Skip to main content

Posts

Showing posts with the label catatan

Pak Ipin dan Kebetulan yang Ajaib

Suatu hari beberapa tahun yang lalu, di salah satu lokasi shooting sinetron dan FTV yang biasa disebut Persari, saya kenal seorang bapak-bapak. Beliau humoris dan kocak, walaupun wajahnya persis orang Jepang yang galaknya minta ampun. Saya tidak tahu kapan pastinya dan bagaimana bertemu beliau, sampai suatu hari bersama seorang kawan yang wajahnya mengingatkan saya pada pemain sepak bola Jerman, Oliver Khan, saya main ke salah satu sudut Persari untuk ikut shooting dan mulai akrab dengan bapak-bapak itu. Beliau biasa saya panggil Pak Ipin dan sejak itu sering saya ajak bercanda. Tapi tentu saja, karena beliau mungkin sepantaran ayah saya, candaan-candaan saya pun ada batasnya. Saya menghormati beliau, meski saya lihat beberapa teman membuat candaan seolah Pak Ipin ini teman sebayanya.

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

Sehari Iseng Jadi Penonton Bayaran

Ini kejadian tahun 2010. Suatu pagi saya iseng mengikuti seorang teman, tetangga kost saya di Jakarta, untuk pergi ke Bekasi demi sebuah pekerjaan harian yang seru. Apa itu? "Penonton bayaran," jawabnya tanpa basa-basi. Ketika itu, jujur saja, saya baru tahu bahwa acara talkshow di TV kebanyakan--menurut teman saya--disetting sedemikian rupa dengan banyak penonton yang ternyata dibayar. Uniknya, teman saya ini seperti sudah menjadikannya pekerjaan sampingan. "Yang penting halal," bisiknya malu-malu, setelah saya tatap beberapa detik dengan ekspresi senyum campur heran. Dia menyuruh saya memakai pakaian kantor karena talkshow "langganan"-nya ini adalah acara serius yang membahas masalah sosial dan kemanusiaan, di salah satu televisi lokal. Saya iyakan saja. Kebetulan sedang tidak ada acara di kostan dan itu hari libur. Baiklah, saya ikut. Kami naik taksi dari Cilandak. Saya tidak terlalu memperhatikan jalan, karena

Bang Jo dan Ponsel Berisi Puisi-puisi Pertama

Ini cerita saat kehilangan puisi-puisi awal saya, yang disimpan di ponsel karena saat itu belum punya laptop. Ketika itu bisa dibilang saya 'nomaden' di Jakarta. Suatu kali saya merasa betah di satu tempat dan memutuskan tinggal di sana lebih lama. Di tempat baru ini saya kenal seorang lelaki. Usianya kira-kira sepuluh tahun lebih tua dari saya, tapi gayanya menyamai saya yang waktu itu belum 19 tahun. Di kompleks kostan ini rata-rata penghuninya seumuran saya dan semua pekerja keras. Tak jauh dari tempat kost ada studio besar tempat produksi sinetron dan FTV, dan sesekali layar lebar. Dia--sebut saja Bang Jo (bukan nama sebenarnya)--sudah malang melintang di dunia hiburan sejak 1998, begitulah ia mengaku. Saya percaya saja karena dia terlihat jujur dan sangat terbuka, serta tentu saja teman ngobrol yang asyik. Namun ketika itu Bang Jo sedang terpuruk. Ia sepi job dan terlunta-lunta berkat suatu masalah dengan keluarga yang tidak bisa ia ungkapkan, juga masala

Teman Baik Tak Harus Selalu Sering Bertatap Muka

Dengar salah satu lagunya Ari Lasso di ponsel, tiba-tiba ingat seorang teman lama. File lagu ini dulu saya minta darinya di teras sebuah kamar kost di Cibubur. Kalau dihitung, seumur hidup kami hanya bertemu langsung--bertatap muka maksudnya--tak lebih dari sepuluh kali. Hidup di perantauan, mengejar mimpi, jauh dari keluarga, membuat kami cepat dekat, meski usia terpaut jauh. Pergi ke tempat casting sama-sama, berbagi makanan di tempat shooting, bahkan melawan tindakan jahat seseorang kami juga pernah. Jumlah pertemuan yang terbilang singkat untuk berbagai hal luar biasa, ya? Beberapa bulan berikutnya kami tak lagi bertemu. Saya dengar ia repot mengurus usaha bandengnya di Blitar. Saya tidak lagi mendengar kabarnya sampai waktu mengantar saya ke tempat baru dengan cerita-cerita baru yang tak kalah mengesankan.

Barang Enak vs Barang Enek

Dalam dunia literasi, seorang penulis atau pengarang aslinya tidak butuh pujian, karena pujian itu enak seperti sate kambing, atau setidaknya seperti ditraktir makan tiga kali (walau lauknya tempe penyet). Sate kambing jelas rasanya enak, bagi yang suka. Bagi yang tidak suka, silakan ganti kata-kata di atas dengan sate ayam, sate bebek, sate sapi, atau sate apa saja, terserah. Intinya semua jenis sate, atau masakan apa pun yang dimasak dengan baik dan berharga mahal, pasti rasanya enak to? Sedangkan, ditraktir tempe penyet tiga kali itu kebiasaan orang Indonesia. Percaya nggak percaya, itulah kita, karena kita suka yang gratis-gratis, walau agak kampungan. Sudah, tak usah dibikin ribut gimana-gimana, wong saya tentu tidak berhasrat mengatakan tempe itu kampungan atau sate kambing itu bangsawan. Yang saya bilang adalah: pujian itu enak banget, dan kalau diberikan secara cuma-cuma, kita bisa ketagihan. Tapi jangan salahkan kalau nanti yang sampean dapat ujung-ujungnya cuma b

Dunia Mie Instan

    Sadar atau tidak, kebiasaan makan mie instan sejak kecil sangat berdampak buruk bagi kesehatan. Salah satunya membuat kita terbiasa suka sama yang instan-instan. Lho kok bisa? Ya, bisa saja. Padahal semua yang serba instan membuat hidup kita tidak sehat seperti dulu. Tapi, kebanyakan orang suka yang instan-instan. Kenapa? Saya juga heran. Why?         Baru-baru ini ada wanita berinisial AA tertangkap. Sebagai orang yang doyan sama serba-instan, Mbak AA "si tukang bersih-bersih kamar" pejabat ini pasang tarif minimal 80 juta rupiah per jam untuk jasanya. Tentu banyak yang ribut, terutama netizen yang suka komen sana-sini, bahwa yang demikian sungguh ajaib. Dalam profesi tertentu, untuk dapat uang sebanyak itu harus banting tulang dulu sampai mencret baru kesampaian. Itu pun kalau sanggup. Kalau enggak, paling-paling ambeien.

Hidup Gak Perlu Ribet

    Pagi yang cerah. Secerah hatiku. Secerah mimpi semalam. Mimpi bisa membuatmu hidup, atau kadang mematikanmu. Mimpi seperti teman. Dia bisa datang dan pergi sesuai kemauanmu. Atau dia bisa datang dan pergi tidak seperti yang kau mau.         Jalan kita berliku. Ada belokan di depan sana, yang jika dihitung mulai hari ini hingga setahun mendatang, bisa jadi jumlahnya ratusan, atau ribuan, atau jutaan. Tidak ada yang tahu. Semua itu rahasia yang kadang membuat jengkel. Jangan khawatir. Bukankah Tuhan pandai bermain-main?         Itu baru belokan. Belum lain-lain seperti tanjakan yang cukup menguras tenaga jika kita mendakinya. Dan, jumlahnya juga bisa ratusan, bisa ribuan, bahkan jutaan. Di luar belokan dan tanjakan? Oh, ada. Namanya turunan. Yang ini agak mudah; kita tinggal meluncur saja, tanpa tenaga, tapi risikonya satu: bisa celaka kita jika tidak punya rem!

Kurang dari Satu Jam

    Kalau sebelumnya kutulis hal paling memalukan dalam hidupku ( baca di sini ), kali ini kutulis hari yang menyebalkan dalam hidupku. Yah, mungkin gak selucu sebelumnya. Namanya juga nyebelin. Mana ada sih kejadian nyebelin bisa jadi lucu?         Ini kejadian pas SMA. Dulu di sekolah ada ekskul renang yang anehnya wajib diikuti semua siswa. Kenapa kusebut aneh? Lha, ya jelas aneh, karena yang tidak suka renang pun juga wajib ikut. Ini namanya sudah bukan ekskul, tapi pemaksaan!         Meski begitu kayaknya gak ada siswa yang protes, semua adem ayem, kecuali cuma aku (itu pun dalem ati, ckck). Dan, ya, ya, kukatakan sejujurnya kalau aku gak suka renang. Bukan karena takut air. Aku sejak kecil suka main di anak sungai Brantas di salah satu desa di Jawa Timur. Aku suka main di sana, mandi bareng teman-teman. Jadi alasanku tidak suka ekskul renang bukan itu. Alasanku adalah karena tempatnya jauh.         Itu alasan paling masuk akal, mengingat rumahku yang paling jauh dari sekola

Catatan Perjalanan: Berbanjir-Banjir Dahulu, Berbahagia Kemudian

Jauh-jauh hari, aku sudah membuat janji dengan teman sesama penulis, Fariha, agar kami berangkat bersama ke acara Kampus Fiksi Roadshow Surabaya yang diadakan oleh Penerbit Divapress. Nama kami terdaftar sebagai dua dari 200-an peserta acara keren ini. Tapi belakangan rencana ini agak berubah gara-gara kejadian di luar dugaan: terpilihnya aku sebagai salah satu dari Top 2 Unsa Ambassador 2015. Apa itu Unsa? Bagaimana mulanya? Unsa (Untuk Sahabat) adalah komunitas yang mewadahi para penulis untuk belajar dan berkarya dalam suasana persahabatan. Aku mengenal Unsa di Facebook sejak sekitar akhir 2012 lalu. Dari bulan ke bulan, lomba menulis yang diadakan Unsa makin seru. Hampir tiap lomba aku coba ikuti, mulai dari cerpen hingga mininovel.

"Metamorfosis Wanita Karier ke Guru Mengaji" oleh Ken Hanggara

Tulisan ini saya persembahkan untuk Ibu kandung saya. Sebuah feature sederhana yang ditulis khusus di hari Ibu. Semoga bermanfaat dan terima kasih bagi yang sudah membaca. ***     "Kalau ada rezeki, ya pengen. Siapa yang tidak mau melihat Ka'bah? Tapi rezeki belum ada. Mohon doanya saja," begitu ucapnya, ketika salah seorang tetangga bertanya apakah guru ngaji ini tidak terpikir untuk pergi haji.     Siapa yang tidak mau melihat Ka'bah, kalimat itu terngiang di benak perempuan lima puluh tujuh tahun ini, setiap saat, setiap waktu. Bagaimana keinginan itu ada, tidak seperti yang kita bayangkan.

Apakah Menulis Fiksi Sama dengan "Berbohong"?

Dalam dunia fiksi, penulis bebas menulis apa yang ada di kepala. Fiksi adalah—ibaratnya—lukisan yang dibuat dengan gaya, yang boleh jadi terinspirasi dari kejadian nyata, atau boleh jadi dari imajinasi. Itu sah-sah saja, selama penulis tidak "mencuri" lukisan orang lain. Selama itu hasil jerih payah sendiri, tidak masalah, walau tulisan fiksi yang dihasilkan terlihat absurd bagi orang-orang yang menjunjung tinggi logika sekalipun. Alasan "pembebasan" ini karena tulisan fiksi, apa pun bentuknya, merupakan seni yang tidak berbeda dengan patung atau lukisan dalam arti sesungguhnya. Tentu saja, seni mengandung nilai kejujuran, nasihat, etika, moral, kebebasan , sejarah, dan masih banyak lagi di dalamnya. Dari semua nilai itu, yang bisa disebut seni adalah yang mengandung nilai pemberi manfaat, sekurang-kurangnya bagi satu manusia lain di luar diri sang seniman.

Mati Meninggalkan Tulisan, Mati Menjadi Sejarah

Perjalanan menulis paling awal saya, kalau boleh jujur, disebabkan oleh kekonyolan masa remaja. Waktu itu saya jatuh cinta lalu membuat puisi. Klise sekali, ya? Tapi seiring waktu berjalan, setelah sekian puluh puisi saya hasilkan, saya menyadari bahwa saya terlalu egois dan bodoh. Betapa tidak? Menulis puisi hanya untuk cinta memang manis kedengarannya. Tapi mungkin juga tidak banyak yang tahu, betapa hal itu sulit membuat kita bangkit. Sah-sah saja menulis puisi, tapi setidaknya harus memberi manfaat, baik untuk si penulis maupun si pembaca (pembacanya tak harus selalu orang yang dicinta tadi). Sementara, puisi-puisi yang saya tulis, tidak memberi manfaat apa-apa selain menambah lembar kekaguman saya yang berlebihan kepada seseorang.

Belajar "Melihat" untuk Hidup yang Lebih Baik

Musuh terbesar adalah diri sendiri. Kalimat itu sering kita dengar. Tapi, sudahkah kita mengalaminya? Ketika jalan menuju mimpi menyempit — sebab ada jalan lain yang tiba-tiba hadir bak cabang di tengah perjalanan — maka saat itu keputusan adalah kartu terakhir yang kita punya. Ibarat kata dalam sepak bola, kita bermain dalam pertandingan hidup dan mati. Apa kita berpikir bahwa dengan memilih jalan yang kita suka, maka kita akan menang? Atau begini: dengan menghindari jalan yang kita benci, kita akan jauh dari kesialan. Tentu saja itu bukan wilayah kita. Itu wilayah Tuhan, karena makhlukNya tidak dibekali kemampuan membaca masa depan.

Gang Hantu di Sudut Kota

Apa yang kalian pikirkan saat mendengar cerita rumah berhantu? Aku punya cerita tentang gang berhantu. Kebayang gak ? Satu rumah berhantu saja serem , apalagi gang! Wuiih ! Mau dengar? Begini, di sudut kota Surabaya (tak kusebut nama daerahnya) terdapat sebuah gang yang konon dihuni oleh berbagai jenis hantu. Ini kisah nyata, bukan rekayasa. Dulu kakek nenekku punya dua rumah. Salah satu yang mereka punya—dan yang terbesar di wilayah itu—adalah rumah yang bakal kusinggung di sini, yang berdiri bersama barisan rumah lain di sepanjang gang hantu. Gang ini pada saat itu memang sudah terkenal angker. Banyak saksi yang melihat penampakan, dari mulai yang bentuknya paling lucu sampai seramnya minta ampun. Kalian pernah melihat hantu? Atau setidaknya pernah diganggu oleh mereka dengan suara-suara? Kalau pernah, mungkin belum seberapa dengan para penduduk di gang hantu ini. Tahu, gak , berurusan dengan hantu sudah jadi makanan mereka sehari-hari!

Kisah yang Boleh Kau Sebut Nyata, Juga Boleh Kau Sebut Fiktif

  (Part 1) Aku mencermati waktu yang paling tepat, ketika gadis itu mulai keluar dari rumah dan melakukan rutinitas paginya: menyapu. Sudah seminggu lebih kuperkirakan itu. Dulu pertama aku melihatnya langsung terkesima, bagaimana mungkin perempuan secantik itu ada di tempat ini? Dan, di kali kedua, kira-kira seminggu yang lalu itu, pertanyaan ku tak perlu jawaban. Aku tak sengaja melihatnya lagi dan seolah dunia adalah mimpi. "Kau tahu, mimpi indah itu kadang tak perlu dicari, tapi ia akan dengan sendirinya menyambangimu?"

Kembalinya Hantu Legendaris

Tulisan ini beda dari artikel-artikelku sebelumnya. Tapi, tanpa mengurangi rasa seriusku, biarlah kusuguhkan cerita model baru untuk kalian. Sebelumnya kuingatkan, tulisan ini bukan untuk menakut-nakuti. Cuma berbagi cerita dan pengalaman saja. Siapa tahu cocok mengisi waktu luang sambil melamun dan mengingat-ingat cerita ini di kala sepi. Hehe. Oke, tanpa ba-bi-bu lagi, langsung saja, ya!

Menulis Lebih dari Sekadar Melawak

Seperti halnya pelawak yang "dituntut" cerdas mengolah materi simpel menjadi aksi lucu, penulis pun juga "dipaksa" untuk bisa mengolah ide ringan menjadi tulisan berbobot. Jika seorang pelawak medan tantangannya adalah panggung, maka bagi penulis arena pertempurannya adalah kertas. Di atas panggung dan kertas, kedua jenis "profesi" ini berpikir keras. Namun, meski cenderung sama, tingkat keberhasilan keduanya diukur dengan cara berbeda. Maksudnya begini. Katakanlah kita sedang menonton seorang pelawak beraksi. Maka, yang kita dapat adalah apa yang terjadi pada detik dan momen saat itu juga. Perhatikan bila seorang pelawak gagal mengolah materi, pasti mulut penonton tak tahan untuk tidak berkomentar: " Halah, kagak ade lucunye !" Atau paling tidak, jika penonton itu diam, sudah pasti pada aksi berikutnya dia agak malas untuk menonton pelawak itu lagi, karena menurut penilaiannya, sang seniman sudah terlanjur tidak lucu.

Bersakit-Sakit dengan Proses, Bersenang-Senanglah Kemudian

Dulu waktu pertama kali aku menulis, jujur saja, aku ingin kaya. Ya, betul-betul ingin kaya. Siapa sih yang menolak uang banyak dari kesenangan atau hobi? Sudah mengerjakannya senang, dapat uang lagi. Wah, berasa hidup ini begitu indah! Tapi, satu hal yang waktu itu kulupakan, yaitu tentang motivasi. Apa itu motivasi? Bila hidup diibaratkan secangkir teh, maka motivasi adalah gula. Tanpa motivasi, hidup rasanya pahit. Tanpa motivasi, lama-lama kita jenuh dengan rutinitas. Padahal salah satu kunci menuju sukses adalah bersahabat dengan rutinitas itu sendiri. Setuju, tidak?

Perempuan di Pintu Gerbang: Hasil Membaca Novel "Soekarno: Kuantar ke Gerbang"

Saat mendengar nama Bung Karno, yang pertama terlintas di benakku adalah beliau seorang pejuang yang tangguh. Lewat kecerdasan, prinsip, tekad, serta keberaniannya menentang kaum imperialisme, beliau dikenal banyak orang. Karakternya tampak sejak ia masih muda.