(Dimuat di Minggu Pagi, Jumat, 21 Juni 2019)
Aku pergi menjenguk sahabatku yang sakit dan tinggal di luar kota. Meski sangat membenci bus, pada akhirnya aku harus naik kendaraan itu juga. Mobilku diperbaiki di bengkel dan aku tidak punya satu pun motor. Dengan membawa bingkisan dan beberapa buah-buahan, aku berdiri di halte sembari berdoa.
Doa dalam tiap kesempatan selalu kubuat lebih panjang dari doa siapa pun. Aku senang berdoa panjang-panjang, karena konon akan lebih mudah tiba di hadapan Tuhan, dan lebih gampang dikabulkan. Aku tak bisa membuktikan itu, tapi aku mengimaninya. Hanya saja, kali ini, ketika akan pergi ke luar kota, doaku tak sepanjang biasanya.
Doaku hanya, "Semoga bus yang kutumpangi baik-baik saja."
Ini berkaitan dengan masa lalu. Kalau tidak, mustahil kubenci bus hingga bertahun lamanya. Sejak kejadian itu aku enggan naik bus meskipun dipaksa dan diancam dengan banyak cara. Suatu saat, bertahun silam, orangtuaku frustrasi melihatku berdiri kaku di tepi jalan, sementara semua teman sedang menantiku di dalam bus untuk sebuah study tour.
Aku paham ketakutanku menumpang bus mungkin terlihat aneh bagi mereka yang tak tahu duduk perkaranya. Jika saja seseorang tahu betapa dulu saat menumpang suatu bus bersama nenekku, saat umurku terlalu muda, sekelompok perampok membajak bus kami dan melukai beberapa orang, termasuk nenekku. Jika saja seseorang tahu soal itu, kukira dia tidak menganggapku aneh.
Sayangnya, orang tidak mungkin bertanya bagaimana diriku bisa begitu bergetar di saat akan menumpang bus dan mereka hanya akan bersikap bahwa aku orang kampung yang tak biasa menumpang kendaraan seperti bus. Tuduhan ini barangkali terjadi terlalu sering, sebab wajahku sendiri biasa saja dan banyak orang tidak akan menyangka kalau sebenarnya aku mempunyai mobil mewah, meski warisan dari almarhum Ayah.
Maka, di halte tersebut, dengan hati ketar-ketir, aku berdiri gemetaran saat jalan raya masih sepi. Aku harus berangkat pagi-pagi dan karenanya udara masih begitu adem. Semua perpaduan ini sungguh menyiksaku dan membuatku berdoa sekali lagi, "Semoga bus yang kutumpangi baik-baik saja."
Beberapa menit berlalu, bus belum juga datang, tetapi beberapa calon penumpang mulai meramaikan halte. Total ada empat orang, termasuk aku, dan karena tingkah aneh yang sejak awal kutunjukkan, dua di antara mereka mulai menjaga jarak denganku. Aku sudah biasa dengan keadaan ini, jadi tidak merespons apa-apa. Namun, seorang lainnya, yang berdiri tepat di samping kananku, menyapaku secara mendadak dengan bertanya ke mana tujuanku.
"Mau jenguk sahabat," jawabku pendek.
"Wah, sama. Saya juga akan menjenguk seorang sahahat. Dia tinggal di kota A. Itu bukan rumah sebenarnya, tapi sahabat saya punya banyak rumah. Dia kaya dan semua orang tahu kalau sebenarnya dia tidak perlu dijenguk. Tapi, saya adalah sahabatnya. Dan saya merasa punya keharusan untuk menjenguk," jelas orang itu tanpa kuminta.
Kepadanya kukatakan bahwa sahabatku sendiri nyaris sama seperti sahabat orang asing ini. Dia juga kaya dan punya beberapa rumah peristirahatan. Hanya saja, tidak ada satu orang pun peduli kepadanya.
"Maksud Anda?" tanya orang itu memotong ceritaku.
"Yah, teman saya itu punya satu sahabat, yakni saya. Jadi, sekalipun harus bersusah payah, saya tetap menjenguknya. Itu sebagai bentuk ketulusan sebagai seorang sahabat."
Orang asing tersebut mendadak diam dan mengamatiku dengan kesan curiga. Lalu, tanpa melanjutkan pembicaraan, dia mundur beberapa langkah dan duduk di kursi halte yang berkarat. Sekitar satu menit kemudian, bus datang dan tiga orang yang bersamaku naik.
Aku juga naik, tetapi kedua kakiku terasa berat saat melangkah naik ke tiap anak tangga di pintu bus. Di lorong bus, dengan tergesa-gesa dan canggung, kududuki salah satu bangku yang tak jauh dari bangku sopir. Lalu, kusadari teman sebangkuku ternyata adalah orang yang tadi mengobrol bersamaku.
Aku tidak tahu harus melakukan apa, selain tersenyum meringis kepadanya, sebab dia tadi bersikap seakan-akan aku harus segera dijauhi. Entah kenapa penjelasanku soal sahabatku membuatnya begitu. Apakah mungkin sahabatku itu adalah sahabat dia juga? Kurasa pemikiran itu tidak akan terbukti, karena aku tahu sahabatku yang sakit ini tidak pernah benar-benar memiliki sahabat, kecuali hanya diriku.
Tapi, orang asing itu membalas senyumku, dan bukannya melengos atau mendadak bangkit untuk berpindah tempat duduk. Saat itu bus sudah melaju dan secara aneh aku tak merasa ada ketakutan tertentu, meski sudah jelas aku berada dalam sebuah bus yang sedang melaju. Kupikir itu terjadi karena orang asing ini mendadak mengajakku bicara sekali lagi, dengan gaya dan penerimaan yang lebih akrab.
Aku tak mengenal orang ini, tapi dia kini bersikap seakan-akan di dunia ini sahabat dari sahabatnya adalah kami berdua, dan seakan-akan sahabatku yang sedang sakit itu adalah juga sahabatnya.
Aku pun bertanya, "Apakah tidak ada yang aneh? Saya bilang bahwa sahabat yang sedang saya kunjungi ini adalah orang yang diabaikan banyak orang, dan Anda pun juga bercerita kalau sahabat Anda tidak punya sahabat lain selain diri Anda."
Orang asing itu menjawab tanpa berpikir, "Iya, aneh. Saya kira Anda sempat akan menipu saya. Maaf. Tadi di halte saya bersikap begitu karena takut kalau ternyata Anda tukang hipnotis."
Aku paham ketakutannya dan tertawa. Dia pun menambah penjelasannya saat kami sudah benar-benar berada di bus. Dia tidak sengaja melihat bingkisan yang kini kubawa, dan dia kira semua itu tidak membuktikan kalau aku adalah tukang hipnotis.
Setelah itu, kami pun mengobrol berbagai topik sampai aku mulai lupa kalau suatu hari di masa lalu pernah terjadi kejadian buruk di dalam bus yang membuatku trauma. Aku masuk dan mengalir ke dalam obrolan bersama pria asing ini, yang ternyata sudah kawin dan punya anak tiga.
"Sayangnya, saya sudah cerai empat tahun yang lalu, dan sekarang istri saya kawin lagi dengan orang yang dulunya musuh bebuyutan saya sewaktu masih SMA."
Untuk sejenak, aku nyaris tak percaya dengan apa yang diucapkannya, tetapi lantas dengan tanpa keraguan, kusahut ceritanya dengan ceritaku sendiri, "Wah, bagaimana ini bisa disebut kebetulan? Saya sendiri sudah punya anak tiga, dan sudah cerai dengan istri. Entah berada di mana dia sekarang. Tetapi, kalau tidak salah, beberapa minggu lalu ada sepupu saya yang mengatakan kalau mantan istri saya sudah nikah lagi. Dan, Anda tahu dengan siapa dia menikah?"
"Siapa?"
"Dengan orang yang dulunya musuh bebuyutan saya semasa SMA!"
Kami sama-sama tertawa, dan untuk beberapa saat, aku pikir para penumpang di dekat kami merasa tak senang dengan lantangnya suara kami. Dengan kesadaran penuh, kami kompak menurunkan volume suara dan sekali lagi memastikan apakah semua yang barusan kami sampaikan itu benar adanya?
"Memang benar. Berani sumpah bus ini terperosok ke jurang kalau saya bohong!" tukas orang asing itu sembari berusaha menahan tawa.
"Wah, wah," kataku yang mulai ketakutan. "Tidak perlu bersumpah begitu, Bung. Kalau nanti kejadian, bagaimana?!"
"Saya bercanda. Bus ini tidak akan jatuh ke jurang, karena sepanjang perjalanan ke kota tujuan kita, tidak ada jurang. Hanya hutan rimba dan sesekali desa-desa. Tidak ada jurang. Anda tidak pernah ke sana?"
Aku menyadari kebenaran ucapan orang ini. Dia pasti sering bertamu ke si sahabat yang sebatang kara tetapi kaya raya itu. Dia pasti juga sama sepertiku, yang begitu hafal jalanan menuju kota tempat sahabat kami tinggal, meski aku sendiri belum terlalu yakin kalau memang sahabat yang kami akui sebagai sahabat kami adalah satu individu yang sama.
Aku hanya bisa mengangguk dan mengatakan kalau semua yang orang ini katakan adalah tepat. Soalnya, aku sering mengendarai mobil ke tempat sahabatku. Hanya sebab hari ini mobil tersebut belum beres, maka dengan terpaksa aku harus menumpang bus.
Mendengar penuturanku, orang asing yang duduk di sampingku, yang sedari awal terus menerus tertawa, menurunkan intensitas tawanya dan memandangku sekali lagi dengan heran. Aku tahu kali ini dia tidak memandangku penuh curiga. Dengan tampang yang masih ramah, dia menjelaskan kalau sebenarnya mobilnya juga rusak hari ini dan karena itulah dia terpaksa naik bus.
"Bung tahu," lanjutnya dengan mendekatkan bibirnya ke lubang kupingku, "bus itu sebenarnya kendaraan yang sudah lama saya jauhi!"
"Lho, kenapa?"
"Saya tidak suka naik bus semenjak bus yang dulu saya tumpangi bersama Nenek disatroni para bajingan! Yah, ini aneh, tapi itu yang terjadi. Saya kira, dengan mencoba membuat obrolan dengan seseorang, saya pun akan bisa tenang. Dan memang terbukti, sampai sejauh ini saya tenang dalam menumpang bus, walaupun sudah bertahun-tahun tidak pernah naik! Ha ha ha!"
"Wah, ini bukan lagi kebetulan!" kataku dengan suara yang nyaris berbisik.
Orang asing ini tidak mendengar kalimat terakhirku. Pada saat ini, bus berhenti di sebuah terminal. Kami bangkit dan membawa barang bawaan kami masing-masing, dan berpisah tanpa basa-basi.
Sejujurnya aku tidak merasa semua ini wajar. Barangkali orang tadi juga demikian. Jelas dia bukan penipu, karena kuperiksa dompet dan barang-barangku semuanya utuh. Tanpa memikirkan siapa jati diri orang tadi, kucegat sebuah taksi, dan berharap setiba di rumah sahabatku, aku tak bertemu siapa-siapa selain orang yang ingin kujenguk. [ ]
Gempol, 2017-2019
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Negeri yang Dilanda Huru-Hara (2018) dan Dosa di Hutan Terlarang (2018).