Skip to main content

[Cerpen]: "Tragedi yang Terlupakan" karya Ken Hanggara


Lukisan karya Van Gogh
(Dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 25 September 2016) 

 Aku bangun di lorong hitam sempit, yang diapit dua tembok tinggi. Kuduga orang bisa mati jika jatuh dari atas tembok ini, tetapi di sini tidak ada siapa-siapa. Aku sendiri tidak tahu siapa yang membawaku kemari. Kepalaku pusing. Mungkin seseorang belum lama ini merampok dan memukul kepalaku. Aku membawa lumayan banyak uang dan perhiasan karena kabur dari suamiku yang bejat, dan berniat tinggal di rumah pacarku di luar kota. Hanya saja, aku tidak ingat peristiwa perampokan itu, jika memang aku ini dirampok. Jadi, kuperiksa kepalaku. Ada bercak darah di jidat. Pandangan mataku juga berasa berputar waktu bangun tadi.
    "Mungkin seseorang memang merampokku," kata-kata itu keluar begitu saja dan di sekitarku mendadak dingin.

    Lorong ini berada di tempat terbuka. Di atas aku bisa melihat langit malam. Aku bangkit dan mencoba langkahku; siapa tahu penjahat itu melukai kakiku sampai tidak bisa berdiri. Ternyata, aku masih bisa berdiri. Bahkan aku tidak lagi pusing saat berjalan beberapa langkah ke salah satu ujung lorong.
    Salah satu ujung lorong ini memancarkan cahaya redup, dan kukira ke sanalah aku harus pergi. Ujung lorong lainnya cuma jalan buntu. Perampok itu tidak mengikatku dan membiarkanku tergeletak begitu saja. Jelas ia sudah tidak peduli padaku. Ia sudah dapat barang-barang berhargaku dan kini kabur entah ke mana.
    Aku menjaga pemikiran soal dirampok ini, karena tidak kutemui barang-barangku di sekitar sini. Aku tak peduli walau tidak ingat satu pun detail tentang perampokan itu. Aku hanya ingat pergi dari rumah suamiku dalam kondisi marah besar. Kami baru saja bertengkar tadi sore; ia menamparku, dan aku segera mengemasi barang-barangku saat melihat ada kesempatan kabur tanpa ketahuan. Suamiku seorang pemabuk.
    Aku ingat detail itu; suamiku terkapar di sofa ruang tengah, dengan televisi masih menyala. Lalu, makan malam sengaja tidak kuhabiskan demi mengambil kesempatanku. Aku segera pergi dari rumah dan menumpang taksi. Turun ke sebuah halte, lalu naik bus dan seterusnya.
    Hal terakhir yang kuingat adalah: aku turun di sekitar pom bensin yang sudah tidak beroperasi. Tempat itu amat gelap, tapi aku tidak cemas karena pacarku berjanji ke sana menjemputku. Aku memang biasa dijemput begitu, karena ia tidak mau ada tetangganya tahu wanita sepertiku, yang bukan istrinya, mengetuk pintu rumahnya. Ia bisa membawa mobilnya yang berisi kami berdua, lalu ke garasinya tanpa ada satu pun tetangga tahu.
    Jadi, perampok itu datang lebih dulu ketimbang pacarku?
    Sekarang aku menduga perampok itu lebih cepat dari pacarku. Ia jelas datang dan tidak berkhianat, dan mungkin saja perampok itu juga melukainya, sebelum akhirnya ia melukaiku. Aku memang tidak dapat membuktikan ini, karena aku benar-benar tak ingat. Ada ingatan yang hilang di jeda antara aku turun dari bus ke pom bensin tua yang tidak lagi beroperasi, dengan aku yang mendadak bangun di sebuah lorong hitam.
    Aku terus memancing ingatan yang buram ini sambil berjalan menuju sumber sinar redup. Sesampai di ujung lorong, aku melihat seorang gelandangan tua, lelaki yang aku kira seumuran ayahku, yakni tujuh puluh tahunan, sedang membakar daging busuk. Aku tahu itu daging ayam busuk, dan ia sedang membakarnya untuk makan. Di mana-mana yang namanya gelandangan pasti selalu lapar.
    "Bapak tahu ini di mana?" tanyaku tiba-tiba, dan membuat gelandangan tua kaget. Ia menoleh padaku, lalu kembali memperhatikan api buatannya membakar daging ayam busuk, dan tak berapa lama segera berbalik badan.
    "Saya tidak tahu di mana ini, karena saya bukan orang sini. Saya kira, seandainya tadi saya yang melihat Anda lebih dulu, sudah pasti pertanyaan serupa saya lontarkan," jawabnya tenang.
    "Saya habis dirampok."
    Mendengar kata-kataku, gelandangan tua itu melongo beberapa detik, lalu kembali menekuni dagingnya. Ia bilang, jika aku lapar, aku boleh makan juga. Ia bisa membagi daging ayam miliknya menjadi sepertiga potong. Dua potong untuk masing-masing dari kami, dan satu potong sisanya bisa dia simpan untuk sarapannya sendiri besok pagi.
    "Jadi, besok Anda sudah harus sampai ke kantor polisi, agar saya tidak perlu susah payah mencari makanan buat sarapan," jelasnya.
    "Oh, tidak. Malam ini saya kira saya tidak makan dan hanya ingin pergi ke kantor polisi."
    Gelandangan tua mengangguk dan menunjuk ke ujung jalan raya yang tidak terlalu jauh dari bangunan aneh tempatku terbangun. Aku perhatikan, bangunan dengan lorong hitam ternyata salah satu bagian dari pabrik entah apa. Cerobong-cerobong menjulang di langit, dan gelandangan itu terkekeh melihatku mendongak seperti tidak pernah tahu benda bernama cerobong asap.
    Aku tidak lagi bicara dan meminta izin duduk sebentar untuk menghangatkan diri, sebelum ke kantor polisi malam ini juga. Gelandangan tua mengizinkanku dan kami pun duduk berseberangan. Dia makan daging ayam busuknya yang ternyata tidak dibagi tiga sama sekali, dan kukira mungkin orang ini sedang lapar. Ia berhak makan daging ayam busuk atau daging apa pun selama itu miliknya. Aku tidak ingin menganggu, meski aku sadar aku sangat lapar.
    Melihatku beberapa kali mencuri pandang ke arah daging ayam itu, mungkin orang ini menyadari keadaanku yang sebenarnya. Ia menawariku daging busuk tersebut sekali lagi, sekaligus dengan tegas menyatatakan, "Tidak ada yang menanggung kalau Anda tertular penyakit saya, karena daging ini sudah saya gigit dan jilati. Oke?"
    Aku tidak segila itu, jadi yang kulakukan hanya menggeleng pelan dan berpamitan pergi ke kantor polisi. Gelandangan tua itu tahu aku butuh bantuannya, jadi dia berdiri dan menemaniku berjalan beberapa meter jauhnya, sambil bicara tentang istrinya yang mati dirampok orang beberapa tahun silam.
    "Maafkan saya. Karena kejadian saya dirampok, Bapak jadi ingat mendiang istri," kataku.
    "Oh, tidak masalah. Saya sudah biasa, dan lagi pula dia mati karena kabur dari saya kok."
    "Kabur?"
    Gelandangan tua pun bercerita tentang istrinya yang kabur karena tidak tahan lagi dengan sikapnya yang bejat. Ia bilang, ia sebenarnya menyesal karena menyia-nyiakan sang istri, tapi mereka tidak bisa memperbaiki keadaan karena istrinya lebih dulu mati oleh perampok.
    Aku tidak bertanya apa-apa lagi, selain terus berpikir dan mencoba mengingat lagi apa yang terjadi di jeda antara aku turun di pom bensin tua yang sudah tidak beroperasi, dengan aku yang mendadak terbangun di lorong hitam sebuah pabrik usang. Aku tidak sanggup menemukan jawabannya. []

    Gempol, 23-9-2016

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karyanya terbit di berbagai media.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri