Skip to main content

Apakah Menulis Fiksi Sama dengan "Berbohong"?



Dalam dunia fiksi, penulis bebas menulis apa yang ada di kepala. Fiksi adalah—ibaratnya—lukisan yang dibuat dengan gaya, yang boleh jadi terinspirasi dari kejadian nyata, atau boleh jadi dari imajinasi. Itu sah-sah saja, selama penulis tidak "mencuri" lukisan orang lain. Selama itu hasil jerih payah sendiri, tidak masalah, walau tulisan fiksi yang dihasilkan terlihat absurd bagi orang-orang yang menjunjung tinggi logika sekalipun.
Alasan "pembebasan" ini karena tulisan fiksi, apa pun bentuknya, merupakan seni yang tidak berbeda dengan patung atau lukisan dalam arti sesungguhnya. Tentu saja, seni mengandung nilai kejujuran, nasihat, etika, moral, kebebasan, sejarah, dan masih banyak lagi di dalamnya. Dari semua nilai itu, yang bisa disebut seni adalah yang mengandung nilai pemberi manfaat, sekurang-kurangnya bagi satu manusia lain di luar diri sang seniman.

Maka, saya heran ketika mendengar ada pendapat yang berbunyi: "Menulis fiksi sama dengan berbohong." Saya tidak tahu dari mana ide dasar pemikiran ini, atau diilhami atas kejadian yang bagaimana pendapat ini. Tapi tiap orang berhak berpendapat, walau sebuah pendapat tidak mungkin bisa diterima semua pihak. Selalu ada pro dan kontra. Tapi di sini, saya akan coba utarakan pendapat saya mengenai fiksi dan kejujuran di dalamnya.
Saya tidak menyinggung sejarah dimulainya tulisan fiksi atau mengutip contoh yang sudah ada—yang barangkali ditulis oleh penulis-penulis terdahulu. Sebab, selain pengetahuan saya terbatas, saya terhitung masih "hijau" dalam menekuni dunia fiksi. Maka saya beri contoh sederhana saja.
Alkisah, hiduplah seorang wartawan. Ia pencari berita para artis ibukota. Di satu tempat, suatu hari, ia melihat penyanyi A bertemu dengan presenter B. Diambillah foto kedua public figure tersebut dalam satu frame, lalu ditulislah beberapa coretan; coretan-coretan tentang pertemuan tak disengaja itu. Dari tulisan itu, seseorang bisa mengembangkannya seperti yang "bos"-nya sukai—tergantung situasi yang digemari masyarakat pecinta TV dan majalah, barangkali.
Tentu, tidak semua yang ditulis benar dan tidak semua yang diduga benar. Sebab, bukankah tiap orang merekam peristiwa di luar pengalaman dengan kapasitas berbeda? Tidak semua yang diketahui satu orang, diketahui pula oleh orang lain. Simpelnya, kita tidak tahu yang dilakukan oleh penyanyi dan presenter tersebut, tapi kita bisa menduga-duga sesuka hati apa yang sedang mereka lakukan, tanpa harus mencari tahu terlebih dulu.
Inilah gosip. Gosip datang dari prasangka yang lebih banyak kelirunya, membuat rugi orang lain dan tidak sedikit pun menguntungkan diri penggosip. Tapi, mungkin bagi wartawan dan bosnya yang ada di cerita saya ini, keuntungan yang diperoleh berupa uang. Gosip laris, duit mengalir, begitulah. Tidak, kita tidak sedang berpikiran buruk atau sedang membicarakan kejelekan orang, sebab kenyataannya berita-berita palsu semacam ini—dengan banyak tokoh dan konflik—sudah beredar luas sejak bertahun-tahun silam. Parahnya, itu disukai dan dipercaya oleh masyarakat.
Gosip tersampaikan pada mereka lewat dua cara: penglihatan dan pendengaran. Yang dilihat, bermula dari yang ditulis. Yang didengar, bermula dari yang dilihat. Maka, tulisan-tulisan berisi gosip yang belum tentu benar adalah sebuah kebohongan. Bolehkah saya menyebutnya begitu? Kalau begitu, berarti kita menyukai kebohongan?
Tunggu dulu. Kita, sebagai manusia waras, tentu tidak suka kebohongan, kecuali kalau kita jahat dan senang memanfaatkan situasi untuk menipu. Tidak, kita memang tidak menyukai kebohongan. Tepatnya, kita tidak tahu bahwa ada begitu besar potensi kebohongan dari berita-berita gosip yang kita baca/lihat/dengar tadi. Kita tidak sadar bahwa kita sedang disuguhi oleh kebohongan yang akan menjerumuskan kita pada dosa "berjamaah", karena barangkali lidah kita juga ikut menyebarkannya.
Saya bukan sedang mendiskreditkan profesi wartawan gosip. Tidak, sama sekali tidak. Mohon maaf sebelumnya. Saya juga percaya, dari sekian banyak wartawan itu, ada banyak dari mereka yang jujur dan memilih mengangkat sisi positif serta—terutama—kebenaran kabar soal si artis. Saya yakin ada banyak yang memilih jalan itu. Contoh di atas hanya sebagai gambaran saja, bahwa dari tulisan "bertopeng" fakta semacam itu, bahaya yang muncul jelas lebih besar ketimbang fiksi.
Kenapa tulisan "bertopeng" fakta lebih berbahaya ketimbang fiksi? Karena itu bukan produk seni, melainkan produk konsumsi. Jika diibaratkan barang di dalam rumah, karya fiksi adalah lukisan—seperti yang saya sebut di awal. Sementara, tulisan non-fiksi (berita, artikel, esai, dan sejenisnya) adalah isi kulkas.
Tentu kita tidak akan cemas dan tidak mungkin peduli, bila sebuah lukisan yang dipajang di dinding kamar kita dibuat dari cat dengan bahan beracun. Sebab kita tahu fungsi lukisan adalah untuk dilihat, diukur nilai seninya, serta diresapi secara batiniah. Kita membeli lukisan bukan untuk dijilat. Lain urusan kalau isi kulkas kita mengandung racun. Telur beracun, sayur beracun, susu beracun, dan berbagai jenis makanan lain terkontaminasi racun. Maka, dampak bagi tubuh kita sungguh gawat. Kita bisa mati karena tak tahu ada racun di dalam piring dan gelas. Sebab kita tidak mungkin mati kalau kita tahu itu racun—kecuali kita sudah (maaf) gila.
Dengan kata lain, kalau kita tahu lalu membaca tulisan fiksi—kisah rekayasa dengan tujuan seni dan penyampaian pesan moral—maka kita tidak akan "merasa dibodohi" karena terang-terangan penulisnya seperti bicara kepada kita: "Di atas rambut mertuamu ada kutu sebesar sepatu!" Padahal kita menghormati mertua kita, misalnya, sebab ia begitu penyayang. Kenapa kita tidak merasa bodoh? Sebab kita tahu ucapan itu bukan yang sebenarnya dan kita justru menikmati karena ia adalah seni.
Lain cerita kalau kita tahu ada tulisan non-fiksi—yang semestinya memuat fakta, ilmu, kenyataan, kebenaran, dan yang terpenting: kejujuran—tapi ia tidak membawa unsur-unsur tersebut. Sudah dapat dipastikan Anda tidak akan mau menyentuh untuk membacanya barang sekilas. Sebab, tanpa Anda membaca lebih dulu pun, dengan membaca judul sementara yang membuat Anda ingat fakta yang sebenarnya, Anda akan merasa sakit hati seolah penulisnya sedang berkata: "Di perutmu ada tahi lalat sebesar bola tenis!" Padahal kenyataannya hanya sebesar kelereng.
Maka, dari tulisan singkat ini, saya rasa akan mengherankan apabila masih ada yang berkata: "Menulis fiksi itu membohongi orang banyak, sebab tokoh di dalam novelmu itu tidak lebih dari khayalanmu semata."
Lha? Memangnya novel itu produk majalah gosip? Tidak, 'kan?

Pasuruan, 25 September 2014

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri