Skip to main content

Perempuan di Pintu Gerbang: Hasil Membaca Novel "Soekarno: Kuantar ke Gerbang"


Saat mendengar nama Bung Karno, yang pertama terlintas di benakku adalah beliau seorang pejuang yang tangguh. Lewat kecerdasan, prinsip, tekad, serta keberaniannya menentang kaum imperialisme, beliau dikenal banyak orang. Karakternya tampak sejak ia masih muda.
Namun, sudahkah kita tahu, dalam kurun waktu hampir dua puluh tahun perjuangan Bung Karno—sebelum akhirnya berhasil membawa Indonesia merdeka—ada sosok yang tak kalah penting di balik lahirnya pemimpin besar ini? Sudahkah kita tahu, bahwa dari sosok inilah, Bung Karno mengaku mempunyai utang budi yang bahkan tiada sanggup terlunasi seumur hidupnya, sebab besarnya peran sosok itu sebagai tangan sekaligus tulang punggungnya? Dialah Inggit Garnasih.
Sebuah novel berjudul "Soekarno: Kuantar ke Gerbang" mengisahkan perjalanan cinta Bung Karno dari semasa muda, hingga memasuki masa-masa pendudukan Jepang di Indonesia. Selama waktu itulah Inggit dengan setia menemani "singa podium"-nya ke mana pun kaki melangkah. Usianya yang 15 tahun lebih tua dari Soekarno membuatnya dengan sabar "menghadapi" jiwa muda yang berapi-api, melayani, mengemongnya, serta menyenangkannya.
Entah bagaimana mula cinta itu tumbuh. Inggit sendiri tak lebih dari perempuan sederhana dengan tingkat pendidikan yang kalah jauh di bawah Soekarno. Bahkan wanita itu sempat merasa kurang yakin, ketika mendengar suaminya terdahulu, Sanusi, memutuskan untuk menampung sementara seorang "studen" dari Jawa, yang dititipkan padanya oleh salah satu tokoh pergerakan.
Namun nyatanya Soekarno—atau yang akrab dipanggilnya Kusno—memang pemuda istimewa. Dia punya banyak teman, pintar bergaul, dan pandai menempatkan diri. Oleh karena itulah, dengan segera rumah Sanusi menjadi ramai dan Inggit pun lebih sibuk di dapur demi menyiapkan segala hal yang diperlukan tamu-tamunya.
Hari demi hari berlalu, Inggit segera menjadi kawan berbagi cerita, menjadi tempat curhat menyoal masalah yang Kusno hadapi dengan istrinya, Utari, yang dianggapnya tak lebih dari adik sendiri. Ia menyayangi perempuan itu sebagai adik, bukan istri. Inggit pun berusaha mendamaikan suasana hatinya, meski pada akhirnya mereka bercerai. Cinta Kusno justru bertumbuh pada Inggit, bukan Utari.
Pada masa itu, kondisi rumah tangga Inggit dan Sanusi telah lebih dulu berada di ujung tanduk. Mereka bercerai dengan linangan air mata, sebab tidak ada lagi yang bisa dipertahankan. Cinta yang Kusno pendam pun tak tertutup. Secara terang-terangan ia lantas mengutarakan maksudnya melamar Inggit kepada Sanusi.
Sesuatu yang tidak disangka oleh Inggit. Kusno pemuda cerdas lagi terpelajar, yang senang berdiskusi, membaca, dan pandai berbicara, bermaksud menjadikannya istri. Apa jadinya? Ia jauh lebih tua dan kalah pintar, sebab ia hanya lulusan madrasah. Namun nyatanya perasaan cinta tak bisa dipersalahkan, terlanjur tumbuh, berkembang, hingga indah menawan hati keduanya. Maka, menikahlah mereka dan sejak itu perjalanan dua insan ini dimulai, sebuah perjalanan yang mungkin tidak banyak kita tahu, pun tidak terlalu sering disinggung dalam buku-buku sejarah.
Maka, bagiku, novel roman "Soekarno: Kuantar ke Gerbang" ini menjadi catatan sejarah penting untuk perlu kita ketahui bersama (walau penulisnya, Alm. Ramadhan K.H., mengaku tulisan ini disusun sebagai roman, bukan buku sejarah), karena di dalamnya kita akan melihat potongan kejadian penting dalam kisah cinta Inggit, yang dengan setia mengantar Soekarno menuju gerbang kemerdekaan.
 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgxd_IL2Crf7cpNspk1OU4ByssOSBigU7g1DQt33trJWIzVBzteCmdZF5KN3lm3F7rcUkaczOkmIJOWBEJ0J7imgDtCcOrpdPj-XJeu1Mt9TkPjEgV3jF6rGtztc2cuOvHeEZW32JOPiGW0/s1600/rumah+kenangan+inggit.jpg
 Foto: Rumah Inggit dan Sanusi

Di awal-awal pernikahan itu Inggit merasa nyaman. Kian hari, cinta mereka kian besar. Soekarno menyayanginya, begitupun sebaliknya. Sebelumnya Inggit sendiri memang sudah bekerja mencari uang, di samping suaminya terdahulu, Sanusi, adalah seorang yang bisa dibilang mapan secara ekonomi. Namun, Inggit wanita lincah yang tak mau diam. Ia senang bekerja. Melalui pakaian, kerajinan tangan, bedak dingin, dan jamu tradisional buatannya sendiri, ia mencari uang untuk segala keperluan dapur dan menjamu tamu-tamu Kusno sesama pejuang kemerdekaan—yang kini menjadi lebih sering berkunjung ke rumahnya.
Kala itu tujuan pertama yang hendak Inggit capai adalah: bagaimana ia berhasil mendorong Kusno-nya agar segera lulus menjadi insinyur. Sebab, ketertarikan Kusno pada politik dan pergerakan dengan sesama mahasiswa membuatnya hampir enggan untuk melanjutkan pendidikannya sampai selesai.
Maka, berkat peran Inggit yang tak sedikit, baik secara moral maupun materi, Soekarno dapat lulus dengan baik. Sejak itu, Kusno-nya mulai menggunakan sebagian besar waktu senggang untuk politik, untuk berdiskusi, menyusun segala sesuatunya demi tercapai cita-cita bersama: Indonesia Merdeka.
Otomatis hal ini menyadarkan Inggit, bahwa bukan uang dan kekayaan yang Kusno kejar, melainkan sesuatu yang jauh lebih mulia dari itu. Sebagai istri, ia pun tak segan mendukung habis-habisan suaminya dengan mulai mengikutinya ke mana pun Kusno pergi, ke seluruh penjuru pulau Jawa, di samping kesibukannya sehari-hari mencari uang untuk mereka. Pidato demi pidato terus Kusno lakukan. Bara semangat dalam dirinya, disulapnya menjadi kobaran api, untuk kemudian diajarkannya pada setiap manusia pribumi yang merindukan kebebasan, merindukan kemerdekaan.
Dalam waktu yang tak lama, segeralah nama Bung Karno menjadi tidak asing di telinga setiap orang, baik di kalangan terpelajar maupun rakyat jelata. Inggit sendiri yang menyaksikan bagaimana "singa podium" itu mengaum berkali-kali tanpa kenal takut, meski tepat di depannya berdiri polisi Belanda dengan wajah membara bagai terbakar api.
Dalam masa-masa itulah, ketika suatu hari Inggit mengajak Soekarno menjenguk kakaknya Muntarsih yang melahirkan bayi perempuan, wanita ini bermaksud mengangkat bayi itu sebagai anaknya. Kusno menyukai anak kecil. Ia setuju dengan kehendak istrinya. Dan setelah berulang kali membujuk Muntarsih, Inggit pun diizinkan untuk merawat bayi itu, yang kemudian diberi nama baru oleh Kusno lantaran sakit-sakitan: Ratna Djuami, dengan panggilan sehari-hari Omi.
Kegiatan propaganda berlanjut. Dari satu panggung ke panggung lain, dari satu ruang ke ruang lain, Soekarno meluapkan segala isi kepalanya di depan semua orang, meyakinkan mereka bahwa Indonesia seharusnya bisa lepas dari jerat rantai imperialisme dan kapitalisme, hingga membuatnya mendapat banyak dukungan. Bersama dengan rekan-rekannya, mereka mendirikan sebuah partai.
 
 Foto: Soekarno di tengah rakyat

Tidak ada perasaan seperti yang saat itu dirasakan oleh Inggit sebelumnya. Jika dulu bersama Sanusi ia merasa hidupnya datar bak air mengalir, maka bersama Kusno, ia bagaikan berdiri di atas perahu dengan gempuran ombak yang dapat datang sewaktu-waktu; sedikit-sedikit tenang, sedikit-sedikit cemas. Kusno memang tak bisa dibendung terkait keinginannya mengobarkan semangat banyak orang, bahwa kita berhak untuk merdeka, Indonesia berhak untuk berdiri sendiri di bawah benderanya.
Pemerintah Hindia Belanda pun melihat ini sebagai ancaman yang bisa menggoyahkan kedudukan mereka di tanah pertiwi. Maka, ditangkaplah Kusno ketika pada satu kesempatan ia mengunjungi Jogja bersama Inggit. Belanda memenjarakannya di bui Banceuy di Bandung. Inggit sadar, bahkan jauh sebelum ini terjadi, ia sadar pada suatu saat nanti dia dan suaminya menghadapi situasi seperti ini, mengingat betapa kerasnya Soekarno menentang pendudukan Belanda. Telah banyak sahabat dan rekan sesama pejuang kemerdekaan yang dipenjara lebih dulu, bahkan sampai dibuang ke tempat yang jauh dari kampung halaman. Inggit tahu ia dan Kusno bakal mengalaminya. Tapi wanita ini tak gentar.
Dalam situasi ini, Inggit, seperti yang sudah-sudah, berusaha menguatkan dan menenangkan suaminya, meski pada awalnya usaha itu sulit membuahkan hasil (karena selama sebulan pertama ia tidak diperkenankan menemui Kusno, selain hanya menitipkan makanan dan koran saja). Omi, sumber kekuatan Soekarno selain Inggit, menjadi pelipur lara bagi papinya yang kini terkurung dalam kamar sempit Banceuy, yang sama sekali tidak manusiawi.
"Hanya cecak yang jadi kawanku selama berada di Banceuy ini!" kata Kusno setiap kali Inggit datang menjenguk.
"Selnya, nomor 5 di blok F, begitu sempit. Lebarnya hanya satu setengah meter dan separuhnya sudah dipakai untuk tempat tidur pelbet. Panjangnya betul-betul hanya sepanjang peti mayat. Tak ada jendela tempat menjenguk dan tak ada terjak supaya bisa mengintip keluar. Pintu terbuat dari besi hitam padat dengan sebuah logam kecil yang ditutup dari luar. Lebih parah keadaannya karena tempat itu gelap, lembap, dan melemaskan. Begitulah keluh suamiku yang tentunya sangat menimbulkan kekhawatiranku. Padahal, selnya itu masih terhitung lumayan dibandingkan dengan sel untuk tahanan-tahanan pepetek alias orang kecil. Cobalah bayangkan, betapa jeleknya rumah tahanan Banceuy itu!" terang Inggit (Hal. 196).
 
 http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/8/84/Sel_05%2C_banceuy.jpg
 Foto: Sel No.5 blok F, tempat Bung Karno dipenjara di Banceuy

Keadaan ini membuat Soekarno sedikit banyak tertekan. Ia hampir menyerah dan menyesal karena melihat penderitaan yang harus Inggit dan Omi alami karenanya. Namun, Inggit tahu apa yang Kusno lakukan benar. Ia tahu dan sepenuhnya mendukung. Bukankah siapa pun berhak untuk merdeka? Titik ini adalah langkah pertama Kusno untuk mengejar apa yang mereka cita-citakan, dan Inggit bersedia menemaninya sampai semua itu tercapai.
"Tegakkan dirimu, Kus, tegakkan! Teruskan perjuanganmu! Jangan sampai luntur hanya karena cobaan semacam ini!" tutur Inggit memberinya semangat.
Begitulah yang terjadi. Inggit dengan kesabaran, ketelatenan, serta kesetiaannya menyumbang kekuatan besar dalam jiwa Soekarno untuk tegap kembali menatap jalan yang tengah mereka daki. Dan ia berhasil melakukannya. Soekarno kembali tegap, kembali optimis untuk mengejar tujuannya.
Pada satu kesempatan Inggit harus memutar akal untuk membantu suaminya. Soekarno membutuhkan naskah dan bahan-bahan dari Sartono untuk menyusun pembelaan baginya dalam sidang yang akan dihadapinya di Pengadilan Landraad, Bandung.
"Aku pergi ke Banceuy dengan mengenakan kebaya yang agak tebal, sehingga tak tampak apa yang ada di belakangnya. Aku membawa rantang makanan dan kue-kue nagasari yang istimewa di dalamnya. Lewat gerbang masuk segera dilakukan pemeriksaan. Aman, beres. Tak ada yang mencurigaiku." (hal. 159).
Dengan cermat, sebelumnya Inggit menyuruh seorang pembantu untuk mengambil permintaan Soekarno tersebut dari Sartono di Jakarta (agar Belanda tak curiga). Dengan lihai pula, ia berhasil menyelundupkan naskah di balik baju kebayanya dan beberapa keping uang gulden dari Sartono—yang disisipkan ke dalam kue—tanpa seorang pun Belanda yang tahu.
Namun sayang, keputusan pengadilan itu sangat tidak adil bagi Soekarno dan tiga orang kawan senasib. Meski keluar protes keras, baik dari dalam maupun luar negeri (dari kalangan terpelajar Indonesia maupun warga negara Belanda sendiri), juga meski Soekarno menggempakan hati setiap orang dengan pidato pembelaannya yang panjang, hakim tetap menjatuhkan vonis tidak adil: 4 tahun penjara bagi Bung Karno. Sayangnya, pengajuan naik banding ke pengadilan yang lebih tinggi, Raad van Justitie di Jakarta, membuahkan keputusan yang makin memperkuat vonis sebelumnya.
Alhasil, bagi Inggit ini sesuatu yang menyakitkan. Terlebih Kusno-nya masih muda. Tapi ia harus membesarkan hatinya, menguatkannya. Beruntung dalam keadaan seperti ini, banyak dukungan dari berbagai pihak yang berdatangan. Soekarno kemudian dipindahkan dari Banceuy ke rumah tahanan baru; Sukamiskin.

Ada satu hal yang membuat Inggit merasa lebih tenang dengan kondisi penjara suaminya kini, yakni keadaannya yang tidak seburuk di Banceuy. Namun, satu-satunya hal yang membuatnya sedih adalah jarak tempat itu dari kota Bandung amatlah jauh, mencapai 10 kilometer. Maka, setiap dua kali dalam seminggu, Inggit harus memutar akal agar bagaimana ia mendapat uang demi menutup segala keperluan dapur sekaligus menyewa kendaraan menuju Sukamiskin.
Kondisi ekonomi kala itu cukup mencekik. Suatu waktu, Inggit tidak punya uang untuk membayar tumpangan. Dengan membesar-besarkan hatinya sendiri dan juga anaknya, Omi, mereka pun berjalan kaki untuk menjenguk Kusno. Agak tak tega sebenarnya, bila harus mengajak anak sekecil Omi berjalan kaki begitu jauhnya. Namun, Omi-lah kekuatan Soekarno, Omi-lah penghibur Kusno-nya. Anak itu harus ikut agar Kusno tetap semangat. Namun, pulangnya mereka harus kehujanan, sementara langit sudah mulai gelap. Sesekali mereka harus berhenti, menepi dan berteduh, meski membawa payung, karena saking derasnya hujan.
"Suatu pengalaman yang sungguh tidak mengenakkan. Namun, aku atasi perasaan itu dengan memandang hidupku ini memang sudah semestinya seperti yang kualami waktu itu. Bukankah suamiku juga berpegang teguh pada suatu cita-cita sehingga ia harus mengalami nasib seperti itu? Mengapa aku yang cuma harus berjalan di bawah hujan mesti amat mengeluh?" (hal. 199).
Di dalam rumah tahanan Sukamiskin itu, meski kondisi tempatnya agak baik, Soekarno tetap saja tertekan, bahkan lebih dari sebelumnya. Sebab, jangankan bicara, berdekatan dengan sesama tahanan pribumi pun seolah tak mungkin. Ia dijauhkan dari orang-orang sesama Indonesia karena prinsipnya dianggap berbahaya bagi pemerintah Hindia Belanda. Ia ditempatkan bersama orang-orang Belanda yang dijatuhi hukuman tingkat tinggi. Kusno yang pada dasarnya mencintai kebebasan, merasa tempat itu tak ada bedanya dengan penjara lainnya.
"Saya ini tak lebih daripada orang hukuman, seorang manusia yang mesti melupakan kemanusiaannya. Dahulu dalam rumah tahanan, hidupku telah dibatasi, sekarang batasannya bertambah sempit. Segalanya di sini dikerjakan dalam suruhan komando; makan, pulang, balik ke tempat kerja, makan, menghirup udara, keluar-masuk ke bilik kecil. Semuanya dikerjakan seperti serdadu berbaris, semuanya seolah-olah disamakan dalam satu derajat. Tempat kemauan mereka harus dihilangkan. Saya tentu dibenarkan, kalau saya lebih suka dibuang 3 tahun, daripada dihukum 2,5 tahun dalam rumah kurungan," tulis Soekarno pada surat yang ia tujukan pada Sartono.
Melalui surat itu juga, Inggit setidaknya merasa tenang, sebab sesuatu dalam diri suaminya tidak hilang:
"Walau di mana sekalipun, patutlah kemajuan diusahakan! Hatiku tunggal tetap, selalu insaf akan diriku, tak pernah saya melupakan suara-suara hatiku. Dan, selalu saya memajukan usaha itu, baik dahulu maupun sekarang." (hal 198 ).
Di luar kelegaan itu, terkadang ada rasa tak menentu, karena nyatanya Sukamiskin lebih dari sekadar rumah tahanan. Perlakuan kejam dari oknum-oknum tertentu (bahkan hingga memaksa seorang narapidana melakukan bunuh diri), menekan mental Soekarno. Belum lagi sel yang ia tempati. Selain dingin dan gelap, Belanda sengaja menaruhnya di tempat paling ujung, dekat dengan beberapa pembunuh sadis yang kemudian segera menjadi kawannya.
Namun Kusno tak gentar, apalagi dengan adanya motivasi yang tiada jenuh Inggit lungsurkan padanya, bahwa telah banyak teman-teman yang menunggunya di luar sana. Soekarno dengan kuat sanggup melawan segala tekanan dengan caranya menciptakan suasana baru, karena di sana ia mulai tekun memperdalam Islam, lebih dari yang sebelumnya.
 
 Foto: Peninggalan koleksi buku Bung Karno di Sukamiskin

Satu-satunya hal yang kemudian membuat Soekarno sedih adalah bubarnya partai yang ia dirikan dan bina selama ini, PNI. Oleh karena ketidakcocokan dalam tubuh partai, rekan-rekannya lantas pecah dan membentuk dua partai. Terjadilah silang pendapat antar pejuang kemerdekaan, antar pemuda-pemuda terpelajar yang tidak semestinya terjadi. Inggit menguatkannya agar bersabar dahulu, agar tidak perlu memikirkan semua itu dulu, sebab ada sahabat yang membantu mereka menangani masalah ini.
Mungkin situasi ini sengaja diciptakan oleh pemerintah Hindia Belanda dengan menuduh Soekarno beserta PNI-nya hendak menghasut rakyat, lalu menghukumnya secara tidak adil, demi tujuan mematikan pergerakan partai tersebut agar tidak meluas dan mengancam kedudukan Belanda.
Dalam hal ini, menyangkut kabar-kabar sensitif yang datang dari luar dan tidak bisa Inggit tuturkan begitu saja (sebab pengawasan penjara amatlah ketat), ia memakai siasat seperti halnya di Banceuy dulu, agar suaminya tahu perkembangan situasi politik, yakni dengan mengirimkan kode yang dibuatnya dalam buku-buku agama atau makanan yang sengaja dikirimkannya untuk Kusno.
 
 Foto: Bersama teman-teman di Pengadilan Landraad, Bandung

Bersyukur, tak lama kemudian, Soekarno bebas setelah mendapatkan potongan masa tahanan selama dua tahun. Kritikan yang datang dari banyak pihak, baik dari Indonesia maupun luar negeri, rupanya mendesak pemerintah kolonial Belanda yang telah berbuat salah, agar meringankan hukuman untuk Soekarno.
Sambutan dari masyarakat pun besar, ketika Bung Karno yang mereka kenal lewat pidato-pidato pembangkit semangatnya itu, meninggalkan rumah tahanan Sukamiskin. Bersama Inggit, Soekarno kembali ke tengah-tengah rakyat. Niatnya mempersatukan kembali partai mulai dipikirkan.
"Saya tidak akan masuk, baik ke Partindo maupun PNI Baru. Saya akan berusaha sekuat tenaga untuk mempersatukan kedua golongan itu, agar pulih menjadi utuh lagi," ucapnya di hari pertama kebebasannya (hal. 228 ).
Namun sayang, usaha itu bak menegakkan benang basah. Kedua belah pihak tetap teguh dan merasa benar pada prinsipnya masing-masing. Inggit menyayangkan ini. Mengapa para pemuda sampai harus berselisih paham, sedang tujuan mereka kala itu sama; sama-sama ingin mewujudkan kemerdekaan Indonesia?
Pada masa-masa itulah, Inggit mulai melihat sesuatu yang istimewa, lebih dari yang ia rasakan selama ini, dari sosok Kusno-nya. Banyak orang yang mengelu-elukannya, mengaguminya, serta mulai percaya bahwa suatu saat Indonesia bisa merdeka.
Dua hari setelah kebebasannya, bersama Inggit, Soekarno berkunjung ke Surabaya untuk menghadiri sebuah kongres. Dan, detik-detik itu segera menjadi momen berharga bagi sang "singa podium", yang selama dua tahun terkurung tanpa sempat berpidato, tanpa sempat meluapkan segala pikirannya.
"Begitulah kegiatan Kusno-ku setelah bebas kembali, hadir dan pindah dari rapat yang satu ke rapat yang lain. Ia berpidato dan berpidato, menghidupkan semangat banyak orang, meyakinkan banyak orang, menyuarakan semangat banyak orang. Dan, aku terus mendampinginya." (hal. 232).
Ketika upaya mempersatukan kawan-kawannya belum juga menemui hasil, Soekarno mulai tertarik dengan sosok Muhammad Hatta. Namun, setelah mereka saling bertemu dan bertukar pikiran, keduanya sama sekali tidak sepaham. Bung Hatta lebih memilih bergerak dari bawah tanah, dengan menularkan ilmu pada para intelektual muda untuk dapat meneruskan cita-cita mereka bersama, hingga kelak Indonesia benar-benar mencapai kemerdekaannya. Sedang Soekarno meyakini usaha mengumpulkan banyak massa lebih ampuh.
"Padahal sudah kukatakan, di saat Bung maju terus dengan usaha pendidikan, pada waktu ini pula kepala Bung akan dipukul oleh musuh," begitu Soekarno menggambarkan perbedaannya antara mengerahkan masa yang dianutnya, dan mendidik kader yang dipegang Hatta.
"Dengan tenaga yang terhimpun itu, kita dapat mendesak musuh ke pojok dan kalau perlu menyerangnya. Sedangkan mempersiapkan teori dan membuat kebijaksanaan penting yang berasal dari buku-buku, tidaklah praktis. Ia (Hatta) dan aku tak pernah berada dalam getaran gelombang yang sama," kata Soekarno (hal. 242).
Tak ayal perbenturan antara dua kelompok itu kian besar. Keduanya saling serang dengan mengangkat prinsip sendiri-sendiri, tanpa mau mengalah. Keadaan ini membuat Inggit sedih, terlebih hubungan dengan beberapa kerabat perlahan kian renggang akibat perbedaan pendapat itu.
Kesedihan Inggit bertambah ketika mendengar kabar Kusno ditangkap lagi sewaktu berada di Jakarta, dan langsung dibawa ke Sukamiskin. Tidak hanya karena pergerakan yang kembali dilakukan olehnya (lewat rapat dan pidato-pidato), melainkan juga karena tulisannya yang dianggap menghasut pemikiran banyak orang.
Kesedihan Inggit kian berurat ketika terdengar desas-desus tak sedap menyoal rumah tangganya dengan Kusno. Ia dianggap tak tahan dengan apa yang suaminya alami sejauh ini, juga tak tahan karena Kusno tidak memikirkan urusan ekonomi keluarga. Padahal kenyataannya tidak. Inggit tidak pernah menuntut apa-apa. Bukankah justru ia selalu berdiri bersamanya, selalu mendukung apa pun yang suaminya lakukan demi kemerdekaan Indonesia?
Belum lagi masalah ketidakcocokan Bung Hatta dengan Soekarno, yang kian diperkeruh dengan tulisan Hatta yang menyebut-nyebut bahwa Soekarno tidak akan bertahan lama.
"Tidak sedikit juga kita menyangka, bahwa perkataan kita: 'Soekarno bakal lenyap dari kalangan pergerakan rakyat' akan menjadi lakon sedih, yang melukai hati seluruh pergerakan radikal. Sekali ini Soekarno menjadi korban, bukan karena pergerakan atau kekejaman pemerintah, melainkan korban dari dirinya sendiri, karena luntur iman dan ternyata pula tidak mempunyai karakter (watak)," begitu bunyi penggalan tulisan Bung Hatta dalam salah satu surat kabar (hal. 253).
Namun, meski dalam keadaan tertekan, seperti halnya Soekarno, Inggit pantang menyerah. Ia tetap berdiri di atas kebenaran. Buktinya ketika utusan pemerintah Hindia Belanda datang berkunjung ke rumahnya, lalu memintanya untuk membuat permohonan ampun kepada Belanda atas nama suaminya, maka dengan tegas dan berani ia menjawab:
"Tuan tidak perlu bersusah-susah meminta kepada saya ataupun suami saya untuk meminta ampun. Karena apa? Karena orang yang meminta ampun itu adalah orang yang merasa bersalah. Sedang kami sama sekali tidak merasa bersalah, tidak bersalah. Suamiku merasa ia tidak bersalah. Ia memang tidak bersalah. Apakah hati Tuan tidak akan sependapat dengan kami, bahwa orang yang memperjuangkan kemerdekaan negara dan rakyatnya itu tidak bersalah? Bagi kami, jelas itu tidak salah. Oleh karena itu, tidak perlu kami minta ampun.
"Kami rela menanggung akibatnya. Juga suamiku sependirian dengan ini. Malahan dia yang mengajar saya berpikir begini. Itu masuk akal saya. Malahan saya digembleng oleh suami sehingga saya pun harus tetap berpegang pada pendirian ini. Dan saya yakin seyakin-yakinnya akan apa yang saya kemukakan ini."
Semua ini tentu berkait-paut dengan isu yang mengemukakan bahwa Soekarno telah menyerah hingga meminta ampun pada Belanda. Keadaan ini membuat pikiran Inggit tak menentu. Bagaimana mungkin Kusno-nya bisa berubah pendirian, menjadi lemah, menjadi tak berdaya?
Namun pelan dan pasti Inggit mengerti kalau ternyata semua kabar miring mengenai suaminya itu salah. Ia tahu seperti apa Soekarno. Ia tahu, betapa Kusno berpendirian teguh, meski tak memungkiri, lelaki itu juga membutuhkan dia dan Omi sebagai obat hatinya. Kenyataan ini membuat Inggit semakin tegap berdiri, meski ia sendiri berada dalam kondisi terombang-ambing, bagaikan berdiri di depan mulut harimau sebagai salah satu istri dari orang yang dianggap mengancam kedudukan penjajah.
Dan benar, risiko terbesar memang harus mereka jalani bersama, ketika keputusan resmi dari pemerintah keluar; mengasingkan Ir. Soekarno ke sebuah pulau nun di timur Indonesia: Ende, Flores.
Tak butuh waktu lama bagi Inggit untuk memutuskan apakah dia ikut suaminya atau tidak. Satu-satunya kendala adalah Omi, yang notabene bukan anak kandung mereka. Muntarsih dan keluarga besar Inggit belum dapat memberi izin untuk membawa anak yang kini tengah menginjak usia remaja itu. Namun, setelah tahu Soekarno begitu sangat mencintai anak itu dan lebih memilih dihukum mati ketimbang meninggalkannya di Bandung, keluarga pun menyetujui. Bahkan, tak hanya Omi, ibu kandung Inggit yang telah renta dan sakit-sakitan meminta Inggit untuk membawanya serta, karena tidak mau jauh dari anak dan cucunya.
 
 Foto: Di Ende, Flores.

Maka, kehidupan baru mereka di Ende dijalani dengan damai. Walau sesungguhnya rasa damai itu terkadang menyisipkan kesedihan, sebab rumah yang mereka tempati tak jauh dari pantai, tak jauh dari bunyi peluit kapal yang selalu saja menggoda untuk mengajak kembali ke Jawa. Omi yang remaja tak mempunyai kawan. Ia sering menangis. Berkali-kali papinya berusaha menguatkannya agar bersabar dan bersabar. Sesekali kiriman surat dan paket dari Jawa datang untuk mereka dari para sahabat yang setia membagi kabar terbaru mengenai aktivitas para tokoh pejuang.
Di sana, Soekarno mengajarkan cara bercocok tanam beberapa jenis tumbuhan pada warga pribumi yang masih kolot. Di sana pula "singa podium" itu mendapatkan lebih banyak waktu untuk memperdalam ilmu agama. Oleh karena kebaikan Soekarno dan Inggit, banyak warga yang tadinya menjauh, pelan-pelan menjadi akrab dengan mereka. Kesepian berubah menjadi keceriaan. Apalagi usai sepasang suami istri Atmosoedirdjo, mantri ukur asal Banyumas yang dinas di kota itu, sering datang bertamu.
Suatu waktu, istri Atmo mengutarakan isi hatinya pada Inggit. Ia khawatir. Selama ini beberapa kali melahirkan anak tapi umurnya tak pernah panjang. Maka, kini setelah anaknya Sukarti menginjak umur lima tahun, ia pun gelisah. Menurut kepercayaan orang dulu—yang juga dianutnya ketika itu, yakni agar anaknya selamat dan panjang umur, ia harus "meminjamkan" anak itu pada orang lain—maka, akhirnya dengan senang hati Soekarno dan Inggit mengangkatnya sebagai anak. Omi tidak lagi kesepian dan mulai menganggap Sukarti sebagai adiknya sendiri. Oleh karena anak itu sakit-sakitan, mereka mengganti namanya menjadi Kartika. 
 http://rosodaras.files.wordpress.com/2010/11/bk-inggit-omi-kartika.jpg
Untuk mengusir penat, mereka sering-sering melakukan rekreasi ke beberapa tempat di pulau itu. Soekarno lantas memanggil salah seorang muridnya dari Jawa, Asmara Hadi, untuk mau datang ke Ende demi menjadi guru bagi Omi yang membutuhkan sekolah, begitupun dengan Kartika.
Momen yang paling menyedihkan adalah ketika Bu Amsi—ibu kandung Inggit—jatuh sakit. Pagi itu beliau tak bangun-bangun. Dengan ditemani Kusno dan Inggit, beliau akhirnya berpulang ke rahmatullah. Tidak ada air mata pada Inggit, Omi, dan Kartika, yang memang telah dididik tegar selama ini. Hanya Kusno saja yang sempat menitikkan air mata, tanda kesedihan mendalam menghinggapinya, ketika wanita tua yang ia sayangi itu pergi untuk selama-lamanya. Pemakaman segera dilakukan di sebuah kuburan kampung di tengah hutan.
"Aku ingat betapa baiknya dia, seseorang yang meski begitu tua masih juga sanggup menunjukkan kasih sayangnya kepada kami, dengan meminta supaya ikut bersama kami ke kesunyian dunia pengasingan," tutur Inggit.
 
 Foto: Rumah pengasingan Bung Karno di Ende

Hari demi hari berlalu. Kusno merasa sepi. Hatinya risau, bimbang. Dijauhkan dari kegiatan politik, meski tidak dipenjara, kehidupannya seolah dibatasi dengan adanya beberapa polisi yang tak lepas mengawasi. Semua ini membuatnya tak tenang. Dalam hal ini peran Inggit begitu besar untuk menguatkannya. Sebagai seorang istri, ia tak lelah memberi motivasi, menghiburnya. Mereka harus pintar-pintar mencari kesibukan sendiri demi tidak berlarut-larut dalam sedih akibat pengasingan.
Sampai tibalah saat Kusno terserang malaria. Belum lagi dengan pecahnya kawan-kawannya, juga makin kalapnya Gubernur Jenderal Belanda de Jong. Beban pikiran "singa podium" ini makin bertambah berat, membuatnya sering merasa jengkel dan marah.
Berita sakitnya Bung Karno ini lantas "dimanfaatkan" oleh seorang sahabatnya, Thamrin, yang segera mengajukan protes pada pihak Belanda. Malaria bukan tidak mungkin dapat membunuh Soekarno dan jelas tanggung jawab itu akan jatuh ke tangan Belanda.
Maka, bersyukurlah Inggit ketika mereka menerima sepucuk surat, yang mengatakan bahwa Soekarno akan dipindah ke Sumatera (Bengkulu), sebuah pulau yang lebih dekat dari pulau Jawa. Mereka membawa serta Kartika yang selama lima tahun di pengasingan ini telah mereka anggap anak kandung mereka sendiri, seperti halnya Omi.
Hampir lima tahun di Ende, terpateri kesan pahit di benak Inggit, terutama mengenai meninggalnya sang ibu. Namun, keberangkatan ke Jawa, untuk kemudian dilanjutkan menuju Bengkulu, mengandung harapan baru. Meski ia tahu mereka masih berada dalam masa pengasingan, setidaknya ia bisa menemui kembali kerabat dan keluarga di Bandung terlebih dulu.
Sementara Inggit dan anak-anaknya menginap beberapa malam di Bandung dan Jakarta, Soekarno melanjutkan perjalanan dengan kawalan Belanda ke Sumatera. Setelah mereka berkumpul kembali di Bengkulu, kehidupan baru dimulai. Soekarno kembali berorganisasi. Ia bergabung bersama Muhammadiyah dan oleh ketuanya, Hassan Din, ia dimintai bantuan untuk menjadi guru di sekolahnya. Hal ini menjadikan kehidupan mereka lebih tenang. Mereka juga sering pergi berlibur ke pantai, sembari Soekarno mendidik anak-anaknya agar menjadi pribadi yang tangguh.
 Foto: Soekarno (atas tengah), Inggit (duduk, berpakaian hitam), Fatmah (duduk, kiri bawah), dan Djuami (duduk di bawah Inggit).

Belum lama waktu berlalu, Hassan Din bersama istri dan anak perempuannya datang bertamu. Pembicaraan pun merambat ke persoalan sekolah anak mereka yang bernama Fatmah itu. Omi atau Djuami segera mengajak anak gadis itu untuk tinggal bersama mereka di rumahnya, juga bersekolah bersama dengannya. Maklum, Omi yang lebih tua dari Kartika, merasa kurang cukup memiliki teman sebab selisih usia mereka terlalu jauh. Sedangkan dengan Fatmah, usianya tidak terlalu jauh, bisa dibilang sepantaran.
Sejak itu, baik Inggit maupun Soekarno, memperlakukan Fatmah seperti halnya Djuami dan Kartika. Mereka menganggap gadis itu seperti anak mereka sendiri. Namun, hari demi hari berlalu, ada sesuatu yang dirasakan Inggit. Tapi ia lebih memilih mengabaikan dan menganggapnya sebagai suatu hal yang lumrah terjadi antara anak dan orangtua.
"Kadang-kadang aku suka menemukan hal yang ganjil-ganjil, yang kurasakan tidak biasa, canggung. Manakala anak-anak ribut, sedikit bertengkar (maklumlah anak-anak) aku rasakan Kusno seperti selalu berada di pihak Fatmah. Apakah aku berat sebelah dan memenangkan Djuami dan Kartika? Apakah aku menganaktirikan Fatmah? Aku rasa tidak. Namun, mengapa Kusno seperti selalu berada di pihak Fatmah? Apakah justru karena anak perempuan itu belum lama berada di tengah-tengah kami, maka Kusno merasa sepatutnya memanjakan anak Hassan Din itu dan memihak kepadanya? Aku tidak punya pikiran yang bukan-bukan. Fatmah lebih muda daripada Djuami," batin Inggit kala itu (hal. 323).
 
 Foto: Rumah pengasingan Bung Karno di Bengkulu

Setelah Fatmah tidak lagi tinggal bersama mereka, Kusno dan Inggit membicarakan tentang kelanjutan sekolah Djuami. Sempat ada ide untuk mengirimnya ke Filipina, namun karena situasi politik yang membahayakan, pada akhirnya dipilihlah Jogja sebagai tempat yang pas. Kusno sendiri yang menyuruh Inggit mengantarkan anaknya.
"Perintah suamiku tidak pernah aku bantah. Namun mengapa kali ini seperti terasa akan terjadi sesuatu dengan kepergianku ini? Atau, aku terlalu memercayai perasaanku, barangkali? Kok, tidak enak benar rasanya?" (hal. 324).
Dan benarlah perasaan Inggit itu. Hampir sebulan lamanya ia di Jawa. Sekembalinya ke Bengkulu, suasana rumah tiba-tiba berubah. Terlebih usai didengarnya omongan orang-orang di sekitar mereka, tentang sesuatu yang sepatutnya dia tahu. Inggit berusaha menolaknya, menangkisnya, sebab ia tak percaya. Inggit tak percaya Kusno-nya setega itu. Namun, cerita yang didengarnya dari Kartika, anak gadisnya yang masih kecil, membuat perasaan Inggit jadi tak karuan.
Malam itu juga, di kamar, Kusno mengutarakan keinginannya untuk mempunyai anak. Tentulah, di usia yang masih bugar, bagi suaminya hal itu tidaklah masalah. Namun bagi Inggit ini soal lain. Usianya sudah lima puluh lebih. Bagaimana ia bisa memberikan anak untuk suaminya? Batinnya pun bergejolak. Pelan-pelan, disadarinya bahwa dari pernikahan-pernikahan terdahulu yang pernah dijalaninya, Inggit sama sekali belum pernah mengandung, apalagi melahirkan anak.
"Aku ingat kepada diriku sendiri. Akulah yang mandul. Ya, akulah yang mandul, sekalipun aku tidak pernah diperiksa oleh dokter. Dari Kang Nata aku tidak punya. Juga begitu dari Kang Uci. Mengapa Kusno justru sekarang menyatakan keinginannya seperti itu? Mengapa sekarang?" (hal. 328 ).
Sejak itu, rumah tangga mereka diliputi mendung. Kusno jadi jarang ada di rumah. Ia sering pergi tanpa mengajak serta Inggit seperti sebelum-sebelumnya, atau kadang tidak mengatakan akan pergi ke mana. Desas-desus yang masih juga terdengar, membuat Inggit kian tak menentu. Ia merasa cemburu atas kabar yang belum tentu benar itu, kabar yang seakan-akan membawa suaminya pada dua pilihan; bunga yang sedang menuju layu atau bunga yang akan mekar.
Inggit menyabar-nyabarkan diri, sampai akhirnya Kusno terang-terangan angkat bicara. Ia menyayangi Fatmah lebih dari sekadar anaknya. Itulah mengapa selama ini perasaan Inggit berkata ganjil. Firasatnya benar. Kusno mencintai Fatmah. Dan rupanya semua ini berhubungan pula dengan pembicaraan mereka sebelumnya, mengenai keinginan Kusno untuk mempunyai anak, mempunyai keturunan dari darahnya sendiri.
Kusno meminta izin agar ia bisa menikah dengan Fatmah, dan Inggit akan tetap menjadi istri yang dihormatinya. Namun, Inggit merasa keberatan. Ia mengizinkan Kusno-nya menikah dengan syarat lebih dulu menceraikannya. Ia pantang dimadu.
Betapa hati Inggit menjadi tak menentu kala itu. Ia berpikir, andaipun keputusan itu benar Kusno ambil, maka ia bersedia diceraikan sekembalinya mereka ke Jawa nanti; atau dalam kata lain: setelah pengasingan ini berakhir. Sejak itulah, Inggit mulai menyabarkan diri atas cobaan ini. Apalagi bila terjadi sedikit saja salah paham dengan sang suami, Kusno-nya itu akan pergi hingga berjam-jam lamanya.
"Aku mesti menentramkan hatiku bersama Kartika, si anak kecil itu. Aku pergi ke pantai bersamanya, menghibur diriku sendiri. Anak kecil itu mengangguk-angguk saja, seperti mengerti, mendengarkan aku menumpahkan segala isi hatiku, segala sedu sedanku, dan segala harapanku. Kadang-kadang aku merasa seperti menjadi temannya, menjadi anak kecil lagi, sebaya dengan Kartika yang masih sepuluh tahun itu. Ia jadinya bertindak seperti temannya juga kepadaku sewaktu aku dirundung oleh kebingungan. Ia, anak kecil itu, pelipur aku, menasihatiku supaya sabar, supaya menganggap segala cobaan ini dari Tuhan." (Hal. 340).
Begitulah. Inggit menjadikan Kartika satu-satunya sosok penghibur, yang bisa mendengar ia menumpahkan isi hatinya yang luka. Bahkan gadis kecil itu juga mengikuti ke mana pun langkah kaki Inggit menuju, ke semua tempat yang bisa membuat gemuruh dadanya mereda; lebih tepatnya ke tempat-tempat yang memungkinkan Kusno menemui Fatmah, gadis yang sebelumnya sempat mereka anggap anak. Dan benar, malam itu ia melihat mereka sedang berdua di halaman depan rumah perempuan itu.
Namun, karena Kartika masih terlalu kecil, ada batasan yang tidak bisa Inggit terabas. Kepada Djuamilah pikirannya kemudian tertuju. Anak beranak itu lantas berkirim surat, membahas kenyataan yang sempat membuat gadis itu marah kepada papinya, juga kepada Fatmah yang sudah ia anggap teman dan saudara. Tapi amarah itu pelan-pelan surut ketika Djuami kembali dari Jogja semasa liburan. Kusno mengajaknya ke tepi pantai. Di sana mereka saling melebur dalam air mata dan luapan emosi yang entah disebut apa.
Kusno mengungkapkan segala isi hatinya, keinginannya untuk bisa mempunyai anak dari seorang istri kepada Djuami. Tapi ia tetap tidak ingin menceraikan ibunya dan menghormatinya sebagai istri pertama. Djuami tahu ibunya tidak ingin dimadu dan ia menjadi mediator di antara keduanya. Sayangnya, keinginan Kusno bertentangan dengan prinsip Inggit. Wanita itu tetap meminta mereka cerai andai niat itu tetap terlaksana, dengan catatan mereka harus lebih dulu kembali ke Jawa.
"Turutkanlah kata hati. Kalau baik langsungkan saja, tetapi jangan sekarang. Nantilah kalau kita semua sudah dikembalikan ke Jawa," ungkap Djuami pada papinya (hal. 345).
Sebuah ujian berat bagi Inggit memang. Ia tidak ingin memberi kesan negatif ke semua orang, betapa sebagai seorang istri pejuang ia hanya senang meneguk madunya saja. Kini Kusno dalam masa-masa sulit. Kalau mereka bercerai, apa kata orang yang tidak mengetahui situasi yang sebenarnya? Maka, biarlah untuk saat ini ia menyabarkan diri selagi menunggu waktu yang tak menentu. Mereka tak pernah tahu kapan masa pengasingan berakhir.
Dalam pada itu, Asmara Hadi, murid Kusno, datang mengunjungi mereka. Selama ini ia memang telah menaruh perasaan pada Ratna Djuami. Bersama lelaki itu, Djuami mencoba mendamaikan ayah-ibunya. Asmara Hadi yang berada di pihak Inggit, pada akhirnya pulang kembali ke Jawa karena usahanya gagal. Prinsip keduanya, baik Soekarno maupun Inggit, tidak dapat disatukan.
Ketika itu Perang Dunia Kedua mulai pecah. Jepang yang memihak Jerman, berhadapan dengan Inggris dan Amerika di Lautan Teduh. Otomatis pemerintah kolonial Belanda berada di ujung tanduk. Maka, pelan dan pasti bala tentara Jepang mulai memasuki Indonesia. Keadaan di sekitar rumah pengasingan di Anggut Atas makin mencemaskan. Polisi terus berjaga. Sampai beberapa agen polisi menjemput mereka dengan mobil, hendak memindahkan mereka keluar dari Bengkulu yang akan dibumihanguskan. Soekarno, Inggit, Kartika, Riwu—pembantu, dan dua ekor anjing mereka pun dibawa ke Padang.
Dua hari kemudian, sorenya, mereka sampai perbatasan Sumatera Barat. Namun, keesokan harinya mereka harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Bersama kawalan empat orang pribumi yang bertugas sebagai agen polisi, mereka berangkat dengan sebuah pedati pembawa barang-barang. Dua hari mereka lalui dengan lelah dan rasa takut, karena dalam perjalanan itu mereka harus menembus hutan belantara.
Di Padang, mereka disambut dengan baik oleh kawan-kawan, yang memberikan tempat tinggal dan segala keperluan. Kabar dari Jawa datang lewat sepucuk telegram, yang mengatakan bahwa Djuami meminta izin mereka untuk menikah dengan Asmara Hadi. Tak ayal, Soekarno dan Inggit pun senang dan menyetujuinya. Maklum, kala itu keadaan sedang mendesak dan berbahaya. Kedatangan tentara Jepang sungguh tidak aman bagi gadis-gadis muda seperti Djuami.
Sebuah kabar yang tak jelas sempat datang, bahwa mereka hendak dipindahkan ke suatu tempat yang entah di mana. Tapi nyatanya rencana itu batal karena kapal yang akan mereka tumpangi pada suatu pagi, karam setelah diserang oleh Jepang. Maka, keadaan masih diliputi kebimbangan, walau kehidupan di rumah dr. Waworuntu yang menampung mereka amat menyenangkan.
Pada waktu itu Soekarno beberapa kali mendapat panggilan dari pemerintah Jepang yang menduduki wilayah setempat. Inggit tak tahu apa yang suaminya usahakan, yang jelas setelah itu mereka mendapat kemudahan dan fasilitas berupa mobil sedan yang bisa dibawa ke mana pun mereka pergi.
Kegiatan politik Soekarno kembali aktif. Bersama Inggit, ia mendatangi beberapa kota di Sumatera Barat untuk berpidato seperti dulu. Pertemuan dengan orang-orang lama dan yang baru dikenal, menjadikan hari mereka kembali berwarna. Sayangnya, kenyataan bahwa Indonesia belumlah merdeka, masih harus mereka jalani. Belanda memang telah pergi. Tapi pendudukan Jepang di bumi pertiwi meninggalkan luka mendalam di hati mereka. Kesombongan Jepang kian menjadi, maka perlawanan demi perlawanan para pribumi terus bergulir. Hari-hari itu membuat Soekarno harus pergi ke sana kemari, membantu mereka yang terluka dan menjamin mereka yang ditahan agar bisa dilepaskan.
Suatu hari, Jendral Jepang, Imamura, yang berada di Jakarta memberi perintah pada bawahannya, Kolonel Fujiyama, komandan militer kota Bukittinggi, untuk menyampaikan pada Soekarno bahwa ia dan keluarganya harus meninggalkan Padang menuju Palembang, untuk kemudian melanjutkan perjalanan menuju Jakarta.
Suatu hal yang lama dinanti akhirnya tiba. Mereka merindukan Jawa, merindukan keluarga dan teman-teman di sana. Namun, sesampai di Bengkulu Soekarno dan Inggit sempat bertengkar kecil, gara-gara yang satu memutuskan menginap sebentar di rumah seorang teman, sementara yang lain ingin terus melanjutkan perjalanan. Meski begitu, mereka tetap menginap di Bengkulu, dengan perasaan kesal yang terus Inggit tahan. Ia jadi kembali teringat dengan goyah rumah tangganya beberapa waktu yang lalu.
Perjalanan menuju Palembang dilanjutkan. Sesampai di sana, mereka mendapat sambutan yang hangat dari teman-teman dan para pengikut Soekarno. Tak terasa, hampir dua bulan mereka mendapat undangan ke sana kemari, menghadiri pembicaraan politik mengenai bagaimana kemerdekaan Indonesia dapat segera tercapai.
Pada kenyataannya Jepang yang berkuasa di kawasan Palembang tidak menghendaki mereka pergi begitu saja. Akses Jawa dan Sumatera dilarang dilintasi, terutama oleh orang seperti Soekarno yang dianggap berbahaya bagi kepentingan pendudukan Jepang. Sayangnya, meski telah menunjukkan bukti ke Jakarta ini atas dasar permintaan Jendral Imamura, orang Jepang yang berkuasa di sini makin mempersulit. Maka, antara pihak Soekarno dan Jepang di Palembang terjadi ketidakcocokan yang membuat Inggit merasa kesal. Mereka memperlakukan orang pribumi dengan semena-mena dan sesuka hati. Dan kini, setelah sekian tahun merindukan Jawa selama pengasingan, mengapa mereka hendak menghalang-halangi kerinduan itu?
Akhirnya, karena tetap memaksa, Jepang menyediakan sebuah perahu motor yang bisa mereka naiki untuk kembali ke Jawa. Tidak ada lagi kapal yang lebih besar. Dengan memberanikan diri, mereka pun berangkat. Tiga hari tiga malam di laut, mereka sampai di Jakarta. Di sana mereka disambut teman-teman, seperti Anwar Tjokroaminoto, Bung Hatta, Muhammad Yamin, dan Sartono. Ratna Djuami dan Asmara Hadi juga datang. Tapi kini perut Djuami sudah besar, mengandung delapan bulan. Betapa senang Inggit, karena ia sebentar lagi mempunyai seorang cucu.
Fokus ke politik kembali mereka geluti. Soekarno dan Hatta sepakat untuk menjalin kerjasama dengan Jepang dalam hal mempersiapkan kemerdekaaan Indonesia. Belanda yang telah terusir, tidak lantas menjadikan Jepang muncul sebagai "pembebas" seperti yang selalu para penjajah berkulit kuning itu dengungkan. Jepang malah tak kalah kejam dari Belanda. Maka, Soekarno cukup cerdas dengan mencoba bekerjasama dengan penjajah, yang sebetulnya hanya sebagai taktiknya saja untuk memperalat orang-orang Jepang itu. Meski tindakan ini tidak disetujui beberapa pihak, termasuk kelompok pejuang yang lebih muda.
Inggit sempat diajak mampir di Blitar bersama Kartika oleh Soekarno, ketika mereka berkeliling Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk memantau situasi politik. Perjumpaan dengan ayah dan ibu Soekarno terasa bagaikan pelepas kerinduan yang amat berarti. Namun, sampai detik itu, Inggit tidak pernah mencoba mengungkit-ungkit mengenai persoalan rumah tangga yang tengah ia dan suaminya hadapi saat ini.
Kusno pelan-pelan tidak seperti dulu memang. Tempat tinggal baru mereka di Oranje Buolevard, Jakarta, meski dengan adanya Asmara Hadi, Djuami, dan bayi mereka, tetap tidak membuat suasana rumah cerah. Perasaan Inggit mulai menangkap betapa Kusno-nya berubah, tidak seperti dulu lagi. Tapi Inggit mencoba memahami. Saat itu perang masih berkecamuk. Kondisi jalan pada malam hari masih mencemaskan, dengan turunnya tentara-tentara Jepang yang melakukan operasi. Mungkin saja suaminya masih tegang, banyak yang dipikirkannya, selain sibuknya dia dengan kegiatan politik baru yang kini mulai dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena dilarang oleh Jepang.
Suatu malam, mereka telat memadamkan lampu. Sudah menjadi peraturan memang, bahwa pada waktu-waktu yang ditentukan, lampu tidak boleh menyala. Tentara Jepang datang dan ketika Soekarno mencoba menjelaskan, tapi seorang Jepang malah membentak dan menamparnya. Kejadian itu membuat suasana rumah semakin sepi.
Kepindahan mereka ke rumah yang lebih luas di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, tidak mengubah keadaan rumah tangga. Mereka makin terlihat jauh dan ada yang ganjil, walaupun kegiatan politik untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia terus berjalan. Keduanya disibukkan oleh tugas masing-masing, sampai akhirnya bisik-bisik tak sedap kembali datang. Kabar mengenai Kusno yang berkirim surat dengan Fatmah, sampai ke telinga Inggit. Pertengkaran sering terjadi dan kian jelaslah bahwa Kusno masih tetap pada pendiriannya saat mereka masih berada di Bengkulu dulu. Ia masih ingin menikahi Fatmah untuk mendapatkan seorang keturunan dari darahnya sendiri.
Kepada Bung Hatta, Soekarno lantas menyampaikan apa yang terjadi pada rumah tangga mereka. Ia sebenarnya tak ingin menceraikan Inggit, tapi keputusannya untuk menikah lagi dan mempunyai anak, justru membuatnya harus melakukan itu. Dilema, karena Inggit sendiri berprinsip bahwa pantang baginya untuk dimadu, sekalipun ia tetap menjadi istri yang dihormati dan dihargai suaminya.
Maka, meski Hatta meminta Soekarno mempertimbangkan dulu keputusan ini, perceraian tetap tak terelak. Bagaimanapun keduanya tidak dapat disatukan lagi. Selanjutnya, para anggota Empat Serangkai (Muhammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, Kyai Haji Mas Mansur, dan Soekarno) pun sepakat bahwa jika perceraian ini terjadi, harus diadakan persyaratan, yakni: Soekarno harus membelikan sebuah rumah sebagai tempat kediaman Inggit seumur hidup. Surat persyaratan itu pun ditandatangani oleh ketiga teman Soekarno sebagai saksi.
Kartika dengan berlinangan air mata, di depan Bung Hatta, Semaun, Sartono, dan Kyai Haji Mas Mansur, mengatakan bahwa ia memilih ibunya, usai mereka menanyakan kepada siapa gadis itu ikut. Berkali-kali pertanyaan itu diajukan dan jawabannya tetap sama: ia memilih ibunya, meski Soekarno, bapaknya, juga amat ia sayangi dan menyayanginya.
Perpisahan itu pun tak menjadikan Inggit terpuruk. Ia bangkit menatap hari depan dan tak lagi mau mengungkit masa lalu. Yang terjadi, biar terjadi, begitu menurutnya. Lekat di ingatannya kata-kata menantunya, Asmara Hadi, di hari ketika perceraian itu diputuskan: "Ini jalan satu-satunya, Bu. Negeri kita memerlukan Bapak. Dia kepunyaan kita semua. Rakyat memerlukan Bapak sebagai pemimpinnya, tidak yang lain. Dan, apa yang akan terjadi dengan Indonesia kalau Bapak hancur?" (hal. 399).
Inggit mengerti itu. Maka, setelah semuanya terjadi, ia bersiap meninggalkan Jakarta. Bandung menjadi satu-satunya tempat yang ia inginkan, tempat di mana keluarga dan teman-teman siap menyambut kedatangannya. Beberapa mobil mengantar dia dan Kartika pagi itu, menuju rumah salah seorang kawan baik di Jalan Lengkong Besar, Bandung. Soekarno tentu ikut serta mengantarnya.
Sesampai di sana, beberapa kerabat dan saudara menunggu kedatangan mereka dengan penuh haru, termasuk di sana Sanusi, suami Inggit terdahulu, yang kini menyambutnya kembali bukan sebagai istri, tetapi sebagai saudaranya.
 
Foto: Surat cerai Soekarno dan Inggit

Jalan baru terbentang untuk Inggit dan ia siap mengarunginya bersama dengan Kartika, hanya berdua saja. Tapi, perlahan kita pun menyadari, betapa jalan yang Inggit tempuh selama hampir dua puluh tahun sebelumnya adalah jalan yang jauh lebih beharga ketimbang apa pun; jalan yang tidak bertabur bunga, jalan yang penuh duri, kerikil, dan bara api menyala-nyala, jalan yang mengantarkan "singa podium" kesayangannya menuju hari esok yang gemilang, menuju gerbang istana, satu tempat yang tidak akan pernah Inggit pijaki.
"Aku harus senang pula, karena dengan menempuh jalan yang bukan bertabur bunga, aku telah mengantarkan seseoarng sampai di gerbang yang amat berharga. Ya, di gerbang hari esok yang pasti jauh lebih berarti, jauh lebih banyak diceritakan orang secara ramai. Dan mungkin yang jauh lebih gemerlapan, lebih mewah. Dan apalah arti kemewahan. Yang penting adalah kebahagiaan dan itu adanya di dalam hati. Ya, yang terpenting adalah soal di dalam hati! Kebebasan, itulah yang penting." (hal. 403).
Meski hatinya terluka, Inggit tidak ingin memendam itu. Rasa sakit itu telah lenyap, tak bersisa saat itu juga. Ia mendoakan suaminya, mendoakan Kusno-nya, mendoakan singa podium yang menggetarkan para lawannya itu, mendoakan Bung Karno kecintaan rakyat Indonesia, agar dapat terus melanjutkan perjalanannya yang tinggal selangkah lagi demi mencapai kemerdekaan dengan selamat.
Bagi Soekarno sendiri, Inggit tidak hanya sekadar sebagai seorang istri, tetapi juga ibu, kekasih, dan kawan. Dan Inggit telah menunjukkan dirinya sebagai perempuan sejati. Dia menempa Soekarno menjadi pemimpin dan menemaninya dalam perjuangan mengejar cita-cita Indonesia merdeka. Dengan satu keyakinan, mereka berjalan melintasi waktu yang penuh rintangan dan marabahaya, untuk sampai di satu titik cahaya yang diharapkan semua orang. Namun, ketika selangkah lagi mereka sampai di titik itu, keduanya dengan terpaksa harus berpisah.
 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhj7-fE7_uc9lojnGkgprOUTAaICfIlAmephH5GJnkFlYzpGXKTM54GKr-B2xrF0EXI3xPE3NWAIfY0DXZQzaYqKOBMTiWOtxJrOBDAI61jPhp2fWtqjOJFckbyw-QHPcIzyzaoRZsjQ8bD/s1600/204813p.jpg
 Foto: Masa tua Bu Inggit

Maka, ungkapan dari S.I. Poeradisastra: "Separuh dari semua prestasi Soekarno didepositokan atas rekening Inggit Garnasih dalam 'Bank Jasa Nasional Indonesia'" dirasa tidaklah berlebihan. Tanpa Inggit, mungkin Soekarno akan hilang. Di balik sosok hebat itu, ada wanita tegar yang berdiri bersamanya, menjadikan kekuatannya terus terjaga meski berbagai cobaan datang menghadang.
Soekarno telah sampai kepada gerbang yang mereka impikan sejak lama. Namun Inggit tidak ditakdirkan menemaninya sampai ke sana. Memang, manusiawi ketika seorang pemimpin menginginkan mempunyai seorang anak yang bisa meneruskan perjuangannya kelak; anak dari darahnya sendiri, dan itu tidak bisa Inggit berikan. Inggit memahami dan memaafkan. Sampai-sampai ada yang menyebut takdir perempuan ini demikian: naraka katut, suarga ora nunut (neraka terbawa, ke surga tidak ikut), artinya ia bersama-sama dengan Soekarno menempuh perjuangan tanpa ikut merasakan hasilnya. Meski begitu, semua itu tidaklah menjadi soal baginya. Inggit ikhlas. Inilah bakti seorang Inggit Garnasih kepada bangsa Indonesia.
Sebagai tanda penghormatanku, berikut ini kutulis sebuah puisi untuknya:

Perempuan di Pintu Gerbang

Cempaka kuning tersunting manis di sanggulnya 
Kecil, tangguh, ulet, pantang menyerah 
Di meja ruang tamu itulah cerita ini bermula 
Cerita yang barangkali pernah tenggelam dalam sejarah

Tahukah kau sekeras apa auman singa podium? 
Hingga dapat membakar wajah-wajah kaku polisi Belanda 
Dari situlah, dari panggung pertama cintanya tumbuh 
Cinta pada Kusno, pemuda yang lebih terlihat seperti adiknya

Mengalirlah, tak jemu-jemu mereka bak sungai di sepanjang Jawa 
Dari Banceuy, kesetiaan diuji, berulang-ulang 
Walau Sukamiskin kian meneguhkan keanti-manusiawiannya kaum impreialis

Detak tahun berubah-ubah, perempuan itu tetap sama 
Dia setia mendampingi Kusno meski berdarah-darah 
Meski berlari mengumpulkan peluh demi membeli beras 
Dari Ende, Bengkulu, hingga rimba di tepian Minang dijamahnya 
Setianya tak pudar walau pemuda itu kini lelah

Apakah cinta bisa merasa lelah? 
Mungkin, tapi dialah simbol keikhlasan 
Wanita hebat di balik sang proklamator 
Walau harus berpisah di pintu gerbang
-180414
Puisi ini dipersembahkan untuk Bu Inggit Garnasih; wanita hebat yang setia menemani Bung Karno sebelum sampai di puncak kemerdekaan Indonesia.


Keterangan: semua foto dalam tulisan ini dicopy dari berbagai sumber.



Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri