Skip to main content

[Cerpen]: "Rencana Rahasia Penyair yang Baru Saja Diusir Calon Mertua" karya Ken Hanggara


(Dimuat di Flores Sastra, 18 September 2016)  

Aku tidak mengerti saat orangtua pacarku tiba-tiba menyuruhku pulang, sementara Milana belum keluar dari kamar. Ia sudah berjanji padaku untuk kembali dan membawa keluar album kenangan semasa kami SMA dulu; jadi, aku pun juga berjanji kepadanya untuk tidak pulang dulu sampai ia keluar dan kami membuka-buka halaman album itu dan mengenang masa sekolah kami dulu. Tentu saja, di mana pun, memang itulah yang berlaku jika seseorang bertamu.
    Tapi, orangtua pacarku menyuruhku pulang. Ia bilang sebaiknya aku pulang saja, dan jangan kembali sampai bulan depan. Aku tidak dapat membantah, tetapi juga tidak mengerti bagaimana mungkin kami tidak bertemu selama satu bulan?
    "Bukan saya bilang kalian tidak bertemu selama sebulan, tetapi jangan kembali ke sini sampai paling tidak bulan depan," koreksi orangtua pacarku.
    Aku tidak mengerti maksud permainan katanya, tetapi jika memang ia melarangku untuk menemui Milana selama sebulan, kenapa juga ia mengatakan bahwa kalimatnya bukan berarti ia tidak bilang kami tidak bertemu selama sebulan.
    Aku benar-benar bingung dan mendadak kepalaku terasa pusing. Es sirup yang tadi Milana buatkan untukku baru kuteguk seperempat gelas, tapi aku sudah disuruh pulang. Aku yang bertamu baik-baik, dan belum pernah mencium Milana, dan juga tidak pernah meraba-raba tubuh Milana yang indah, yang seandainya mau, bisa saja kulakukan, kini diusir secara halus?
    Aku tidak tahu apakah ini semacam pengusiran atau pengujian. Jika orangtua gadis ini sedang mengujiku, aku tahu aku harus bertindak secara benar, paling tidak yang klop dengan kemauan orang ini. Tetapi jika dia mengusirku secara halus, mungkin saja orang ini tidak suka memiliki menantu seorang penyair.
    Aku memang senang menulis puisi sejak lama, dan sudah bisa disebut penyair oleh teman-temanku di kalangan sastrawan, dan aku sendiri belum bekerja apa-apa. Jadi, tiap ditanya oleh orangtua Milana, jawabanku selalu begini: bahwa pekerjaan saya ini adalah seorang penyair.
    Berapa gajimu, Nak? Itulah yang hampir selalu kudengar setiap kali datang kencan kemari, dan tentu saja kujawab dengan santai bahwa gajiku itu urusan Tuhan dan diriku, tetapi jika nanti kami direstui dan menikah dan segala macamnya, aku sudah pasti sudi memberitahu orangtua Milana ini tentang uang.
    "Karena ketahuilah," kataku dengan nada sesopan mungkin pada orangtua Milana di suatu malam, "bahwa hal-hal seperti gaji pokok adalah privasi seseorang. Anda tidak mungkin bertanya berapa ukuran celana dalam tetangga Anda, atau bagaimana dan apa saja yang seseorang lakukan di suatu toilet umum; apa orang tersebut menyiram bekas pembuangan dari tubuhnya, ataukah sengaja membiarkan bau kencing yang amat sangat pesing tersebut meruap di udara di sekitar toilet. Itu tidak mungkin, dan saya kira hal ini mungkin bisa kita bicarakan setelah kami menikah nanti."
    Aku sendiri tahu posisiku sebagai seorang pacar. Aku tahu Milana kadang-kadang terlihat sedih akibat melihat kondisiku, yang kata dia, juga terlihat sedih. Jadi, aku pun sangat sedih karena Milana menjadi sedih akibat dia mengaku melihatku yang terlihat sedang sedih. Kami sedih oleh sebab yang berputar seperti suatu siklus begini, dan aku tahu tidak jarang orangtua Milana mengintip kami dari balik kelambu ruang tamu. Aku hafal betapa wajah orang itu sangat tidak enak dilihat, karena dia tidak ikut sedih.
    Suatu hari pernah kukatakan pada pacarku bahwa orangtuanya tidak tahu apa yang kami berdua rasakan. Kesedihan kami, adalah kesedihan kami. Dan tentunya kesedihan itu harus dapat dirasakan oleh orangtuanya juga.
    "Orangtuaku sudah mati beberapa tahun yang lalu, dan aku ini sebatang kara serta tidak memiliki rumah dan keluarga. Maksudku, semua keluarga yang tersisa, yang aku tahu adalah saudara-saudara orangtuaku, tidak mau mengakuiku. Jadi, aku ini tidak lagi punya siapa-siapa, kecuali kamu. Berarti, kesedihanku dan kesedihanmu ini sudah layak menjadi kesedihan orangtuamu juga, sebab kita memang harus bersatu, bukan?"
    Milana tampak bingung, tapi sepenuhnya ia setuju, sebab ia segera menghambur ke dadaku dan menangis di sana sampai setengah jam.
    Aku kira, orangtua Milana ingin menunjukkan gelagat tidak suka kepadaku, tetapi bisa juga ini hanyalah pengujian. Aku berharap perintahnya agar aku pulang malam ini semata sebuah ujian saja, seperti yang selalu kupikirkan setiap akan tidur dan sesudah menulis puisi untuk kukirimkan ke sebuah koran lokal yang tidak membayarkan hakku sebagai penulis, sehingga walaupun aku dan orangtua Milana itu pernah bicara tentang toilet umum dan sebagainya, juga aku pernah melihat wajah masamnya yang mengintip dengan cara yang tidak enak, hubungan kami tidak akan berakhir buruk.
    Suatu hari kukatakan kepada Milana, aku ingin memperbaiki hubungan antara aku dan orangtuanya. Milana bertanya-tanya apakah ada keretakan antara aku dan sang ayah, tetapi kubilang itu hanya perasaanku saja.
    "Aku merasa tidak enak dan kacau. Aku merasa tidurku tidak tenang dan tidak bisa menghasilkan puisi-puisi bagus. Pikiranku terfokus ke sana, yakni agar orangtuamu itu percaya bahwa aku ini bisa," kataku frustrasi.
    "Aku percaya kamu bisa kok," jawab Milana.
    "Tapi orangtuamu tidak, kurasa."
    Akhirnya, Milana semakin sering mengajajkku ke rumah, dan aku pun tidak segan kencan sejak jam enam sore hingga jam delapan malam, dalam tiga kali seminggu. Semua itu terjadi pada hari Senin malam, Kamis malam, dan Sabtu malam. Orangtua Milana menyapaku sebentar seperti biasanya, ketika membukakan pintu, dan tentu saja tidak lama ia bicara, karena selalu beralasan: saya sedang sibuk.
    Tetapi karena kedatanganku jadi lebih sering daripada yang sudah-sudah, pastinya jam terbangku mengobrol dengan calon mertua ini juga bertambah lebih banyak hanya dalam waktu sebulan.
    Malam ini, setelah sebulan berlalu, dan belum juga ada perubahan, tiba-tiba saja ia mengusirku. Ia, yang selama ini mencoba meragukan kapasitasku sebagai penyair, tidak ingin aku berada lebih lama di rumahnya, sehingga baru juga jam tujuh malam, sudah menyuruhku pulang.
    "Bukan saya bilang kalian tidak bertemu selama sebulan, tetapi jangan kembali ke sini sampai paling tidak bulan depan," katanya mengulang kalimat yang belum kutahu arahnya.
    Karena inilah lamunanku langsung buyar dan aku berdiri tanpa berani membantah. Lalu kusalami tangan dingin orangtua Milana dan kubilang pada saatnya kencan nanti, aku akan datang membawa sebuah cincin untuk anaknya. Karena aku kira sudah tepat waktunya untuk kami menikah.
    "Jadwal kunjunganmu dua hari lagi, dan saya bilang jangan kemari sampai bulan depan. Kamu mendengarkan saya atau tidak sih?"
    "Tapi, saya ingin menikahi Milana, dan saya berjanji akan membahagiakannya, dan Anda bisa mendapat jaminan nanti. Itu bisa kita bahas dan pikirkan bersama, tetapi yang pasti saya bisa diandalkan."
    "Bukan begitu."
    "Memang begitu kok!"
    Tapi orangtua pacarku sudah tidak mau mendengar dan melihat wajahku lagi, dan ia segera mendorongku melewati pintu depan rumahnya dengan tenaga yang lumayan halus, tetapi tidak bisa kulawan. Maksudnya, tenaga seperti ini adalah tenaga seseorang ketika sedang mengusirmu tanpa mau membuat perasaanmu tersingung.
    Akhirnya aku pulang dengan perasaan sedih dan tidak menuju ke arah rumahku. Di sana ada banyak masalah, dan seorang tukang tagih utang pasti sedang menungguku di sana, sehingga aku tidak mungkin datang ke sana dalam keadaan patah hati.
    "Aku tidak mau pulang dan menjadi gila malam ini," pikirku.
    Aku bisa saja pulang dan menjabat tangan tukang tagih utang itu, lalu kurelakan tubuhku dia bawa ke lokasi sepi, yang mana tempat tersebut telah dikuasai semacam bos mafia, dan di tempat itu nanti aku dihajar habis-habisan karena belum sanggup bayar utang. Esoknya, kujamin aku langsung gila. Aku dihajar karena banyak utang, yang tak mengherankan bakalan ada yang mengancam nyawaku. Ditambah lagi patah hati karena orangtua Milana menolakku. Jadi, wajar saja kubayangkan aku bakalan gila jika semua itu terjadi bersamaan.
    Masalahnya, di hidupku yang merana ini ada Milana dan selalu ada dirinya. Aku ingin menikahi Milana dan punya anak empat belas atau mungkin tujuh belas darinya. Aku ingin hidup sampai renta bersama Milana. Aku tidak ingin menjadi gila malam ini. Atau, aku tidak ingin menjadi gila selamanya, jadi apa pun itu, aku tetap harus bertahan dan jangan sampai bertemu si tukang tagih utang, dan membuat posisiku aman dengan pergi ke rumah seorang teman di dusun lain.
    Setiba di rumah temanku, yang ternyata sangat sepi, karena dia sudah pindah gara- gara diusir, kuputuskan untuk duduk di terasnya selama satu jam. Dan selama itu pula aku berpikir bahwa sebaiknya aku kembali ke rumah Milana besok malam saja. Aku ke sana besok malam, dan menegaskan pada orangtuanya yang memandangku rendah itu, bahwa aku bisa menjadi suami yang bertanggung jawab. Akan kukatakan pada orang itu, bahwa penyair sebenarnya adalah sejenis pekerjaan hebat, karena bukan hanya honor berupa uang yang didapat, tetapi juga kehormatan yang jarang didapat orang.
    Tapi memang sulit menjelaskan tentang kehormatan ini, dan aku sendiri juga sering bertemu orang semacam orangtua Milana yang kolot, dan menganggap bahwa pekerja seni sepertiku ini tidak mungkin bisa kaya atau tidak mungkin bisa memberikan nafkah bagi anak gadisnya. Jadi, kukira cara tersebut memang tidak bakalan lancar. Dan tentu saja aku harus berusaha lebih keras. Sedangkan soal honor berupa uang, itu memang tak salah. Hanya saja, aku tak dapat memberikan yang lebih dari orangtua pacarku tersebut harapkan.
    Selesai memikirkan ini, aku pun berbaring di teras rumah temanku tadi, yang kini sudah tidak dihuni teman tersebut, karena dia diusir gara-gara tidak sanggup membayar uang sewa kontrakan. Lalu orang pemilik kontrakan itu bertanya di mana rumahku. Aku tidak mengatakan bahwa di rumah yang kusewa kini sedang menunggu seorang tukang tagih utang, tetapi kukatakan bahwa rumah yang ditinggalkan temanku ini bisa kusewa mulai besok malam bersama orang yang paling kucintai.
    "Memangnya Anda kerjanya apa?"
    "Pekerjaan saya berat. Anda tidak sanggup membayangkan, tapi itu sangat berat."
    "Oh, ya? Saya mau tahu."
    "Saya tukang pikir."
    "Oh, ya?"
    "Ya, saya berpikir dan dibayar dengan segala macam bentuk bayaran. Dan pastinya ini pekerjaan tidak dapat dipahami banyak orang, termasuk Anda. Jadi, apa saya boleh menyewa rumah ini?" [ ]
   
    Gempol, 14 September 2016

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri