Skip to main content

[Cerpen]: "Kembali untuk Maria" karya Ken Hanggara

Ilustrasi cerpen "Kembali untuk Maria" karya Ken Hanggara
(Dimuat di Harian Joglosemar edisi Minggu, 11 September 2016)
 
    Aku tidak ingat kapan terakhir kali pergi ke rumah pacarku, Maria, tetapi kukira ia juga sudah tidak ingat kapan terakhir kali aku mendatanginya. Kejadian itu sudah usang, dan sekarang aku sudah memiliki anak empat. Kalau saja Maria tidak menyuruhku pergi, maka tentu saja empat anak itu tidak terlalu menjengkelkanku, sebab Maria gadis cantik yang menyenangkan. Di mana-mana, watak orangtua pasti menurun pada buah hatinya. Dulu aku berharap dan yakin itulah yang terjadi; anak-anak rupawan berperangai seperti Maria. Tapi, kami harus berpisah.
    Takdir menikahkanku dengan si buruk rupa yang sama sekali pantas jadi bibiku. Ia wanita yang kubenci. Tabiat dan tampilan wanita itu sama buruknya, dan aku tidak bisa melarikan diri. Begitu pernikahan terjadi, istri yang kubenci hamil dan beranak empat kali, dan keadaan rumah membuatku ingin pergi sejauh mungkin dari sini.
    Waktu benar-benar tak dapat dihentikan.
    Aku ingat kejadian usang itu berlangsung bagaimana; aku hanya tidak ingat kapan itu terjadi. Mungkin dua puluh tahun lalu, mungkin tiga puluh, atau boleh jadi seratus tahun yang lalu.

    Waktu senang bermain-main pada lelaki sepertiku. Saat itu Maria tak mau bertemu denganku, karena suatu penyakit yang memalukan.
    "Aku tidak malu, meski penyakitmu mungkin membuatmu malu pada orang-orang. Lagi pula, kamu tidak cerita kepadaku, apa penyakit yang dimaksud?" kataku panjang lebar.
    Maria selalu mengelak saat kutanyakan perihal penyakitnya, dan ia meredam rasa ingin tahuku dengan tingkahnya yang serupa bidadari dari langit. Aku memang selalu melihatnya begitu; Maria bidadari dari langit. Kecantikan fisik dan hatinya betul-betul sempurna untuk ukuran manusia lemah iman sepertiku.
    Berkat Maria, aku yang dahulu jauh dari Tuhan, menjadi dekat. Berkat Maria juga, moralku yang rusak perlahan-lahan pulih sebagaimana saat seseorang merasa dilahirkan kembali ke dunia ini.
    Maria, dengan penyakitnya, memutuskan kami harus berpisah, bukan karena masa laluku yang penuh dosa dan pernah dipenjara. Maria memutuskan berpisah, karena dia merasa memang sudah waktunya kami berpisah.
    "Aku butuh penjelasan," kataku. "Tak dapat kamu pergi dan menyuruhku tidak lagi menemuimu, tanpa kutahu alasan di balik ketetapanmu. Aku masih mencintaimu, dan sekiranya kamu curiga aku bermain-main dengan perempuan lain, silakan cari tahu, dan aku tidak akan tersinggung meski kamu menyewa detektif sekalipun!"
    Maria menolak ketika kusampaikan kecurigaanku tentang kecurigaannya kepadaku yang mungkin saja bermain api di belakangnya. Ia sama sekali tahu aku mencintainya, dan akulah lelaki paling jujur yang pernah ia kenal.
    "Ini semua hanya soal penyakitku," katanya dengan senyum tulus, "penyakit yang tidak mungkin bisa disembuhkan, dan aku tidak mau kita melangkah terlalu jauh, yang hanya akan membuat hati kita berdua semakin sakit suatu hari nanti."
    Karena tidak mau memberi penjelasan, kudatangi rumah Maria setiap hari, meski ayah ibunya kemudian menganggapku tak tahu diri, karena anak mereka sudah tak lagi mau menemuiku.
    Aku tetap datang setiap sore, sepulang kerja, dengan membawa roti bolu kesukaan Maria, yang kuyakin kemungkinan tidak ia makan, sebab empat hari terakhir sebelum kuputuskan berhenti menyambangi rumahnya, kulihat wadah roti bolu itu tergeletak di tempat sampah depan rumahnya, dengan barisan semut hitam yang tampak mengerikan. Roti bolu itu tentu tidak pernah dibuka. Semut-semut memakan roti bolu pemberianku, yang seharusnya pacarku makan.
    Aku sakit hati. Beberapa hari aku tidak datang, tetapi pada akhirnya perasaanku ini kalah, dan aku kembali datang. Kubawa lagi roti bolu berbungkus wangi seperti biasa; kusiapkan juga kata-kata halus agar hati keluarga Maria, beserta gadis itu juga tentunya, luluh. Aku cuma ingin penjelasan, dan jika yang kuminta tidak dikabulkan, aku tidak bisa berhenti menemuinya begitu saja.
    Sayangnya, di hari terakhir itu, rumah Maria betul-betul sudah kosong. Aku lihat garasi mobilnya terbuka dan tidak ada kendaraan di sana. Maria dan segala kenangan tentang kami pergi begitu saja tanpa penjelasan.
    Sejak itu aku merasa dadaku kosong. Hidup seperti tidak ada artinya, dan kumerasa tubuhku setara tubuh robot. Kuhancurkan dengan cara yang kuanggap paling toleransi; aku tidak menelan apa pun yang harusnya kumakan, tapi juga tak ada percobaan bunuh diri. Aku hidup seperti di tubuh orang lain yang paling kubenci, sehingga segala yang kulakukan tidak punya tujuan. Aku orang yang cukup baik setelah bertaubat, sehingga tidak pernah ada niat mengakhiri hidup seseorang, termasuk orang yang tubuhnya saat itu sedang kuhuni.
    Pekerjaanku tidak keruan, dan teman-teman menganggapku tidak waras. Bosku memberhentikanku dengan pikiran yang sama. Di mana-mana setiap obrolan tentangku selalu soal ketidakwarasan. Orangtua ingin menyembuhkanku. Ada sahabat dari ayahku, yang anaknya tidak laku kawin dan sudah berumur hampir lima puluh, dan pada saat itu kebetulan Ayah berutang sekian puluh juta. Tanpa banyak pikir, aku dibawa ke sana, dijodohkan, dan menikah, dan akhirnya kutemui pikiranku kembali bisa berpikir lancar; hanya saja, Maria sudah tidak ada di sisiku.
    Keberadaan istri yang kubenci semakin membulatkan tekad untuk menjaga cintaku pada Maria. Aku mencintai Maria setiap hari, bahkan ketika kutemui istriku yang buruk rupa itu di kamar kami, dan kata-kata rayuan terpancar dari mulutku. Semua itu adalah untuk Maria, dan tidak ada satu pun selain Maria. Istriku tak pernah tahu.
    Aku terus menjalani kehidupan pura-pura ini, karena selain menjaga perasaan Ayah dan Ibu, aku juga tidak ingin membuat anak-anakku menderita karena menjadi yatim piatu sejak kecil. Menjadi yatim piatu adalah mimpi buruk. Menjadi yatim piatu tidak enak; bahkan kehilangan pacar saja menyiksa, apalagi lebih dari itu. Maka, sekalipun anak-anak itu menjadi keparat suatu hari nanti, aku tetap ayah yang tidak meninggalkan mereka tanpa penjelasan. Di dunia ini tidak semestinya jumlah orang sinting bertambah empat dalam waktu bersamaan.
    Aku mungkin pernah gila, tetapi kini sudah waras dan mulai memikirkan pergi ke suatu tempat di mana Maria berdiam di sana. Suatu tempat itu, rumah. Suatu tempat di mana kami seharusnya hidup bersama hari ini sampai mati. Tempat semacam itu, tentu saja rumah Maria.
    Memang aku tidak ingat kapan terakhir kali pergi ke rumahnya, tetapi kukira aku harus ke sana untuk jawaban yang lama tertunda; jawaban yang mungkin kudapatkan setelah sekian lama Maria tidak menemuiku. Aku tidak peduli, meski Maria sudah tidak ingat kapan terakhir kali aku mendatanginya. Aku akan bercerita panjang lebar padanya tentang betapa aku menderita kegilaan karena ia memintaku pergi sebab suatu penyakit yang tidak kutahu apa. Seandainya Maria saat itu memang benar-benar malu, toh aku dapat membantu menanggung rasa malu, sehingga ia tak kesusahan membawa beban itu seorang diri.
    Mengambil waktu luang, kujalankan rencanaku tanpa sepengetahuan istri dan anak -anakku. Kubilang pada mereka, akhir pekan ini diadakan reuni antar teman-teman lama semasa sekolah di luar kota. Kukatakan dengan lagak sewajarnya sehingga mereka tidak berpikir aku mungkin bisa pergi selama-lamanya, karena menikahi pacarku yang dahulu menyebabkan kepala keluarga mereka menjadi gila. Kusampaikan pamitku seakan-akan aku akan pulang dan memeluk mereka satu-satu dan berkata, "Aku tak akan berkhianat, karena kalian semua belahan jiwaku, dan tanpa kalian aku mungkin sudah mati menjadi mayat tak berguna di kuburan!"
    Aku tak akan pulang seandainya memungkinkan untuk itu. Kubayangkan jawaban Maria yang ternyata tak lebih dari sesuatu yang sepele, sehingga kami pun dapat bersatu lagi dan menikah dan hidup selamanya tanpa harus kutemui istri dan empat anak yang kubenci sekali lagi.
    Di dalam mobil, sepanjang perjalanan, aku terus memikirkan kemungkinan ini. Aku menikahi Maria, kemudian kuputuskan tidak pulang ke rumah istriku. Biar dia dan keluargaku mencariku sampai bosan dan muntah-muntah atau semaput. Biar mereka menganggapku mati terperosok jurang dan hilang selamanya. Aku akan ganti nama dan tak akan ada yang mengenaliku setelah kulakukan operasi plastik pada wajahku. Tetapi, itu dapat kulakukan setelah kutemui Maria terlebih dulu. Semoga Maria setuju kepada semua yang kurencanakan.
    Aku tentu tidak terlalu lupa ke arah mana jalan menuju rumah Maria yang dahulu sering kusinggahi untuk membawakannya roti bolu. Ada pertigaan yang memiliki suatu pohon kersen. Tidak jauh dari sana terdapat lapangan basket. Berbelok ke arah selatan, kita dapat menjumpai sebarisan pagar penuh bunga, karena di sana hidup pasutri penjual bunga. Di sebelah rumah penjual bunga ini terdapat barisan pohon cemara. Cemara ini begitu banyak sampai beberapa puluh meter ke depan. Di ujung jalan ini, rumah Maria berada.
    Semua tidak berubah sampai kuhentikan mobilku di ujung jalan yang kumaksud. Aku turun dari mobil. Seseorang keluar, dan kutanya; apa Maria masih di sini? Orang itu tersenyum, dan dengan ramah mempersilakan masuk.
    "Anda siapa?" tanya perempuan muda itu.
    "Saya pacarnya."
    "Oh."
    Perempuan itu mengantarku ke kamar di belakang. Di sana berbaring wanita tua. Aku tahu itu Maria. Ia tidur dan aku tidak ingin mengganggu. Kubiarkan ia tidur seperti itu dan kuamati wajahnya, sehingga di sekeliling kami segalanya terasa buram.
    "Anda siapa?" tanya perempuan muda itu lagi.
    "Sebenarnya, saya bukan pacarnya. Kami hanya saling mencintai saja, dan saya tak dapat menghindar dari berpikir yang indah-indah tentang kami, seperti misalnya kawin dan segala macam. Tapi, itu dulu. Anda tak perlu khawatir."
    Setelah perempuan itu pergi, kupikirkan lagi rencanaku, dan sepertinya tidak ada yang berubah. Aku memang ingin pergi sejauh mungkin dari keluargaku, membawa dia, pacarku, yang dulu pergi tanpa pernah memberiku penjelasan. []
    4 September 2016

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri