(Dimuat di Tanjungpinang Pos edisi Minggu, 14 Agustus 2016)
Tidak ada seorang pun di luar. Pintu kututup kembali dan berusaha memikirkan hal yang enak-enak, seperti misalnya martabak buatan Mirna, kekasihku yang seksi itu. Dia kalau bikin martabak selalu mantap. Dia selalu bilang, "Rahasia utama dari masakan itu cuma cinta."
Tetapi mengalihkan pikiran, dari ketukan pintu tengah malam dengan pacar yang pintar bikin martabak, membuat kepalaku pusing. Tidak ke kamar, aku pergi ke dapur dan menuang air putih.
"Siapa ketuk pintu malam-malam?"
Aku pikir mungkin tadi perasaanku, atau barangkali setengah bagian penting dari mimpiku melompat keluar, sebab tidak lama sebelum pintu diketuk, aku bangun dari mimpi yang aneh. Dalam mimpi itu aku dikejar-kejar setan banci. Setan itu berwajah banci yang berusaha cantik tapi gagal, dengan suntik silikon yang membuat wajahnya lumer seperti monster. Aku dikejar dua banci yang terus menerus memanggilku 'Romeo'. Dalam mimpi itu, kubilang, aku bukan yang kalian cari. Tapi mereka yakin bahwa aku memang Romeo yang didamba.
Kuteguk air putihku dan mengingat bagian paling krusial dari mimpi tersebut. Aku kira bagian tersebut merupakan puncaknya. Aku tidak tahu bagaimana secara mendadak di mimpi tersebut aku dikejar banci. Entah aku yang memiliki utang pada mereka, atau mereka kumat dan secara spontan mengejar sembarang orang di tengah jalan, aku tidak tahu. Yang kutahu, tahu-tahu aku dikejar saja.
Jadi, bagian puncak ini ada tidak lama setelah aku terjebak di mimpi burukku. Aku masuk ke rumah di tengah gurun, di tempat yang jauh dari lokasi jin buang anak. Aku masuk dan menutup pintu rapat. Lalu, kedua banci itu mengetuk pintu sampai rumah kosong itu nyaris ambruk.
"Jadi, setelah itu aku bangun, dan bengong, lalu ada yang mengetuk pintu rumahku. Maksudku, pintu yang ada di dunia nyata."
Aku berdiri dan meletakkan gelas, lalu mondar-mandir di dapur. Jam menunjuk angka satu. Dini hari. Kepala pusing akibat mimpi. Entah siapa mengetuk pintu tanpa menampilkan diri. Jangan-jangan setan? Aku tidak peduli kalau itu setan. Misal itu pocong, aku tidak takut. Justru kalau pocong, aku bisa menendangnya dan dia berguling di teras. Jikalau bukan pocong, tapi kuntilanak, aku tinggal mengimbangi tawanya yang melengking. Kebetulan sudah lama aku tak tertawa karena banyak masalah datang dan jarang di antara mereka pergi. Masalah itu menumpuk di kepalaku dan seakan mereka kumpulan pemuda berbaju rombeng yang malas bekerja, yang setiap hari minta diberi makan.
Masalahku bukan disebabkan Mirna yang seksi. Dia sering jadi tempat curhat. Dan di tubuhnya yang lebih besar dariku, aku merasa tidur di awan. Awan-gemawan yang terbuat dari adonan paling sempurna, yang jika matang dan siap makan, terasa empuk di tangan. Mirna menerimaku di saat aku jatuh atau bangkit. Tak peduli apa pun kondisiku, Mirna selalu paham.
"Bahwa hidupmu adalah hidupku, dan masalahmu adalah masalahku," katanya.
Aku cinta Mirna, dan dia mencintaiku. Kadang masalah yang berat jadi enteng setelah kuceritakan kepada Mirna. Kadang masalah itu terasa tidak ada artinya jika ada Mirna di sisiku.
Ada saatnya Mirna tidak ada di rumah dan aku hanya duduk di teras rumahnya dan memandangi pot kembang sepatu. Di waktu lain, di kesempatan yang beda, aku duduk memandangi orang gila lewat atau sepasang kucing yang duduk memandang satu sama lain seperti bicara soal masa depan.
Di teras Mirna aku menemukan banyak hal, yang mengurangi beban masalahku.
Sayangnya, aku tidak selalu bisa pergi dari rumahku untuk mengurai beban-beban itu. Pernah aku tidak bisa ke toilet hanya karena masalah-masalah tadi berubah wujud menjadi para pemuda yang membuat kekacauan di kamar. Aku tidak tahu bagian mana yang kacau dari diriku, tetapi itulah yang kualami.
Suatu ketika Mirna memberiku saran, "Periksa ke dokter!"
Dia pikir mungkin aku gila dan terlalu sering membayangkan hal yang tidak-tidak. Aku tidak suka disebut gila, tapi hanya karena Mirna yang bilang begitu, aku percaya mungkin aku agak gila.
Aku sering bermimpi aneh-aneh dan ketika bangun, beberapa bagian penting dari mimpi itu seakan muncul dan bisa kurasakan. Seperti ketukan pintu tengah malam ini. Aku kembali ke pintu dan memeriksa, siapa tahu ada tamu jauh yang tak kuat menahan kantuk dan tertidur di ujung teras. Tapi tak ada siapa pun. Terasku benar-benar kosong.
"Mungkin memang benar aku gila. Atau mungkin tempat ini banyak hantunya."
Aku pernah dengar seorang tetangga, setahun lalu sebelum aku membeli rumah ini beserta isinya, bahwa di kawasan sekitar rumahku pernah diadakan sebuah pembantaian. Waktu itu orang-orang komunis disembelih dan mayat mereka dibuang ke lubang besar, yang di kemudian hari dijadikan pondasi rumah ini. Aku tidak tahu benar tidaknya kabar itu, tapi tetanggaku itu, sekalipun agak sinting, begitu meyakinkan dengan kalimat yang lugas bervolume kecil. Saat ia bicara, aku tidak takut dan curiga, tapi kali ini aku pikir jangan-jangan ucapan dia ada benarnya?
Aku bangkit dari kursi, dan memegang jidatku. Terasa panas. Barangkali aku butuh tidur lebih pulas, agar kekacauan di kepalaku surut. Barangkali aku butuh buang hajat dulu sampai segala kotoran di usus hilang semua, dan aku mampu tidur dengan nyenyak sampai siang hari ketika azan lohor.
Aku balik badan dan berjalan menuju pintu, tetapi sesuatu mendadak menjawil punggungku. "Bung..." Suara itu begitu lembut, tetapi bukan suara wanita. Mungkin dia banci. Aku menoleh dan melihat seorang bersorban dengan senyum seperti senyuman Hugh Grant.
"Bung," katanya lagi. "Numpang wudhu boleh, gak?"
Jujur saja, aku tidak tahu siapa dia dan bagaimana dia tahu-tahu ada di sini, tetapi sekarang aku mulai mengantuk dan berpikir: baiklah, orang bersuara lembut ini bukan penjahat. Maka kujawab, "Boleh dong. Silakan masuk."
Kami jalan melintasi ruang tamu, ruang tengah, dapur, dan sampai di depan pintu kamar mandi. Aku berhenti dan menunjuk pintu itu. Lelaki berwajah Hugh Grant bilang terima kasih dan menyuruhku tidur, karena sepertinya wajahku mengantuk berat.
"Ya, memang ngantuk, Bung. Kalau boleh tahu, salat di mana? Kok wudhunya di sini segala?" tanyaku.
"Ya, di sini dong!"
"Okelah."
Pada saat itu kepalaku benar-benar terasa berat dan aku tidak kuat lagi membuka mata. Aku meraba-raba tembok dapur untuk kembali ke ruang tengah, lantas ke kamar, lalu lompat ke tempat tidur dan kembali mendengkur (semoga tidak mimpi dikejar dua orang banci). Tapi langkahku mendadak terasa berat. Lelaki asing itu mungkin tak jadi wudhu, atau barangkali sudah wudhu, karena ia meraihku dan membantuku berjalan ke kamar.
Di kamar, lelaki berwajah Hugh Grant mendadak terlihat gelap bagiku. Ia kini tak lagi mirip Hugh Grant, tetapi Morgan Freeman. Hanya saja, suaranya cempreng seperti Donal Bebek.
"Bung sepertinya lelah. Mungkin Bung lapar dan kurang gula. Mungkin Bung juga butuh tidur dua puluh empat hari berturut-turut, baru sesudah itu bangun lagi. Tapi saya tidak tahu masalah Bung dan saya kemari hanya numpang wudhu dan salat," katanya.
Lalu dia menata bantalku dan tersenyum. Ia benar-benar fotocopy Morgan Freeman. Garis matanya benar-benar aku hafal karena sejak lama aku menonton berbagai film yang dibintanginya. Tetapi lidahku yang kelu tidak bisa bertanya apa benar dia Morgan Freeman atau bukan. Aku juga tidak bisa memuji aktingnya yang bagus di film Bruce Almighty, kalau memang benar dia Morgan Freeman. Aku juga tidak bisa mengatakan betapa tololnya si Morgan di ending film Wanted. Jadi, aku pun memejamkan mata.
Entah berapa jam aku tidur. Mirna meraba-raba jidatku dan berkata aku sudah gila. Aku membuka mata secara total dan melihat garis lehernya yang berlemak. Mirna tidak suka melihatku tidur sampai pipiku basah oleh air liurku. Dia memberiku tisu dan tanya, "Siapa kemari semalam?"
"Aku tidak tahu. Mungkin Hugh Grant. Mungkin juga Morgan Freeman. Semalam itu kayak mimpi, Say."
"Kamu memang gila."
Mirna lalu menjentikkan jari dan dari pintu kamar bermunculan tiga orang berbaju pegawai hotel. Mereka semua berwajah seperti Tom Hanks. Aku melongo dan tergagap. Aku duduk tegak dan menuding wajah mereka satu-satu, dan mereka semua tersenyum ramah. Ingin kubilang mereka mirip tukang tagih tiket di film Polar Express, hanya saja Mirna membungkamku dengan martabak bikinannya.
Sepotong demi sepotong martabak itu masuk ke mulutku, dan segera kumamah, dan aku bersyukur karena perutku yang keroncongan segera hangat. Tiga pegawai hotel yang berwajah Tom Hanks tadilah yang membawa martabak-martabak di atas nampan dan mereka duduk di sekeliling seakan aku adalah raja.
Mirna berkata dengan suara lembutnya, "Kapan sih sembuh, Say? Katanya masih lama. Tetapi aku bersabar. Demi kita. Demi martabak-mertabak yang kamu telan selama tujuh belas tahun terakhir."
Aku memandangi Mirna dengan heran. "Memangnya sejak kapan kita pacaran?"
Mirna bilang, kami pacaran sejak tujuh belas tahun lalu, dan sejak hari pertama itu aku sudah gila. Aku tidak ingat itu, tapi Mirna mengatakan kalau sepasang kucing di teras rumahnya itu sudah mati sejak lama dan sekarang tulang belulang mereka sudah lenyap dilahap waktu.
Lalu aku tanya soal rumahku. Mirna jawab tidak tahu, tetapi kami nanti bisa beli rumah baru yang tidak ada hantunya, yang bukan bekas lubang kuburan orang-orang komunis.
"Pokoknya kamu istirahat saja. Makan martabakku tiap hari. Nonton film tiap hari. Aku yakin suatu hari nanti kamu sembuh."
Tidak ada cara lain merespon ucapan itu selain dengan anggukan, dan kubuka lagi mulutku karena Mirna belum selesai menyuapiku. Martabak yang dia bikin enak, sebab konon itu dibuat dengan cinta. [ ]
Gempol, 26 Juli 2016
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.
Comments
Post a Comment