Skip to main content

Posts

Showing posts with the label sastra

[Cerpen]: "Mugeni si Pengukur Jalan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto, Minggu, 30 Oktober 2016) Warung Cak Sul penuh. Seperti biasa, Mugeni duduk-duduk di seberang. Di dekat situ ada selokan dan dia kencing seperti seekor anjing tak berdosa. Pemuda itu jongkok membelakangi warung, dan begitu dirasa air kencing siap disembur, ia bergidik seakan turun salju di kepalanya. Pemandangan menjijikkan. Beberapa yang tidak tahu Mugeni, menyingkir dan mengira dia gila. Tapi, Mugeni waras dan memang tidak kenal malu. Tidak tahu siapa yang menggunting urat malunya. Setahu warga, dari dulu memang dia sudah begitu. "Kencing tempatnya di WC, bukan selokan," tegur Markoni, orang yang biasa beli nasi goreng di Cak Sul. Bersama pacarnya yang masih kelas dua SMA, Markoni suka beli nasi goreng di sini. Sepiring berdua alangkah romantis. Tetapi kehadiran Mugeni sering kali merusak suasana.

[Cerpen]: "Dakir" karya Ken Hanggara

(Dimuat di basabasi.co pada Jumat, 28 Oktober 2016)     Pabrik sarung itu berdiri sejak zaman Belanda. Di belakang pabrik berdiri rumah- rumah penduduk dengan petak kebun yang ditanami berbagai kebutuhan pokok seperti singkong, ketela, cabai, kemangi, dan berbagai sayur-mayur. Kebanyakan warga di sini mencari nafkah dengan cara itu: bercocok tanam. Tidak ada sawah, karena tanah milik warga sejak tahun 1990-an dibeli sekelompok pendatang dari Jakarta. Kini, di kawasan tersebut, berjarak sekira dua ratus meter dari pabrik ke arah selatan, terdapat kompleks perumahan elite tempat Chris dan orangtuanya tinggal.     Chris membaca sejarah desa ini dari seorang berkepala plontos yang kemudian jadi sahabat karibnya. Dakir, begitulah orang menyebut nama pemuda itu. Kependekan dari Mudakir. Ia tidak punya bapak dan ibu karena mereka minggat dan tidak pernah balik. Dulu kakek dan neneknya PKI.     "Kakekku mati disembelih di depan bapakku," begitu kata Dakir pada Chris, ketik

[Cerpen]: "Koh Lim" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Malang Post, edisi Minggu, 23 Oktober 2016)     Urusan menyimpan kenangan sudah jadi ahlinya sejak puluhan tahun silam, sejak jauh sebelum aku menyukai apa yang orang sebut mie biting, semacam jajan bocah SD, yang terbuat entah dari apa, menyerupai batang lidi dan bisa dimakan dan terasa gurih serta asin. Kini aku lupa apa itu mie biting, tepatnya tidak begitu ingat apakah pernah di dunia ini ada semacam jajan berbentuk batangan lidi ini.     "Berarti, waktu itu ia sangat tua?" sela Johan.     "Ia bahkan lebih tua dari sejarah keluarga ini."     Kami duduk di beranda dan Johan sedang memegang kunci motor yang baru dibeli kemarin lusa, oleh papinya yang sukses. Hadiah biar rajin belajar. Aku tidak setuju dengan cara itu; memberi hadiah begitu, tapi Johan adalah anak dari anakku, dan biarlah anakku mendidiknya dengan caranya.     Sebagai kakek, aku punya sesuatu yang tidak kalah penting dari hadiah itu. Inilah caraku memasukkan pengaruhku ke cucu-c

[Cerpen]: "Mantan Perokok" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Kediri edisi Minggu, 9 Oktober 2016) Bus belum berangkat, mungkin 30 menit ke depan. Sambil menunggu kendaraan itu melaju, kuputuskan menunggu di warung kopi setelah meletakkan tas dan barang bawaan di tempat dudukku. "Titip ya, Mas?" kataku pada kenek bus itu. Ia mantuk dan mengucap lapan enam , kode aman, yang kupahami sebagai: tempatku tidak direbut orang. " Wong ada nomernya kok," tukasnya santai. Aku tepis pundaknya dan tersenyum. Ya ngerti kalau ada nomornya, tapi kebiasaan orang Indonesia mana bisa begitu? Diberi nomor antre atau nomor tempat duduk, jarang tertib. Bus wisata yang hendak ke Bali ini jauh hari direncanakan warga RT 02. Semua sepakat dengan harga, juga sepakat dengan peraturan, salah satunya adalah nomor tempat duduk sesuai urutan siapa dulu yang daftar. Siapa cepat, dapat tempat paling depan. Begitu seterusnya sampai belakang. Ada tiga bus. Dan aku dapat bus pertama.

[Cerpen]: "Tragedi yang Terlupakan" karya Ken Hanggara

Lukisan karya Van Gogh (Dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 25 September 2016)    Aku bangun di lorong hitam sempit, yang diapit dua tembok tinggi. Kuduga orang bisa mati jika jatuh dari atas tembok ini, tetapi di sini tidak ada siapa-siapa. Aku sendiri tidak tahu siapa yang membawaku kemari. Kepalaku pusing. Mungkin seseorang belum lama ini merampok dan memukul kepalaku. Aku membawa lumayan banyak uang dan perhiasan karena kabur dari suamiku yang bejat, dan berniat tinggal di rumah pacarku di luar kota. Hanya saja, aku tidak ingat peristiwa perampokan itu, jika memang aku ini dirampok. Jadi, kuperiksa kepalaku. Ada bercak darah di jidat. Pandangan mataku juga berasa berputar waktu bangun tadi.     "Mungkin seseorang memang merampokku," kata-kata itu keluar begitu saja dan di sekitarku mendadak dingin.

[Cerpen]: "Hantu-Hantu di Kepalanya" karya Ken Hanggara

Ilustrasi cerpen "Hantu-Hantu di Kepalanya" di Radar Mojokerto (Dimuat di Radar Mojokerto edisi Minggu, 18 September 2016)       Maria bilang, Imo harus di rumah. Anak itu tidak bisa dibiarkan di luar. Sering kali Imo keluar tanpa pamit dan pulang-pulang bajunya selalu berlumuran darah. Dasar sinting. Maria tahu adiknya suka melukai anjing dan kucing, dan kadang-kadang malah memakannya.     Anak itu tidak bisa dilarang dan tidak berhenti mengepruk kepala hewan mana pun yang ditemuinya di jalan sampai kepergok orang dan saksi mata berkata, "Ya ampun. Setan apa kamu?"     Kalau sudah begitu, Imo tinggalkan apa pun yang ia pegang dan menghilang di semak-semak. Orang menemukannya di rumah setengah jam kemudian dalam keadaan menunduk dan melafal deret Fibionacci dengan cara yang ganjil. Selama Imo berhitung, Maria tidak berhenti mengomel sampai adiknya mengantuk.     Maria tidak tahu kenapa adiknya begitu. Maria anak yang manis dan normal dan di sekolah se

[Cerpen]: "Rencana Rahasia Penyair yang Baru Saja Diusir Calon Mertua" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Flores Sastra, 18 September 2016)   Aku tidak mengerti saat orangtua pacarku tiba-tiba menyuruhku pulang, sementara Milana belum keluar dari kamar. Ia sudah berjanji padaku untuk kembali dan membawa keluar album kenangan semasa kami SMA dulu; jadi, aku pun juga berjanji kepadanya untuk tidak pulang dulu sampai ia keluar dan kami membuka-buka halaman album itu dan mengenang masa sekolah kami dulu. Tentu saja, di mana pun, memang itulah yang berlaku jika seseorang bertamu.     Tapi, orangtua pacarku menyuruhku pulang. Ia bilang sebaiknya aku pulang saja, dan jangan kembali sampai bulan depan. Aku tidak dapat membantah, tetapi juga tidak mengerti bagaimana mungkin kami tidak bertemu selama satu bulan?

DIBUKA PRE ORDER BUKU KUMPULAN CERPEN "MUSEUM ANOMALI"!

Museum Anomali, kumpulan cerpen terbaru Ken Hanggara . Yang mau pre order, silakan. Harga normalnya Rp 47 ribu. Untuk pre order, diskon 10% (Rp 42,300,-) bebas ongkos kirim khusus Pulau Jawa (untuk luar Jawa, ongkir kisaran antara Rp 10 ribu - Rp 17 ribu). Dapat tanda tangan+kalimat singkat dari penulis. Tertarik? Langsung inbox akun FB Ken Hanggara dengan format pemesanan: nama + alamat + kodepos + No.HP. Museum Anomali berisi 17 cerpen horor kontemporer. Sebagian cerpen di dalamnya pernah terbit di media massa, dan sebagian lainnya belum terpublikasikan.

[Cerpen]: "Kembali untuk Maria" karya Ken Hanggara

Ilustrasi cerpen "Kembali untuk Maria" karya Ken Hanggara (Dimuat di Harian Joglosemar edisi Minggu, 11 September 2016)       Aku tidak ingat kapan terakhir kali pergi ke rumah pacarku, Maria, tetapi kukira ia juga sudah tidak ingat kapan terakhir kali aku mendatanginya. Kejadian itu sudah usang, dan sekarang aku sudah memiliki anak empat. Kalau saja Maria tidak menyuruhku pergi, maka tentu saja empat anak itu tidak terlalu menjengkelkanku, sebab Maria gadis cantik yang menyenangkan. Di mana-mana, watak orangtua pasti menurun pada buah hatinya. Dulu aku berharap dan yakin itulah yang terjadi; anak-anak rupawan berperangai seperti Maria. Tapi, kami harus berpisah.     Takdir menikahkanku dengan si buruk rupa yang sama sekali pantas jadi bibiku. Ia wanita yang kubenci. Tabiat dan tampilan wanita itu sama buruknya, dan aku tidak bisa melarikan diri. Begitu pernikahan terjadi, istri yang kubenci hamil dan beranak empat kali, dan keadaan rumah membuatku ingin pergi seja

[Cerpen]: "Menjahit Sayap Malaikat" karya Ken Hanggara

Ilustrasi cerpen "Menjahit Sayap Malaikat" karya Ken Hanggara (Dimuat di Banjarmasin Post, 11 September 2016)     Sejak ditinggal mati suaminya, Maria membuka usaha jahit di rumahnya. Mula-mula sepi, tapi hari demi hari pesanan jahitan mulai banyak dan ia kewalahan. Ia merekrut dua gadis di dekat rumah untuk membantu. Ia bangkit dan bisa menghidupi dua anak yang masih kecil, diri sendiri, dan dua karyawan. Sampai suatu ketika, sesosok malaikat datang mengetuk pintu rumahnya.     Malaikat itu datang tengah malam, persis empat tahun sepeninggal suami yang tewas dalam kecelakaan. Malaikat itu mengentuk pintu dengan lembut, sampai-sampai tak bakal ada yang dengar, kecuali orang yang benar-benar berhati suci atau yang dikehendaki malaikat itu untuk mendengar.

[Cerpen]: "Enam Belas Tahun Kemudian..." karya Ken Hanggara

(Dimuat di  Taman Fiksi edisi 17)     All or Nothing berputar begitu saja setelah mobilku meninggalkan halaman rumah Vina. Lagu lama ini membuat pikiranku terbang ke masa lalu. Enam belas tahun berlalu dan semua tetap sama. Segalanya tetap sepi bagiku. Aku tidak menyesal atas perpisahan yang memang harus terjadi ketika itu. Vina tidak benar-benar mencintaiku, dan aku juga tidak begitu yakin kami dapat membina hubungan yang lebih baik jika kami menikah.     Enam belas tahun segalanya tetap sama, tetapi tidak bagi Vina. Ia menikah dengan temannya setelah memutuskan hubungan kami. Vina tampak sedih, dan di masa-masa ini hatiku hancur. Aku tidak dapat melakukan aktivitas apa pun dengan baik. Tanpa memberi kabar, aku pergi sejauh mungkin dan sempat berpikir semoga ia benar-benar melupakanku, dan aku juga berusaha melupakannya. Setahun berlalu, aku merasa aku berhasil. Aku lupakan Vina dengan menjalin pertemanan dengan beberapa wanita baik dari negeri-negeri asing, sekalipun tidak

[Cerpen]: "Milana dan Sungai Purba" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 4 September 2016) "Dulu, di depan kita ada sungai," kataku. "Sungai besar dan nyata." Telunjukku menuding ke timur, titik matahari berangkat, lalu jariku melayang dan mendekat pada kami, hingga melampaui wajah Milana dan bersambung ke arah benamnya hari. Milana menoleh sejenak. Ia tutup mulut dengan dua tangan. "Sungguh," kataku lagi. Ia menggeleng-geleng dan tersenyum. "Bukan. Bukan itu." Milana berdiri dan menarikku dari bangku taman. Kami menyisir garis panjang di depan bangku, terus ke barat hingga beberapa puluh meter. Garis itu—aku menyebutnya batas sungai purba yang hilang—memang ada dari dulu dan gadis ini tahu legendanya. Mestinya aku tak menjelaskan, karena toh telah tercatat dalam buku-buku dongeng di kota kami.

[Cerpen]: "Menjahit Tubuhmu ke Tubuhku" karya Ken Hanggara

Lukisan karya Mark Demsteader (Dimuat di nusantaranews.co , Sabtu, 3 September 2016)     Seandainya Mila bisa kujahit di saku kemejaku atau kusimpan langsung di dompet sebagaimana foto pacar pada umumnya, aku tidak cemas soal identitas. Ia tidak pernah kuantar sampai ke rumahnya. Tepatnya, tidak pernah mau. Bila selesai malam mingguan nonton bioskop atau makan jagung di taman kota, ia selalu minta turun di gang depan.     Aku mengenal Mila empat bulan yang lalu. Langsung jatuh cinta begitu melihatnya duduk sendiri di taman. Tidak tahu tenaga apa yang mendorong, aku datangi bangkunya dan berkata soal sepatuku yang bolong dan aku yang tidak tahu di mana letak tukang sol sepatu. Aku tidak suka membaca novel roman, tetapi barangkali seperti itu situasinya. Aku bicara soal sepatu dan Mila terkikik geli. Lalu ia jongkok dan mengamati sepatu itu dan berkata, "Tidak ada yang bolong."     "Ya ampun! Benarkah? Tapi, aku merasa ada yang bolong," kataku.     &quo

[Cerpen]: "Burung Pengantar Bayi" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: http://www.id.priceaz.com   (Dimuat di Flores Sastra, 27 Agustus 2016)     Saya terbang dan membawa seikat kado berisi bayi perempuan. Segar, mungil, dan suci. Malaikat menitipkan bayi itu dan menyuruh saya terbang ke seluruh negeri. Sebagai imbalan, saya boleh makan gula-gula yang terdampar di teras!     Terbang dan terbang, itu pekerjaan saya. Angin dan pergantian musim kesemestian. Sebagai storch*, menggembirakan membawa bingkisan bayi lucu. Menunggu orang memberi upah gula-gula, sangat menyenangkan. Saya bernyanyi sekaligus menimang makhluk menggemaskan itu, hingga si bayi merasa saya ibunya, padahal ia tidak punya paruh dan sayap.     Langit punya banyak pengetahuan andai Anda burung pembawa bingkisan. Anda boleh jadi melihat wanita hari ini, dari balik awan gemawan, dengan wajah murung di jendela suatu rumah. Suaminya tidak ada. Mungkin pergi. Mungkin menikah dan wanita itu baru saja dicerai karena mandul.

[Cerpen]: "Lari dari Kematian" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Riau Realita, Minggu, 31 Juli 2016)     Teman-temanku sudah mati dan aku berziarah ke sebuah sungai. Mereka tidak jadi tulang belulang atau tanah, melainkan bergumpal kotoran dari perut manusia. Semua temanku mati dengan cara dimasak dan dibumbui di meja, dan kami semua ditakdirkan untuk menunggu kematian dengan cara itu.     Aku kabur dua hari lalu dari kerangkengku. Sekarang tidak ada yang memasakku. Aku mencari belas kasihan kepada anak kecil yang buta. Ia tidak akan memasakku, dan aku bisa menjaganya, lalu dia berkata, "Anjing sepertimu boleh juga."     Sejak itu kami bersama, dan dia sering mengajakku ke sungai, tempat orang-orang buang hajat. Anak itu sesekali buang hajat di sana, atau menunggu jika ada orang yang berbaik hati memberinya sedekah.

[Cerpen]: "Roni di Dunia Hantu dan Kita Tidak Perlu Mencarinya" karya Ken Hanggara

Lukisan Andrea da Firenze (Dimuat di kalatida.com , Senin, 22 Agustus 2016) Mohon maaf, cerpen ini sengaja dihapus karena dimasukkan ke dalam buku terbaru saya yang berjudul Museum Anomali . Buku tersebut berupa kumpulan cerpen bertema horror kontemporer. Jika ingin membaca cerpen ini, yang juga akan dihimpun bersama cerpen-cerpen lainnya (baik yang sudah terbit atau belum dipublikasikan sama sekali), se gera pesan buku tersebut. Harga 49 ribu belum termasuk ongkos kirim Terima kasih. :)  Untuk pemesanan Museum Anomali, bi sa klik Tentang Penulis

[Cerpen]: "Jangan Bertanya Apa Pun pada Orang Gila" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tanjungpinang Pos edisi Minggu, 14 Agustus 2016)     Tidak ada seorang pun di luar. Pintu kututup kembali dan berusaha memikirkan hal yang enak-enak, seperti misalnya martabak buatan Mirna, kekasihku yang seksi itu. Dia kalau bikin martabak selalu mantap. Dia selalu bilang, "Rahasia utama dari masakan itu cuma cinta."     Tetapi mengalihkan pikiran, dari ketukan pintu tengah malam dengan pacar yang pintar bikin martabak, membuat kepalaku pusing. Tidak ke kamar, aku pergi ke dapur dan menuang air putih.     "Siapa ketuk pintu malam-malam?"     Aku pikir mungkin tadi perasaanku, atau barangkali setengah bagian penting dari mimpiku melompat keluar, sebab tidak lama sebelum pintu diketuk, aku bangun dari mimpi yang aneh. Dalam mimpi itu aku dikejar-kejar setan banci. Setan itu berwajah banci yang berusaha cantik tapi gagal, dengan suntik silikon yang membuat wajahnya lumer seperti monster. Aku dikejar dua banci yang terus menerus memanggilku '

[Cerpen]: "Kunjungan Seekor Kucing di Hari yang Aneh" karya Ken Hanggara

Ilustrasi cerpen "Kunjungan Seekor Kucing di Hari yang Aneh" karya Ken Hanggara (Dimuat di Radar Mojokerto edisi Minggu, 14 Agustus 2016) Mohon maaf, cerpen ini sengaja dihapus karena dimasukkan ke dalam buku terbaru saya yang berjudul Museum Anomali . Buku tersebut berupa kumpulan cerpen bertema horror kontemporer. Jika ingin membaca cerpen ini, yang juga akan dihimpun bersama cerpen-cerpen lainnya (baik yang sudah terbit atau belum dipublikasikan sama sekali), se gera pesan buku tersebut. Harga 49 ribu belum termasuk ongkos kirim Terima kasih. :)  Untuk pemesanan Museum Anomali, bi sa klik Tentang Penulis .

[Cerpen]: "Sapono Buron" karya Ken Hanggara

Lukisan "The Scream" karya Edvar Munch (Dimuat di Harian Amanah (Jakarta), edisi Sabtu, 13 Agustus 2016)    Sapono terluka di bagian betis. Ia tidak pernah ditembak. Tapi sekali kena, rasanya luar biasa. Serupa tidur dan mimpi, lalu tiba-tiba terperosok ke sana dan tidak bangun selamanya.     Sapono kesakitan dan bingung Ia menyesal mengikuti ajakan teman untuk rencana perampokan. Sambil menyisir jalan ke hutan, ia memutar ulang ingatan. Uang cepat, itu yang Sapono butuhkan. Setelah sepakat dan tidak ada kompromi mundur, ia ditembak. Komplotan perampok itu gagal dan kocar-kacir dikejar polisi.     Sudah tiga minggu Sapono lolos. Sembunyi di rumah kawan lama, yang tidak bisa dipercaya, bukan keputusan bijak. Tidak ada tempat lain. Sapono tidak pernah diincar polisi. Ini hanya ada di mimpi buruk. Sayangnya, Sapono tidak tidur. Kenyataan bahwa ia dikejar polisi dan menjadi buronan, membuat Sapono merinding. Ia tahu ia bukan penjahat.

[Cerpen]: "Hadiah untuk Martin" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Flores Sastra, Sabtu, 13 Agustus 2016)     Tadi pagi Martin membawa dompet berisi uang. Sekarang dompetnya tidak ada. Si Yori, anjingnya yang kotor dan penyakitan, tidak bisa mengejar maling. Yori tidak sepintar atau selincah dulu. Anjing itu semakin tua dan bodoh. Martin tidak tahu kepada siapa ia minta bantuan?     Yori meringkuk di teras toko mainan. Anjing itu memandangi Martin yang kesal dan sedih. Majikan yang kecil dan kurus, yang hari ini kehilangan dompet, bagi seekor anjing menumbuhkan penyesalan diam-diam. Tapi, anjing tetaplah anjing, dan si Yori sudah tua; ia tidak bisa meminta maaf pada Martin.