Skip to main content

Kurang dari Satu Jam

    Kalau sebelumnya kutulis hal paling memalukan dalam hidupku (baca di sini), kali ini kutulis hari yang menyebalkan dalam hidupku. Yah, mungkin gak selucu sebelumnya. Namanya juga nyebelin. Mana ada sih kejadian nyebelin bisa jadi lucu?
   
    Ini kejadian pas SMA. Dulu di sekolah ada ekskul renang yang anehnya wajib diikuti semua siswa. Kenapa kusebut aneh? Lha, ya jelas aneh, karena yang tidak suka renang pun juga wajib ikut. Ini namanya sudah bukan ekskul, tapi pemaksaan!
   
    Meski begitu kayaknya gak ada siswa yang protes, semua adem ayem, kecuali cuma aku (itu pun dalem ati, ckck). Dan, ya, ya, kukatakan sejujurnya kalau aku gak suka renang. Bukan karena takut air. Aku sejak kecil suka main di anak sungai Brantas di salah satu desa di Jawa Timur. Aku suka main di sana, mandi bareng teman-teman. Jadi alasanku tidak suka ekskul renang bukan itu. Alasanku adalah karena tempatnya jauh.
   
    Itu alasan paling masuk akal, mengingat rumahku yang paling jauh dari sekolah. Ditambah lagi, lokasi renang tidak di dekat-dekat sekolah, melainkan lebih jauh lagi. Jadi untuk ke sana aku harus naik motor. Ekskul diadakan sore hari, tepatnya pukul 15.00 sampai 17.30. Biasanya hampir isya aku baru sampai rumah. Perjalanan dari rumah ke lokasi berjarak satu jam, dengan kondisi motor ngebut.

    Nah, hari itu, seperti biasa aku berangkat. Ransel berisi baju ganti dan celana renang kubawa. Yang gak biasa dari hari itu adalah: teman sekelasku minta bareng. Temanku ini, sebut saja Ika. Dia sudah seperti sodara. Kami sering saling tukar suka-duka, apalagi ketika itu aku suka teman sebangkunya, dan dia juga suka teman sebangkuku. Jalur nasib membangun hubungan persahabatan yang makin erat. Simbiosis mutualisme-lah. Jadi gak masalah kalau hari itu dia minta bareng, sebab rumahnya jauh dan kebetulan teman yang biasa membarengi dia tidak bisa ikut.
   
    Rumah Ika letaknya menyimpang dari jalur menuju lokasi ekskul. Tempat renang yang bernama Sun City itu, yang ketika itu begitu populer di kalangan anak muda Sidoarjo, mengarah ke utara. Sementara rumah Ika harus belok ke arah barat dulu, menyusuri tepian utara Kali Porong yang legendaris.
   
    Maka, dengan niat baik dan atas nama persahabatan, aku menjemput Ika yang rumahnya tidak sejalur. Aku berbelok ke barat, ke jalan dalam sebuah kampung di sisi utara Kali Porong, terus melaju dan melaju.
   
    Jika kita terus memacu kendaraan ke barat (sebelum ada tol baru di kawasan Gempol-Porong yang memotong jalan ini), maka jalan akan lurus saja, sampai kita tiba di sebuah pertigaan. Dari pertigaan, untuk ke rumah Ika masih butuh ke barat. Motor pun berbelok ke selatan beberapa puluh meter, sebelum kembali lagi berbelok ke barat, ke sebuah desa yang aku lupa namanya. Tapi aku tidak lupa kalau di daerah situ ada sebuah lembaga permasyarakatan yang lumayan terkenal.
   
    Jangan tanya gimana suasana kawasan itu. Kalau dibilang sepi, ya sepi. Tapi kalau dibilang rame, ya rame juga. Yah 50:50 lah. Tapi katanya kalau lewat situ harus hati-hati, apalagi di siang hari seperti ini. Masuk akal juga sih. Di mana-mana, kalau tempatnya lumayan sepi, pasti ada saja orang yang memanfaatkan guna berbuat hal-hal jahat. Maka sebisa mungkin aku ngebut di jalan itu agar cepat sampai di rumah Ika tanpa harus ketemu begal (salah satu spesies penjahat).
   
    Alhamdulillah, perjalananku lancar. Terhitung dua kali ini aku ke rumah Ika. Dulu bareng teman-teman, sekarang sendirian. Yah, dengan perasaan lega akibat tidak ada begal, aku menunggu Ika dengan santai. Ibunya menyuruhku masuk, tapi aku lebih memilih ngadem di bawah pohon aja. Soalnya di dalam kan gerah. Semilir angin kurasa berembus di tengah terik sinar matahari siang menuju sore. Motor kuparkir di bawah pohon. Sembari duduk di atasnya, kulihat hape. Pukul 14.14.
   
    Kukira hari itu akan berjalan lancar.
   
    Kubayangkan wajah teman sebangku Ika yang cantik itu, yang kusukai itu. Nanti kami ketemu di sana dan aku akan berusaha mati-matian cari perhatian di depannya. Di kepalaku yang usil ini sudah ada sekelebatan ide bahwa nanti aku akan pura-pura kemasukan air di hidung, tersengal-sengal di depan dia, agar dia cemas lalu menolongku. Ah! Gak kebayang kalau itu beneran terjadi! Walau bukan napas buatan yang kudapat, paling enggak cuma tatapan cemas darinya... Oh, dunia seakan punya kami berdua. Indahnya cinta monyet!
   
    Tahu sendiri dong, gimana rasanya kalau suka sama anak orang? Yang ada cuma pengen cari perhatian aja, pengen si dia tahu aja. Yah, maklumlah waktu itu aku masih anak sekolahan, masih ababil. Sekarang mah udah tobat.
   
    Saat itulah, saat asyik-asyiknya ngelamun, di tengah sunyinya jalanan siang itu, kudengar suara aneh: tuuuuuussss... Seperti kentut. Aku sih gak kentut. Tapi kalau bukan aku, lalu siapa? Aku menoleh ke segala arah. Aku takut. Di bawah pohon itu tidak ada siapa-siapa selain aku dan motor Smash-ku. Jangan-jangan memedi (hantu) penunggu pohon? Jangan-jangan karena pikiran nakalku?
   
    Tapi dugaan itu luntur setelah tahu bahwa yang kentut adalah ban belakang motorku. Wah, wah, sejak tiga tahun belajar naik motor, gak pernah sekali pun ban bocor, siang ini aku pertama kali tahu gimana rasanya ban motorku bocor. Bahkan, lebih dari itu!
   
    Tentu saja kuperiksa ban itu, kuputar-putar. Tidak ada pakunya. Ya, tidak ada paku yang nancap. Oh, aku lalu ingat bahwa tadi ketika mengebut kemari, sempat kuinjak potongan kayu di tengah jalan.
   
    "Apes dah!" kataku "Gara-gara takut dibegal, sekarang banku malah bocor!"
   
    Tapi untung kata Ika, yang tak lama kemudian keluar, di dekat situ ada tempat tambal ban.
   
    "Di mana?" tanyaku dengan wajah lugu--tidak ingat kalau di wilayah situ ada tempat bertuliskan tubeless--tulisan default yang dipajang dekat konter para penambal ban di seluruh Indonesia.
   
    "Di sana," tukas Ika seraya menunjuk ke arah keberangkatanku tadi.
   
    Baiklah. Dengan menghela napas, kudorong motor dan Ika berjalan di sampingku. Matahari terik. Keringat membasahi wajah dan badanku. Duh, betapa aku kesal dengan siapa pun yang membiarkan kayu berpaku tadi tergeletak begitu saja di tengah jalan. Atau mungkin ada yang sengaja memasangnya? Aku tak tahu.
   
    Perkiraanku salah kalau tempat tambal ban yang dimaksud lumayan dekat. Karena jaraknya ada lebih dari 200 meteran dari rumah Ika. Dengan badan lemas akibat belum sempat makan siang, ditambah sengatan matahari berlebih, aku memanggil tukang tambal yang sepertinya siang itu sedang tidur. Istrinya yang gemuk membangunkan orang itu dan dia pun mulai bekerja.
   
    Dasar apes. Ban belakangku ternyata hancur lebur, seperti dicacah dengan pisau jagal. Aneh sekali. Padahal di ban luar tidak ada pakunya sama sekali. Oh, mungkin karena terlalu jauh motor ini kudorong dengan kondisi ban kempes total. Jadi bagian yang bocor tadi tambah melebar dan melebar, hingga akhirnya merembet ke semua bagian ban karet itu. Ah!
   
    Tidak ada cara lain. Untuk keluar dari pelosok pedalaman ini, aku harus membeli ban dalam baru. Kulirik isi dompet. Ada 60 ribu, uang jajan yang kukumpulkan beberapa hari ini. Aku orangnya cukup hemat, kalau bukan dibilang pelit. Ya maklumlah masih minta orangtua. Jarang jajan kecuali beli komik. Seketika, rencana cari perhatian di depan cewek cantik temannya Ika tadi, juga rencana tambahan membeli komik di toko buku Sun City Mall, terbayang-bayang seakan mau gagal dengan cara paling tragis!
   
    Ada sekitar 15 menit sampai akhirnya uang 30 ribuku melayang untuk ban dalam murah karena kondisi darurat. Motor melaju lagi. Kami tak mau telat. Sempat kulirik potongan kayu di tengah jalan tadi, ketika kami sudah lewat di dekatnya. Anehnya kayu itu tampak datar-datar saja, tidak ada tonjolan dari dalamnya.
   
    "Barangkali orangnya mahir. Pakunya diselipin di dalam kayu," pikirku sambil lalu. Toh, banku sudah normal. Buat apa dipikirin? Ya, toh?
   
    Tapi tidak begitu jauh, sampai di pertigaan tadi, rasanya ban belakangku agak goyang. Matahari masih terik. Gak tahu kenapa matahari hari itu sangat panas. Keringat terus bercucuran di wajahku. Perasaanku mulai gak enak. Ekskul tak lama lagi dimulai, sudah pukul 14.34. Tapi firasat buruk soal ban belakang mengusik pikiranku.
   
    Aku memacu motor dengan kecepatan normal. Kami kembali ke jalan utama antara Porong-Krembung, sebelum belok lagi ke timur. Di jalan ini banyak lalu lalang kendaraan karena memang biasanya ramai. Tapi di jalan ini pula mendadak motorku kehilangan keseimbangan. Tepat di depan tempat tambal ban lain, yang lebih rame dari tambal ban pertama tadi, motor berhenti lagi.
   
    "Ada apa?" tanya Ika panik.
   
    "Meneketehe!" kataku, sampai aku pun tahu bahwa ban belakangku kempes.
   
    Ya Allah, ya tuhanku, cobaan apa lagi ini? Hatiku tiba-tiba menjerit.
   
    Kuusap wajahku, berdoa dalam hati semoga saja ini cuma kempes biasa dan bisa diperbaiki dengan lancar. Kutuntun motor naik ke bengkel tambal ban itu. Seorang pemuda berkulit hitam kelam akibat oli, menyambutku dengan gigi kuningnya.
   
    "Ada apa, Mas?"
   
    Tak bernafsu menjawab, kutunjuk ban motorku.
   
    Dengan sigap, pemuda itu pun bekerja. Aku hanya bisa menunduk lesu ketika lagi-lagi kutahu ban itu tidak sekadar kempes, tetapi juga bocor!
   
    Lha, kok bisa? Dalam waktu kurang dari sejam, banku bocor dua kali!
   
    Ingin rasanya mengumpat tukang tambal ban pertama, tapi dia ada jauh di belakang sana. Percuma juga, kan tadi dia sudah memperbaiki dengan benar? Aku bingung mau nyalahin siapa.
   
    Ketika merutuki nasib, kudengar pemuda berkulit gelap tadi berkata, "Lhoala, Mas. Ini ada paku segede ini! Pantesan bocor!"
   
    Ditunjukkannya padaku sebuah paku yang lumayan untuk menembus ban luar hingga merobek ban dalam. Parahnya, menurut pemuda berkulit gosong lagi, lubang di banku bukan cuma satu! Dan itu hanya bisa diatasi dengan mengganti ban dalam lama dengan ban dalam baru.
   
    Ika hanya bisa menunduk melihatku yang tampak lesu. Dia tahu kalau aku semangat ikut ekskul renang itu adalah karena satu alasan: bisa ketemu cewek yang kusuka.
   
    Dan kini, Ika tahu kami sudah jauh terlambat. Pukul 15.14.
   
    Pemuda berkulit arang tadi sangat lama menangani banku, mungkin karena belum pengalaman. Tapi yang jelas, Pak Harjoko, sang guru renang, pasti marah melihat kami terlambat. Ika setuju kalau hari ini kami tidak jadi ikut ekskul karena kejadian di luar dugaan ini. Ia telepon untuk izin ke ketua kelas, bahwa kami hari ini sedang sial.
   
    Sore itu, uang di dompetku benar-benar habis. Untung perjalanan mengantar Ika kembali ke rumahnya, juga perjalananku pulang, lancar jaya aman sentosa. Tidak ada lagi tambal ban. Tidak ada lagi wajah tanpa dosa tukang tambal ban.
   
    Di jalan menuju pulang aku lalu ingat tayangan berita tentang kecurangan orang-orang seperti tukang bakso yang memakai daging tikus, tukang buah yang memakai pewarna tekstil, dan tukang-tukang lain yang memang sengaja menzalimi pelanggannya, termasuk tukang tambal ban yang menaruh paku-paku Batman di dalam wadah air tempatnya memeriksa kebocoran. Aku berdoa, semoga dua tambal ban tadi tidak seperti itu. Dan kalaupun mereka curang, semoga dapat balasan lalu disadarkan.
   
    Begitulah kisah hari menyebalkan yang kualami. Dalam sehari, kurang dari sejam, ban motorku bocor, dan harus ganti ban dalam dua kali! Gak kebayang gimana jadinya kalau ban itu bocor pas sepulang dari Sun City. Karena biasanya uangku pasti habis untuk membeli makan dan buku-buku komik.
   
    Hikmah dari cerita ini ada dua. Pertama, jangan buang sampah sembarangan. Kedua, jadilah tukang tambal ban yang budiman, jikalau nanti sobat menjalani profesi ini. Sekian. Wassalam.

Foto: paku legendaris yang masih tersimpan hingga detik ini.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri