(Dimuat di Flores Sastra, Sabtu, 13 Agustus 2016)
Tadi pagi Martin membawa dompet berisi uang. Sekarang dompetnya tidak ada. Si Yori, anjingnya yang kotor dan penyakitan, tidak bisa mengejar maling. Yori tidak sepintar atau selincah dulu. Anjing itu semakin tua dan bodoh. Martin tidak tahu kepada siapa ia minta bantuan?
Yori meringkuk di teras toko mainan. Anjing itu memandangi Martin yang kesal dan sedih. Majikan yang kecil dan kurus, yang hari ini kehilangan dompet, bagi seekor anjing menumbuhkan penyesalan diam-diam. Tapi, anjing tetaplah anjing, dan si Yori sudah tua; ia tidak bisa meminta maaf pada Martin.
Martin, sejak menyadari dompet yang ia bawa hilang, tidak berhenti jalan ke sana kemari, di teras toko, sampai semua pengunjung dan penjaga toko heran. Anak ini mungkin tersesat. Seorang pastor, dengan dua anak kecil di sisi kanan dan kirinya, baru datang ke toko mainan ini. Anak-anak itu senang. Beliau membiarkan mereka masuk dan memilih mainan kesukaan. Nanti saat membayar, panggil saja pastor. Lelaki empat puluh tahunan ini tertarik pada Martin.
"Kenapa, Nak?" tanyanya.
Martin penggugup, karena jarang bergaul, dan sering dihukum papinya meski tidak bersalah. Ia tidak menjawab, malah menunduk dan berjalan ke arah Yori, lalu mengajak anjing itu pulang.
Pastor itu tahu, anak ini pasti ingin beli mainan, tetapi mungkin uangnya tidak ada. Beliau bisa membantu, tetapi Martin berlari begitu cepat dan jauh, bahkan si Yori tidak sanggup menyusul. Anjing itu tertinggal jauh di belakang. Dasar anjing penyakitan! Kenapa tidak mati saja?
Sampai sore hari, orang tidak lagi melihat Martin di toko itu.
***
Besoknya, anak itu kembali.
Martin masih kehilangan dompet dan ia tidak berani lapor ke Pak Polisi. Ia masih kecil dan tidak tahu cara melapor apabila ada kasus pencurian. Apa yang boleh melapor hanya orang dewasa? Apa kalau memang boleh melapor, sebagai anak kecil sekaligus korban, polisi mempercayainya?
Orang mungkin tidak percaya Martin punya dompet. Anak kotor dan kulitnya sarat panu, mana mungkin punya uang? Itu yang kemungkinan orang pikirkan. Dan ia tidak bisa memberi penjelasan apa-apa, meski memang ia punya dompet. Dompet itu dibuat dari potongan kain yang dijahit oleh Martin, pada suatu sore di dapur rumah. Papi tidak tahu. Papi galak, sehingga perkara uang bisa membuat Martin dihukum berat. Jadi, ia menyimpan baik-baik dompetnya di tempat rahasia.
Martin sekarang tidak punya dompet. Tidak tahu jatuh ke mana atau siapa yang mencuri. Mungkin Papi. Ia suka mabuk. Kalau pulang selalu tengah malam. Martin sering menangis; kenapa aku punya papi sejahat itu? Dulu, seingat dia, papinya tidak begitu. Dulu ingatan anak ini masih buram. Tidak jelas, karena bahkan pemakaman maminya pun Martin lupa.
Mungkin papinya yang mengambil dompet itu; merampas isinya dan membakar dompet tersebut di dekat tong sampah. Kalau begitu, tidak ada lagi harapan bagi Martin. Memikirkan itu membuatnya sedih. Di teras toko mainan pagi ini, lagi-lagi ia cuma bisa melamun, ditemani Yori yang tidak becus mengendus jejak. Dasar anjing busuk!
Isi dompetnya memang tidak banyak. Hanya beberapa keping uang lima ratusan dan beberapa lembar pecahan seribu dan lima ribu rupiah. Tapi uang segitu ada artinya bagi Martin. Ia bisa beli mainan untuk dirinya. Selama ini ia jarang punya mainan, atau sama sekali tidak pernah. Sejak maminya mati empat tahun lalu, Martin selalu kesepian karena sering dipukuli Papi dan tidak pernah diurus, apalagi disekolahkan. Makan pun hanya ia dapat dari kebaikan tetangga.
Martin ingin hadiah untuk dirinya. Hadiah ulang tahun. Kalau tidak salah, besok lusa ulang tahun ketujuh. Dan hadiah ulang tahun berupa mainan yang bagus, batal ia dapat.
Dompetnya hilang dan orang tidak mungkin percaya.
Orang mungkin mengira, "Kamu pencuri?"
Tentu saja tidak!
Martin tidak mencuri. Martin dapat uang dengan cara baik, yakni membantu tetangga membersihkan kandang atau menggotong air dari sungai ke rumah mereka. Ia mendapat upah dari semua pekerjaan itu.
***
Pastor kembali ke toko itu. Kali ini tanpa anak-anak yang kemarin. Beliau dari jauh tampak seperti malaikat di mata Martin. Anak ini sebenarnya tahu, pastor mungkin ingin membantu. Tapi, Martin malu, juga takut. Ia sangat mengenal bagaimana pastor ini amat disegani. Banyak yang tahu dan kenal beliau, termasuk sang papi. Kalau pastor tahu ia bersedih karena kehilangan dompet, dan kabar ini sampai ke telinga Papi, bisa mati dia dihukum.
Martin menggigil sementara pastor melangkah semakin dekat. Dari seberang jalan, papan iklan minuman bersoda memantulkan cahaya terik pagi ke punggung sang pastor, hingga kini siluetnya yang kelihatan di mata si bocah.
Tidak. Ia tidak boleh berburuk sangka. Tidak mungkin pastor itu melapor kepada papinya perkara uang hilang. Lagi pula, pastor orang yang baik. Beliau pasti mengerti kalau Martin menjelaskan kenapa menyembunyikan uang dan dompet dari Papi. Beliau pasti membantu.
Pikiran Martin mulai tenang. Ketika pastor menyap, ia menjelaskan sedikit demi sedikit masalahnya. Anak ini selalu gugup. Kalau orang terbiasa curiga, mengira anak ini melakukan tindakan kriminal. Padahal, demi Tuhan, Martin tidak pernah melakukan kejahatan.
Pastor percaya dan melihat kebenaran di balik ucapan Martin dan segera mengajak anak itu ke dalam untuk memilih hadiah ulang tahunnya. Yang terbaik, di antara yang terbaik. Maksudnya, ia boleh memilih mainan paling mahal.
Martin tidak ingin mainan mahal. Selama itu bisa membuatnya terhibur dan lupa pada kejahatan papinya, ia suka saja. Mainan apa pun, ia suka. Ia malu-malu masuk ke toko, diikuti Yori, yang seketika membuat seluruh pengunjung toko, yang kebanyakan anak-anak kaya, menoleh. Mereka menatap Martin dengan heran. Mungkin berpikir, anak ini mau apa? Keberadaan pastor di belakang membuatnya jelas.
Hari itu, Martin pulang membawa mainan. Kado ulang tahun untuk dirinya sendiri. Besok lusa hari itu, ia memulai memainkannya. Jadi, sebelum masuk waktu ulang tahun, ia tidak menyentuhnya. Mainan itu tetap dalam kardus sampai waktunya tiba, meski menunggu selama dua hari membuat anak ini tenang.
Hanya saja, di hari ulang tahun, mainan itu hilang. Martin kesal dan sedih. Papi masih tidur di dipan subuh itu. Mungkin pulang jam satu dini hari, tidak ada yang tahu. Tidak pernah ada yang tahu kapan papinya pulang dari tempat perjudian.
Papi jahat, begitulah yang Martin pikir, selalu membuat anaknya susah. Bahkan, di hari ulang tahun, di hari kebahagiaannya, orang itu tidak rela membiarkannya senang.
Martin mencari-cari mainan itu di bawah dipan Papi. Siapa tahu disembunyikan di sana, untuk esok hari dibakar atau dipukuli dengan batu sampai pecah berkeping-keping bila Martin sudah pergi ke kandang babi tetangga. Tapi, mainan itu tidak ada. Di atas lemari, juga tidak ada. Di bawah tumpukan karung, juga tidak ada.
Di mana mainan itu, sih? Martin benar-benar terpukul. Ia tidak mungkin melompat ke tubuh papinya dan minta ditunjukkan di mana mainannya. Papi pasti akan marah dan memukulnya. Lagi pula, ia tidak pernah berbuat begitu pada Papi. Bukankah papinya jahat?
Mainan bagus itu, mainan berbentuk bus kota. Martin pernah melihat bus tingkat di televisi. Mainan ini membuat hati Martin sedih. Ia belum juga memainkannya, sekarang sudah hilang. Padahal ia membayangkan selama dua hari ini, kira-kira seperti apa serunya main bus mainan, walau sendirian. Ia tidak pernah punya teman.
Martin ke kamar mandi terbuka. Di sana ada sumur dan ia menangis seperti biasa. Ia menangis tanpa suara sampai Yori menghampiri. Anjing itu tetap bodoh, karena tidak bisa diandalkan buat mengejar pencuri. Dulu waktu Martin masih kecil, anjing ini sering diajak Papi berburu. Sekarang, karena tidak berguna lagi dan juga sudah tua, anjing itu ditelantarkan.
Yori tidak menjulur-julurkan lidah seperti biasa. Anjing itu menggigit kaleng bekas. Tidak jelas kaleng apa, karena cahaya matahari belum keluar. Anjing itu berjalan pelan ke arah Martin dan seakan ingin mengajaknya bermain.
"Pergi! Anjing sial!"
Tapi Yori tidak mau pergi.
Akhirnya, Martin membuntuti ke mana anjingnya pergi. Si Yori tidak terlalu bodoh, ternyata. Anjing ini minta diikuti ke sebuah tempat, di kebun milik tetangga Martin. Di depan gundukan tanah, anjing itu berhenti. Martin tidak tahu, bagaimana ia terpikir untuk menggali gundukan itu.
Yori melepas kaleng dari mulut keriputnya, lalu berbaring dengan moncong di atas tanah. Sambil berkedip-kedip, anjing itu terus memperhatikan anak itu menggali dengan penuh semangat.
Tidak lama kemudian, kardus bergambar bus tingkat dari luar negeri kelihatan dari tempat Martin. Anak itu terus menggali, lebih semangat, dan akhirnya menemukan juga dompet kain yang hilang.
Sekarang ia tahu. Ternyata, semua ini bukan ulah Papi. Ini ulah Yori, anjing bodoh yang tidak bisa diandalkan.
Setelah matahari terbit, Martin berjanji meminta maaf pada Papi karena berburuk sangka. Tentu saja, ia akan melapor semua kelakuan Yori pada pastor. Siapa tahu anjing itu pantas dihukum. Biar tidak lagi nakal. [ ]
Gempol, 12 Agustus 2016
*Cerpen ini dipersembahkan untuk teman lama, yang kehidupan masa kecilnya kurang beruntung.
KEN HANGGARA lahir 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, resensi, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media cetak lokal dan nasional.
keren keren ...... mas aku suka tulisan nya
ReplyDelete