Skip to main content

[Cerpen]: "Menjahit Sayap Malaikat" karya Ken Hanggara

Ilustrasi cerpen "Menjahit Sayap Malaikat" karya Ken Hanggara
(Dimuat di Banjarmasin Post, 11 September 2016)

    Sejak ditinggal mati suaminya, Maria membuka usaha jahit di rumahnya. Mula-mula sepi, tapi hari demi hari pesanan jahitan mulai banyak dan ia kewalahan. Ia merekrut dua gadis di dekat rumah untuk membantu. Ia bangkit dan bisa menghidupi dua anak yang masih kecil, diri sendiri, dan dua karyawan. Sampai suatu ketika, sesosok malaikat datang mengetuk pintu rumahnya.
    Malaikat itu datang tengah malam, persis empat tahun sepeninggal suami yang tewas dalam kecelakaan. Malaikat itu mengentuk pintu dengan lembut, sampai-sampai tak bakal ada yang dengar, kecuali orang yang benar-benar berhati suci atau yang dikehendaki malaikat itu untuk mendengar.

    Maria masih bermimpi ketika ketukan itu merayapi kepala. Seperti tetes air di kendi. Begitu lemah dan teratur. Bergema namun tak gempar. Jernih dan terang. Tetes demi tetes membangunkan Maria. Ia lihat jam dinding dan bangkit untuk membuka pintu. Malaikat itu, sebagaimana di kisah tidak masuk akal buku dongeng, tidak berwujud penuh cahaya; malaikat itu berwajah jelek dengan kulit hitam dan bau arang. Ia berbaju compang- camping dan wajahnya babak belur, bagai maling habis dihajar massa. Tangan kanannya membawa bertumpuk kain serupa selimut.
    "Ada apa, Pak?"
    "Ini, Bu. Tolong jahitkan," kata malaikat.
    Maria mempersilakan tamunya masuk. Tidak curiga, bahkan meski ia sepenuh sadar menyiapkan mesin jahit dan tali pengukur. Ia baru sadar beberapa detik kemudian, saat si malaikat mengaku mengalami kecelakaan di langit; sebuah pesawat dengan pilot kasar, menghantam sayapnya hingga koyak moyak. Kini, sayap-sayap itu berpindah ke tangan Maria.
    "Bapak jangan ngaco!" Itu kalimat yang pertama Maria ucapkan, tetapi demi Tuhan, kain yang ia kira selimut lebih lembut dari dugaan. Bahkan, tidak pernah ada kain selembut ini. Ia perhatikan sekali lagi, beberapa helai bulu rontok, melayang di udara, tak jemu-jemu, tak kunjung rebah pada bumi. Bulu-bulu sayap itu melayang santai bagai gelembung sabun.
    "Begini, Bu. Jangan kaget," kata malaikat itu penuh kesopanan, hingga tidak membuat Maria panik, kecuali menyebut-nyebut nama Tuhan; apa mau malaikat ini? Apa ia hendak mati? Oh, tidak. Jangan dulu. Maria terus berpikir dan kepalanya pening.
     Malaikat itu pun melanjutkan, "Saya memang malaikat dan benar-benar minta tolong dijahitkan sayap itu."
    Maria tak tahu ada berapa banyak penjahit di kota ini, tetapi kenapa si malaikat yang jatuh ke bumi berkat terhantam pesawat itu, meminta tolong padanya? Ada banyak penjahit di luar sana yang lebih beriman darinya, yang pantas bertemu dan membantu malaikat ini, tetapi kenapa? Malaikat itu tidak perlu mendesak. Maria mulai bekerja dengan penuh rasa gugup. Ia memulai jahitan dari salah satu sudut, dan si malaikat memuji betapa tekun usaha yang Maria jalankan. Sudah maju sebegini rupa, padahal belum tiga tahun memulai. Maria heran dan bertanya, tentu sambil menelan ludah grogi, "Dari mana Bapak tahu?"
    "Tolong jangan panggil saya Bapak. Panggil saja Bung. Lebih elegan dan misterius," kata malaikat. Maria menuruti dan menyebut kata 'Bung' di akhir pertanyaan yang sama. Si malaikat lalu menjawab, ia tahu karena suami Maria meninggal di tangannya. "Ya, sayalah yang mencabut nyawa suamimu," kata malaikat itu dengan jujur.
    Maria untuk sesaat terkejut dan, sambil terus menjahit benda aneh di tangannya, tidak berkata apa-apa. Malaikat itu tadinya sungkan meminta tolong pada Maria untuk dijahitkan sayapnya yang koyak moyak, sebab dahulu suami perempuan ini mati karenanya. Tapi kali ini, si malaikat heran, bagaimana mungkin Maria tidak marah dan mengusirnya?
    Tentu saja, Maria tidak perlu segusar itu. Ia memang tidak rajin beribadah, tapi ia tahu, malaikat hanya bertugas. Takdirlah yang berkata bahwa suaminya harus mati empat tahun lalu. Jadi, perempuan itu tidak menyalahkan siapa-siapa dan tidak berkata apa pun sampai kedua sayap malaikat itu selesai. Sayap-sayap itu siap dipasang ke punggung si pemilik, ketika Maria akhirnya bersuara, "Simpan rasa sungkanmu, Bung. Aku sudah terima takdir itu seperti engkau menerima nasibmu sebagai pengemban tugas."
    Malaikat itu tersenyum, dan bingung harus berkata apa. [ ]
    
Gempol, 31 Maret 2016

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri