki tua yang membawa mobil itu, yang kebetulan lewat dan sedang sial itu, kupaksa membawa kami ke rumah sakit. Ia tak menolak. Tentu semua sudah terlambat.
    Selesai penguburan Markoni, aku kesepian dan merasa di ruang baca kami tumbuh sesuatu yang hidup. Aku tidak menyangka keisenganku dan Markoni dulu benar-benar diwujudkan Tuhan dalam bentuk nyata. Kenangan kami hidup, tetapi ia bagaikan hantu tak terlihat. Ukiran-ukiran aneh tiap hari bermunculan dan semua itu membuatku sulit meneruskan rencana membuang jauh setiap kenangan tentang Markoni.
    Suatu malam, setelah aksi sosok kenangan yang hidup dan berwujud makhluk tidak kasat mata ini dirasa kelewatan, aku berteriak sekencang mungkin, "Aku tidak jadi pergi! Dan berhentilah mengukiri benda-benda!"
    Ia memang berhenti mengukir apa pun seharian, dan aku tahu esoknya ada sepiring roti bakar di dapur. Agaknya sesosok kenangan yang hidup dapat membuat roti bakar di dapur kami dan rasanya betul-betul lezat. Roti bakar keju kesenanganku.
    Esoknya, kenangan itu memasakkan sesuatu yang lain, dan sejak hari itu aku tidak sibuk di dapurku, dan cukup kuisi kulkas dengan bahan-bahan secara rutin setiap bulan, sehingga si kenangan tidak lupa memasak. Tidak ada yang membosankan, sebab setiap sehari sekali, akan ada sesuatu yang baru.
    "Kenangan yang hidup itu bisa memasak," tuturku pada seorang teman.
    Temanku tampak prihatin dan bertanya banyak hal kepadaku, dan menyarankanku untuk sesekali ke rumahnya dan menginap.
    "Akan ada banyak hiburan untukmu," bujuknya. "Dan kau tidak akan berhalusinasi bahwa kenanganmu dan Markoni berubah jadi sesuatu yang hidup dan memberimu apa pun yang kaumakan!"
    Kujelaskan pada temanku bahwa ia jangan terlalu cemas. Dan bahwa kenangan itu benar-benar hidup, ia juga tidak harus percaya. Kubilang itu adalah caraku menghibur diri agar tidak terlalu jatuh pada kesedihan akibat ditinggal mati Markoni. Lalu dengan tampang ceria aku tertawa sepuas-puasnya, padahal di kepalaku fakta lain tersimpan: bahwa kenangan-kenanganku bersama Markoni memang hidup.
    Bukti kebenaran ini terjadi ketika di malam lain tidak ada masakan lagi di dapurku. Aku sudah mulai bosan dan mengatakan betapa semua menu yang tersaji pada akhirnya akan selesai. Maksudku, Markoni memang tahu aku menyukai banyak jenis makanan, dan si kenangan yang hidup dapat memasak semua itu dengan baik, tetapi tentu saja ada batas kesukaan seorang manusia.
    Aku tidak mungkin menyukai semua jenis masakan di seluruh dunia. Si kenangan terhenti setelah menu terakhir favoritku ia sajikan. Pada malam berikutnya, ketika ia tak lagi menyajikan masakan di dapurku, sebuah tulisan tangan kutemukan di dasar panci. Tulisan tangan itu dibuat dengan spidol permanen.
    Aku tidak akan mengatakan isi tulisan yang kumaksud, tetapi jelas sekali aku tahu bahwa tulisan tersebut adalah tulisan Markoni. Aku mulai cemas, karena sejauh ini sang kenangan yang hidup belum kutahu secara pasti jenis kelaminnya. Apa dia perempuan? Itu mustahil. Tetapi, hari itu, aku merasa kenangan yang hidup itu sama sekali bukanlah kenangan yang dulu kami jadikan bahan candaan. Aku merasa, sesuatu yang hidup dan menahanku dengan susah payah agar tak pergi meninggalkan rumah ini, tidak lain tidak bukan adalah arwah suamiku sendiri. []
   
    Gempol, 15 April 2019

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, puisi, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Museum Anomali (Unsa Press, 2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018), Dosa di Hutan Terlarang (Basabasi, 2018).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri