(Dimuat di Radar Mojokerto, Minggu, 30 Oktober 2016)
Warung Cak Sul penuh. Seperti biasa, Mugeni
duduk-duduk di seberang. Di dekat situ ada selokan dan dia kencing seperti
seekor anjing tak berdosa. Pemuda itu jongkok membelakangi warung, dan begitu
dirasa air kencing siap disembur, ia bergidik seakan turun salju di kepalanya.
Pemandangan menjijikkan.
Beberapa yang tidak tahu Mugeni, menyingkir dan
mengira dia gila. Tapi, Mugeni waras dan memang tidak kenal malu. Tidak tahu
siapa yang menggunting urat malunya. Setahu warga, dari dulu memang dia sudah
begitu.
"Kencing tempatnya di WC, bukan
selokan," tegur Markoni, orang yang biasa beli nasi goreng di Cak Sul.
Bersama pacarnya yang masih kelas dua SMA, Markoni
suka beli nasi goreng di sini. Sepiring berdua alangkah romantis. Tetapi
kehadiran Mugeni sering kali merusak suasana.
"Makan di sini nggak pernah
enak!" sela Nensi, pacar Markoni. Keduanya duduk nempel di pojok
warung. Melihat Mugeni kencing, nafsu makan cewek itu rontok. Yang tersisa
tinggal nafsu di tempat remang.
Tentu saja Mugeni berlagak tuli, walau kupingnya
sehat. Ia tahu ada obrolan pahit dari para pembeli di warung berkapasitas lima
belas kursi itu. Jadi, di kepala Mugeni kini bukan cuma ada ocehan Markoni dan
pacar, tetapi juga ibu paruh baya pemuja kitab suci yang menganggap kencing
tanpa bersuci itu adalah perbuatan dosa, dan lain sebagainya. Macam-macam
omongan masuk dan menumpuk di kepala Mugeni dan ia tidak peduli.
Mugeni tahu, seperti halnya Markoni, bahwa
bagaimanapun sumpeknya hati, rasa nasi goreng Cak Sul adalah yang terbaik.
Sesendok atau dua sendok, membuatmu ganti haluan, seandainya kau niat bunuh
diri. Tidak ada yang ingin bunuh diri memang. Tidak sehebat itu. Mugeni
mestinya sudah lama menghabisi diri, karena ia jadi beban banyak orang.
Pengangguran kelas berat, masa depan tidak jelas, kisah romansa tragis. Perlu
didaftar?
Entah kenapa Cak Sul membiarkan anak muda tidak
berguna itu keliaran di seputar warungnya, yang terkadang menimbulkan teguran
atau pertengkaran antara dia dengan pembeli atau antara pembeli dengan Mugeni,
yang masih juga cuek. Dan entah kenapa si Mugeni tidak pernah tampak putus asa
akan hal itu.
Suatu kali, beberapa tahun lalu, ketika warung
sepi karena hujan cukup deras, Cak Sul memberi Mugeni sepiring nasi goreng.
Minumnya es teh manis. Si pengangguran duduk dan tanpa basa-basi basi melahap
nasi goreng seperti orang belum pernah makan tujuh belas tahun.
Anak ini kelaparan, begitulah yang Cak Sul pikir.
Orangtuanya barangkali sudah kapok dan tidak sudi. Pensiunan polisi itu tidak
bisa membanggakan diri, bahwa inilah anaknya yang hebat, inilah bocah semata
wayang penerus masa jayanya.
Mugeni merusak harapan bapaknya dengan bersikap
tidak acuh terhadap masa depan. Tidak ada yang tahu pertengkaran model apa yang
terjadi antara dia dengan sang bapak.
Sejak itu, nasi goreng Cak Sul mengubah haluan
Mugeni dari sosok tanpa respons' menuju 'tukang bikin onar'. Haluannya berubah
setelah matahari tumbang. Energi terkuras habis berkat jalan-jalan tidak jelas,
tanpa bayaran, tanpa harapan, tanpa tujuan. Memang begitu kerja pengangguran:
'mengukur jalan' dan pergi ke mana pun hati berbisik.
Hati Mugeni berbisik, pasar adalah tempat yang bagus.
Kolam pemancingan juga tidak kalah bagus. Adakah tempat tidak bagus di mata
pengangguran? Di mana pun itu, selama energinya cukup, Mugeni tidak pernah
absen membuat kekacauan.
Bergumpal-gumpal energi didapat dari nasi goreng
dan berbagai makanan yang ia telan seharian. Ia dapat melanjutkan hidup tanpa
pusing. Enak juga jadi pengangguran. Cak Sul dan siapa pun yang berbaik hati
memberi makan padanya, mungkin masih lama matinya dan tidak berhenti memberinya
makan.
Cak Sul contoh simpel. Setiap sore warungnya buka
dan Mugeni dapat sepiring, kalau laku banyak. Atau dua piring, kalau tidak
terlalu laku. Jadi, betapapun bapaknya tidak sudi memberi uang, masih ada
kehidupan di tempat-tempat yang seakan surga perut baginya.
Setelah nasi goreng mengisi perut, Mugeni mulai
bertenaga dan bersiul keras di sekitaran warung, berlagak ngamen, tapi
jika ada yang memberi uang, tegas ia menolak. "Saya bukan pengamen!"
Sok jaim, itulah yang Markoni bilang. Ia sangat
muak pada Mugeni yang sesekali suka menatap Nensi lama-lama seperti drakula
mengincar darah.
Cak Sul mengerti masalah Markoni dan sang pacar,
maka beliau mengusulkan, apa dibungkus saja nasinya? Nensi, yang muak melihat
tingkah Mugeni, mengentakkan kaki ke lantai dan ngeloyor pergi.
Markoni memandang Cak Sul, lalu menatap Mugeni
yang masih diam membisu di selokan.
Pengangguran itu menendang-nendang kantung plastik
di pinggir jalan dan entah memikirkan apa. Mungkin dia mulai sinting. Lama
tidak kerja, tidak dapat uang, dan jadi tanggungan orang lain. Kalau belum juga
gila, berarti pengikut setan. Itu yang Markoni pikirkan. Ia menyusul Nensi
tanpa sudi menegur Mugeni.
Mugeni tahu sikap pengunjung warung Cak Sul
rata-rata begitu. Tetapi kadang ada yang baik, yang melambai ke arahnya dan
menawarkan sepiring nasi. Sayangnya, yang sebaik itu sedikit dan belum tentu
ada walau ditunggu berbulan-bulan. Meski begitu, Cak Sul tetap memberinya nasi
goreng gratis setiap malam.
Anak itu suka makan, tetapi tidak pernah bekerja.
Anak itu juga suka nonton video porno di ponsel bocah-bocah SMP, yang sering
menjadi teman bergaulnya, walau tidak sesuai umur. Mugeni dua puluh delapan
tahun dan bukan ABG. Tapi kelakuan bejatnya menularkan penyakit mental pada
bocah-bocah SMP tadi. Bukannya Cak Sul atau siapa pun tidak pernah menegur atau
memberi nasihat agar tingkah Mugeni beres, tetapi ia sendiri bebal.
"Kalau kerja 'kan, kamu bisa beli apa yang
kamu mau," kata Cak Sul pada suatu hari.
"Ah, nggak pengen apa-apa. Bisa hidup
bebas saja bahagia," jawab Mugeni.
"Dan kalau sudah kerja, kamu bisa nikah. Nggak
pakai nonton video-video begitu."
"Tahu apa sampean soal itu, Cak?"
Orang-orang lelah memberi masukan. Masuk kuping
kanan, keluar lagi dari kuping kiri bagai penyakit yang membikin otaknya leleh
dan lumer.
Akhirnya Cak Sul paham kenapa pensiunan polisi itu
tidak betah dan memutuskan Mugeni bukan lagi anaknya. Kamu bukan anakku, dan
aku tidak membesarkan sampah busuk sepertimu. Kata-kata itu dikenang dari
bibir Mugeni sendiri yang fasih meniru kalimat sang bapak. Alasannya tak lain
karena anak ini memang tidak mau diatur.
Tapi, betapapun orang menganggapnya gila, Mugeni
tidak pernah kelihatan sedih, atau ia mungkin menutupinya? Tidak ada yang tahu
isi hati orang, meski tentu saja Cak Sul paham bahwa pengangguran kelas berat
tidak dapat tempat di hati warga, bahkan gadis genit macam Nensi.
Kalau saja seseorang bisa melihat wujud hati
seorang Mugeni, mungkin bentuknya serupa pisang goreng gosong dan basi dan
sebagian sudah diinvasi belatung. Pisang itu sudah pasti dibuang, karena tidak
ada yang suka kecuali orang gila.
Mugeni sering melamun dan memikirkan betapa
repotnya orang-orang mencoba memberi dia masukan. Hidup mereka sendiri saja
sudah susah, lalu kenapa dibikin lebih susah dengan memikirkan orang
sepertinya?
Ia bisa cari makan, bukan cuma di tempat Cak Sul.
Surga perut ada di mana-mana. Di pasar, di bawah jam tujuh pagi, ada penjual
pecel dari Blitar. Pecel itu enak dan yang jual sudah sangat tua. Kadang,
sembari melayani pembeli, si penjual pecel yang tua itu ketiduran. Mugeni bantu-bantu
melipat bertumpuk uang kertas lusuh di laci si penjual ini. Dan sebagai upah,
ia dapat makan gratis.
"Jadi, aku tidak nganggur!" kata
Mugeni pada Markoni, yang suatu kali ke pos kamling tempat pengangguran itu
bermarkas. Ia bilang sebaiknya Mugeni mencari kerja dan tidak bikin malu diri
sendiri.
"Tak ada pekerjaan melipat uang-uang kertas
lusuh," itulah kata Markoni kemudian, "apalagi sambil diiringi tindak
pencurian dengan upah sepiring pecel. Itu bukan kerja. Itu kelakuan bejat si
pengangguran tanpa masa depan. Kelak suatu hari, kamu berbakat jadi
penipu!"
Bagaimanapun, Mugeni tidak pernah mengaku.
"Banyak yang tahu kamu nyolong duit
penjual pecel yang sudah tua itu, Bung. Tapi tidak ada yang tega menggebukimu
sampai mati. Orang-orang mengembalikan uang penjual pecel itu tanpa pernah kamu
tahu!"
Obrolan dengan Markoni tidak berpengaruh ke
kelakuan Mugeni yang masih jadi beban orang sekampung.
Selesai jalan-jalan tidak jelas arah—atau sebut
saja 'mengukur jalan'—Mugeni ke restoran Koh Ery, dan minta daging sisa
kemarin. Basi tidak basi, yang penting kenyang. Demikianlah, tiga orang
bersikap baik memberinya makan dan Mugeni tidak berpikir ketiganya mati dalam
waktu dekat. Ia akan terus minta makan tiap hari dan menelannya dengan perasaan
hampa. Kehampaan yang makin besar dari waktu ke waktu. Tentu saja, tanpa
Markoni tegur pun, sebenarnya ia risih pipis sembarangan.
Kepada Cak Sul, di malam-malam sesudah insiden
Nensi ngeloyor dari warung itu, Mugeni berkata, "Memangnya siapa
mau begini, Cak? Aku sendiri sebenarnya sudah bosan." [ ]
Gempol, 11 Oktober 2016