Skip to main content

Gang Hantu di Sudut Kota




Apa yang kalian pikirkan saat mendengar cerita rumah berhantu? Aku punya cerita tentang gang berhantu. Kebayang gak? Satu rumah berhantu saja serem, apalagi gang! Wuiih! Mau dengar?
Begini, di sudut kota Surabaya (tak kusebut nama daerahnya) terdapat sebuah gang yang konon dihuni oleh berbagai jenis hantu. Ini kisah nyata, bukan rekayasa. Dulu kakek nenekku punya dua rumah. Salah satu yang mereka punya—dan yang terbesar di wilayah itu—adalah rumah yang bakal kusinggung di sini, yang berdiri bersama barisan rumah lain di sepanjang gang hantu.
Gang ini pada saat itu memang sudah terkenal angker. Banyak saksi yang melihat penampakan, dari mulai yang bentuknya paling lucu sampai seramnya minta ampun. Kalian pernah melihat hantu? Atau setidaknya pernah diganggu oleh mereka dengan suara-suara? Kalau pernah, mungkin belum seberapa dengan para penduduk di gang hantu ini. Tahu, gak, berurusan dengan hantu sudah jadi makanan mereka sehari-hari!

Aku pribadi tak tahu gimana rumah itu, apalagi bentuk, suasana, dan lain sebagainya (cuma melihat di foto saja), karena sesudah aku lahir, rumah itu oleh nenekku dijual. Kecewa sih, karena saat aku mulai beranjak kecil (maksudnya mulai masuk TK dan sudah pintar mencerna cerita), aku cuma tahu bagaimana seramnya rumah itu tanpa aku sendiri pernah menginjaknya.
Sejarah gang itu tak ada yang tahu. Yang tahu cuma orang daerah situ. Tapi berhubung kakek dan nenekku berasal dari daerah Surabaya lainnya, maka wilayah itu tidak terlalu mereka kenal. Mereka membeli rumah yang sudah jadi dari seorang pengusaha kaya. Tak tahu apa pasal sang pemilik menjual rumah itu. Intinya, setelah kepemilikan beralih, kejadian demi kejadian ganjil dialami oleh keluarga kakekku.
Bayangkan, saat sedang asyik tidur, lalu kalian ingin ke kamar kecil, dan begitu hendak melangkah turun dari kasur, eh...tahu-tahu di lantai ada yang selonjoran. Apa itu? Katakan saja, misalnya, kau melihat di lantai ada pocong sepanjang hampir sepuluh meter! Lalu, tanpa perlu kau ukur, kau tahu kalau ujung kepala dan kakinya sama-sama menyentuh dinding ruangan! Wah, wah, apa yang bakal kalian lakukan? Batal ke kamar kecil? Balik tidur lagi? Galau? Hihihi. Itulah yang dialami nenekku. Tapi berhubung Nenek orang yang sabar, beliau hanya berdoa saja dan kembali tidur.
Bicara soal pocong, pasti sudah tak asing di telinga kita. Pocong hantu mirip lemper yang dibungkus kain putih, dan kalau loncat, sekali loncatan bisa mencapai jarak belasan meter. Ya, ya, pocong memang hantu Indonesia (jadi terpikir usul ke menteri kebudayaan agar baiknya kita patenkan pocong ke UNESCO biar gak diklaim negara sebelah, wkwk).
Tapi, pernahkah kalian dengar genderuwo? Ini lebih berbahaya. Barangsiapa yang belum pernah melihat, mungkin mengira dia saudara jauh gorila. Bayangkan, ketemu hantu bertubuh besar dengan bulu lebat di sekujur badan—plus aroma tak sedap akibat benci deodorant. Apa yang kalian lakukan? Lari? Guling-guling di ubin? Oh, tidak semudah itu.
Kali ini bibiku yang mengalami. Malam itu, entah pulang dari mana, Bibi malas mencuci kaki dan langsung masuk kamar, hendak tidur. Tiba-tiba sosok tinggi besar menegurnya, berdeham berat, menyuruhnya cuci kaki sampai bersih sebelum tidur. Ya, dialah genderuwo. Aku tak mengerti bagaimana mungkin hantu yang bau saja bisa menyuruh manusia untuk bersih? Padahal diri sendiri?
Lepas dari kelakuan absurd sang genderuwo, sejak Bibi melihat itu, suasana jadi mencekam. Rumah terasa seperti tempat lain. Ibuku dan saudara-saudaranya tiap kali ke kamar mandi/WC harus saling antar. Tidak ada yang berani sendiri, termasuk ketika malam tiba dan mereka harus tidur.
Suatu malam, seperti biasa, anak-anak Nenek (termasuk ibuku) tidur bersama di ruang tengah yang besar dan hampir seluas empat lapangan basket. Oh, ya, karena saking besarnya, menurut Ibu, suasana rumah mereka tidak jauh dari rumah sakit Karang Menjangan yang terkenal seram itu lho, hehe.
Nah, saat tidur inilah, adik ibuku yang posisi tidurnya lebih dekat dengan ruang tamu tak sengaja terbangun saat larut malam. Hm, kalau aku sih, bangun malam enaknya cari makanan, terus nyalain TV, nonton film. Eh, tapi itu kalau keadaan rumah normal bisa kita lakukan. Kalau gak normal? Mungkin gak jauh beda sama yang pamanku alami. Tiba-tiba gorden ruang tamu tersibak, angin berembus (persis seperti di film-film). Tahu itu gara-gara siapa? Kalau pernah baca komik yang di dalamnya ada nenek sihir, ya kira-kira seperti itulah gambaran sosok yang ada di jendela. Hanya saja, hantu itu tanpa kepala; berupa tulang berbaju nenek sihir berkibar-kibar! Pamanku ketakutan, karena dialah yang paling penakut di rumah (kalau soal berkelahi paling jago, tapi kalau sama hantu ogah).
Karena seringnya kejadian seperti itu, lama-lama para tetangga tahu. Dan, dari sinilah kemudian terbongkar bahwa teror hantu-hantu itu tidak hanya ada di rumah kakekku. Bahkan, seluruh penghuni gang pun juga mengalami.
Ketika itu terdengar kabar salah seorang tetangga senang memelihara berbagai benda pusaka dan makhluk tak kasat mata (entah pesugihan atau entah hobi, aku tak tahu dan tak mau tahu). Konon, di situlah pusat para hantu itu tinggal, maksudku, pusat hantu-hantu di seluruh gang. Ibarat kata kerajaan, maka rumah penggemar benda pusaka tadi bagai istana. Di sana bersemayam banyak sekali hantu. Jangan berpikir untuk bisa tidur dengan nyenyak di rumah itu, karena hampir setiap waktu, tak peduli pagi, siang, ataupun malam, hantu-hantu itu tidak segan menampakkan diri.
Rumah penggemar benda pusaka itu—sebut saja rumah Nyonya X—berdiri tepat di depan rumah kakekku. Jadi, bisa dibayangkan, efek penyebaran hantu di rumah Kakek sangatlah besar, karena dalam radius yang lebih jauh dari tempat benda-benda pusaka tadi berada, hantu-hantu itu jarang menyukai.
Ada beberapa contoh kejadian di gang ini yang begitu mengganggu—terutama yang berpusat di rumah Nyonya X—salah satunya adalah ketika ada Julia, mahasiswi asal Flores, yang ketika itu menjadi sahabat baik tanteku dan menyewa kamar kost di salah satu rumah tetangga. Suatu malam, dengan mengendarai motor, dia pulang dari kampus. Mendadak, 20 meter dari tempat kostnya, tepat di depan rumah Nyonya X, motornya berhenti. Tanpa diketahui tiba-tiba seorang perempuan sudah berdiri di depannya, mengacungkan tangan seperti hendak menumpang.
Sontak Julia berteriak, "Minggir, minggir! Kutabrak kau nanti!" Dan karena hantu itu belum mau minggir, terpaksa Julia meninggalkan motornya dan dia putar balik, tidak ke tempat kost, entah ke mana.
Kejadian lain menimpa seorang tetangga baru. Malam itu dia berkunjung ke rumah Nyonya X. Ketika tuan rumah masuk mengambil air minum, ia dikejutkan dengan suara-suara. Entah karena lancang atau gimana, tetangga baru ini ingin sekali membuka pintu sebuah kamar, tempat penyimpanan benda pusaka itu. Dia tidak tahu dan berpikir itu kamar biasa. Dan, jrengg, jrengg... dari balik pintu kamar, sesaat setelah pintu terbuka, dia melihat hantu-hantu itu sedang pesta! Dari mulai yang bentuknya lucu, sampai paling menakutkan, semua ada di sana, lengkap dan bisa dipilih. Sayangnya gak ada diskon, wkwk.
Lalu, ketika cerita itu tersebar, orang kira rumah Nyonya X-lah penyebab gang ini sangat berhantu. Tapi tidak enak menegur tetangga sendiri, apalagi beliau ramah (walau pecinta klenik dan penganut paham tertentu—yang mengharuskannya melakukan ritual di luar akal sehat). Kehidupan di gang itu, selain penuh teror hantu, tidak ada hal lain yang menimbulkan perselisihan. Semua penghuni saling menghormati, walau harus menjaga jarak. Takut kenapa-napa.
Kejadian-kejadian di gang tidak terhitung, dan selalu kreatif. Mungkin, kalau hantu itu hidup di dunia manusia, dia bisa menjadi artis, bahkan lebih dari itu. Bayangkan saja, untuk mengubah bentuk, tidak butuh make up artist, bedak, kostum, efek visual, animator, dan lain sebagainya. Cukup dengan tertawa cekikian, mereka sudah bisa mengubah bentuknya sendiri.
Kejadian ini menimpa teman-teman ibuku. Waktu itu pulang mengaji. Pada masa itu, mengaji umumnya dijadwalkan sesudah maghrib. Dan biasanya, sesudah ngaji, mereka salat isya terlebih dulu, baru pulang. Nah, pas pulang inilah, kejadian itu terjadi. Di salah satu bagian gang, ibuku dan teman-temannya berjalan. Mendadak ada kucing bertingkah aneh, mengikuti kaki teman Ibu, mengintil tidak jelas (oh ya, waktu itu umur mereka sekitar tujuh tahunan).
Mereka mengira: barangkali kucing itu lapar. Atau dugaan lain yang lebih masuk akal: barangkali kucing itu diare. Ternyata tidak. Kucing itu tidak lapar, apalagi diare. Kucing itu tiba-tiba berhenti di depan dengan posisi menghadang. Ganjil. Lalu keluar asap putih dari bagian atas tubuh si kucing. Ibuku curiga, langsung lari pulang. Dia tidak tahu yang terjadi setelah itu. Besoknya, Ibu dengar cerita dari teman-temannya, bahwa setelah mengeluarkan asap, kucing itu tertawa cekikian lalu berubah menjadi kambing. Belum cukup di situ, dalam hitungan sepersekian detik saja, kambing itu berubah lagi jadi anak kecil bermuka pucat, dan—masih dalam hitungan sepersekian detik—sang bocah menjadi hantu pocong bermuka hancur!
Hebohlah seisi gang. Lebih heboh lagi, ketika ada kejadian yang berjarak tidak lama dari itu. Suatu sore, seorang ibu menyusui bayinya di teras. Seseorang—yang entah kenapa—tahu-tahu bisa melihat makhluk tak kasat mata di depannya (padahal tadinya gak pernah). Dia melihat tuyul berkeliaran di sekitar ibu-ibu menyusui itu. Tidak tahu tuyul siapa. Tidak ada yang berani menuduh orang sembarangan (karena barangsiapa yang memelihara tuyul, maka dia sudah bermain pesugihan).
Tuyul itu awalnya santai, tapi lama-lama gusar. Entahlah, si ibu terkejut ketika bayinya terlempar, dan sesuatu seperti menggantikan posisi anaknya. Tidak butuh waktu lama, perempuan itu pingsan. Seseorang yang bisa melihat wujud tuyul secara nyata tadi, kebetulan berdiri hanya beberapa meter saja. Dia cuma melongo melihat sang tuyul menyundul si bayi, lalu dengan rakus 'merebut' ibu bayi malang itu!
Tapi, berbagai kejadian menghebohkan itu tidak lebih menghebohkan dari yang dialami keluarga Kakek. Di rumah besar itu, selain pernah melihat pocong, Nenek juga dihantui ndhas gelundung. Kalau dibahasa-Indonesiakan, hantu ini adalah hantu kepala bergelinding. Suatu malam, Nenek ke toilet. Karena bangunan kamar mandi plus toilet terpisah dari bangunan utama, maka jika perlu ke sana harus menyeberang pekarangan dulu. Nah, karena tidak ada siapa pun, pintu toilet dibiarkan terbuka. Begitu Nenek keluar, tiba-tiba ada bunyi aneh, seperti tong bergelinding. Saat itulah hantu kepala bergelinding lewat di depan kaki. Matanya merah menyala, rambut panjang, dengan taring bak drakula. Hantu itu cuma lewat, tidak mengganggu. Meski begitu, cerita ini membuat mereka yang masih kecil ketakutan.
Lalu diadakanlah pengajian. Selain agar tidak ada gangguan lagi, dengan mengaji hati bisa tenang. Setelah itu jarang ada gangguan pada penghuni rumah, selain tamu. Kadang-kadang ada sosok hitam besar, genderuwo, duduk di kursi panjang yang ada di teras. Atau kadang-kadang di belakang, ada perempuan bermuka penuh darah duduk di kursi goyang di saat ada banyak orang. Sekadar pamer keberadaan. Tidak segan-segannya hantu itu menampakkan diri, walau tidak pernah melukai. Tentu saja, tidak ada hantu yang bawa-bawa pisau. Itu mah cuma ada di film.
Setelah diselidiki, ternyata gang itu dulunya kuburan. Entah siapa yang membeli lalu membangunnya jadi perumahan. Tidak ada yang tahu, dan sudah terlambat kalau mau protes. Hampir setiap rumah ganti pemilik dua sampai tiga kali. Sudah karatan. ckck. Mungkin sejak zaman Belanda gang itu dibangun jadi perumahan. Entahlah.
Di kamar belakang, kamar khusus tamu, seseorang tidak pernah bisa tidur nyenyak. Kamar itu dekat dengan anak tangga menuju lantai dua. Awalnya tidak ada yang aneh. Tapi, setelah seseorang bermimpi aneh-aneh, baru diketahui bahwa di bawah anak tangga itu ada batu nisan besar. Betapa terkejutnya keluarga, tapi sudah tidak lagi membahasnya, karena beberapa tetangga menemukan hal yang sama di rumah mereka.
Patahlah tuduhan bahwa hantu-hantu di situ bermula dari kebiasaan Nyonya X. Tapi, tidak dimungkiri, kebiasaan mistik tidak baik dan bisa mengundang makhluk-makhluk jahat mengganggu manusia. Buktinya rumah Nyonya X jadi tempat favorit hantu-hantu di seluruh gang. Ibaratnya jadi istana.
Kejadian paling legendaris dan selalu menjadi ciri khas di rumah Nyonya X adalah ketika ada tamu yang tidur. Tidak peduli siapa saja, jika berani "ketiduran" di sofa atau kamar khusus tamu, maka sosok kerdil berkepala botak dengan kulit merah akan mencolek jempol kakinya. Bahkan kadang menarik-nariknya, seolah membangunkan. Seorang tamu yang mengalaminya bercerita, bahwa ia tidak sadar rumah itu berhantu. Ia mengira makhluk kerdil botak itu cucunya Nyonya X, hingga ia tertawa sampai perutnya kaku; bagaimana mungkin ada bocah lucu seperti itu? Setelah diberi tahu oleh tuan rumah, ia tidak berani lagi tertawa.
Kejadian legendaris yang dialami keluarga Kakek, yang sering kami bahas kalau ingin menakut-nakuti sepupu, mungkin tidak seaneh manusia kerdil itu. Bukan yang pernah dialami Nenek, melainkan pamanku yang lain. Di antara anak-anak Kakek, ialah yang paling "gaul". Pada masa itu belum banyak yang punya motor--apalagi motor gede. Nah, kakekku punya itu. Hampir semua anaknya yang cukup umur diajari. Kakak Ibu ini pun berkelana ke mana-mana dengan motor. Dari situlah ia punya banyak teman, menjadi anak "gaul", dan sering pulang di atas jam sepuluh.
Suatu malam, gang sepi, Paman baru pulang mengendarai motornya. Beberapa hari terakhir ada rumah yang dirombak total dan baru setengah jadi, hingga seluruh lampu belum dipasang. Kebetulan dari situ sampai belasan meter menuju rumah Kakek, tak ada lampu. Suasana gelap. Tiba-tiba motor berhenti. Bukan mati mesin, melainkan karena Paman penasaran. Di depan ada ribut-ribut seperti di pasar. Lampu motor yang menyala terang, membuatnya melihat jelas. Di sana ada banyak anak kecil berkepala plontos. Ada belasan. Sebagian bercelana dalam, sebagian telanjang. Paman tidak lantas heran, apalagi merasa takut, karena dari penampilan dan wujud para bocah ini dari belakang, mereka seperti anak kecil. Mereka asyik bermain-main pasir di rumah yang dirombak itu. Belum sempat berpikir lebih jauh, ia membunyikan klakson.
Tak disangka, begitu anak-anak itu menoleh, Paman tahu itu bukan manusia. Wajah mereka menyerupai burung. Motor tidak bisa dinyalakan. Paman berlari menembus kerumunan itu, dan masuk tergesa-gesa, membuat kaget seisi rumah. Beberapa penghuni (saudara Nenek yang ada di situ, dan juga saudara-saudara Ibu) keluar. Mereka akhirnya mengambil motor itu ramai-ramai.
Begitulah cerita tentang gang berhantu ini. Mungkin tempat macam ini ada di mana-mana. Aku menulis satu yang kutahu dari keluargaku. Sebenarnya penasaran, pengen tahu lokasi rumah dan gang itu (kata Ibu, sekarang gang itu jadi kompleks perumahan elit). Tapi karena masalah waktu dan jarak, sampai sekarang aku belum sempat survei.
Kita tidak tahu apa hantu-hantu yang kuceritakan di atas masih ada di gang itu atau sudah pindah. Lebih tidak tahu lagi apakah rumah Nyonya X masih jadi istana buat mereka. Tapi yang jelas, kita tahu bahwa di sekitar kita, di mana pun itu, ada banyak hantu. Mereka tidak usah ditakuti, karena mereka makhluk ciptaan-Nya. Yang perlu kita lakukan adalah berdoa agar dijauhkan dari hal-hal buruk. Kalaupun mereka masih "nampak", minimal bolehlah kita request agar jangan keluar mendadak. Kalau bisa ada prosesnya, misal diketuk-ketuk dulu pintunya, lalu bilang: mau nampak nih. Paling tidak kita 'kan gak perlu kaget.


Keterangan foto: genderuwo (atas), hantu kerdil (bawah), tuyul-tuyul (kiri), & ndhas gelundung (kanan).

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri