Skip to main content

[Cerpen]: "Hantu-Hantu di Kepalanya" karya Ken Hanggara

Ilustrasi cerpen "Hantu-Hantu di Kepalanya" di Radar Mojokerto
(Dimuat di Radar Mojokerto edisi Minggu, 18 September 2016)
 
    Maria bilang, Imo harus di rumah. Anak itu tidak bisa dibiarkan di luar. Sering kali Imo keluar tanpa pamit dan pulang-pulang bajunya selalu berlumuran darah. Dasar sinting. Maria tahu adiknya suka melukai anjing dan kucing, dan kadang-kadang malah memakannya.
    Anak itu tidak bisa dilarang dan tidak berhenti mengepruk kepala hewan mana pun yang ditemuinya di jalan sampai kepergok orang dan saksi mata berkata, "Ya ampun. Setan apa kamu?"
    Kalau sudah begitu, Imo tinggalkan apa pun yang ia pegang dan menghilang di semak-semak. Orang menemukannya di rumah setengah jam kemudian dalam keadaan menunduk dan melafal deret Fibionacci dengan cara yang ganjil. Selama Imo berhitung, Maria tidak berhenti mengomel sampai adiknya mengantuk.
    Maria tidak tahu kenapa adiknya begitu. Maria anak yang manis dan normal dan di sekolah semua teman menyukainya. Imo seratus delapan puluh derajat berbeda. Bocah plontos itu tidak mempunyai teman, atau hanya dua; itu pun sulit melihat Imo bermain dengan mereka belakangan, karena dua temannya jera menerima gigitan di tangan dan paha.
    "Ibumu makan sembarangan," kata neneknya, kalau Maria bertanya, kok bisa adik berbeda?
    Tidak ada yang tahu, kecuali Nenek dan Ibu, bagaimana anak itu menjadi serupa hantu di berbagai buku komik. Perkara Imo yang tidak normal ditelan bulat-bulat oleh dua wanita ini sebagai kehendak Tuhan. Seakan kepala mereka berisi konsep: bahwa Imo tahi burung yang tidak mungkin dihindari, jika Anda berdiri di lapangan bola dan seekor burung di langit secara kebetulan menderita diare dan dia terbang persis di atas kepala Anda.
    Kata Nenek, makanan yang dimakan ibunya dulu adalah pemberian seorang tamu. Tamu itu tidak tahu siapa. Ia mengaku teman lama ayahnya Maria, yang sudah belasan tahun tidak ketemu. Waktu itu ibunya hamil empat bulan, hamil Imo tentu saja, dan sang ayah sudah tiada karena sakit keras dan dikubur di belakang rumah. Tamu jauh itu tentu saja merasa sedih. Ketika pulang, ia memberi sedikit oleh-oleh dari kota.
    "Makanlah," katanya menyerahkan plastik hijau kepada ibu Maria, "dan kenanglah suami Anda sebaik-baiknya. Beliau panutan bagi kami, teman-temannya."
    Ibu dan neneknya tahu sang ayah adalah orang yang baik dan sangat dermawan, sehingga tidak heran akan pemberian itu. Mereka pun makan oleh-oleh berupa agar-agar rasa cokelat yang jika dimakan lebih banyak membuat perut jadi kembung. Tapi Ibu dan Nenek tetap makan, karena itu sama halnya dengan menghargai pemberian orang. Di dalam agama, membuang-buang makanan adalah perbuatan setan.
    Demikianlah, makanan itu habis, dan—menurut kisah Nenek pada Maria yang tak henti penasaran—sejak itu ibunya sering bersikap aneh. Lima bulan sisa waktu hamil, perempuan itu sering bermimpi buruk dikejar dan diterkam siluman anjing atau kucing. Kadang-kadang semua siluman bersikap lembut. Merupa bayi anjing dan kucing yang digeletakkan di halte, di tengah hujan deras, dan ibu Maria kasihan. Masih dalam mimpi, si ibu membawa dua bayi anjing dan kucing ke rumahnya dan merawat mereka dengan baik. Malam harinya, dua bayi binatang lucu tadi menjadi monster yang mencabik-cabik perutnya sampai usus dan segala isi perut terburai.
    Kadang mimpi buruk ibu Maria ini tidak pernah ada lucunya. Ia seperti pulang dari suatu klub remang-remang (padahal di dunia nyata, perempuan ini cukup religius), dan di jalan dicegat dua siluman anjing dan kucing. Sudah bisa ditebak bagaimana akhirnya ia sia-sia menyelamatkan diri. Di pojok gang, perempuan itu diterkam dan dimangsa dua ekor siluman laknat.
    Menurut Nenek, mimpi ini pertanda buruk dan tidak lain tidak bukan datang dari tulah yang disusupkan dukun jahat ke puding cokelat. Entah siapa tamu sinting tersebut. Barangkali saingan bisnis ayah Maria kala itu, sehingga ketika ayahnya sudah mati pun, yang namanya pesaing tetap menyimpan bara dendam dalam hati.
    Maria dengar kisah ini dengan pikiran setengah percaya, setengah tidak percaya. Ia tidak yakin pernah terjadi hal itu. Soal tamu jauh harusnya bisa dilacak kalau memang ada. Nenek tidak melakukannya. Beliau sendiri tidak pernah bermimpi buruk setelah makan puding tersebut, walau perutnya kembung juga saat itu.
    Maria sering sedih karena memarahi Imo yang suka melukai anjing dan kucing dan memangsa mereka dengan sadis. Anak sinting ini, bagaimanapun, saudara kandungnya. Ia harap Imo bisa sembuh dan menjadi normal sehingga Maria punya teman ke sekolah. Ia bahagia walau sekadar membayangkan, bersama Imo, disambut teman-teman yang mengagumi dua anak itu.
    Andai Imo tidak sinting, harusnya anak itu lucu.
    Maria selalu membela Imo saat Nenek dan Ibu tidak peduli anak itu pulang dengan baju berlumur darah binatang. Ia diam-diam berkata, yang menjadi ibu kok seolah-olah aku? Ibu dan nenekku seperti bukan orangtua bagi Imo si botak. Gadis ini tentu sedih dan memendam perasaan. Dan kejengkelannya pada Imo demi kebaikan bocah gila itu sendiri.
    Suatu sore, Imo tidak pulang. Ia tidak pulang bila tidak kepergok atau dijemput. Maria tahu, biasanya anak ini menunggu mangsa di gang, sehingga ia menjemputnya ke sana. Tetapi tidak ada. Imo tidak ada di ujung gang. Maria berputar-putar di sekitar gang dan memanggil-manggil adiknya.
    Imo datang tidak lama kemudian sambil menenteng mayat kucing. Bajunya seperti biasa, berlumur darah. Saking jengkelnya, Maria pukul kepala anak itu sambil berkata, "Kenapa kamu bikin susah sih?"
    Imo tidak menjawab dan malah asyik melafal deret Fibionacci sambil mengunyah sesuatu. Maria kesal dan menarik baju Imo, lalu mengeluarkan paksa sesuatu dari mulut bocah itu. Imo berteriak dan menggigit lengan Maria, yang lantas mendorongnya karena refleks.
    Imo terjungkal ke selokan dan berbaring melingkar seperti ular. Di sampingnya, mayat kucing itu tergeletak.
    Maria ketakutan dan menoleh kiri dan kanan, dan berharap tidak ada tetangga yang tahu. Ia tidak tahu kenapa ia berharap tidak ada tetangga yang tahu, dan cukup dia saja yang tahu bahwa Imo berbaring seperti itu di sebuah selokan. Maria menangis setelah tahu ada darah di kepala adiknya. Ia mengira Imo mati.
    Maria panik dan hujan turun dengan deras. Ia takut adiknya mati dan ia dipenjara atas tuduhan pembunuhan, padahal ia tidak berniat membunuh. Ia cuma kesal saja. Tapi, kalaupun Imo hidup, mau sampai kapan ini berlangsung? Ibu dan Nenek tidak peduli, tetapi Maria, entah kenapa, merasa Nenek membohonginya selama ini.
    Maria menyeret tubuh kecil Imo masuk ke semak belukar dan berdoa agar anak itu bangun, agar anak botak itu tidak mati sehingga ia tidak masuk penjara. Maria tahu di berbagai film, penjara adalah tempat yang jelek dan gelap. Ia tidak suka kegelapan dan ia suka boneka Barbie. Di penjara, tidak ada boneka itu. Di sana cuma ada penjahat dan hantu.
    Lima menit kemudian Maria sampai di batu menonjol di tengah kebun mangga. Imo masih tidak sadar. Ketika Maria menekan-nekan dada adiknya, seperti yang sering ia lihat di TV, Imo mendadak melompat dan berteriak bahwa di dekat sini hantu-hantu jahat bergentayangan.
    "Kamu ini, bikin aku takut!" kata Maria.
    Imo tidak mendengar ucapan kakaknya, dan berputar-putar di sekeliling kebun itu sambil mencari batu. Ia berteriak sekuat tenaga di tengah hujan yang mendadak deras, dan membuat Maria merinding, karena ia melihat adiknya seperti bukan anak kecil. Imo seperti orang dewasa yang jahat dan galak. Imo seperti orang dewasa yang tidak kenal rasa sakit.
    Begitu Imo menemukan sebuah batu yang lumayan bulat, ia suruh Maria berdiri dan ia pukul kepala kakaknya dua kali. Maria mengaduh dan terjajar mundur ke batang pohon. Maria menjerit hingga darah mengaliri jidatnya. Lalu ia lari di dalam derasnya hujan. Ia berlari dan berlari tanpa mendengar jeritan Imo di belakang sana.
    Di sebuah belokan, di bagian luar kebun, Maria menemukan seekor kucing dan ia bawa kucing itu dalam pelukannya. Si kucing berontak, tapi Maria berkata ada hantu di belakang sana. Ada hantu jahat yang dapat memakan kita berdua, dan kita harus segera kabur biar selamat. Kucing itu tidak mengerti bahasa Indonesia, dan tidak paham bahasa manusia, maka kucing malang itu melompat pergi dan Maria berharap agar Imo tidak melihat kucing itu.
    Sampai malam hari, dua anak itu tidak pulang. Nenek sedang menonton televisi di ruang tengah dan dengan santai bertanya kepada Ibu, "Sudah makan?" Ibu tidak jawab pertanyaan itu, dan masih sibuk menyulam. Nenek berjalan ke kamar Ibu dan melempar asbak ke wajahnya. Dua orang itu bertarung dengan kekuatan berimbang. Keduanya tak berhenti sampai benar-benar mati.
    Jauh di sana, dari kuburan kampung, Maria kembali ke ujung gang. Di tangannya, ada sebutir batu. Di kepalanya, hantu-hantu berkelakar dan membuat sebuah pesta. Pada hari itu satu-satunya tempat bagi mereka hanyalah kepala Maria. Hantu-hantu membuat perjanjian satu sama lain, membangun tembok-tembok sendiri, dan menentukan tanggal di mana masing-masing dari mereka boleh menyantap darah binatang, sehingga anak itu harus terus beraksi. [ ]
   
    Gempol, 7 Agustus 2016

KEN HANGGARA lahir 21 Juni 1991. Karyanya terbit di media lokal dan nasional.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri