Skip to main content

[Cerpen]: "Sapono Buron" karya Ken Hanggara

Lukisan "The Scream" karya Edvar Munch
(Dimuat di Harian Amanah (Jakarta), edisi Sabtu, 13 Agustus 2016)  

 Sapono terluka di bagian betis. Ia tidak pernah ditembak. Tapi sekali kena, rasanya luar biasa. Serupa tidur dan mimpi, lalu tiba-tiba terperosok ke sana dan tidak bangun selamanya.
    Sapono kesakitan dan bingung Ia menyesal mengikuti ajakan teman untuk rencana perampokan. Sambil menyisir jalan ke hutan, ia memutar ulang ingatan. Uang cepat, itu yang Sapono butuhkan. Setelah sepakat dan tidak ada kompromi mundur, ia ditembak. Komplotan perampok itu gagal dan kocar-kacir dikejar polisi.
    Sudah tiga minggu Sapono lolos. Sembunyi di rumah kawan lama, yang tidak bisa dipercaya, bukan keputusan bijak. Tidak ada tempat lain. Sapono tidak pernah diincar polisi. Ini hanya ada di mimpi buruk. Sayangnya, Sapono tidak tidur. Kenyataan bahwa ia dikejar polisi dan menjadi buronan, membuat Sapono merinding. Ia tahu ia bukan penjahat.
    Demi tidak ditangkap polisi dan dibui selama beberapa tahun, dan tentu saja tidak bisa menemui anak istrinya jika itu terjadi, Sapono harus bersembunyi. Teman lama itu tahu kenapa Sapono bersembunyi. Suatu malam, tiga minggu lalu, ia mengetuk pintu, dengan wajah bersimbah keringat. Sapono membawa tas besar. Isinya uang seratus juta.
    "Uang apa ini?" tanya teman itu.
    "Uang cepat," kata Sapono setengah berbisik. Ia menangis dan mengucap jawaban yang sama terus menerus.
    Setelah beberapa saat diam, Sapono bilang, ia dan teman-temannya gagal. Memang uang itu ia bawa kabur, tapi tidak ada teman yang bersamanya, dan mungkin mereka ditangkap atau mati kena tembak selama pengejaran. Itu artinya mereka gagal.
    Teman itu menyuruh Sapono masuk. Jika ingin tobat, semua sudah telat, kata sang teman. Jika ingin tobat, Allah mengampunimu, tetapi penjara tidak. Jadi, bagaimanapun, Sapono pantas dibui dan itu konsekuensi untukmu yang tidak sabar menerima cobaaan!
    "Harusnya kamu tidak ikut merampok. Harusnya cari kerja. Atau lebih baik pinjam uang," sambung temannya.
    Sapono hanya menangis.
    Teman itu menekan Sapono dengan kata-kata tajam. Allah mahapengampun, tetapi polisi tidak membiarkan perampok hidup tenang di luar penjara. Sapono harus dibui. Itu kata sang teman. Hari demi hari, Sapono menumpang di sana, dan semakin takut karena si teman tidak henti menekan. Apa yang dikata si teman memang benar, tapi toh ia juga meminta beberapa rupiah dari tas yang dibawa Sapono.
    Teman itu mengaku, dengan memberi tumpangan, ia juga pantas mendapat imbalan. Risiko besar membantu buron, katanya. Maka, Sapono berikan semaunya buat si teman, berapa pun yang diminta. Sejuta, dua juta, tiap hari selama dua mingguan. Sampai tas itu makin lama makin enteng.
    "Sudah cukup kamu meminta uang ini. Sisanya kukirim buat istriku!" kata Sapono di minggu kedua.
    "Ya, ya. Memang istrimu berhak. Silakan kirim!" kata temannya.
    Lalu teman itu ke kantor jasa pengiriman, usai membungus beberapa juta rupiah, di kardus mie dilapisi beberapa helai sarung, kopiah, bahkan kitab suci. Sebagai kedok agar tidak ada yang mengira di kardus itu terdapat uang hasil merampok. Paket itu dikirim ke alamat istri Sapono.
    Tidak semua uang Sapono kirim. Uang yang tersisa, setelah dihitung, tinggal lima puluh lima juta. Ia ambil sepuluh juta buat istrinya. Berarti temannya mendapat lebih banyak dari siapapun, seandainya ikut dalam komplotan perampok yang berjumlah lima orang.
    Agak kesal juga Sapono kepada temannya, yang sejak awal memberinya tekanan, menakut-nakutinya bahwa percuma ia tobat, sebab ujung-ujungnya dipenjara atau ditembak, jika nanti aparat tahu di mana dia. Di sisi lain, si teman ikut menikmati uang haram itu!
    "Kamu kapan tobat?" kata Sapono.
    Si teman tersinggung, dan mengatakan ia bosan mendengar Sapono protes. Uang itu toh bukan uang Sapono. Dan Sapono harusnya berterima kasih karena diberi tempat menumpang. Makan dengan piringnya, tidur dengan bantalnya, mandi dengan airnya. Harusnya Sapono pergi sebelum polisi mengendusnya.
    Si teman tidak peduli dan terang-terangan mengusir Sapono malam itu.
    Sapono bukan lelaki pintar. Ia tahu ia salah, dan mungkin mengembalikan uang itu dapat memperbaiki posisinya. Itulah yang mulai ia pikirkan.
    Mungkin, dengan menyerahkan uang itu ke polisi, ia tidak dipenjara. Sapono tidak paham hukum dan tetek bengeknya; ia juga tidak pintar bicara seperti misalnya dalam suatu ceramah. Ia bukan orang yang bisa bicara dengan lancar di depan banyak orang atau di depan orang asing.
    Sapono menyesal memberikan uang itu kepada si teman. Jika saja dulu sang teman tidak meminta, dan ia tidak mengirim sepuluh persen hasil rampokan ke alamat istrinya, mungkin ia dapat secara utuh mengembalikan uang tersebut ke polisi. Dengan demikian, semua kembali normal. Ia butuh uang cepat, tapi ia pikir, saat ini uang cepat hanya akan membawa bencana.
    Sayang sekali. Sapono sudah diusir, dan temannya yang minta uang lebih banyak dari siapa pun itu memakai uangnya untuk berbagai keperluan. Sapono tahu si teman membelikan smart phone baru buat anaknya. Sapono tahu teman itu membeli baju dan perhiasan buat istrinya. Sudah berjuta-juta habis, dan mungkin teman itu tidak mau mengembalikan uang yang belum terpakai.
    Memikirkan soal ini membuat Sapono pusing. Ia terus berjalan. Ia membuang rasa sakit di kepalanya dengan memikirkan anak dan istrinya yang kini barangkali tertawa riang. Mungkin mereka menonton TV, dan kaget dapat kiriman sepuluh juta. Anak itu pasti meminta dibelikan sepeda mini dan sepatu baru, karena yang lama sudah bolong. Ia senang bakalan pergi sekolah naik sepeda.
    Ketika itulah, Sapono dengar teriakan dari arah belakang...
    Polisi!
    Sapono mengira, si teman yang busuk itu pasti melapor kepada polisi, dan Sapono tidak tahu bagaimana dapat bicara ke polisi, bahwa si teman minta bagian uang tersebut lebih banyak dari siapa pun, dan bahwa ia berniat mengembalikan uang tersebut kepada polisi untuk diteruskan ke korban perampokan tiga minggu silam.
    Sapono tidak pandai berbicara. Ia tidak pernah mengalami hal semengagetkan ini. Ia bingung waktu kena tembak betisnya. Ia mengerang kesakitan, tapi terus saja berjalan. Sapono menembus kegelapan hutan, tanpa tujuan, dengan sebutir peluru bersarang di betisnya, dan pemikiran bahwa ia tidak ingin dibui, karena itu jelas akan membuat anak istrinya kecewa.
    Sapono mohon ampun kepada-Nya, tapi tentu saja, polisi tidak berhenti mengejar. [ ]

    Gempol, 25 Juli 2016

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri