Skip to main content

[Cerpen]: "Melahap Kenangan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Selatan edisi Senin, 22 April 2019)

    Sudah seminggu terakhir ini kulahap kenangan tua yang mendekam di lemari baju. Mereka, kenangan-kenangan itu, berupa kupu-kupu yang kuperangkap dalam botol air mineral. Botol-botol ini tentu kurawat bertahun lamanya, dengan harapan mereka dapat menyembuhkanku dari rasa rindu setiap waktu.
    Itu dulu. Pemikiran bahwa kenangan tua yang tidak selalu manis dapat mengobati rindu, jelas salah besar, dan aku sadar itu baru-baru ini. Aku sadar betapa selama ini aku tenggelam oleh koleksi kenangan yang seharusnya kubuang sejak dulu.
    Bagaimana aku yakin soal ini, adalah dari fakta yang kualami bahwa sejak terakhir kali ditinggal kawin pacarku, aku tidak pernah jatuh cinta, kecuali sekali, dan itu pun gagal. Setelah bertahun-tahun lewat, dadaku kosong melompong, dan bangsa setan pun mengisi waktu luang di sana. Setan-setan menguasaiku dan berbuat dosa lewat tubuhku, sebab itu bentuk balas dendam terbaik dari masa lalu.
    Karena ini, setelah sekian tahun gagal membina asmara, dan menyimpan sisa kisah cinta dalam wujud kupu-kupu ke botol bekas air mineral, dan kemudian jatuh cinta lagi pada seorang gadis yang terjadi secara mendadak, aku rasa kenangan-kenangan tua yang kusimpan di botol-botol tidak perlu lagi kusimpan.
    Keputusan ini kuambil begitu saja dengan harapan akan ada perbedaan. Sejak dulu kenangan-kenangan tadi kuperlakukan dengan baik, tetapi justru hidupku terkungkung dan aku menderita.

    Aku percaya, mungkin, dengan membuang mereka, tidak perlu ada kegagalan lagi. Ketahuilah, menyimpan kenangan tua saat kau jatuh cinta pada suatu hari di masa kini, adalah kesalahan besar. Sebab, jatuh cinta adalah saat kau seharusnya menatap lurus ke depan, dan bukan lagi-lagi menoleh ke belakang.
    Dengan tanpa keraguan, kulahap kenangan-kenangan tua tentang kegagalan asmara tadi. Jumlah mereka cukup banyak, sebab satu kisah asmara dengan satu kegagalan pada setiap jengkalnya meliputi setidaknya belasan kupu-kupu.
    Aku tidak tahu bagaimana berbongkah kenangan tua bisa menjadi kupu-kupu yang amat banyak? Aku tidak berpikir yang dapat melihat bentuk kupu-kupu tersebut hanya aku, dan bukan orang lain. Tapi aku juga tidak membayangkan setiap orang di luar sana melihat koleksi aneh di lemari bajuku berupa kupu-kupu. Yang kutahu, mereka memang sangat mirip kupu-kupu sehingga botol-botol air mineral bekas yang kupakai harus benar-benar kering dan diberi lubang agar mereka tidak mati.
    Tentu saja, mereka tidak boleh mati saat masih kurawat, tetapi setelah yakin untuk melahap mereka sampai habis, aku tahu tindakanku bakal menyia-nyiakan semua upaya terdahulu. Kupu-kupu itu akan mati semua dan tidak lagi bernapas. Kupu-kupu yang dulu pernah begitu kupuja dan kujaga untuk obat rindu, akan dicerna di perutku, lantas muncul dalam bentuk gumpalan tahi.
    Aku bayangkan itu dengan bahagia dan berdoa supaya kisah cinta terbaruku yang bakal berputar ini berakhir baik. Ketika mengunyah dan menelan satu per satu kupu dari botol air mineral bekas, yang kupikirkan bukan seluruh wanita yang pernah membuatku sakit hati, melainkan gadis yang hari ini kuyakin memang jodohku.
    Seorang sahabat yang menemaniku sejak aku jatuh cinta baru-baru ini berpendapat, "Telan semuanya sampai tuntas, dan jangan ada sisa. Kalau kamu sisakan, berarti tidak ada yang benar-benar tahu apa maksud tindakanmu, bahkan kamu sendiri tidak tahu apa yang kamu lakukan!"
    "Oh, aku tahu apa yang kulakukan!"
    "Baguslah," tukasnya bergembira, "telan semua dan biarkan botol-botol itu di sana. Nanti kuambil kalau kamu benar-benar selesai dengan urusan melahap kenangan."
    Sahabatku memang baik. Dia menginginkan botol-botol tersebut tidak lain adalah untuk membakarnya sampai tidak ada jejak lagi. Dia khawatir, setelah semua kupu-kupu tadi kutelan, aku mendadak sedih dan mengutuk keputusan ini. Dia khawatir botol bekas wadah kenangan berupa kupu-kupu itu tidak akan kubakar, dan justru kusimpan, lantas menjadi bentuk pengingkaran baru terhadap masa depan.
    "Kau harus benar-benar total meninggalkan masa lalu dan menatap ke depan," kata sahabatku dengan tulus.
    Dia sempat ragu perutku tidak akan bermasalah dan tidak perlu dibawa ke dokter setelah menelan habis semua kenangan tua, tetapi perutku baik-baik saja, sehingga tiga hari setelah pelahapan pertama, aku benar-benar melewati hari sendirian. Sahabatku itu pergi ke luar kota, dan melahap kenangan menjadi urusan yang jauh lebih mendalam di saat kulakukan tanpa seorang pun menonton.
    Satu demi satu kupu-kupu mati, dan satu demi satu kenangan tentang perempuan di masa lalu sirna sudah. Selama mengunyah dan menelan, kupikirkan wajah gadis yang kucintai baru-baru ini dan kubayangkan kami menikah untuk kebahagiaan sampai maut menjemput.
    Tentu saja menelan sesuatu tidak membuatku menyangkal pemikiran khusus soal apa yang terjadi di perutku. Aku tahu di antara semua kupu-kupu yang kutelan dalam seminggu terakhir, ada beberapa yang masih bernapas saat berada di lambungku.
    Tidak ada sayap, bukan berarti seekor kupu-kupu mati begitu saja. Maka, beberapa dari mereka merayap dinding-dinding lambung untuk mendaki dan muncul kembali ke permukaan demi membalas dendam padaku yang tak setia.
    Demi menghindari hal yang tidak diinginkan itu, kuteguk air banyak-banyak dan memakan apa pun yang dapat membuat perutku lebih kenyang, semata demi mencegah kenangan-kenangan tua itu kembali. Setelah benar-benar yakin, aku berhenti dan merasa hidupku selangkah lebih maju.
    "Besok kutemui gadis itu dan kuajak berkenalan," kataku menyambung obrolan ke sahabatku.
    "Semoga berakhir baik. Dan tidak ada lagi kenangan yang harus kaurawat dan kau simpan, Bung," jawabnya.
    Memang begitu asmara yang berhasil. Tidak berakhir dalam kenangan-kenangan berwujud kupu-kupu atau pelangi atau hujan atau bahkan bulu kucing dan anjing, sebab berlangsung terus menerus dalam keseharian yang dilalui sepasang manusia. Itu jauh lebih nyata dan benar-benar dapat kaupegang dan semua orang dapat melihatnya bahwa memang itu yang sedang dan akan terjadi. Bukankah sangat indah? Aku berharap Tuhan memberiku kisah asmara semacam itu, sehingga dengan demikian, sampai mati tidak perlu lagi kutelan luka-luka yang pernah terjadi. [ ]

    Gempol, 2017-2019
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya: Museum Anomali (Unsa Press, 2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018) dan Dosa di Hutan Terlarang (Basabasi, 2018).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri