(Dimuat di Kompas, Minggu, 4 September 2016)
"Dulu, di depan kita ada sungai,"
kataku. "Sungai besar dan nyata." Telunjukku menuding ke timur, titik
matahari berangkat, lalu jariku melayang dan mendekat pada kami, hingga
melampaui wajah Milana dan bersambung ke arah benamnya hari.
Milana menoleh sejenak. Ia tutup mulut dengan dua
tangan.
"Sungguh," kataku lagi.
Ia menggeleng-geleng dan tersenyum. "Bukan.
Bukan itu."
Milana berdiri dan menarikku dari bangku taman.
Kami menyisir garis panjang di depan bangku, terus ke barat hingga beberapa
puluh meter. Garis itu—aku menyebutnya batas sungai purba yang hilang—memang
ada dari dulu dan gadis ini tahu legendanya. Mestinya aku tak menjelaskan,
karena toh telah tercatat dalam buku-buku dongeng di kota kami.
Namun begitu, Milana tidak berkata-kata, seperti
misalnya menjelaskan bahwa ia lahir di kota yang sama, atau bahwa ia tahu
cerita itu dari mulut-mulut para tetua meski belum membuktikan kebenaran
keberadaan sungai itu di masa purba, atau malah bilang, "Kamu kira aku
bodoh?" Ia justru tersenyum sembari kami jalan, seakan menganggap lelaki
ini, yang ada di dekatnya ini, anak yang lucu.
Milana kukenal sejak sebelas tahun lebih delapan
bulan silam. Waktu itu kami ke taman ini, tempat yang dulu pernah dialiri
sungai purba, beribu-ribu tahun silam, suatu masa yang dapat kulihat jelas,
sejelas ikan-ikan di dalam akuarium baru. Bagaimana aku melakukannya, aku tidak
tahu. Penglihatan itu suka muncul tiba-tiba dan aku semakin ingin membuktikan
paling tidak kepada satu orang saja, bahwa sungai purba itu bukan sekadar legenda.
Pada hari itu, aku yang belum menunjukkan tanda
keanehanku, merengek pada Oma seakan keinginanku bentuk wajar dari rasa
penasaran bocah usia tujuh tahun. Aku mendesak dan mengancam bunuh diri jika
tidak dituruti. Setiap malam aku membuat keributan di kamar. Hari keenam, Oma
terpaksa mengajakku pergi karena kalau tidak tidur bermalam, nanti ia sendiri
mati dan itu bukan gagasan yang bagus; omaku masih ingin hidup beberapa tahun
lagi, katanya.
Sebelum kami berangkat, Oma berpesan, "Jangan
bikin malu, Anak sinting!" Aku tidak menjawab, juga tidak membantah.
Hampir selalu Oma kerepotan oleh ulahku yang suka menendang atau memukul atau
meludahi orang-orang asing di jalan, karena kukira dulu ibuku mati karena
kejahatan mereka. Aku tak pernah tahu ibuku. Mungkin karena itulah perhatianku
lalu tertuju pada taman dan hutan dan sungai purba yang hilang di kota kami.
Kali itu aku tenang, karena menurut penglihatanku,
sesuatu yang serupa mimpi tapi nyata, sesuatu yang serupa dongeng tapi fakta,
di sungai purba yang hilang itu hidup arwah orang-orang mati dan salah satunya
ibuku. Mereka mendiami pohon-pohon jati di hutan. Untuk soal yang satu ini, aku
tidak bisa bicara ke orang asing, kecuali pada Oma dan para tetangga yang tidak
mengacuhkanku, atau pada teman-teman sepermainan di rumah, yang lebih sering
tidak mendengar ucapanku. Di penglihatan anehku, sungai itu tampak jernih dan
nyata.
Sesampai di taman ini, aku tidak bermain seperti
anak-anak lain, tetapi duduk dan meraba-raba garis yang dulunya kuyakini adalah
tepi sungai. Dan aku sangat yakin akan pendapat ini, karena di seberang sana,
beberapa meter jauhnya, ada garis yang juga sama, seakan tercetak di tanah yang
ditaburi daun-daun mati.
Kubilang, sungai itu benar ada dan bukan legenda.
Aku belum bisa membuktikan, tapi suatu hari nanti, suatu hari nanti...
Kata-kataku kuulang sementara penglihatan itu lagi-lagi datang. Jernihnya
air, bau basah, ikan-ikan berlompatan...
Oma menepis udara dan tertawa begitu keras sampai
beberapa pengunjung taman menoleh. Mereka tidak memedulikanku dan kembali ke
urusan masing-masing, kecuali seorang gadis yang nantinya aku jatuh cinta
padanya. Ia berdiri tidak begitu jauh dariku. Ia mendekat.
Milana tidak begitu jauh tempat tinggalnya dari
rumahku; aku tidak kenal karena hari-hariku kulalui bersama Oma yang jahat dan
pelit. Setelah ia memperkenalkan diri dan duduk di sisiku dan bertanya apa
benar sungai itu nyata, penglihatanku mendadak sirna dan aku kembali ke masa
kini. Kubilang: "Kamu dengar kata-kataku? Kamu nguping?"
Sejak itu, aku sering bercerita padanya tentang
sungai purba yang dulu pernah ada lalu hilang di taman kota ini. Hilang oleh
suatu sebab yang masih misterius. Sayangnya, tak banyak orang percaya sungai
itu nyata, bukan sekadar legenda. Atau jangan-jangan di dunia ini, di kota ini
persisnya, cuma aku satu-satunya yang percaya?
Begitulah aku cerita panjang lebar mengenai
dugaan-dugaanku bahwa sungai itu hilang karena tandas diminum para penjelajah
yang ingin mencari jamu keabadian dari daun langka di hutan sebelah barat
taman. Atau, bisa jadi sungai itu hilang oleh karena Tuhan mengeringkan tempat
ini pada zaman dulu kala agar tidak ada lagi yang percaya takhayul keabadian.
Takhayul, seperti kata Oma, bujuk rayu setan. Dan
setan ingin kita masuk neraka. Dulu setan berhasil menghasut moyang kita, Adam,
sehingga kita dibuang ke bumi. Dan kini, setan belum puas kalau belum
memastikan kita semua masuk neraka, kataku.
Milana terus mengangguk-angguk. Lalu aku membahas
soal langit dan bumi, juga malaikat dan setan sampai berlarut-larut dan sampai
lupa bahwa aku pergi bersama Oma dan Milana pergi bersama ibunya—yang mungkin
mencari-cari anaknya sebab tidak ada bersama anak-anak lain; kalau Oma, kukira
ia mulai pikun dan mungkin saja pergi ke toko parfum di seberang taman, lantas
duduk di sana selama beberapa jam sampai ingat bahwa hari sudah sore dan kami
harus pulang. Tapi, hari belum sore, bahkan belum juga siang, sehingga aku
terus bicara di depan Milana.
Setelah puas bicara soal alam gaib, aku kembali ke
bahasan soal sungai purba yang hilang itu. Aku mulai membahas arwah-arwah di
sekitar hutan, yang salah satunya tak lain tak bukan adalah ibuku yang mati
dibunuh orang-orang asing. Kamu orang asing, kataku, tapi kamu baik, jadi
kuyakin bukan kamu yang membunuh ibuku. Lagi pula Ibu mati setelah aku
dilahirkan dan pada malam itu pastilah Milana juga masih bayi merah dan baru
keluar dari perut ibunya.
Milana antusias dan dia gadis yang jujur. Aku tahu
dia tidak seperti orang lain, yang nyaris selalu tertawa keras-keras seperti
Oma, kalau bukan berdiri dan menyuruh orang lain membawaku ke rumah sakit jiwa.
Ia juga tidak seperti teman-temanku di rumah, yang kebanyakan suka pura-pura
mendengarkan, padahal di kepala mereka ada bayang-bayang es krim atau donat
yang dijanjikan ayahnya atau bahkan arwah hantu tua di dalam tubuh kecilku.
Entahlah.
Kukira, satu-satunya yang memahami ceritaku hanya
Milana.
Milana menahanku setelah kami jalan beberapa lama.
Di titik ini, pepohonan jati tumbuh lebih lebat dan semak belukar tampak tak
beratur. Tak ada yang merawat tempat ini sedemikian rapi sebagaimana taman
tempat kami bertemu selama sebelas tahun lebih, juga tak ada seorang pun suka
berlama-lama di sini, kecuali orang gila.
Tidak jauh dari tempat kami berdiri ada sebuah
bukit.
"Itu tempatnya, 'kan?"
Aku mengangguk. Mungkin saja itu, tapi, yah,
kurasa itu.
Kami tak pernah jalan sejauh ini. Mungkin sejam
lebih atau jangan-jangan dua jam? Aku tak membawa arloji dan aku selalu gugup
di dekat gadis ini. Jatuh cinta membuat kepalamu kadang sedikit kacau dan
otakmu berkelana entah ke mana. Caraku mengatasi ini dengan terus menerus
bercerita soal sungai purba dan arwah Ibu yang mungkin saja kutemui tidak jauh
di sekitar sini.
Milana, meski sudah beribu kali mendengar, tak
jenuh. Mungkin, ia cinta. Dan caranya mengalihkan kekacauan di kepala adalah
dengan mengangguk dan tersenyum seakan ceritaku hiburan yang selalu
mengasyikkan baginya.
Milana menatap bawah dan terkagum-kagum. Kami
melihat betapa garis ini masih bertahan sekian jauhnya. "Kalau sekadar
legenda, rasanya garis ini terlalu panjang untuk sebuah kebetulan. Sungai itu
memang nyata, ya." Ia berkata pelan.
Seperti ceritaku dulu, tidak jauh dari bukit di
depan kami, ada tikungan. Garis itu melengkung mengikuti kaki bukit. Mula-mula
serong ke barat laut, lalu persis garis itu mengarah utara.
Kubilang, aku belum pernah kemari, tapi aku tahu
belokan-belokan selanjutnya, misalnya dari tempat kami berdiri saat ini, tiga
mil menuju utara, ada lagi belokan ke barat. Tidak lama, kalau kami tiba di
sana—sayangnya itu tidak mungkin terjadi karena kami tak punya kendaraan dan
hutan ini sangat luas—sungai purba akan serong ke barat daya. Sesudahnya,
sungai itu tetap demikian, tidak berbelok lagi. Di bagian itu, andai seseorang
menyelidiki kebenaran sungai sampai jauh, ia akan menembus negeri lain dan
konon di sanalah tempat jamu keabadian itu berada.
"Kita sudah di hutan," kata Milana.
"Jadi, bagaimana sungai itu hilang?"
Aku tak menjawab pertanyaannya. Kurasa tidak jauh
dari bukit ada kampung kecil. Dan benar, ada tujuh rumah terbuat dari bambu dan
kayu. Rumah-rumah itu telah lama ditinggalkan dan tidak mungkin ditinggali lagi
karena rusak dan diselimuti lumut serta membatu oleh waktu.
"Ini rumah penjelajah pada zaman itu. Mereka
mati kehausan," kataku. "Dan, ya, pohon-pohon yang menyerap
sungai." Aku mengernyitkan dahi. Penglihatan muncul sekelebat. Orang-orang
mati. Pohon-pohon menggeliat seperti setan yang kabur dari neraka. Milana
ketakutan dan ia mengajakku pulang.
Tidak, kita tidak pulang sebelum mendapat jawaban
bagaimana sungai itu hilang, kataku. Kami lalu berjalan menembus hutan yang
gelap. Kami tidak akan menempuh jarak bermil-mil, karena tidak jauh dari sini,
arwah-arwah itu tinggal. Di sanalah, kataku padanya, jawaban yang benar-benar
meyakinkan ada, karena di tempat itu aku merasa melihat ibuku.
"Tentu saja," kata Milana. Ia genggam
tanganku lembut. "Ibuku tidak suka bohong. Kukira semua ibu ingin yang
terbaik bagi anaknya, begitupun ibumu." [ ]
Gempol, 17 Desember 2015 - 2 Mei 2016
KEN HANGGARA lahir 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan
esai. Karyanya tersebar di media lokal dan nasional.
Comments
Post a Comment