Skip to main content

[Cerpen]: "Koh Lim" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Malang Post, edisi Minggu, 23 Oktober 2016)
    Urusan menyimpan kenangan sudah jadi ahlinya sejak puluhan tahun silam, sejak jauh sebelum aku menyukai apa yang orang sebut mie biting, semacam jajan bocah SD, yang terbuat entah dari apa, menyerupai batang lidi dan bisa dimakan dan terasa gurih serta asin. Kini aku lupa apa itu mie biting, tepatnya tidak begitu ingat apakah pernah di dunia ini ada semacam jajan berbentuk batangan lidi ini.
    "Berarti, waktu itu ia sangat tua?" sela Johan.
    "Ia bahkan lebih tua dari sejarah keluarga ini."
    Kami duduk di beranda dan Johan sedang memegang kunci motor yang baru dibeli kemarin lusa, oleh papinya yang sukses. Hadiah biar rajin belajar. Aku tidak setuju dengan cara itu; memberi hadiah begitu, tapi Johan adalah anak dari anakku, dan biarlah anakku mendidiknya dengan caranya.
    Sebagai kakek, aku punya sesuatu yang tidak kalah penting dari hadiah itu. Inilah caraku memasukkan pengaruhku ke cucu-cucuku. Aku punya segudang cerita yang tiap sore mereka tagih. Cucu-cucuku senang mendengar ceritaku, tentang apa pun atau siapa pun, yang kadang masuk akal, namun tidak jarang juga menyerupai dongeng.
    Tentu anak-anak itu tumbuh semakin besar dan aku enggan bohong. Kisah-kisah yang terhimpun di kepalaku memang demikian adanya, orisinil, dan akan lebih berguna jika dituturkan ketimbang kusimpan. Hanya saja, dari sekian cucuku, bertahun-tahun kebiasaan bercerita ini berjalan, mereka lama-lama bosan dan tinggallah Johan seorang yang setia.
    Johan, sekalipun sudah berpacaran dan pernah mengajak kencan seorang gadis di sekolahnya dua kali, tidak mengubah kebiasaannya menungguku bercerita. Dan sore ini giliran penyimpan kenangan di tahun 1990-an, ketika aku masih sangat kecil.
    Penyimpan kenangan ini bernama Koh Lim. Tidak banyak yang tahu bagaimana ia mulai disebut sesuai keahliannya itu, serta sejak kapan ia mahir menyimpan kenangan. Tetapi barangsiapa yang datang kepadanya, seribu tahun pun, jika Tuhan sedia memberi jatah hidup sebegitu panjang, tidak bakal bisa seseorang lupa terhadap apa-apa yang ia alami.
    Koh Lim bekerja seakan ia tabib, dan pelanggannya adalah pasien yang menderita penyakit parah. Biasanya orang hanya akan datang ketika ia sedang jatuh cinta atau saat memendam dendam kesumat yang kiranya sulit terlunasi meski tujuh generasi dikubur di bawah batu nisan.
    Koh Lim membuka tempat praktik berupa ruang kecil seperti ruang dokter umum. Di pagarnya tertulis: Jasa Menyimpan Kenangan. Gagal, Uang Dijamin Kembali.
    Tulisan itu agak lucu bagi orang yang tidak kenal dan tidak pernah tahu khasiat mantra Koh Lim, tetapi bagi mereka yang paham betul betapa kenangan jenis apa pun, yang telanjur melekat di kepala mereka sulit hilang, tidak ada tawa sama sekali. Koh Lim tidak suka bercanda dan ia termasuk tipe orang yang mudah tersinggung.
    Aku pernah bertemu Koh Lim dua kali, dan itu pun tak sengaja. Pertama, waktu kami sekeluarga hendak ke kebun binatang. Waktu itu Koh Lim kebetulan ke rumah saudaranya yang berada di desa sebelah. Koh Lim lewat depan rumahku, dan ia tidak menyapa satu pun orang di sana, padahal kami berkumpul dan jumlah keluarga besarku ada lima puluh lebih manusia. Konon itulah syarat yang harus ia patuhi, jika tetap ingin ilmunya awet dan waktu terlihat tak banyak bekerja kepada tubuhnya. Ia tidak berhak bersosialisasi dengan siapa pun.
    Pertemuan kedua dengan Koh Lim ketika aku mencuri kotak amal di masjid demi bisa membeli remote control yang ketika itu sedang populer. Koh Lim, tak tahu kenapa, melintasi depan masjid seakan sedang menunggu sesuatu turun dari langit. Ketika itu Koh Lim berjalan amat pelan, sambil mendongak ke langit yang terik. Matahari berada di puncak kepala. Aku tahu, jika saat seperti ini orang tak bisa memandang langsung ke langit, tetapi Koh Lim melakukannya. Aku yang sukses mengambil kotak amal, harus mengembalikan benda itu, setelah Koh Lim mengatakan, "Teruskan saja. Itu pilihanmu. Dan jangan salahkan orang lain kalau bencana datang."
    Aku tak tahu jenis manusia apa Koh Lim itu. Ia benar-benar berbeda dan istimewa. Ia tidak bergaul dengan siapa pun, kecuali bicara ala kadarnya dengan para pasien, tapi orang-orang hormat kepadanya; beberapa bahkan menganggapnya nabi, dan tentu saja ini membuat kacau seisi desa.
    Kukatakan itu kepada Johan, dan ia merasa cerita kali ini terdengar berlebihan.
    "Tidak, Han. Itu memang benar terjadi. Orang seperti Koh Lim, mungkin memang ada di dunia ini, dan kamu sendiri tentunya tidak kurang informasi. Zaman dulu orang seperti Koh Lim seakan-akan hanya ada dua di seluruh jagat raya, dan barangkali dua orang ini hidup di zaman berbeda. Kami sangat bersyukur karena salah satu dari mereka lahir di zaman beberapa dekade sebelum Opa lahir."
    Koh Lim, meski jelas lebih tua dari ayah ibuku, tidak terlihat berbeda dari zaman ia pertama kali membuka praktik. Waktu itu tahun 50-an awal, dan Surabaya belum lama pulih dari perang. Kakek nenekku pindah bersama anak mereka (atau ayahku), dari kota itu, menuju desa kecil di Malang. Dalam rombongan itu terdapat juga ibuku yang baru lahir bersama orangtuanya yang bekerja sebagai buruh di tempat orangtua ayahku. Di situlah mereka mengenal Koh Lim.
    Tidak ada yang tahu bagaimana ia mulai membuka praktik, tetapi di tahun-tahun susah itu Koh Lim sudah banyak menerima job. Orang tidak ingin mengingat kekejian semasa perang, tetapi beberapa di antaranya justru ingin hal tersebut tidak pernah sirna dari kepalanya. Maka, Koh Lim pun bekerja.
    Orang tidak ingin melupakan detik-detik ketika Indonesia memekik girang sebab menang atas penjajah dan mengibarkan bendera merah putih. Itu juga jadi tugas Koh Lim. Alangkah banyak satu demi satu pasien dengan ragam cerita klise atau tidak klise. Semua Koh Lim tangani dengan brilian, namun adakalanya orang berubah pikiran setelah beberapa tahun, dan mereka kembali kepada Koh Lim untuk menghapus saja satu ingatan yang dulu diabadikan.
    "Apa ia bisa melakukannya?"
    "Kadang-kadang. Tidak semua ingatan patut dihapus, itu kata Koh Lim. Beberapa orang marah, tapi jika ia memutuskan sebuah ingatan tidak boleh dihapus, maka selamanya tetap bersemayam dalam kepala si pasien. Biasanya Koh Lim hanya akan menjawab, 'Jika Anda ingin ingatan itu hilang, ceritakan saja sepuas-puasnya pada siapa pun yang mau mendengar. Mungkin anak-anak Anda. Mungkin cucu. Atau boleh jadi sahabat yang seiman. Kelak jika Anda mati, semoga hidup Anda bisa tenang di alam sana.'"
    "Ia benar-benar bilang begitu?"
    "Koh Lim memang suka semau dan seenak hatinya."
    Johan bertanya padaku apakah aku pernah memakai jasanya? Tentu saja tidak. Dua kali pertemuan kami terjadi, itu ketika aku masih kecil. Pada saat itu aku hanya tahu saja bahwa ada orang yang bisa merekatkan ingatan tertentu dalam kepalamu dan tidak akan pernah sirna ingatan itu sampai kamu mati. Itu terus menerus diperdengarkan pada kami, anak-anak kecil generasi 90-an, dan tentu saja sebagian di antara kami berpikir; apakah boleh mengingat kunci jawaban ujian nasional, sehingga kami lulus dengan nilai memuaskan?
    Cara kerja Koh Lim terbilang rahasia. Pasien segera ditutupi kedua matanya dan ia meminta agar tidak ada pertanyaan apa-apa, dan yang boleh bertanya hanya Koh Lim. Tanya jawabnya seputar masalah apa yang pasien hadapi dan kenapa perlu menyimpan ingatan tersebut.
    Koh Lim tidak pernah bertanya lebih dari itu, jadi setelah dengar semua penuturan si pasien, ia membisu dan mendengus bagai kerbau, sebelum dua menit kemudian si pasien ditepuk kepalanya empat kali. Dan, selesailah ritual menyimpan kenangan. Si pasien boleh membuka mata dan pergi sesegera mungkin, karena yang antre begitu banyak.
    Kujelaskan pada Johan, kunjungan ke tempat praktik Koh Lim bisa saja membuat seseorang celaka atau gila, jika tidak kuat dan belum cukup iman. Beberapa orang bisa saja tersiksa dengan kenangan lama yang dulu pernah begitu ia sukai. Perubahan waktu dan keadaan bisa menyulap kesukaan pada ingatan tertentu, dan itulah yang selama ini aku hindari. Aku tak mau terjebak dalam situasi semacam itu, jadi sebaiknya mencatat saja apa-apa yang perlu diingat ke dalam buku catatan.
    Akhirnya, Johan bertanya ingatan macam apa yang Koh Lim enggan melepasnya dari otak si pasien? Ia terlihat begitu penasaran dengan jawabanku, sehingga kunci yang sejak tadi dipegangnya tidak sengaja jatuh.
    Kepadanya kujelaskan secara detail tentang sejarah pembantaian besar di pulau ini di masa kelahiran ayah ibuku. Semacam pemusnahan yang latar belakangnya dicoreng oleh kerakusan rezim yang paling lama berkuasa. Johan hampir tidak mengerti hal itu, tapi setelah kuwariskan pengetahuan ini padanya, ia lebih paham sejarah tanah airnya sendiri. Kukira, itu jauh lebih berharga ketimbang hadiah jenis apa pun. []
   
    Gempol, 11 Oktober 2016
KEN HANGGARA, lahir 21 Juni 1991. Karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri