(Dimuat di Bangka Pos, Minggu, 21 Juli 2019)
Biru pasir itu begitu berpengaruh di pikiranku. Aku ingin pulang dan tidur berjam-jam lamanya, tetapi rasa kantuk ini harus kulawan. Aku tidak akan pulang sebelum Ayah kutemukan. Ayahku sudah lama menderita kepikunan. Dari waktu ke waktu tiap tindakannya makin memperkuat dugaanku kalau Ayah tak akan pernah mengenali cucunya sendiri.
Anakku lahir tepat ketika Ayah mulai senang bepergian keluar rumah lewat tengah malam. Beliau memang tinggal bersama keluarga kecilku, karena saudara tertuaku tidak terlalu peduli padanya. Saudara kedua bahkan tidak pernah saling bertegur sapa sejak Ayah masih sehat dan kuat bertahun-tahun silam. Hanya akulah anak yang paling patuh padanya, sehingga Ayah pun lebih dekat denganku.
Di hari-hari tuanya, Ayah tak memiliki apa-apa. Rumahnya disita oleh pihak bank karena persoalan utang-piutang. Tanpa pikir panjang, aku dan istri memboyongnya ke rumah sederhana kami di kampung nelayan. Kami sudah menikah tiga tahun ketika itu, tetapi belum dikaruniai anak.
Pada awalnya Ayah baik-baik saja. Dia tinggal bersama kami dan mengerjakan apa yang ingin beliau kerjakan di pinggir pantai; mengobrol dengan para nelayan, bercanda dengan anak-anak pantai yang senang bermain bola, dan masih banyak lagi. Setelah dua tahun berlalu, Ayah mulai sering melamun dan membicarakan tentang Ibu.
Suatu malam, saat kuhampiri Ayah untuk mengajaknya pulang karena sudah jam sepuluh, dengan wajah yang murung beliau berbisik, "Ibumu orang yang baik. Sayang sekali sudah tiada. Sayang sekali ..."
Ayah mulai jarang mengobrol dengan para nelayan dan anak-anak pantai yang ada di sepanjang jalan menuju pasar ikan, yang biasanya beliau sapa ketika mereka sedang bermain bola. Anak-anak itu tak lagi menemukan keramahannya. Bahkan, orang-orang yang akrab dengan Ayah menganggap seolah-olah beliau sudah tidak mengenali mereka.
Aku curiga Ayah sudah benar-benar pikun, dan kecurigaan itu terbukti saat suatu ketika Ayah memanggil-manggilku dari tepi tempat tidurnya. Dengan panik aku hampiri kamarnya dan bertanya ada masalah apa. Baru kali itu suara Ayah terdengar panik.
"Panggil Ibumu. Ada yang mau Ayah bicarakan!" katanya dengan gusar.
Aku tidak bisa menjawab perkataannya selain memintanya kembali beristirahat. Itu hari-hari yang harusnya bahagia bagi kami, karena istriku sudah hamil beberapa bulan. Tapi separuh kebahagiaan kami terenggut oleh kondisi Ayah yang makin hari makin tak bisa diduga.
Ayah pernah mendadak bangun pada malam hari dan memintaku menemaninya ke tepi pantai. Ketika kutanya apa keperluannya di sana, dia bilang, "Kakak pertamamu, si pembangkang itu, katanya ingin kawin. Kita harus siapkan semuanya!" Padahal, semua orang tahu betapa pernikahan itu telah terjadi bertahun-tahun silam, jauh sebelum aku beristri.
Tidak hanya itu, Ayah juga melakukan tindakan-tindakan yang membuat beberapa tetangga kesal. Ayah pernah buang air secara sengaja di pekarangan rumah tetangga. Itu bukan kali pertama ketika si tetangga memergokinya. Untunglah dia memahami setelah kujelaskan bahwa Ayah mulai pikun.
Begitu anak pertamaku lahir, Ayah makin menjadi-jadi dengan obrolan soal masa lalu kami. Beliau seakan beranggapan Ibu masih hidup dan aku masih bocah kecil yang tidak tahu apa-apa. Ayah sering tiba-tiba menarik tanganku dan mengajakku pergi dari rumah, menuju pasar, dan membeli kembang gula di sana. Aku tahu kembang gula jenis itu adalah kesukaanku sewaktu masih kecil.
Suatu malam aku menangis seorang diri. Saat istriku tahu, kukatakan bahwa Ayah tak pernah mengenali cucunya sendiri dan justru menganggapku masih sebagai seorang bocah kecil. Seharusnya beliau mengenali bayi kecil yang kami miliki sekarang adalah cucu kandungnya.
Kepikunan Ayah ini, tentu, membuatku dan istri harus lebih sering mengawasinya. Ayah sering diam-diam pergi ke luar rumah lewat tengah malam. Aku dan istri sepakat untuk bergantian berjaga hanya agar tahu ke mana Ayah pergi sehingga beliau tak akan tertimpa kemalangan.
Hanya saja, malam ini kami sama-sama ketiduran ketika Ayah meninggalkan pintu depan. Pintu tidak tertutup dan hawa dingin pantai menyeruak masuk ke ruang tamu dan tengah. Bayiku menangis dengan keras, sehingga kami terbangun dan menemukan Ayah tak ada di mana-mana.
Aku lalu mengambil senter dan berjalan menyisir setiap bagian pantai dan sudut- sudut kampung nelayan yang biasa didatangi Ayah ketika berjalan sendirian pada tengah malam. Sayangnya, Ayah tak ada di tempat-tempat itu. Sampai esoknya Ayah tidak juga kutemukan. Dengan bantuan warga, tiap sudut kampung, dari yang sering sampai yang tak pernah disambangi langkah kaki Ayah, kami periksa. Tidak juga ada hasil. Akhirnya kami sepakat meminta bantuan pada polisi setelah esok hari Ayah masih tidak juga kami temukan. Pada saat itu, kami berharap, sebelum melaporkan kehilangan seseorang ke kantor polisi yang jaraknya cukup jauh, Ayah sudah lebih dulu pulang.
Sayangnya, sampai tengah malam berikutnya, tepat 24 jam sejak aku bangun dari tidur oleh suara tangisan anakku, Ayah belum juga kembali. Biasanya beliau akan balik lagi ke rumah dan tidur seperti biasa. Ini sungguh bukan kebiasaan Ayah, tetapi adakah seseorang yang telah tua, yang juga sudah menderita kepikunan, memahami makna dari rutinitas?
Bersama dua orang tetangga, aku berjalan hingga ke kampung nelayan sebelah, di sisi pantai lain yang sama sekali tak pernah dilewati Ayah. Di titik ini, aku sangat putus asa dan tidak yakin dapat menemui Ayah. Pada akhirnya kuminta dua tetanggaku untuk pulang, karena pencarian ini hanya akan sia-sia. Besok pagi-pagi setelah salat subuh, ada perwakilan kampung kami yang pergi ke kantor polisi untuk mencari Ayah.
"Sebaiknya kamu juga pulang. Sejak kemarin belum tidur, bukan?" kata salah satu tetanggaku.
Aku hanya mengangguk lemah dan bilang akan menyusul mereka. Tentu saja, aku tidak benar-benar sanggup kembali ke rumah sebelum Ayah kutemukan. Rasa kantukku ini benar-benar dahsyat dan harus kulawan dengan terus berjalan. Birunya pasir lantaran diterangi cahaya rembulan membuat rasa kantuk itu semakin hebat. Akhirnya aku tidak kuasa lagi dan memutuskan beristirahat sejenak di bongkahan batu besar dekat sebatang kelapa.
Aku ketiduran di titik itu. Ketika bangun esoknya, aku langsung kembali ke rumah dan menemukan Ayah sedang duduk di teras dengan dikelilingi para warga. Istriku yang menggendong anak kami, tampak menangis tersedu-sedu.
Ayah bilang, "Seharusnya biarkan saja saya! Semua ini bukan urusan kalian!"
Aku tidak tahu apa persoalannya, sehingga seseorang mencoba menjelaskan bahwa Ayah ditemukan di terminal bus, dengan niatan pergi menengok makam almarhumah istrinya.
Aku mengerti. Betapa dari semua ini, rasa sayang Ayah pada Ibu dan anak-anaknya tak pernah pudar.
Pada suatu hari yang lama usang, ingatan Ayah berlabuh. Barangkali ingatannya mengabadi seperti apa yang hari itu terjadi: pemakaman Ibu. Saat itu Ayah ada di luar kota dan terjebak urusan dengan seseorang yang mengancamnya akan membawanya ke penjara bila tidak mampu melunasi utang dalam waktu tertentu. Ayah pun tidak sanggup datang ke pemakaman Ibu tepat waktu. Ketika beliau akhirnya tiba, Ibu telah terbenam di balik gundukan tanah. Kedua kakakku pergi tanpa memedulikan Ayah. Hanya akulah yang ketika itu duduk bersamanya di dekat batu nisan Ibu.
Aku tak lupa saat itu Ayah berkata, "Ini semua demi ibu kalian, tetapi tentu saja dia tidak bersalah. Ayahlah yang salah."
"Aku tidak tahu maksud ucapan Ayah," sahutku dengan terbata-bata.
"Oh, ya, tentu kamu tidak tahu. Bahkan kamu tidak harus tahu. Barangkali Tuhan bisa berkehendak lain sehingga suatu hari nanti kamu akan tahu, Nak. Itu sungguh ada di luar kendali Ayah."
Dan, suatu hari itu memang terjadi.
Aku tahu situasi sebenarnya: Ayah berutang untuk biaya operasi penyakit Ibu yang nyaris mustahil disembuhkan. Penyakit itu langka dan bahkan aku sendiri tidak dapat melafalkan namanya. Ibu tidak tertolong, tetapi tanggung jawab Ayah melunasi utang tidak bisa ditinggalkan.
Ayah paham Ibu begitu disayangi oleh dua kakakku. Ayah juga tahu betapa tak ada di dunia ini yang kusayangi selain Ibu. Dan Ayah sendiri juga rela melakukan apa pun demi menolong Ibu. Maka, segala cara, termasuk utang yang mempertaruhkan banyak hal, dia lakukan. Aku baru mengerti fakta ini setelah dewasa dan menikahi anak seorang nelayan miskin, karena ingin hidup jauh dari perkotaan. Ketika Ayah kehilangan rumah itulah, kudengar dari sahabatnya seluruh perjuangan Ayah melunasi utang demi dapat menyelamatkan Ibu.
Di malam saat ayahku mendadak hilang, beliau pergi menembus kampung demi kampung selama beberapa jam dan mencapai terminal bus terujung. Dari sini, seseorang bisa bepergian ke ibu kota, dan dengan gagasan inilah, Ayah berharap bisa menemukan di mana kuburan almarhumah Ibu.
"Seingatku tidak jauh dari terminal," gerutunya dengan tetap tak memedulikan apa pun di sekitarnya. "Yah, memang seharusnya tidak jauh."
Padahal, Ibu dimakamkan jauh dari sini. Untuk ke kota tempat tinggal Ayah dahulu, butuh waktu enam jam dari kota kecil ini. Di sanalah letak makam Ibu. Meski begitu, kepikunan tidak memadamkan rasa cinta Ayah padanya. Barangkali masa-masa tuanya berlalu dengan berat tanpa hadirnya dua anaknya yang lain. Demi semua ini, aku ingin mempertemukan mereka bertiga: ayah dan kedua saudaraku. Kuharap mereka mengerti, kebencian, apa pun alasannya, tetaplah tidak dapat dibenarkan. Apalagi, orang yang jadi sasaran kebencian adalah ayah kami sendiri. [ ]
Gempol, 2017-2019
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku karyanya Museum Anomali (2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-hara (2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (2018).