Skip to main content

[Cerpen]: "Dakir" karya Ken Hanggara

(Dimuat di basabasi.co pada Jumat, 28 Oktober 2016)

    Pabrik sarung itu berdiri sejak zaman Belanda. Di belakang pabrik berdiri rumah- rumah penduduk dengan petak kebun yang ditanami berbagai kebutuhan pokok seperti singkong, ketela, cabai, kemangi, dan berbagai sayur-mayur. Kebanyakan warga di sini mencari nafkah dengan cara itu: bercocok tanam. Tidak ada sawah, karena tanah milik warga sejak tahun 1990-an dibeli sekelompok pendatang dari Jakarta. Kini, di kawasan tersebut, berjarak sekira dua ratus meter dari pabrik ke arah selatan, terdapat kompleks perumahan elite tempat Chris dan orangtuanya tinggal.
    Chris membaca sejarah desa ini dari seorang berkepala plontos yang kemudian jadi sahabat karibnya. Dakir, begitulah orang menyebut nama pemuda itu. Kependekan dari Mudakir. Ia tidak punya bapak dan ibu karena mereka minggat dan tidak pernah balik. Dulu kakek dan neneknya PKI.
    "Kakekku mati disembelih di depan bapakku," begitu kata Dakir pada Chris, ketika dua sahabat itu pertama kali saling berjabat tangan.
    Chris tidak mempersoalkan apakah Dakir anak komunis, atau apa si botak itu anak alien atau bahkan anak setan paling busuk di neraka jahanam. Dakir terlalu baik untuk dibenci. Lagi pula, ia sahabat yang setia dan mau berkorban demi menjaga persahabatan. Tak peduli pengorbanan paling absurd sekalipun.

    Menurut keterangan Dakir, pabrik sarung itu berdiri bukan tanpa masalah. Ada tak kurang dari sepuluh warga tewas di tangan kumpeni, karena menolak berdirinya pabrik tersebut, entah apa alasannya. Ia dengar semua dari sang ibu, yang mendengar ceritanya dari sang nenek. Pabrik itu tutup satu dekade sebelum para pendatang dari Jakarta mulai mendirikan rumah dan sekarang tidak ada yang pernah masuk ke bangunan tuanya, kecuali komplotan pencoleng dan sesekali orang gila. Bangunan bekas pabrik itu dihuni banyak sekali hantu.
    "Tidak ada yang terlalu penting soal pabrik itu. Dan jika kamu ingin tahu hal-hal yang jauh lebih penting, mari kita pergi ke belakang pabrik," kata Dakir dengan ekspresi khasnya yang setengah lugu namun dingin.
    Dakir tinggal di perumahan kumuh di belakang pabrik sarung. Sehari-hari ia bukan cuma menanam singkong dan sayur mayur atau apa pun di kebun untuk dijual di pasar dan uangnya dibelikan kebutuhan pokok lain (sebenarnya hasil bercocok tanam lebih sering dimakan sendiri karena menjual semua itu di pasar kadang menghabiskan banyak waktu), tetapi juga berburu burung dan menjerat biawak untuk dijual ke warung Mas Wibowo, penjual sate nyambik yang terkenal enak.
    Ketika Chris pertama pindah kemari, mereka masih bayi, jadi belum kenal. Mereka berkenalan berapa hari setelah orangtua Dakir minggat, tepatnya ketika keduanya umur delapan tahun (sama-sama delapan menurut Dakir, tapi Chris tidak yakin ia sepantaran, karena bahkan jika duduk berjejeran dan dipotret, wajah keduanya terlihat seperti kakak dan adik kelas yang selisih empat tahun).
    Waktu itu Dakir tidak tahu bapak ibunya minggat. Suatu malam ia tahu bapaknya ingin membeli rumah bagus seperti yang ada di kompleks elite. Ibunya juga ingin, tapi mereka tidak punya uang. Mereka lalu berbisik-bisik sepanjang sisa malam. Dakir tidak tahan. Ia mengantuk karena masih kecil dan ia juga tidak biasa begadang. Ketika hari sudah subuh, ia bangun dan di rumah tidak ada siapa-siapa.
    Dakir menangis dan mencari ke sana kemari kedua orangtuanya. Ia menyeberangi sisi belakang pabrik, batas antara rumah-rumah kumuh dan kompleks hunian orang kaya itu. Di depan pabrik, sebelum mencapai perumahan elite, ada danau tempat orang biasa mancing. Di sisi danau, ada tembok setinggi dua meter yang tidak pernah disentuh siapa pun, karena tidak ada yang menarik. Orang-orang di kawasan kumuh lugu minta ampun. Sekalipun tidak dipagari, mereka tidak bakal masuk wilayah yang bukan miliknya.
    Dakir kecil sampai di tepi danau itu dan terus berjalan mengitari sisi danau hingga mencapai tembok. Tidak jauh, karena danau itu tidak terlalu besar. Mungkin tepatnya itu bukan disebut danau, melainkan genangan air seluas beberapa puluh meter saja.
    Di sana ia berhenti dan berpikir, "Rumah orang-orang kaya menelan bapak ibuku."
    Anak itu memanjat tembok tersebut dengan menumpuk beberapa kursi bekas yang dibuang orang sembarangan di tepi danau. Di sanalah Chris bertemu Dakir. Waktu itu, anak orang kaya ini sedang mengejar layangan putus.
    Chris mulanya takut waktu tahu kakek Dakir mati disembelih orang. Tentu saja ia tidak tahu kenapa kakek teman barunya ini mati dengan cara seburuk itu. Ia juga tidak tahu kenapa si kepala plontos ini tahu-tahu bicara soal kakeknya yang disembelih pada zaman dulu kala gara-gara disebut PKI, padahal mereka baru kenalan. Ketika akhirnya ia tahu kenapa Dakir linglung dan gusar, mereka sama-sama mencari bapak ibu Dakir di kawasan elite dan pulang tanpa hasil. Orangtua Dakir resmi minggat hari itu. Sampai kini Chris tidak lupa bagaimana ekspresi Dakir ketika pulang. Ia seperti seseorang yang membawa dendam di setiap langkahnya.
    Chris tidak bertanya pada orangtuanya soal keanehan pada diri sahabat barunya, yang mendadak berhenti menangis dan menatap tajam ke depan seakan dendam pada kedua orangtuanya tidak pernah sembuh, karena takut dilarang bermain di luar, padahal Dakir pintar memanjat pohon. Dengan Dakir, Chris main layang-layang dengan tenang. Ia belajar bagaimana senarnya tidak gampang putus. Dakir, meski kelihatan agak bodoh dan dekil, memiliki ragam ilmu antik yang tidak Chris miliki. Sejak itu mereka berdua menjalin persahabatan.
    Karena tidak punya orangtua, Dakir tidak sekolah. Sekadar bisa baca tulis, baginya cukup. Dan satu lagi: berhitung. Dakir bisa melakukan penghitungan dasar untuk makan, itu patut disyukuri.
    Katanya, ketika ia dewasa, "Dunia ini tidak ada gunanya. Nanti juga semua mati dan jadi hantu. Mungkin disembelih seperti kakekku. Mungkin ditabrak truk seperti Lik Karman. Kamu tidak tahu pamanku yang itu. Rajin banget ibadah, tapi matinya gepeng seperti tempe."
    Latar belakang keduanya yang beda tidak membuat Chris putus asa, meski kadang tidak nyambung juga obrolannya dengan Dakir. Misalnya, ia bicara sepakbola, tetapi temannya bicara soal jengglot. Chris bicara soal permainan baru yang disebut Tamiya, temannya itu malah bicara soal jelangkung.
    Suatu kali, bersama beberapa bocah lain dari kompleks elite dan kumuh, si kepala plontos membawa benda semacam boneka dari kayu. "Ini jelangkung. Kamu bisa minta buku komik," kata Dakir.
    Waktu itu Chris ingin komik, tetapi oleh orangtua dilarang, karena nilainya anjlok gara-gara sering main ke luar bersama Dakir. Ia tidak tahu cara kerja boneka jelangkung. Seonggok boneka rombeng bisa memberinya buku komik? Boneka itu saja tidak laku dijual. Boneka itu tidak bisa bicara dan terbuat dari kayu busuk, tapi Dakir melenggang santai diikuti para bocah. Chris tidak ingin pulang dan memutuskan ikut.
    Mereka jauh-jauh hari telah membuat lubang rahasia di tembok pembatas tadi, jadi tidak perlu memanjat rintangan setinggi dua meter jika ingin bertemu. Begitu tiba di tepi danau, Dakir bilang, barangsiapa tidak berani melihat hantu, lebih baik tidak usah ikut. Ia bakal membawa mereka ke pabrik sarung.
    Chris ingat betul kejadian ini. Dari tujuh bocah, cuma dia dan seorang lagi yang tak pulang. Anak-anak lain kabur karena takut. Bocah itu bernama Jeni, anak seorang polisi yang tinggal di kompleks elite, tetangga jarak empat rumah dengan Chris. Jeni pemain sepakbola tersohor di SD Kusuma, yang juga merupakan sekolah Chris ketika itu. Kalau berkelahi selalu menang. Badannya besar seperti siswa SMA. Mereka berbaris menuju pabrik sarung menjelang maghrib. Dalam hati Chris berharap, sebelum mencapai sana, ia sudah lebih dulu dipanggil Mama. Tapi, Mama tak pernah tahu ia suka bermain di sini, di seberang tembok perumahan. Mama pasti tak menyangka ia pergi ke pabrik itu.
    Yang Chris ingat tidak terlalu mengerikan. Hanya saja, ia masih bocah. Delapan tahun. Wajar kalau kantung kemih tidak bekerja sesuai aturan sehingga setiba di rumah, ia berbau pesing dan ditertawakan beberapa bocah yang tidak tahu kejadian di pabrik sarung. Boneka kayu itu bergerak-gerak begitu ganas dan kuat, dalam cengkeraman Jeni. Anak polisi itu ketakutan, Chris ketakutan, tetapi tidak bagi Dakir.
    Si plontos tenang, menyodorkan kertas serta spidol untuk diikatkan pada boneka. Boneka itu menulis.
    Dakir tersenyum.
    Chris dan Jeni terkencing-kencing.
    Beberapa bulan ke depan, mereka tidak mendapatkan uang untuk beli komik, tetapi Chris tahu, petang itu, di teras pabrik tersebut, bukan hanya ada mereka bertiga di sana.
    "Sesuatu yang lain, yang mungkin menelan bapak ibuku, ada di sana," kata Dakir seakan-akan ia lebih tua dua belas tahun dari usia aslinya. [ ]
    Gempol, 11 Oktober 2016

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri