Skip to main content

[Cerpen]: "Mati dan Tak Kembali" karya Ken Hanggara

(Dimuat di nyimpang.com pada 15 Juni 2019)

    Orang-orang baru saja berangkat bekerja dan aku masih tidur di kasur temanku di apartemen kumuh. Aku kabur dari polisi gara-gara terlibat perampokan dan semalam mereka menembak betisku. Temanku, pemilik apartemen ini, amat baik. Dia memberiku tumpangan, sementara luka di betisku dia rawat dengan telaten.
     "Sebaiknya kamu cari pekerjaan," katanya datar sesaat setelah berhasil mencatut peluru dari betisku. Benda itu berkelontangan di suatu panci, yang dia ambil dari dapur, dan aku hanya bisa bergumam.
    Pekerjaan apa? Sudah bertahun-tahun mencoba, dan ujung-ujungnya tidak pernah baik. Aku harus selalu kabur dari todongan senjata orang atau lari dari polisi. Aku harus bersembunyi sampai masa amanku tiba dan masa aman ini tidak pernah lama.
    "Aku bosan."
    Hanya itu yang bisa kukatakan. Selama sisa malam, teman lamaku tak lagi tanya soal nasib burukku, dan membuka topik tentang masa lalu gemilang kami di sekolah.
    Dulu aku populer dan disukai banyak gadis. Temanku juga tak kalah populer, tetapi kami terseret arus pergaulan bebas dan akhirnya jadilah hari ini. Tidak ada satu pun dari kami yang mapan atau sukses, tetapi setidaknya temanku tidak pernah terlibat masalah dengan polisi.
    Aku sendiri sudah berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain, dan terlalu sering mengganti identitas hingga merasa pada suatu hari di masa lalu, barangkali ibuku tak berharap melahirkanku. Aku anak yang gagal. Sampai sekarang, aku tak tahu kabar Ibu.
    Setelah bicara tentang masa lalu, kami tidur. Perasaanku kami hanya tidur sebentar, tapi hari sudah pagi dan orang-orang pergi kerja. Aku dapat menghitung jumlah mereka kalau mau.
    Bayangkan, jumlah pekerja di dalam satu kota, yang berangkat pukul tujuh hingga delapan, yang melintasi lampu merah dengan tas kerja masing-masing dan bekal ciuman dari istri yang tidak pernah berselingkuh. Aku membayangkan itu sangat manis apabila terjadi pada diriku, tapi tidak dapat dimungkiri, aku mulai mual oleh rasa iri.
    Kenapa hidupku begini? Kenapa bukan aku yang ke berangkat ke tempat pekerjaan itu dengan tas seperti mereka? Kenapa seseorang di balik jendela di apartemen kumuh, nun jauh di atas, tidak mengintipku dengan tas kerja dan menjadikanku salah satu dari sekian banyak titik kecil tak berarti yang bisa dihitung sembari membunuh waktu?
    Sejak bangun tadi, aku tidak melihat temanku, tetapi di kulkas terdapat tulisan: aku kerja. Kalau lapar ambil sesukamu.
    Aku membuka dan melihat-lihat isi kulkas. Ada beberapa makanan yang kusuka. Ada roti keju dan sebotol air dingin. Ada juga beberapa sosis yang sepertinya enak. Tapi, sosis itu kubiarkan. Aku mengambil roti keju dan air dan menutup kulkas. Itu lebih dari cukup.
    Aku duduk di jendela yang sama dan makan di sana sampai kira-kira satu jam. Aku merasa perutku agak kembung, jadi kuhentikan minum air terlalu banyak. Akhirnya aku hanya bersandar di sofa, dan menghentikan kegemaran baru berupa melihat-lihat segala sesuatu yang ada di luar jendela, karena sofa tersebut agak jauh dari jendela.
    Saat itulah kudengar bunyi sirene dari jauh. Aku bangkit dan dengan gerakan yang tenang, menutup gorden jendela agar siapa pun tidak melihat bahwa di sini ada seorang lelaki asing. Aku tahu mereka bisa berpikir bayanganku di sini tak lain adalah bayangan penghuni apartemen yang malas bekerja karena sedang tidak enak badan. Tapi, tindakan pencegahan selalu perlu.
    Karena seluruh gorden kututup, bagian dalam apartemen jadi remang. Aku pergi ke kamar mandi dan menutup pintu rapat-rapat, kemudian menyalakan lampu dan mandi. Aku mandi dengan sangat waspada. Kukucurkan air hangat secara perlahan ke sekujur badanku dan bersabun sekadarnya, kemudian kembali ke ruangan tengah dan memasang telinga.
    "Tidak ada sirine," pikirku.
    Tidak ada sirine, artinya polisi tidak menganggap kawasan sini mencurigakan. Aku mengintip keluar untuk memastikan dan memang kondisi jalanan begitu normal. Orang yang berangkat bekerja sudah tidak ada. Sekarang jalanan dipenuhi orang-orang dengan tujuan hidup yang tak jelas. Beberapa dari mereka sekadar duduk di bangku-bangku. Di sudut lain, orang-orang bertengkar dan saling menuding muka. Seekor anjing menyalak ke jendela sebuah toko mainan, dan di dalam sana seorang bocah gendut cemas menatap si anjing.
    Merasa tidak ada yang aneh dan mencurigakan, aku membuka gorden dan kembali duduk di tempat yang sama, tetapi mendadak bel berbunyi dengan sangat nyaring dan aku takut jantungku copot. Aku mengumpat pelan dan mengintip ke luar sana, dan tahu bahwa orang di luar pintu bukan temanku. Aku tidak tahu kenapa apartemen temanku ini bisa sedemikian bobrok, sehingga siapa pun dapat masuk ke gedung dan memencet bel pintu seseorang secara sembarangan.
    Orang itu tidak menyerah meski aku diam mematung dan tidak membukakan pintu. Dia terus menerus memencet bel, dan kemudian menggedor pintu dengan sangat keras. "Petugas kebersihan!"
    Akhirnya dia berteriak lantang. Aku tidak tahu apa yang mestinya kulakukan, jadi lebih baik diam saja. Toh, bukankah temanku yang pemilik apartemen ini sedang keluar bekerja? Kenapa petugas kebersihan gedung memaksa masuk dan terus memencet bel?
    Aku kembali duduk di dekat jendela tadi, tetapi gordennya agak kututup agar orang tidak tahu di dalam sini ada seseorang yang dicari-cari polisi. Aku mati kalau seseorang tahu keberadaanku.
    Semalam aku sedang beruntung saja. Aku terkapar di gang yang gelap dengan betis berdarah-darah, dan kebetulan teman lamaku lewat, dan kemudian dia pun membawaku kemari. Malam itu kulihat jam tanganku yang menunjuk angka 12. Apartemen busuk ini sepi pada jam-jam selarut itu. Tapi, jelas tidak akan sepi jika sudah sepagi ini.
    Tetapi orang yang mengaku petugas kebersihan itu tidak menyerah. Ia menggedor pintu lebih keras dan memencet bel dengan tempo yang lebih tidak beradab. Kupingku lama-lama sakit dan aku tidak tahan untuk tidak berpindah ke ruangan yang lebih jauh. Aku ke kamar temanku yang ada di sudut, dekat jendela tadi, dan kukunci pintu kamar dengan sekali gerakan. Aku melompat ke tempat tidur dan menyelimuti kepala.
    "Petugas kebersihan laknat! Harusnya dia hafal dan tahu orang yang tinggal di sini sedang bekerja! Harusnya tidak berlebihan! Kupikir dia orang renta yang cemas dengan segala sesuatu, padahal tidak ada yang perlu dicemaskan!"
    Pemikiran ini membuatku paham bahwa tetangga-tetangga temanku, yang tentunya tahu tindakan petugas kebersihan, adalah jenis manusia asosial; tidak pedulian dan masa bodoh jika saja suatu hari nanti terjadi kecelakaan di depan mata mereka, dan ada orang yang meregang nyawa akibat kecelakaan itu.
    Orang-orang jenis ini hanya akan melangkah sambil berkata, "Kasihan sekali, ya." Dan pergi tanpa kesan manusiawi bahwa mereka bisa saja sedikit peduli dan memanggil seseorang agar orang yang nyaris tewas ditabrak tersebut mendapat ketenangan sebelum pergi ke neraka.
    Entah berapa lama si petugas kebersihan menggedor-gedor sambil memenceti bel dengan liar. Aku tidak sempat melihat jam tangan, karena kepalaku pusing. Aku keluar kamar setelah kondisi di luar pintu agak tenang, tetapi di luar sana kudengar ada banyak sekali orang berbisik-bisik. Aku curiga mungkin polisi sudah tahu aku sembunyi di sini, dan kuputuskan untuk keluar secepat mungkin dari bangunan busuk ini.
    Benar-benar bangsat. Aku mengerti jalan keluar satu-satunya yang tersisa hanyalah jendela tempatku tadi menghitung orang-orang berangkat kerja. Jendela itu mempunyai balkon, dan boleh jadi aku punya peluang kabur dari sana. Tapi, balkon tersebut terpisah dengan balkon lain di apartemen sebelah, dan juga dengan atap yang menaungi balkon lain di bawah.
    Otakku bekerja secara cepat dan menemukan bahwa gorden di seluruh jendela ini dapat kujadikan semacam tali. Aku ingat kisah Romeo dan Juliet di sebuah tempat yang kalau tidak salah bernama Verona atau apalah. Mereka menggunakan semacam gorden demi membuat Juliet kabur dari kamar. Mungkin, aku juga bisa mencontoh tindakan ini.
    Maka, kuambil gorden-gorden secara hati-hati, lalu menyatukannya dengan simpul mati sehingga benda itu mirip untaian tali berbentuk tubuh perempuan. Satu ujung gorden kuikat ke bagian terkuat balkon dan aku tahu aku siap melarikan diri setidaknya tiga lantai ke bawah, dan di lantai itu aku bisa mendobrak jendela dan kabur secepatnya ke tangga darurat.
    Sayangnya, sebelum untaian tali dari gorden tadi kumanfaatkan, pintu apartemen temanku telanjur didobrak dan beberapa orang melesak masuk ke segala sudut ruangan. Mereka terlihat mencari sesuatu, dan aku mengumpat sambil mengangkat dua tanganku. Anehnya, mereka tidak memperhatikanku yang berusaha terlihat tenang dan berwibawa. Mereka justru bertanya, "Di mana Andre?"
    "Dia kerja, bukan?" sahutku tergeragap.
    Tetapi seseorang keluar dari kamar lain di sudut yang belum pernah kusambangi di apartemen ini, dan menyampaikan bahwa dia menemukan mayat seseorang di sana. Tak ada usaha yang sia-sia, begitu sahut yang lain. Aku masih tidak mengerti dengan semua ini, sampai kulihat orang-orang menggotong jasad busuk teman lamaku, yang katanya sudah tidak terlihat sebulan terakhir. Sesudahnya mereka pergi begitu saja tanpa peduli padaku. Karena merasa orang-orang tadi begitu bodoh dan ceroboh, aku memutuskan pergi saja sejauh mungkin sebelum polisi menyadari aku ada di sini, tetapi pada saatnya aku justru tahu; mereka tidak akan pernah mencariku lagi.
    Dalam sebuah gang yang tidak asing bagiku, seekor anjing berbicara dengan begitu fasih, "Pada suatu malam, pria itu mati di sini. Tepat di tempatku berbaring ini. Dia mati dengan luka tembak di kepala dan betisnya." [ ]

    Gempol, 2018-2019

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (Unsa Press, 2016), Babi-babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), dan novel Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri