Skip to main content

[Cerpen]: "Enam Belas Tahun Kemudian..." karya Ken Hanggara

(Dimuat di Taman Fiksi edisi 17)

    All or Nothing berputar begitu saja setelah mobilku meninggalkan halaman rumah Vina. Lagu lama ini membuat pikiranku terbang ke masa lalu. Enam belas tahun berlalu dan semua tetap sama. Segalanya tetap sepi bagiku. Aku tidak menyesal atas perpisahan yang memang harus terjadi ketika itu. Vina tidak benar-benar mencintaiku, dan aku juga tidak begitu yakin kami dapat membina hubungan yang lebih baik jika kami menikah.
    Enam belas tahun segalanya tetap sama, tetapi tidak bagi Vina. Ia menikah dengan temannya setelah memutuskan hubungan kami. Vina tampak sedih, dan di masa-masa ini hatiku hancur. Aku tidak dapat melakukan aktivitas apa pun dengan baik. Tanpa memberi kabar, aku pergi sejauh mungkin dan sempat berpikir semoga ia benar-benar melupakanku, dan aku juga berusaha melupakannya. Setahun berlalu, aku merasa aku berhasil. Aku lupakan Vina dengan menjalin pertemanan dengan beberapa wanita baik dari negeri-negeri asing, sekalipun tidak sampai berpacaran.

    Entah kenapa aku lebih nyaman hidup sebagai lelaki single, ketimbang buru-buru mencari pasangan. Di Eropa, orang tidak sibuk bertanya kenapa aku masih sendiri dan kenapa tidak juga kucari pasangan hidup agar hari-hariku yang sepi menjadi lengkap. Di sini aku benar-benar melupakan soal hati yang pernah hancur, juga soal sikap Vina yang tak pernah serius dengan apa yang coba kubangun bersamanya ketika itu.
    Dengan hidupku yang baru, kupikir masa lalu dengan Vina tinggal kenangan. Aku salah ketika suatu hari, setelah setahun hidup di negeri orang, sebuah e-mail kuterima. Dari lelaki yang aku tidak lupa wajahnya.
    Ia suami Vina. Tentu saja, aku mengenalnya dengan baik. Dia juga teman dekatku. Kami bertiga berteman cukup dekat. Dahulu, aku dan teman lelaki ini, yang tidak perlu kusebutkan namanya, pernah dengan iseng berjanji merebut hati Vina. Barangsiapa yang kalah, tidak boleh cemburu. Aku menang. Aku memacari Vina, dan kami tetap dekat seperti sebelumnya.
    "Kamu beruntung," kata teman lelakiku itu.
    Aku memang beruntung. Maksudku, sempat beruntung. Vina cantik dan menawan. Ia memiliki daya tarik bagi hampir setiap lelaki. Ia cerdas dan mengerti setiap obrolan tentang bola, otomotif, film, buku, dan lain sebagainya. Ia selalu nyambung denganku. Masalahnya, Vina tidak pernah benar-benar ceria ketika kami kencan, kecuali ada teman lelaki kami yang ikut.
    "Aku rasa ini tidak tepat," kata Vina suatu ketika. "Aku rasa hidupku dan kamu yang sebelumnya, yang nyaman dan seru, mendadak direbut oleh sesuatu. Dan sekarang kehidupan kita terasa lain."
    "Kamu cinta aku?"
    "Aku menyayangimu, Dan. Aku menyayangi kalian."
    Sejak obrolan itu, aku dan Vina semakin jarang ngobrol. Kami tetap kencan, dan di tiap kesempatan, Vina menghindar saat kuminta ketegasannya soal hubungan kami yang bukan sebagai teman, tetapi pacar.
    Vina tidak benar-benar serius, kurasa. Ia tidak mencintaiku. Ia dapat tersenyum jika teman lelaki kami turut bersama, padahal seharusnya keputusannya menerimaku sebagai pacar, membuatnya paham posisiku setingkat lebih penting ketimbang teman kami. Aku merasa tidak dihargai. Akhirnya kami selesai, dan memutuskan hidup sebagai dua orang teman.
    Suatu hari Vina menelepon dan menangis. Ia mengundangku ke acara pernikahan dia dan teman lelaki kami. Aku tidak dapat menjawab telepon itu. Aku pergi dan janji untuk melupakan mereka berdua kutanam dalam-dalam ke lubuk hatiku. Tentu saja, apa yang kujanjikan berjalan lancar di tahun pertama kehidupanku di Eropa. Ketika e-mail teman lelakiku, yang sudah menjadi suami Vina itu, kuterima, dadaku berdentam hebat. Ada apa?
    Dalam e-mail itu, teman lelakiku mengaku menyayangkan kepergianku yang tanpa pamit di hari pernikahannya. Ia tahu aku pergi karena sakit hati, dan ia berharap dapat memperbaiki pertemanan kami. Aku tidak dendam. Aku hanya menyesalkan kenapa aku jatuh cinta dengan temanku sendiri? Lalu, jika Vina tidak serius mencintaiku, kenapa ia menerimaku? Seharusnya ia menolakku dan semua tidak akan seburuk waktu itu.
    Temanku mengungkap penyesalannya, dan aku memaklumi. Sejak e-mail balasan kukirim padanya, Vina ikut berkorespondensi denganku. Sekarang mereka punya bayi yang lucu dan cantik. Vina lebih gendut dan cerewet. Mereka rutin mengirim foto. Ia dan suaminya di sebuah taman. Anak perempuannya yang manis dan diberi nama Lily, sesuai dengan impianku dahulu, yang mengatakan aku ingin anakku dan Vina, kalau kami menikah, diberi nama Lily. "Ini nama pemberianmu," tulis Vina di e-mail-nya. Ia memang tidak menikah denganku, tetapi nama itu tetap ia simpan dan wujudkan dalam kenyataan.
    Foto-foto itu semua membuatku terharu dan melupakan sakit hatiku terhadap Vina dan ketidaktegasannya menyikapi hubungan kami. Barangkali Vina tidak enak padaku, dan menerimaku ketika itu. Barangkali sejak lama Vina memang cinta pada teman kami itu. Barangkali mereka jodoh. Aku tidak punya hak melarang apa pun dan siapa pun, yang memang sudah digariskan Tuhan untuk bersama.
    Aku mengaku di Eropa sini segalanya baik-baik saja. Aku tidak selalu baik-baik saja, seperti yang pasti kuakui kepada setiap teman yang bertanya, tetapi aku rasa tidak ada yang perlu kuanggap buruk. Kesendirianku, kesepianku, kepahitanku, semua dapat kuatasi. Aku dapat tersenyum lebar, bahkan ketika menyadari tahun demi tahun berlalu menumbuhkan si kecil Lily hingga ia berseragam putih merah.
    "Lily sudah besar, dan aku masih sendiri..."
    Tahun-tahun yang tak terasa. Tahun-tahun yang panjang bagiku, karena selama itu pula aku tidak pernah menemui Vina dan keluarga kecilnya yang bahagia, meski mereka memaksa.
    Aku sering mengirim Lily hadiah. Ia memanggilku dengan nama yang membuatku geli: Uncle Dan. Ia memaksa memanggilku begitu, karena aku tinggal di negeri Putri Salju, negerinya tokoh-tokoh di buku dongeng.
    Di satu kesempatan saat Vina dan keluarganya ke Eropa, aku menghilang untuk beberapa hari dengan alasan dinas ke Jepang. Apa pun kulakukan, termasuk berbohong, demi tidak bertemu Vina yang dulu sempat kuharapkan menjadi istriku.
    Seorang teman di negeri asing ini bertanya padaku, "Kamu masih mencintainya, ya? Aku kira tidak ada orang yang membiarkan hidupnya sebatang kara hanya karena putus cinta di masa muda."
    Aku tidak tahu benar tidaknya ucapan temanku, tetapi aku merasa tidak pernah ada rasa cinta terhadap wanita mana pun. Hatiku tumpul sejak mencintai Vina dan berakhir dengan kepergianku ke negeri orang. Aku rasa takdir mengambil sedikit keajaiban cinta dari hatiku, dan menebarnya untuk Lily dan kehidupan kecilnya yang ceria.

***
   
    Ini terus berlanjut hingga enam belas tahun.
    Aku sudah tinggal di Jakarta sejak lima tahun silam, tapi tidak pernah jujur tentang alamatku sekarang kepada Vina dan keluarganya. Lily yang duduk di bangku SMA jadi jauh lebih dekat denganku, sekalipun kami tidak pernah bertemu. Yang aneh, Lily tidak pernah sedekat itu dengan ayahnya sendiri.
    "Ayah jarang pulang," katanya, "aku lebih nyaman curhat sama Uncle. Ibu sibuk mengurus adik, dan jarang bicara. Ayah tidak mengerti dan sering marah. Ayah suka mengatur-atur, padahal tahu aku anak disiplin. Uncle tidak pernah mengatur-atur. Uncle tahu, tanpa diatur-atur pun, aku sudah jadi anak yang pintar, kan?"
    Aku tidak dapat membantah ucapan Lily, karena tidak tahu apa yang benar-benar terjadi di rumah mereka. Vina tidak sedekat dulu padaku, begitupun suaminya. Pertama, ketika kami mulai sibuk, e-mail-e-mail jarang direspons, entah itu dariku atau mereka. Kedua, lama kelamaan rutinitas e-mail berjarak berbulan-bulan, dan menjadi tidak ada sama sekali.
    Hanya Lily yang masih mengirimiku e-mail, setelah anak itu belajar menggunakan komputer. Sesekali ia menghubungiku via telepon atau Skype, sehingga aku tahu betapa anak itu mewarisi kecantikan ibunya. Ingin kutemui Lily dan kupeluk dia seakan sedang memeluk anakku sendiri. Ingin kuajak Lily berkeliling ke berbagai tempat wisata yang bagus. Akan tetapi, keinginan itu mustahil, karena aku belum sanggup bertemu dengan Vina dan suaminya.
    Aku bekerja di perusahaan kontraktor, dan merasa hidupku yang sepi, yang tidak berubah sejak enam belas tahun lalu, baik-baik saja. Benarkah? Aku tidak merasa sebaik itu, tapi kuputuskan segalanya harus baik.
    Aku bahagia mengenal Lily yang tidak melupakan ulang tahunku, juga sering kali mengingatkanku makan karena lambungku bermasalah. Aku meyakini keputusan bahwa tidak bertemu mereka jauh lebih baik. Buktinya hubunganku dan Lily erat dengan cara seperti ini. Cukup teknologi yang menyatukan. Aku meyakini itu seratus persen, sampai suatu pagi yang dingin sebuah telepon menyentak tidurku. Ayah Lily meninggal dalam suatu kecelakaan tunggal.
    Yang kupikirkan hanya Lily seorang. Aku tidak mengerti kenapa hatiku menolak memikirkan Vina, yang pasti jauh lebih terpukul. Aku berkemas dan tanpa pikir panjang, memacu mobilku ke alamat rumah sakit yang Lily beri. Di sana gadis itu memelukku dan menangis. Vina menatap heran. Vina tidak tahu aku datang. Kujelaskan bagaimana aku bisa tahu kabar ini.
    "Sudah Ibu bilang, tidak usah kabar-kabari Uncle," desis Vina di samping Lily.
    Aku bisa mendengarnya.
    "Uncle berhak tahu. Uncle keluarga kita juga 'kan, Bu!" kata Lily.
    Vina dan aku diam.
    Seharian berikutnya berjalan lambat. Vina tidak bicara sampai suaminya dikubur. Aku antar mereka pulang. Kunyalakan musik agar tidak ada kesepian dalam perjalanan kami. Vina menjamuku makan malam dengan menu sederhana. Lily ketiduran karena ia lelah. Hanya ada aku dan Vina di ruang tengah.
    Rumah mereka tidak mewah seperti di awal menikah. Vina bilang, suaminya jatuh sejak empat tahun lalu. Ia berbuat kesalahan di kantor. Beruntung tidak sampai dibawa ke meja hijau. Sejak itu ia pontang-panting ke sana kemari menutup utang. Karena tidak kuat lagi, ia frustrasi dan membenci banyak hal.
    "Kalian tidak pernah cerita."
    "Mas Bram tidak setuju. Aku tidak berani membantah."
    "Lima tahun aku di Jakarta. Lima tahun tanpa pernah menemui kalian. Dan kalian sendiri juga tidak memberi kabar apa pun. Seandainya saat itu kalian cerita..."
    "Buat apa? Itu jelas lebih baik, bukan? Kamu pergi tanpa pamit dan membiarkanku terus merasa bersalah tentang masa lalu kita. Apa yang kamu harapkan? Tidak ada, 'kan? Aku juga tidak berani berharap seperti dulu."
    "Maksudmu apa?"
    Vina menangis. Ia mengaku, semua yang terjadi sejauh ini salah. Ia tidak pernah benar-benar mencintai Bram. Akhirnya kusebut nama itu. Ia, Bram, yang juga teman kami, sesungguhnya tidak pernah menginginkan aku dan Vina bersama.
    "Aku tidak mau hubungan kita rusak karena aku menerima lamaranmu saat itu. Yah, akhirnya rahasia ini terbongkar. Bram menyukaimu, tapi ia tidak berani jujur. Tidak mungkin Bram jujur. Dan ia tidak sudi melihat kita menikah. Ia lebih baik mencegah hatinya terluka dengan semua sandiwaranya."
    "Tapi... Maksudmu? Kenapa kamu tidak cerita?! Seharusnya..."
    "Aku tahu baru-baru ini. Bram menyimpan semuanya dengan rapi. Ia mengancam melukai siapa pun jika aku tidak mau menikah dengannya. Itu alasan yang ia buat-buat. Padahal sebenarnya, ia menyukaimu!"
    Aku tidak dapat berkata-kata. Vina mengusap air mata, dan berlagak tidak terjadi apa-apa di antara kami, karena Lily bangun dan membuka pintu kamarnya dan bertanya ada apa, kenapa ribut?
    Aku pamit malam itu juga. All or Nothing*, yang enam belas tahun lalu mengiringi perpisahan kami, secara ganjil terputar saat mobil yang kubawa meninggalkan halaman rumah Vina...

    Is it all
    Or are we just friends
    Is this how it ends
    With a simple telephone call
    You leave me here with nothing at all ... [ ]
   
    Gempol, 9 Agustus 2016
   
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.

*Lagu All or Nothing oleh O Town.

Comments

Post a Comment

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri