Skip to main content

[Cerpen]: "Burung Pengantar Bayi" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: http://www.id.priceaz.com
 (Dimuat di Flores Sastra, 27 Agustus 2016)

    Saya terbang dan membawa seikat kado berisi bayi perempuan. Segar, mungil, dan suci. Malaikat menitipkan bayi itu dan menyuruh saya terbang ke seluruh negeri. Sebagai imbalan, saya boleh makan gula-gula yang terdampar di teras!
    Terbang dan terbang, itu pekerjaan saya. Angin dan pergantian musim kesemestian. Sebagai storch*, menggembirakan membawa bingkisan bayi lucu. Menunggu orang memberi upah gula-gula, sangat menyenangkan. Saya bernyanyi sekaligus menimang makhluk menggemaskan itu, hingga si bayi merasa saya ibunya, padahal ia tidak punya paruh dan sayap.
    Langit punya banyak pengetahuan andai Anda burung pembawa bingkisan. Anda boleh jadi melihat wanita hari ini, dari balik awan gemawan, dengan wajah murung di jendela suatu rumah. Suaminya tidak ada. Mungkin pergi. Mungkin menikah dan wanita itu baru saja dicerai karena mandul.
    Biasanya saya tersinggung bila ada kejadian begini. Kenapa? Saya terbang saja dan tidak mendarat, karena alangkah jauh kehidupan saya darinya. Jangan harap! Bayi ini hanya untuk mereka yang tidak pelit!
    Di tempat lain, dengan kekesalan tersisa, boleh jadi Anda lihat seorang suami lugu mematuhi perintah mertua yang cerewet untuk keluar rumah dan menabur gula di depan pintu. Saya jamin, kalau sudah begini, Anda pulang kekenyangan dan tidak melanjutkan perjalanan karena kado yang Anda bawa jatuh!
    Storch tidak menolak nikmatnya makanan manis, terutama gula dari bahan terbaik. Sudah takdirnya kecerobohan adalah efek utama adanya godaan makan. Jika seorang tuan rumah menaruh gula dalam jumlah cukup di teras, atau di mana saja—misalnya dekat pintu—storch sulit menaruh perhatian pada apa pun selain kata-kata malaikat tempo hari: "Kamu boleh makan gula-gula yang terdampar di teras rumah."
    Dan saya pun asyik melahap gula itu sampai habis.
    Saya harus berebut dengan si bayi—yang jatuh dari cengkeraman paruh.
    Selimut besar yang membungkus sang bayi serupa kado akan bergelung-gelung tak keruan sampai si bayi merangkak dan meraba paruh si burung yang penuh dengan gula. Saya terus melahap gula, sementara si bayi menjilati tangannya yang terpercik air liur saya yang manis.
    Oh, kalau saja saya tidak ceroboh—dan tidak suka gula!—mungkin bayi itu tak menangis sebab saya mengabaikannya. Mungkin bayi itu pikir alangkah rakus burung jelek ini. Alangkah menjijikkan. Mengerikan! Sehingga nanti ketika tuan rumah keluar dan menemukannya berbaring tanpa busana, sang bayi menangis bergetar akibat suatu trauma surgawi yang tak bisa dijelaskan.
    Saya tetap makan gula-gula. Ketika apa yang saya sukai habis, perut saya kenyang dan saya segera terbang mencari sungai untuk minum. Inilah akibat menarik dari tugas saya: seekor storch selalu dinanti dan dipuja bila ia sukses meninggalkan bayi di teras rumah! Tapi, saya kadang berpikir, apa memang itu yang disebut sukses? Sepanjang hari, bahkan sebulan penuh, bisa saja saya terbang dan terbang membawa bingkisan mungil berisi bayi tanpa dosa, dan tak juga menemukan rumah dengan taburan gula di depan pintu.
    Mungkin tak semua orang cemas dan waras mempercayai keberadaan saya: seekor burung pengantar bayi, burung kurir, penyelamat mahligai rumah tangga dan harga diri sepasang suami istri yang tidak kunjung menghasilkan bayi. Dan yang mereka lakukan hanya seks dan senang-senang!
    Tapi saya bebas menentukan tujuan. Karena saking menggiurkan godaan gula di depan pintu, saya tinggalkan begitu saja sang bayi demi memuaskan candu pada manis tanpa peduli apakah tuan rumah menghendaki adanya bayi di rumah atau tidak. Barangkali karena itu tidak semua menyukai saya.
    Misalnya seseorang tak sengaja membuang kue dan dia cukup kenyang. Lalu saya, dengan bayi di paruh ini, mendarat dan mengepak-ngepakkan sayap sebelum akhirnya melahap habis gula-gula itu. Bayi yang saya tinggal membuat tuan rumah sebal karena ia tidak pernah menikah. Semalam pesta digelar dan mungkin tak sengaja berbuat tidak senonoh usai makan kue tart manis beserta minuman memabukkan. Itu bukan urusan saya! Bukankah saya terbang dan membawa seikat kado? Isinya bayi segar dan mungil, serta suci. Malaikat menitipkan bayi itu dan saya terbang ke seluruh negeri. Sebagai imbalan, katanya, saya boleh makan gula yang terdampar di teras! Bukankah begitu?
    Seekor burung lain protes dan menganggap saya labil dan tidak disiplin. Dia bilang mestinya saya lebih perhatian pada wanita murung yang ditinggal kawin suaminya karena mandul dan berdoa semoga malaikat berbisik di telinganya agar menaburkan gula di pintu depan sehingga dengan demikian, ia bisa memancing saya datang dan bayi yang saya bawa menjadi miliknya.
    Atau boleh juga saya prihatin pada pria miskin yang tiap hari dibentak mertuanya yang galak karena tidak sanggup memberi putri mereka bayi. Ia tidak punya sedikit pun gula di rumah untuk menutup gugatan cerai dari sang istri; untuk mengundang seekor storch hinggap di kotak pos depan rumah, lalu merayap turun dan memunguti gula-gula dengan paruh setajam pisau.
    Saya bisa berbuat baik pada mereka yang menginginkan bayi, misal menggratiskan ongkos kirim bayi itu, dan saya pergi begitu saja dengan perut dan lidah masih terasa pahit. Namun sejauh ini saya tinggalkan bingkisan bayi hanya oleh rasa lapar, bukan alasan lain. Pikiran saya berpusat pada gula dan gula saja, sedangkan si bayi ada di urutan kesekian sampai lupa membawanya, atau takut jika bayi itu kembali saya gamit, ia tenggelam di sungai ketika saya asyik minum.
    Mungkin bila paruh saya lebih panjang, bayi itu tidak lepas dan bergelung-gelung tak keruan dengan kain pembungkus di atas halaman rumput. Lalu kami masih bersama bahkan saat saya kehausan mencari air minum di sungai. Ketika saya minum, sementara ia berayun-ayun dengan kainnya di pangkal paruh ini, saya bisa mengusir haus akibat rasa manis.
    Tapi, toh demikian, malaikat masih juga menitipkan bayi secara berkala. Mungkin memang begitu suatu takdir dirancang: seekor storch dititah pergi dalam keadaan lapar dan mulut pahit, sementara sesosok bayi menjerit manja ketika kami terbang melintasi awan gemawan. Di antara awan gemawan kadang-kadang keluar hujan. Sesekali atraksi gila harus dilakukan, misal melempar bayi sejenak di udara berserta kain pembungkusnya, lalu segera menangkap dan mengaitkan paruh seolah-olah seekor kuntul menangkap tuna buat dilahap.
    Segala musim terlewati dengan apik dengan bantuan paruh, tanpa mencelakai sang bayi, andai seekor storch belum menemukan orangtua yang tepat—atau yang menabur gula di teras rumah.
    Begitulah, storch terbang mengitari seluruh negeri. Mengamati satu per satu rumah di Jerman dari pagi hingga malam. Menunggu manusia memancing dengan gula-gula yang menggiurkan.
    Bila musim dingin tiba, malaikat memberi tambahan mantel untuk sang bayi agar tidak kedinginan. Sesekali saya sambangi rumah tertentu yang terasnya terlindungi dari salju. Tapi ini jarang, karena sulit menemukan gula di tengah kepungan salju, meski gula itu bentuknya lain.
    Biasanya saya mendarat sesekali, bukan demi mematuk makanan manis, tapi sayap sudah sangat pegal karena beratus mil terlampaui dengan beban bayi mungil yang tak boleh jatuh dan celaka. Jika sekali waktu Anda, atau siapa pun, melihat saya hinggap di dahan sekitar danau atau sungai, jangan diusir. Menyebalkan sekali melihat sekelompok perempuan yang tidak sudi melahirkan bayi itu harus melempari kami dengan batu, atau lari terbirit-birit sambil mengumpat, "Oh, saya tidak suka bayi!"
    Ingin rasanya menjawab, "Ya, beri saja garam dan saya akan pergi!"
    Tapi mereka tidak tahu bahasa saya.
    Saya hanyalah burung yang keberadaaannya setengah dipercaya, setengah ditolak, bahkan digugat. Tapi setiap hari sepanjang tahun saya terbang dan membawa seikat kado. Isinya bayi. Bisa laki-laki, bisa perempuan, tergantung jadwal terbang di langit. Antrean panjang storch yang berdinas tak selalu mengenalkan saya pada bayi perempuan.
    Apa pun jenis kelaminnya, bayi itu segar, mungil, dan suci. Malaikat menitipkan pada kami untuk dibawa ke seluruh negeri. Sebagai imbalan, kami boleh makan gula yang terdampar di teras!
    Kalau saja orang dewasa mengerti bahasa saya—seperti bayi-bayi tanpa dosa yang kadang menganggap kami ibu kandung mereka dengan jemari mungil menggapai-gapai paruh—saya dan seluruh jajaran storch di dunia langit bersedia membuat perjanjian agar suatu saat pengiriman bayi tak salah alamat.
    Seperti yang Anda dengar tadi, tidak semua orang menginginkan bayi. Sedangkan setiap bayi berhak hidup dengan cinta dan kasih sayang. Ini berlaku dengan catatan: taruh gula di teras dan jangan cerewet soal jenis kelamin! [ ]
   
Gempol, 2015
*[ Burung kuntul; makhluk mistis di Jerman yang dipercaya menyebabkan kelahiran seorang bayi di suatu keluarga bila ia berhenti di rumah tersebut untuk memakan gula yang ditaburkan di sekitar rumah.]

Ken Hanggara (lahir 21 Juni 1991) menulis cerpen, puisi, esai, dan novel. Karyanya terbit di berbagai media massa lokal dan nasional.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri