Skip to main content

[Cerpen]: "Membuang Kutukan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 14 April 2019)

    Tubuhku sudah matang ketika hujan akhirnya turun. Orang-orang berbaris pulang dan tidak ada yang benar-benar ingin melihatku, kecuali segelintir orang yang terbilang pemberani. Mereka bertanya-tanya akan diapakan tubuhku?
    Tak juga terdengar kesepakatan sampai hujan yang turun disusul petir menggelegar dan angin kencang. Di telinga warga barangkali saja telah tersebar kabar kematanganku dan mereka bersorak ria di rumah masing-masing, karena si pria pembawa sial ini telah mampus.
    Hanya saja, di puncak bukit, mereka yang belum pulang terbenam dalam pikiran-pikiran keruh. Beberapa di antara orang-orang ini percaya, mengubur jasad gosongku di bukit tidak menyelesaikan masalah. Akan ada bencana, kata mereka, dan itu belum termasuk kematian-kematian yang terjadi pada siapa pun yang memusuhiku.
    "Semua orang memusuhi Sapono," kata seseorang.
    "Betul."
    "Akan ada kematian bagi seluruh warga!"
    "Jadi, bagaimana?"
    Seseorang mengusulkan untuk menghanyutkan saja tubuhku ke sungai, yang pada musim ini begitu deras. Tubuh sepertiku akan hanyut dan hilang ke tempat-tempat yang jauh dari desa. Tapi, mereka tak yakin kesialan akan minggat begitu saja, sebagaimana tubuhku yang hilang terbawa arus. Mereka percaya, kutukanku tidak akan sirna dengan hanya menyingkirkan tubuhku saja. Ada sesuatu yang lebih dari pembuangan tubuhku, untuk benar-benar menghapus seluruh kesialan yang bisa terjadi akibat keberadaanku di desa ini.
    Karena belum terjadi kesepakatan tertentu, orang-orang ini, yang dianggap paling berpengaruh dan disegani di desa oleh warga lain, memutuskan untuk mendiamkan saja jasadku di puncak bukit sampai esok pagi. Biarlah hujan membasuh tubuh kotorku dulu, demikian kata mereka, agar setidaknya alam ikut bekerja meluruhkan sihir-sihir tertentu yang diyakini masih melekat pada kulitku meski aku telah tak bernyawa. Setelah berdoa bersama, mereka turun meninggalkan bukit. Derap langkah mereka perlahan memudar dalam gemuruh hujan di sekitar.
    Dalam keadaan tak bernyawa, tubuhku memang tak bisa bergerak; setiap manusia memang selalu begitu, tapi ruhku bekerja. Aku berdiri di sana, dengan tiada terlihat oleh mata biasa, merenungi nasib yang menimpa. Sebuah nasib buruk yang di masa lalu tak pernah kusangka akan kutelan.
    "Dibakar hidup-hidup karena dituduh melakukan segala sesuatu yang tidak pernah kuperbuat? Sungguh sebuah cara mati yang biadab," pikirku, yang telah lepas dari tubuh fana itu.
    Beruntung tak ada seorang pun yang memberatkan peristiwa ini. Tak ada siapa pun di rumahku yang tertinggal, kecuali barang-barang berharga yang tak bernyawa dan sejumlah uang, serta surat-surat penting tanda kepemilikan aset di lokasi-lokasi tertentu, di luar desa ini. Tak ada tangis dan kesedihan di luar sana, tentu saja. Ini membuat ruhku agak lega, karena tak harus terbebani oleh pikiran tentang orang-orang yang kutinggal.
    Hujan yang deras membuat kulitku, yang tampak gosong pada mulanya, kini mulai terlihat merah melepuh. Tubuhku tidak berbaring dalam kondisi sempurna, melainkan menyamping, dengan posisi melingkar seperti udang, tanpa sehelai pun pakaian, kecuali celana dalam. Sebelah tanganku patah, sementara sebagian isi perutku terburai keluar. Aku, tentu, masih bisa merasakan panasnya api melumatkan tubuhku di detik-detik saat maut itu akan tiba. Aku masih bisa menangkap aroma dagingku yang menjelang matang dan membayangkan bagaimana cara orang-orang ini mengenangku kelak di masa yang akan datang?
    Sebenarnya, aku pun tidak tahu kenapa mereka menganggapku membawa kesialan. Aku hanya lelaki biasa yang hidup sebatang kara dari warisan ayahku yang dikenal kaya oleh orang-orang di kota asalku. Aku pindah ke desa ini beberapa tahun lalu usai beliau meninggal, dan sejak itu aku tak pernah berpikiran menikahi seorang pun wanita, meski setiap orang tahu aku hidup sendirian dan seharusnyalah orang sepertiku bisa menggila karena kesepian.
    Aku tidak tahu siapa yang mulai mengembuskan kabar ini; bahwa aku mempelajari ilmu hitam tertentu untuk meraup kekayaan dan rasa segan, dengan menculik beberapa gadis tak berdosa sebagai tumbalku pada iblis. Orang-orang yang mulanya segan, pelan dan pasti, menarik diri dariku. Para tetangga mulai kerap menutup jendela dan pintu di hari-hari biasa. Orang-orang berputar badan ketika bertemu muka denganku di jalan. Di berbagai kesempatan, aku mengira semua orang di seluruh desa membenciku tanpa aku tahu sebabnya.
    Aku memang tak tahu kenapa sampai beberapa orang datang menerobos rumahku, lalu aku dihajar habis-habisan dan digiring menuju lapangan di tengah desa. Dari situlah kudengar rumor tentangku yang selama beberapa bulan terakhir ini menyebar. Aku tidak bisa menjelaskan pada mereka betapa semua itu salah, dan betapa mereka tak akan bisa menemukan bukti tuduhan-tuduhan itu. Tapi, mereka bilang, mereka tidak bisa mencari bukti-bukti itu karena aku terlalu sakti. Aku tak akan mungkin meninggalkan jejak para korbanku. Tentu, menurut mereka, aku sudah membuang sisa-sisa tubuh mereka ke titik yang sangat jauh dan tak terduga.
    Sebelum rumor ini beredar, memang beberapa gadis dikabarkan hilang. Ada kabar juga tentang kematian-kematian tidak wajar. Sebelum kedatanganku, tidak ada peristiwa seaneh itu. Tidak ada juga orang yang terlalu kaya. Aku tak bisa menolong diriku sendiri dari tuduhan keji ini. Demikianlah, bagaimana akhirnya aku dihajar sampai tangan dan perutku hancur. Orang-orang membakarku sedemikian rupa setelah menyeretku ke atas bukit seakan-akan aku bukanlah manusia.
    Esoknya, hujan jelas sudah reda. Orang-orang kembali ke atas dengan menggotong kesepakatan baru yang belum kutahu. Mereka hanya melemparku ke atas gerobak, lalu membawaku ke lapangan. Di sana, digelar panggung kecil dan orang-orang berbaris. Di panggung, tubuh tak bernyawaku, dipotong-potong sedemikian rupa, dan setiap manusia mendapat sepotong bagian (entah tulang, daging, atau organ tubuh), dan mereka dijerat sumpah untuk menelan seluruh bagian tubuhku sampai habis tak tersisa, dengan metode memasak apa pun, sesuai yang mereka mampu. Dengan begitu, mereka percaya, segala kutukan yang kubawa akan hilang bersama tinja yang mereka keluarkan nanti.
    Dalam kesepian, ruhku merasa sangat pedih. Aku tak bisa benar-benar pergi sejauh yang mereka inginkan, karena tubuhku telah menjadi bagian dari mereka semua. Sejak hari itu, aku tetap berkeliaran di seluruh penjuru desa dan sesekali, para pembantaiku itu mendapati penampakan wujudku yang mengerikan. Mereka jelas menyesali apa yang sudah terjadi, tetapi waktu tak bisa ditarik kembali. Tubuhku yang hancur lebur tak bisa dikembalikan pada asalnya, dan ruhku tak akan mungkin kembali pada tempat bernaung yang fana. [ ]

    Gempol, 25 Maret 2019

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan skenario. Karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Negeri yang Dilanda Huru-Hara (2018) dan Dosa di Hutan Terlarang (2018).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri