(Dimuat di Solopos edisi Minggu, 14 April 2019)
Empat puluh tahun aku bergelut di bidang seni. Ribuan lukisan sudah kuhasilkan. Tapi, tidak ada satu pun dari mereka yang mampu memberiku kepuasan. Orang-orang di luar sana mungkin bilang, "Ali Sapono adalah seniman masa kini yang karya-karyanya akan terus menyihir setiap orang hingga kiamat nanti."
Buatku, semua itu sungguh omong kosong.
Tak ada sihir dalam karya-karyaku yang membuat hidup orang lain jadi jauh lebih baik atau membuat siapa pun merasa lebih rupawan atau malah lebih kaya. Sihir yang mereka maksud, tentu, berkaitan dengan kata-kata bual. Aku bahkan menyesal mencipta lukisan-lukisan itu. Mereka tak ada gunanya. Semua lukisan itu hanya terkesan sebagai kotoran yang kubuang dari tubuhku, seperti ludah atau air kencing atau bahkan tinja. Aku sama sekali tak membutuhkan mereka.
Aku tak ingat kapan pertama kali seseorang menghargai lukisanku sedemikian rupa. Aku hanya ingat bahwa dulu, saat masih terlalu kecil, setelah lukisan-lukisan awalku jadi sarana membuatku terkenal ke seluruh penjuru sekolah, orang sudah memberiku uang. Mereka membeli lukisan-lukisan buruk itu dengan harga yang fantastis. Perlahan namaku pun bukan hanya terkenal ke seantero sekolah; orang-orang dari seluruh kotaku tahu. Koran lokal memuat foto dan ulasan lukisanku, dan semua itu membuat Ibu sangat bangga.
Ibu bekerja sendirian untuk merawatku selama beberapa tahun. Ayahku, konon, tak pernah berminat menengokku sejak kelahiranku. Pada hari itu, kata teman-teman ibuku, dia malah kawin dengan seorang penyanyi dan hidup dengan kondisi berkecukupan di ibu kota. Begitu lukisan-lukisanku dikenal orang dan membuatku tenar (yang otomatis juga ikut membuat ibuku terkenal), Ibu merasa telah melahirkan seorang pahlawan. Dia sendiri benar-benar bersikap demikian. Mulai kali itu, hidup kami hanya bertabur uang dan barang baru. Ibu membeli rumah yang lebih besar dengan uang hasil penjualan tiap lukisanku, dan di sana, kami mempekerjakan banyak sekali pembantu.
Aku masih bisa mengingat sisa-sisa masa lalu Ibu yang bekerja sebagai pelayan di suatu rumah makan cepat saji di pinggir kota kami. Dia tak pernah tampak percaya diri dan selalu membuat beberapa kesalahan ketika berbicara, bahkan tentang hal-hal sepele, tapi sejak kekayaan menyerbu setiap sendi kehidupan kami, Ibu menjadi pribadi yang sangat lain. Dia jadi jauh lebih percaya diri, dan, kadang-kadang, menyebalkan.
Aku tak pernah mendapat kesenangan seperti anak-anak lain di sekitarku. Malahan Ibu melarangku bermain dengan mereka. Alhasil, aku tak pernah memiliki teman. Aku juga tidak lagi pergi ke sekolah umum. Ibu mengundang guru privat untuk mengajariku berbagai cabang ilmu, terutama seni melukis, agar aku lebih jenius (seperti kata para pengulas karya seni di luar sana) dan lebih rajin menghasilkan lukisan yang luar biasa.
Tentu saja aku sangat lelah. Rutinitas melukis, barangkali, pada masa-masa awal di saat ingatanku belum terlalu baik, hanyalah suatu kegiatan iseng yang tak menguras isi kepalaku. Aku tak tahu bagaimana seseorang pada mulanya menganggap lukisanku baik dan sangat bermutu. Aku tak tahu siapa yang pertama kali mencetuskan itu. Ketika itu, di sekolahku, lingkungan kami bukan hanya diisi oleh anak-anak nakal yang nyaris tiap hari memberiku gangguan-gangguan fisik dan verbal (karena aku tidak punya seorang pun ayah), melainkan juga para orang tua wanita yang kerap menyebarkan obrolan dari mulut satu ke mulut lainnya. Kuduga, dari kasak-kusuk itulah, sesuatu yang baik terkait lukisanku tersebar ke beberapa orang yang punya minat khusus untuk mengkoleksi seni. Maka, dari situlah kudapatkan pembeli pertamaku.
Aku sendiri tak pernah peduli tentang penjualan lukisan. Aku hanya tahu, Ibu yang menangani semua itu. Pada hari-hari itu, aku juga sedikit mengingat beberapa bocah di sekolah yang kerap menggangguku tidak lagi berani mendekatiku. Mereka bahkan tidak lagi berani menatap mataku.
Suatu kali, saat Ibu benar-benar sudah memindahkan kami ke rumah yang besar dan tidak lagi mengirimku ke sekolah, aku merasa ada yang aneh di diriku. Aku merasa kesepian. Aku merindukan suasana gaduh di kelas. Aku merindukan bocah-bocah nakal ketika meledekku. Pernah kutemui salah satu dari mereka di tempat pemandian umum; kutatap mata teman lama itu, tapi dia berpura-pura tak melihatku. Aku merasa hidupku mulai tidak nyaman, ketika seseorang di luar sana, yang tidak kukenal, malah menyapa dan mengajakku bicara panjang lebar. Aku sangat tidak suka ketika Ibu mengajakku ke pameran-pameran seni, yang membuatku bertemu banyak orang dewasa dengan aroma minyak wangi memualkan dan rokok dan segala macam yang tak kusuka. Aku sangat membenci kehidupan macam ini.
Aku sering melawan ibuku, apalagi ketika lelah dan bosan menghirup bau lukisan di ruang kerja khusus yang dibangun ibuku agar aku bisa melukis setiap hari di sana. Di tempat itu pula Ibu sering menghakimiku.
"Kamu harus melukis! Ibu merawatmu susah payah sejak kecil adalah untuk suatu alasan. Kamu tahu alasan macam apa itu?" kata Ibu, sering kali, jika aku mengeluh lelah demi menghadapi kanvas dan cat minyak.
"Melukis," jawabku dengan kaku, selalu.
"Ya! Melukis!"
Pernah perlawananku tidak dimenangkan Ibu; aku melarikan diri beberapa hari ke kota lain dengan bekal nekat. Kuambil sejumlah uang dan menumpang bus, lalu kereta, ke tempat yang begitu asing. Di sana aku tidur di kolong jembatan, di pojok pasar, dan di mana saja yang cukup aman dan sepi. Aku bisa bertahan sampai empat hari sampai di suatu malam yang hujan beberapa orang polisi menemukanku meringkuk kedinginan. Mereka mengenaliku sebagai Ali Sapono, pelukis cilik berbakat, yang hilang dan telah membuat ibunya dirawat di rumah sakit karena shock.
"Jangan begitu! Jangan lagi begitu!" tegur Ibu ketika kami bertemu, dan dia mulai menangis sesenggukan. Aku tak tahu bagaimana hatiku kembali kalah. Aku sedih oleh tangisan Ibu. Sejak itu aku tak lagi melawan, meski rasa muakku pada lukisan-lukisan yang kuhasilkan semakin membesar saja dari waktu ke waktu.
Ibu menangani seluruh urusan tentang uang dan pameran dan, pada beberapa titik, kontrak kerjasama dengan berbagai perusahaan ternama, dan dia bekerja dengan brilian. Kekayaanku tak dapat dicuri oleh siapa pun, selama dia yang memegang kendali, begitu Ibu selalu berkata. Aku tak pernah bisa menunjukkan diriku memegang kendali penuh atas diriku. Di usiaku yang mulai beranjak dewasa, bahkan aku tak pernah mendapatkan kesempatan untuk mengenal seorang gadis.
Ibu tidak menyadari ini saking semangatnya dia dengan kemajuan karir melukisku yang begitu pesat, dan aku sendiri juga, entah kenapa, tidak terpikir soal itu. Aku sering berkenalan dengan para wanita yang terang-terangan menunjukkan ketertarikan mereka, tetapi aku tak pernah membalas. Barangkali karena aku terlalu bosan dengan hidup ini. Barangkali aku terlalu malas melakukan segala sesuatu tanpa kontrol ibuku. Aku tidak benar-benar tahu.
Suatu kali Ibu jatuh sakit. Waktu itu, usiaku sudah terlalu tua untuk menjalin suatu hubungan yang tak serius sebagaimana para lelaki muda lainnya. Aku hampir menginjak kepala empat, tetapi tak pernah mendapat pacar sekali pun. Ibu menyadari itu ketika dia berbaring selama berhari-hari di rumah sakit.
Dia bilang. "Sudah saatnya kamu menikah."
"Aku tak tahu dengan siapa seharusnya aku menikah," jawabku setelah diam cukup lama.
"Siapa yang menurutmu cantik dan kamu sukai? Ada berapa teman wanita sesama pelukis yang kita kenal sih?"
"Aku tidak tahu."
Dialog itu tak menghasilkan sebuah kesimpulan, sementara Ibu meninggal sepekan setelahnya. Ketika upacara pemakaman Ibu berlangsung, aku tenggelam pada sepi yang jauh lebih dahsyat. Aku membayangkan hidup sebatang kara sampai entah berapa lama. Aku bisa melihat diriku menua dan mati seorang diri di ruang kerjaku, di rumah megah yang dari tahun ke tahun mendapat perbaikan dan dikembangkan karena ambisi ibuku untuk membangun rumah yang lebih besar dan indah selalu terbayang dengan lahirnya lukisan-lukisan baruku.
Bagaimana jika aku tidak menikah dan tidak memiliki anak? Siapakah seseorang di luar sana yang datang dan memiliki rumah ini? Apakah lukisan-lukisan yang belum laku itu akan membuat kehidupan seseorang itu jadi jauh lebih baik? Apakah rumah beserta seluruh isinya akan disumbangkan ke berbagai yayasan? Apakah beberapa orang justru berebut dan saling bunuh untuk setiap peninggalanku?
Aku cukup pusing memikirkan ini, tetapi di sisi lain, aku sama sekali tak berminat memiliki seorang pun anak. Aku tak tahu bagaimana membawa masa depan anakku kelak, sedang aku tidak pernah belajar sesuatu yang menyenangkan dari Ibu untuk kutiru demi kebaikan anakku sendiri nanti.
Aku hanya membayangkan hadirnya seorang wanita di hidupku, yang mencintaiku, dan juga kucintai, dan dia membiarkanku melakukan segala sesuatu yang kuinginkan, dan tidak memegang kendali atas diriku. Biarlah dia tidak bisa memberiku anak. Biarlah dia mandul sekalian; aku tak peduli. Lalu, kami bisa bersama sepanjang waktu sampai tua dan mati.
"Bagaimana kalau kubakar semua sampah lukisan ini? Lalu, kuberikan rumah dan isinya ini pada siapa pun yang mau, dan kita pergi dari sini sejauh mungkin?"
Demikianlah yang akan kutanyakan padanya.
Kuharap, si wanita itu akan menjawab, "Terserah kamu saja. Hidupku, sepenuhnya, berada dalam kendalimu, sayangku!" [ ]
Gempol, 24 Maret 2019
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan skenario FTV. Karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (Unsa Press, 2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (Basabasi, 2018).