(Dimuat di Harian Rakyat Sultra edisi Senin, 1 Juli 2019)
Ibuku mati dimakan hujan. Sebelas tahun silam kukisahkan di depan kelas bahwa ibuku mati dimakan hujan. Aku tidak tahu pasti apa beliau memang kehilangan nyawa ketika insiden itu terjadi, tetapi Ibu tidak pernah pulang. Ada tetangga yang tidak pulang selamanya, dan ketika kutanya pada semua orang, kudapat jawaban kalau tetanggaku itu sudah mati.
Mungkin, ibuku juga sudah mati dimakan hujan. Banyak yang tidak percaya cerita ini, tapi Leli percaya. Dia duduk di belakangku dan mengintip diam-diam apa saja yang kulakukan selagi jam pelajaran berlangsung. Aku menggambar dengan pensil warna atau crayon. Ada gedung di suatu kota. Ada monster makan mobil dan manusia. Lalu, jembatan roboh dan lain-lain.
Kataku pada Leli, "Kulihat itu semua di film lama."
Ibuku suka menonton film, tapi itu dulu, sebelum beliau dimakan hujan. Aku sedih melihat Ibu diseret dengan begitu ganasnya oleh ribuan tetes air yang jatuh dari langit. Memang tetes-tetes air tidak bergerak menyerang Ibu, tapi yang kutahu adalah: sesuatu hidup dan mengancam nyawa kami. Sesuatu itulah yang aku tahu membawa Ibu pergi bersama hujan yang datang, dan kupikir dia benar-benar memakan Ibu.
"Berarti ibumu memang mati, tetapi bukan hujan pelakunya," kata Leli.
Aku tidak setuju pada Leli, tapi karena dia baik, aku tidak langsung membantah. Ia bisa bermain ke rumahku setiap pulang sekolah dan dari sana akan kutunjukkan lokasi di mana ibuku hilang dimakan hujan, sehingga ia berpikiran sama denganku dan tak lagi meragukannya.
Pada saat insiden itu terjadi, hujan seolah tidak bersalah dan aku tahu itu. Tapi, di pikiranku tertanam bahwa Ibu hilang ketika hujan. Tak ada lagi yang dapat kusalahkan selain hujan.
"Seandainya tidak ada hujan malam itu, ibuku masih di sini, dan aku tidak dibenci semua anak di sekolah gara-gara ceritaku tidak masuk akal!" kataku.
Leli cuma mengatakan betapa aku sedang bingung dan butuh kasih sayang. Ayahku tak pernah memberiku kasih sayang sejak Ibu mati dimakan hujan dan tak lagi pulang selamanya. Ayah justru membenciku.
Leli percaya kalau soal yang satu itu. Ayah pernah menendang tasku yang terjatuh waktu aku turun dari boncengan sepeda motor. Ayah bilang, aku anak yang selalu buat dia susah dan aku tidak pernah becus mengurus diriku sendiri, padahal aku sudah harus bisa mengurus diri sendiri sebab tidak ada lagi Ibu.
Aku tidak tahu kenapa Ayah begitu. Lalu lama-lama kupikir dia membenciku sebab Ibu dimakan hujan karena keberadaanku. Seharusnya aku yang mati dimakan hujan saat itu dan bukan Ibu. Ini membingungkan. Kepalaku pusing dan tidak ada lagi cerita yang ingin kusampaikan pada semua orang.
"Ibu guru suka menyuruh kita bercerita tentang pengalaman-pengalaman kita. Dan aku rasa kamu bisa membuat cerita-ceritamu lebih menarik," saran Leli suatu ketika. Ia tahu aku menggambar hujan dengan petir yang galak; petir itu bermata dua dan merah terang. Ibuku juga di sana, tetapi hanya kepalanya saja. Aku tahu itu benar, karena yang kulihat saat itu adalah: sesuatu dalam hujan menyeret kaki Ibu dan yang terakhir kulihat sebelum ibuku hilang selamanya hanyalah kepala Ibu.
Leli bilang sebaiknya ceritaku dibuat masuk akal. Misalnya, ibuku hilang karena diculik oleh penjahat ketika hujan deras. Aku tidak merasa ada penjahat malam itu, tapi Leli terus mengoceh soal penjahat yang meminta uang tebusan dan lain sebagainya. Ia bilang, "Penjahat biasanya membawa pistol." Dan ia menambahkan banyak bagian yang tidak ada di kejadian malam itu, tanpa aku tahu apa bisa seorang Ibu hilang dengan cara seperti itu?
"Aku juga tidak tahu," kata Leli, "tetapi hujan tidak bisa makan orang. Semua suka main hujan dan tidak ada yang dimakan."
"Ibuku dimakan hujan dan aku melihatnya!"
Leli sedih setelah aku malas diajak bicara. Sejak hari itu, kami jarang bicara, tapi aku tidak menjauh dan membiarkan Leli mengintip gambar apa yang kubuat. Aku suka menggambar hujan dengan dua mata merah jahat. Aku juga suka menggambar seluruh teman sekelasku diseret hujan seperti yang terjadi pada Ibu. Mereka dimakan hujan di dalam gambarku!
Yang bisa kuingat, setelah kesal dengan Leli itu, aku sudah tidak pernah bicara lagi dengannya sampai kami lulus SD dan pindah ke sekolah lain di luar kecamatan. Tidak ada lagi cerita tentang ibuku yang dimakan hujan di tempat-tempat baru yang kemudian kudatangi. Sebelas tahun berlalu, aku bahkan lupa di mana kusimpan seluruh gambarku, yang sempat disita oleh seorang guru gara-gara anaknya tidak bisa menggambar dan dia benci diriku karena pintar bercerita sesuatu yang konon tidak masuk akal. "Hujan tidak makan orang, dan ibumu barangkali hilang diculik setan," kata guru itu suatu hari. Aku benci dia.
Aku memang masih suka menggambar, tetapi gambarku mulai masuk akal, seperti yang dulu pernah Leli sarankan.
Suatu ketika aku menggambar hal aneh-aneh, seperti yang kulihat saat ibuku mati dimakan hujan. Melihat gambar yang tidak masuk akal itu, seorang teman perempuan mengira aku berkhayal, karena jujur saja, aku tidak ingin menutup kebenaran di balik ceritaku. Bahwa Ibu dahulu hilang dimakan hujan dan cuma kepalanya yang kulihat di detik-detik akhir. Dan bahwa ibuku mati diseret hujan, lalu warna merah mengalir ke arah kakiku yang bergetar.
Setelah komentar bernada prihatin dari teman perempuan yang diam-diam kusukai itu, awalnya kupikir tidak ada masalah, tetapi ada kabar bahwa dia malas bertemu lagi denganku, karena mengira aku tidak waras. Aku tidak tahan hidup seperti masa kecilku yang di mana-mana dibenci karena Ibu yang mati secara tidak wajar. Aku tidak boleh tidak memiliki pasangan hanya karena masa laluku yang sial. Kuputuskan, mulai detik itu, aku menggambar sesuatu yang nyata.
Pada akhirnya aku mendapat pacar yang lumayan pendiam dan dia senang dengan seluruh gambarku. Gaya menggambarku kuperbarui, dan aku mulai lagi bercerita seperti dulu, bahwa ibuku mati oleh sesuatu dalam tubuh hujan.
"Sesuatu dalam tubuh hujan itu yang gimana, sih?" tanya pacarku.
"Kamu tidak perlu bertanya, toh sudah tahu segalanya tanpa perlu kujelaskan. Kita bukan anak kecil lagi."
"Maksudmu, kita tidak lagi pintar berkhayal?"
Aku tersenyum melihat wajah Leli yang kujumpai dua belas tahun setelah perang dingin dimulai. Ya, kurasa dia mengerti diriku sejak awal dan juga soal kematian ibuku di tengah hujan. Darah yang mengalir ke kakiku, ia juga tentu tahu. Semua orang tahu, tetapi terlalu sungkan membahasnya, dan tak suka anak-anak mereka yang sepantaranku waktu itu menjadi sinting akibat mendengar yang tidak seharusnya mereka tahu, yang secara jelas kurekam di kepala kecilku.
Insiden itu kugambar setiap hari dan kali ini tidak dengan pensil warna, tetapi cat minyak, sehingga hasilnya lebih awet dan detail. Aku memang berbakat, seperti ucapan Leli. Banyak yang akhirnya membeli lukisan-lukisanku dengan judul yang kubuat dari perpaduan kata 'hujan', 'makan', dan 'ibuku', dan tentu ketiga kata tersebut diolah dengan kata-kata dan susunan bervariasi agar tampak kreatif.
Pembeli terbaruku belakangan datang dan berkomentar puas, setelah menunjukkan lukisan karyaku yang ternyata juga menarik hati sang bos. Ia bilang, darah itu nyata dan wajah seorang Ibu yang meregang nyawa juga terasa hidup. "Seperti bernyawa. Tak ada pelukis sehebat Anda yang cuma berkhayal, tetapi dapat hasil sedetail itu," katanya sok tahu.
Seandainya aku mau, kukatakan saja bahwa dengan cara itulah ibuku mati dimakan hujan, dan akhirnya aku dikucilkan dan menjadi bocah yang menekuni pensil warna dan buku gambar. Hanya saja, aku bosan dianggap gila. Dengan cara inilah, orang percaya seorang Ibu bisa mati dimakan hujan. Memang lucu. Kepercayaan kadang-kadang bisa kaudapat dengan sedikit berpura-pura. [ ]
Gempol, 2018-2019
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018) Dosa di Hutan Terlarang (Basabasi, 2018).