(Dimuat di Radar Kediri edisi Minggu, 9 Oktober 2016)
Bus belum berangkat, mungkin 30 menit ke depan.
Sambil menunggu kendaraan itu melaju, kuputuskan menunggu di warung kopi
setelah meletakkan tas dan barang bawaan di tempat dudukku.
"Titip ya, Mas?" kataku pada kenek bus
itu. Ia mantuk dan mengucap lapan enam, kode aman, yang kupahami
sebagai: tempatku tidak direbut orang.
"Wong ada nomernya kok," tukasnya
santai.
Aku tepis pundaknya dan tersenyum. Ya ngerti kalau
ada nomornya, tapi kebiasaan orang Indonesia mana bisa begitu? Diberi nomor
antre atau nomor tempat duduk, jarang tertib.
Bus wisata yang hendak ke Bali ini jauh hari
direncanakan warga RT 02. Semua sepakat dengan harga, juga sepakat dengan
peraturan, salah satunya adalah nomor tempat duduk sesuai urutan siapa dulu
yang daftar. Siapa cepat, dapat tempat paling depan. Begitu seterusnya sampai
belakang. Ada tiga bus. Dan aku dapat bus pertama.
Demi membuat suasana hatiku adem, kuhalau
pikiran soal nomor dengan pergi ke warung. Di warung ada empat orang. Sama-sama
penumpang. Tidak seperti yang lain, yang memilih menempati tempat duduk sambil
menenangkan bocah-bocah yang mulai bertingkah dan menangis sebab pertengkaran
kecil. Gaduh sekali.
Karena alasan inilah, empat orang yang di warung
berdalih menghirup udara segar banyak-banyak, sebelum saat berangkat bergumul
dengan segala problem: kepengapan, aroma muntah anak-anak, dan, tentu saja, bau
ketiak campur odor.
"Ini bus AC. Gak kebayang kita naik
bus jaman dulu, yang gak ada AC," celetuk satu di antaranya.
"Ya semaput, Cak!" sahutku mendadak.
Seorang bapak-bapak, Pak Misdi namanya, menawariku
rokok. Aku menggeleng. Kubilang sudah sebulan ini prei rokok. Berharap
selamanya sih, biar tidak bikin repot.
"Aku ndak ngerti. Mana bisa berhenti
selamanya kalau sudah nagih?" tanya beliau.
"Kalau diusahakan bisa toh?"
sergah Husni, yang berjanggut lebat. Di antara semua pengunjung warung, cuma
dia yang belum pernah kudapati merokok.
"Memangnya pernah?"
"Apa?"
"Merokok?"
Husni sesaat tampak linglung, sebelum akhirnya
menjawab, "Belum."
Hampir seisi warung tertawa, termasuk pemiliknya,
Mbok Jah, kecuali aku, yang cuma tersenyum karena tahu Husni kena olok-olok
bapak-bapak di sini. Siapa tidak tahu? Dia tidak pernah merokok dan kadang suka
menjauh bila ada siapa saja yang merokok dekat dengannya. Tidak sehatlah,
berisiko mati lebih cepatlah, macam-macam alasannya. Kini saja ia duduk di
pojokan, agak jauh dari yang lain.
"Setidaknya saya dengar begitu." Ia
membela diri. Mungkin maksud Husni baik. Ingin menyemangatiku yang mau berhenti
merokok, demi kebaikan diriku, demi masa depanku.
Tak mau membuat pemuda itu malu lama-lama, Pak
Misdi alihkan pembicaraan ke poin awal, "Repot apanya, Ji? Setahuku kamu
perokok paling 'gila' di sini. Kalau ada grup pecinta rokok, kamu pantes
dadi ketuanya. Hehehe."
Bingung mau bilang apa, meski jawaban sudah
tercetak di kening. Cuma Cak Budi, pengunjung warung yang tadi nyeletuk dan
berkhayal betapa susah perjalanan dilakukan dengan bus tanpa AC, yang tahu
alasanku. Sedari pertanyaan digaungkan Pak Misdi, ia melirikku dan mendeham seolah
ada batu batako di tenggorokannya. Cak Budi memang humoris.
"Itu lho, Pak," ia menyela,
"kan ada yang di seberang sana, yang mau kita datangi."
"Siapa?"
"Marti. Masa' ndak paham?"
Aku menunduk memegang perut dan menahan tawa, juga
malu. Husni menoleh ke kanan-kiri, persis wasit pertandingan bulutangkis,
karena tak paham. Aku mati-matian memberi kode pada Cak Budi agar tak bicara
lebih jauh.
Saat itu sopir bus masuk ke warung dan membeli
rokok serta air mineral. Baru saja dapat kabar bahwa keluarga yang tersisa,
yang belum datang dari tadi sehingga bus menunda keberangkatan, sibuk mengganti
pakaian dua anak kembarnya sebab berak di celana. Ia berkelakar soal itu, yang
membuatku berharap dengan begitu Cak Budi sudahi candaan soal Marti, pacarku
yang manis.
Marti kerja di Bali dari setahun lalu. Rencananya
tahun depan kami nikah. Tapi dia minta satu syarat dipenuhi, bahwa aku harus
berhenti merokok. Ya, aku turuti. Kukira sulit, tapi karena kemauan, aku
sanggup, meski godaan batang rokok membuatku tidak tenang. Sejauh ini aku bisa
memegang janji.
"Kok bisa berak barengan? Apa karena kembar,
lalu apa-apa berjamaah?" sahut Jamal, tetanggaku yang dari tadi diam
mendengar kami ngobrol.
"Ya bisa dong! Apa sih yang ndak bisa?
Semua di dunia ini mungkin. Tidak peduli soal teknis atau kebetulan yang cuma
Tuhan yang tahu. Bahkan prinsip bisa berubah." Cak Budi berkata serius,
aku tahu tujuannya bercanda.
"Begitu, 'kan, Ji?" Ia menepuk leherku
dari belakang. Kurasa perutku geli dan pasrah.
"Oalah, paham. Jadi, begitu..." Husni
mengelus-elus janggut.
Pak Misdi diam dan menoleh ke luar warung. Tiga
puluh menit kami menunggu, keluarga terakhir sudah sampai di bus. Bus kedua dan
ketiga sudah penuh. Tinggal kami yang di warung yang belum naik. Orang-orang
membayar Mbok Jah sesuai total. Aku tidak beli apa-apa, langsung berdiri. Husni
menyejajari langkahku, Cak Budi dan Pak Misdi nyusul di kiri kanan.
Jamal permisi pipis sebentar.
"Sampean mesti bersyukur karena punya rewang.
Kalau ngeronda bisa ngobrol dekat-dekat. Hehe," tegur Cak
Budi pada Husni.
Mereka tertawa.
Pak Misdi menjawilku diam-diam dan berbisik,
"Kalau rasa cinta bisa mengubah prinsip—kita anggap kebiasaan merokok itu
prinsip, pantaslah ia bisa mengubah iman. Hmm, saya salut padamu, Ji. Kamu yang
gila-gilaan aja bisa. Seharusnya saya juga, ya. Tapi, rasanya sungguh,
sangat sulit."
Beliau menambahkan, apa yang dia dengar dariku
pagi ini adalah kabar bagus buat Marti. Setiba di Bali, aku harus segera
merayakannya.
"Pacarmu itu tahu, mungkin punya indera
keenam, bahwa orang sepertimu, seperti kita ini, terlalu banyak beban. Hidup
juga butuh biaya, 'kan? Tidak semestinya uang gaji dihabiskan untuk mengasapi
paru-paru. Kau tahu, terkadang diam-diam aku menghitung, seberapa banyak uangku
habis untuk mengasapi tubuh selama satu tahun? Saya yakin kamu paham."
Hening seketika.
Aku ingat pekerjaanku, juga Marti, yang tidak bisa
dibilang 'wah'. Dan aku juga tak lupa, Pak Misdi lebih tua dariku, dan
pekerjaannya boleh dibilang 'wah'. Di bus, tentu saja, beliau mulai bicara
kemungkinan-kemungkinan yang bisa didapat andai uang sebanyak itu tidak
digunakan untuk merokok. Misalnya saja, ia bisa buka usaha rumah makan yang
besar; ini dibayangkannya kalau ia tidak merokok sedari muda. Boleh jadi, hari
ini ia tidak perlu berdesak-desakan begini kalau cuma mau me-refresh otak.
Tak ada bus ber-AC, yang ada cuma pesawat terbang.
"Aku bukan kecewa karena istriku tidak punya
pengaruh sekuat Marti," tutupnya, sembari memandangi jendela bus yang
mulai melaju, "cuma terkadang nyesal. Betapa keras kepala! Kayak-nya
aku yang pantes dadi ketua grup ketimbang kamu. Hehehe." [ ]
Gempol, 5 Oktober - 31 Desember 2015
KEN HANGGARA lahir 21 Juni 1991. Menulis puisi,
cerpen, novel, dan esai. Karya- karyanya dimuat di berbagai media lokal dan
nasional.