Dulu
waktu pertama kali aku menulis, jujur saja, aku ingin kaya. Ya, betul-betul
ingin kaya. Siapa sih yang menolak uang banyak dari kesenangan atau hobi? Sudah
mengerjakannya senang, dapat uang lagi. Wah, berasa hidup ini begitu indah!
Tapi,
satu hal yang waktu itu kulupakan, yaitu tentang motivasi. Apa itu motivasi?
Bila hidup diibaratkan secangkir teh, maka motivasi adalah gula. Tanpa
motivasi, hidup rasanya pahit. Tanpa motivasi, lama-lama kita jenuh dengan
rutinitas. Padahal salah satu kunci menuju sukses adalah bersahabat dengan
rutinitas itu sendiri. Setuju, tidak?
Nah,
dalam tulisan kali ini kuambilkan contoh kehidupan salah seorang temanku, sebut
saja Mister X (bukan nama sebenarnya). Sehari-hari dia bekerja sebagai tukang
angkat barang di sebuah studio tempat shooting FTV dan sinetron milik production
house ternama. Yang membuatku heran adalah dia selalu tampak segar dan
ceria. Padahal pekerjaannya itu bukan pekerjaan mudah. Maklum, dia bergabung di
tim yang mengerjakan sinetron kejar tayang. Jadi, sehari-hari kerjaannya kalau
tidak molor sepanjang pagi sampai sore, ya pasti melek terus
sepanjang 24 jam non-stop!
Suatu
hari, iseng-iseng aku tanya. Resep menjaga kesegaran tubuhnya itu apa? Dia
jawab: "Ya sing rajin nek salat, ojo sampai telat, ben urip iso
selamet", yang artinya kira-kira begini: "Yang rajin kalau
salat, jangan sampai telat, biar hidup kita selamat". Ya memang betul sih.
Tapi aku belum mendapat jawaban yang lebih detail, misalnya minum jamu apa gitu,
atau mungkin menjalankan program olahraga yang dirancang sendiri, dan lain
sebagainya.
Sebelumnya
kuingatkan, ini bukan bermaksud mendiskreditkan seseorang, ya. Aku justru kagum
dengan temanku, si Mister X ini. Dulu, sebelum merantau ke Jakarta, hidupnya
susah. Dia lulusan SMP yang bekerja di sebuah pabrik makanan. Keputusannya
berhenti adalah karena ingin menjadi artis. Sayangnya, logat Jawa yang terlalu
kental (medhok, sampai-sampai membuat suaranya terdengar seperti melawak
padahal bukan sedang melawak), minimnya kemampuan akting, ditambah
dengan ketidakcakapan menyesuaikan diri dalam pergaulan anak-anak kota,
membuatnya dengan terpaksa harus beralih profesi menjadi apa saja, yang penting
uang yang didapat halal dan barakah.
Suatu
hari, nasib baik menyapanya. Seorang bapak-bapak yang tinggal dekat studio
menawarinya job. Ternyata, orang itu belakangan kami ketahui memiliki
kenalan orang dalam yang memungkinkan temanku ini untuk masuk ke sana, untuk
magang menjadi seorang kru televisi di sebuah production house terkenal!
Betapa
aku dan yang lain, sebagai teman yang baik, tentulah mendukung dia
habis-habisan (hanya saja kami tidak mencetak spanduk, poster, dan lain
sebagainya, sebab waktu itu belum memasuki musim pemilihan legislatif). Kami
menyemangati Mister X selama sehari itu, sehari sebelum dia berangkat mengemban
tugas mulia yang dipikulkan di pundaknya.
Tapi,
keesokan harinya, kami semua menunduk sedih mendengar ceritanya. Di ruang tamu
rumah kontrakan, dia kami tanggap selayaknya menonton bintang tamu acara talk
show "Satu Jam Bersama...", karena penasaran dengan lingkungan
kerja orang studio. Ternyata, oh ternyata, gaji yang didapatnya tak sesuai
dengan apa yang kami bayangkan. Memang, gajinya gaji harian, tapi jumlah itu
kami rasa kurang adil bila dibanding dengan tenaga yang dikeluarkan kru pemula
yang disuruh angkat ini-itu sepanjang proses shooting berlangsung.
Bayaran
yang diterima teman kami itu, saudara-saudara, adalah sepuluh ribu rupiah dalam
waktu sehari. Ya, sekali lagi: sepuluh ribu rupiah. Jelas? Jelas? Mirisnya,
jumlah itu sudah termasuk uang transport! Untunglah dia tinggal tak jauh dari
studio, jadi hanya perlu jalan kaki saja. Dan yang membuat kami agak lega, dia
mendapat jatah makan gratis dari catering.
"Ora
apa-apa. Sing penting oleh mangan, ping telu, wareg. Iwak daging, pitik,
endhog, ya pokoke sing bergizi. Disyukuri baelah (Tak apa. Yang penting
dapat makan, tiga kali, kenyang. Lauknya daging, ayam, telur, ya pokoknya yang
bergizi. Disyukuri sajalah)," sahutnya enteng ketika kami
memberinya saran mempertimbangkan lagi pekerjaan itu.
Tapi,
sungguh kami tak habis pikir. Keuntungan yang didapat dari satu episode
sinetron itu berapa sih? Pertanyaan itu langsung menampar kami. Pastilah
tidak sedikit. Buktinya, seorang artis saja dibayarnya sangat mahal, belum
lain-lain. Nah, ini ... mentang-mentang kru magang, hanya diberi sedikit. Tapi
kemudian kami sadar, bahwa teman kami memang seorang kru lepas, yang sekadar
"diajak" oleh "pegawai" dalam, atau dengan kata lain: teman
kami bukanlah kru yang direkrut secara profesional di kantor dengan melalui
proses seleksi yang pastinya ketat. Maka, dapat dipastikan, seseorang yang
entah siapa, memanfaatkan hal ini demi memperdaya Mister X dengan memeras tenaganya
sampai kering dan mengambil keuntungan materi sebanyak-banyaknya dari pemuda
polos sepertinya. Oh, kejamnya dunia!
Begitulah,
Kawan. Dalam dunia entertainment, begitu banyak yang tidak orang luar
tahu mengenai seluk beluknya. Biarlah pembahasan tentang motivasi menulis ini
jadi sedikit melenceng dari topik utama. Biarlah begitu, karena toh cerita ini
akan membawa kita menuju satu titik pencerahan menyoal motivasi itu sendiri.
Kalau boleh kalian percaya, sebetulnya yang kalian tahu selama ini dari media
cetak, online, maupun televisi, mengenai sisi lain dunia hiburan tanah
air, sungguhlah belum benar-benar semuanya.
Pekerjaan
kru bukan pekerjaan mudah. Bila artis lebih banyak istirahat di luar waktu take,
maka kru amat jarang bisa bersantai ria di luar waktu take. Ada saja
yang mesti dikerjakan, seperti misalnya membeli properti yang tak ada/habis,
padahal waktu sudah menunjuk pukul satu dini hari. Gila, 'kan? Sementara, jalan
menuju mini market terdekat, yang buka 24 jam pastinya, melalui jalanan petang
atau lebih parah: kuburan, yang dihuni beragam makhluk astral dengan tampilan
kover yang membuat kita bisa terkencing ketakutan melihatnya!
Tenaga
ekstra tentulah dibutuhkan bagi seorang kru yang sering begadang selama sehari
semalam atau kadang lebih. Dan, semua perjuangan itu, belum termasuk
konsentrasi yang mesti terjaga. Salah sedikit, bisa disemprot atasan atau malah
kena damprat si artis—yang merasa punya waktu berharga dan merasa rugi, hanya
karena ketidakbecusan seorang kru dalam menata sesuatu, misalnya.
Tapi,
meski segala kepahitan itu nyata, lihatlah, senyum Mister X tak pernah pudar,
walau hidupnya makin hari makin susah. Dia menabung sedikit demi sedikit untuk
bisa mengirim uang bagi kedua orangtuanya di kampung. Salut. Jadilah makin hari
ia makin "gila" bekerja. Saat kami terbuai mimpi di balik selimut,
dia malah mengusir kantuk di lokasi shooting dengan mengangkat hal-hal
sederhana menjadi guyonan bagi dirinya sendiri.
Demi
mengusir penat (aku yakin ini cara yang selalu dia lakukan), Mister X selalu
bernyanyi meski suaranya betul-betul sumbang minta ampun. Kalau ada yang
mengingatkan lebih baik tidak bernyanyi daripada membuat kuping orang sakit,
dia selalu tak acuh, malah mengeraskan suaranya dengan lagu-lagu ganjil yang
jarang kami dengar.
"Lagu
siape tuh? Kagak pernah denger gue," tanya seorang
teman.
Dan,
dia pun menjawab, "Ya lagu ciptaan gue gitu loh. Ha-ha-ha,"
dengan logat medhok khas Jawa Tengah dan tawa yang dibuat-buat.
Kami
sering melihatnya duduk sendiri—bila tak ada aktivitas shooting di
studio—dengan hanya bertemankan pulpen dan selembar kertas (sebenarnya beberapa
lembar kertas, tapi karena biar agak terdramatisir jadi ditulis selembar kertas
saja), lalu bersiul-siul tak jelas, menggumam-gumam tak jelas, hingga
terciptalah sebuah lagu yang cuma dia sendiri yang tahu.
Tak
jarang dia mengerjai teman yang sedang berada di rumah kontrakan sendiri. Lewat
cerita-ceritanya yang setengah bualan setengah nyata, Mister X bilang dia
pernah melihat nenek-nenek bermuka karet (meleleh, berdarah, dan seram),
berjalan melintasi teras kontrakan kami. Maklum, dia memang senang tidur di
lantai, walau kebiasaan itu sering membuat kami mengingatkannya tentang
kesehatan. Nah, pada suatu malam, konon dia terjaga dari tidurnya usai
didengarnya rintihan seseorang yang berjalan dengan payah dari gang masuk
menuju kontrakan kami. Dibenahilah posisi duduknya, bersilalah dia, dan dengan
mantap menunggu siapa yang hadir di sana. Ternyata, eh ternyata, yang
ditunggu-tunggu itu bukan siapa-siapa, melainkan hantu penghuni pasar gaib yang
ada di dekat rumah kami!
Sedikit
tentang pasar gaib itu. Di samping kanan rumah kontrakan kami memang ada kebun
seluas ratusan meter persegi. Di kebun itu, sudah banyak orang yang kena
batunya gara-gara berani lewat malam-malam atau bahkan subuh-subuh. Berbagai
jenis hantu (kebanyakan pocong dan makhluk hitam besar yang tinggi berbulu) ada
di sana. Dan memang, tak pernah kulihat ada yang berani lewat sana di kala
gelap, kecuali aku.
Aku
memang tak begitu percaya cerita bualan teman-teman atau warga sekitar. Kukira
mereka cuma sekadar menakuti. Maka, tak jarang antara pukul sebelas atau lewat
dua belas malam, aku lewat gang sempit yang posisinya tepat di belakang rumah
kami itu. Cuek saja kulalui jalan licin berlumpur dengan dinding tinggi di kiri
jalan dan kebun berhantu di sebelah kanan. Walau hampir selalu kucium bau amis
dan ganjil di tempat itu (biasanya di bawah salah satu pohon kapuk, pohon
terbesar di kebun itu), aku tak gentar. Dan walau mereka selalu bilang,
"Itu bau genderuwo, tau!", aku tetap tak gentar.
Hingga
tibalah malam itu. Aku sendiri di rumah. Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu.
Aku bangkit, keluar kamar, mengintip jendela. Sepi. Kembali lagi ke dalam. Ada
yang mengetuk lagi. Kuintip keluar, kali ini lewat jendela kamar. Juga sepi. Lha?
Aku heran, siapa yang ketuk-ketuk pintu? Padahal di sepanjang teras itu tak ada
siapa-siapa.
Pada
akhirnya, ketukan ketiga membuatku jengkel. Aku langsung membuka pintu rumah
lebar-lebar. Masih tak ada siapa-siapa. Glek! Mendadak aku teringat soal
pasar itu, juga soal nenek-nenek di teras rumah kami itu. Aku kembali ke dalam.
Diketuk lagi. Aku menelan ludah. Antara membukakan pintu atau tidak, aku
bingung menentukan, gelisah, cemas. Jam menunjukkan pukul sebelas. Sepi merayap
ke ubun-ubun. Nekat, sekali lagi, kubuka pintu keras-keras ... braakkk!
Dan, pada saat inilah Mister X menyerobot masuk seperti biawak menyerbu induk
ayam!
Begitulah
cara dia menghibur diri, mengerjai penghuni kontrakan lainnya. Cara bicaranya
yang lucu kadang membuat kami percaya, atau malah mengira itu cuma sekadar
candaan. Tapi, dengan kejadian di pintu, aku jadi tak percaya lagi
cerita-cerita hantunya. Ternyata dia bisa mengerjaiku, yang notabene paling
sering sukses mengerjainya selama ini (tak perlu kuceritakan di sini bagaimana
aku mengerjainya, mungkin di lain kesempatan saja).
Kadang
kami dengar ia bersiul-siul santai sepulang dari tempat kerjanya. Bunyi
sandalnya membangunkan tidur kami dan itu tidak membuat kami gusar, karena
rupanya dia sering membawakan kami nasi kotak dari dapur studio. Maklum,
namanya juga anak kost, jadi dia lumayan pintarlah kalau untuk melihat kondisi
kami sesama perantau. Koordinasi yang baik dengan bagian PU (kami biasa
menyebut orang dapur di lokasi shooting dengan sebutan ini), membuatnya
disenangi orang, hingga dibawakanlah beberapa kotak nasi lengkap dengan lauk
pauknya, untuk teman-teman di rumah, untuk kami.
Aku
heran. Kok bisa seorang yang hidupnya diliputi rasa pahit sepertinya selalu
merasa bahagia? Jawabannya sudah pasti bersyukur. Kami semua tahu betapa pahit
hidup Mister X. Bermacam cerita kehidupannya—yang kurasa tak perlu disinggung
di sini—justru membuatnya makin tegak berdiri. Dia jadi seperti tak pernah
punya rasa lelah. Tentu kami penasaran bagaimana ia menjalani hari-harinya
dengan penuh tawa. Pada akhirnya kami ketahui juga, bahwa ternyata rasa syukur
itu timbul akibat motivasi kuat yang dia miliki: dia ingin membahagiakan
keluarganya di kampung.
Ya,
motivasi. Ternyata itulah kunci untuk menjadi bahagia dalam proses mengejar
mimpi. Dengan menjaga motivasi yang kuat, seseorang akan bisa melihat sejauh
mana dirinya berjalan. Jarak yang ditempuh itu pun lantas menjadi lahan
introspeksi diri, untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan bersahabat dengan
lingkungan, yakni dengan banyak-banyak bersyukur. Lewat langkah-langkah
sederhana inilah, pada akhirnya, seseorang akan terdorong untuk melakukan
"aksi" yang lebih dari sekadar "aksi"; satu langkah gagal,
akan dibalas dengan dua langkah berani—demi tercapainya tujuan hidup!
Oh,
kepada Mister X, hari ini dan detik ini juga, kuucapkan banyak terima kasih
untukmu, karena telah memberiku pelajaran berharga. Aku jadi terkenang saat
pertama terjun ke dunia literasi. Kukira orang yang menulis bakal dengan cepat
memperoleh uang. Itulah motivasiku kala itu. Ternyata apa yang kuyakini ini
tidak benar. Bukankah segala sesuatunya butuh proses? Dan, sudah pasti yang
namanya proses itu bagaikan gelombang yang bisa naik dan bisa pula turun.
Awalnya
aku sadar, bahwa dengan menjaga motivasi saja, nyatanya tidak cukup. Lihat, apa
yang terjadi padaku. Motivasiku uang. Aku ingin dapat uang dari menulis? Tak
ada salahnya kok aku menginginkan itu, karena setiap penulis pasti
berhak menentukan bagaimana arah mimpinya. Ingin jadi kaya? It's okay.
Ingin jadi terkenal? No problem. Ingin jadi seperti apa yang kita mau
dari menulis? Sungguh, semua itu benar-benar positif untuk kita. Tapi apa
dengan memulai langkah awal seseorang pantas menuntut ingin langsung memperoleh
keinginan itu, jika tanpa dibarengi proses yang sungguh-sungguh dan tahan
banting?
Aku
sedih ketika teoriku tak berjalan mulus seperti harapan, yakni teori
"sesat" yang meyakini bahwa seseorang tak butuh belajar banyak untuk
menjadi maunya. Saat itu aku kehabisan uang karena berkali-kali pergi ke warnet
hanya untuk menyalin tulisanku (maklum, aku tak punya komputer). Motivasi untuk
mengejar uang ini pun seolah menjadi tekanan tersendiri bagiku. Aku jadi
berpikir bahwa bagaimana agar uang menyewa komputer ini segera dapat gantinya,
tanpa aku sadar bahwa itu—sedikit banyak—salah.
Jadilah,
oleh karena terlalu sering memikirkan uang dan bayang-bayangnya, aku malah tak
terlalu menaruh konsentrasi pada tulisanku. Padahal itu justru hal yang paling
utama wajib diperhatikan seorang penulis. Tak ada hal lain yang berhak
mengganggu jalannya proses perbaikan karya tulis seseorang, termasuk uang
sekalipun. Dan aku, aku menyadari itu setelah beberapa bulan menulis sebuah
novel untuk pertama kali, tapi hasil yang kudapat tak lebih cari coretan tanpa
makna!
"Kalau
gue jadi pimpinan penerbit, tulisan loe bakal gue singkirin.
'Kan gue juga mempertimbangkan keuntungan. Gak mau dong, gue buang-buang
duit hanya untuk menerbitkan naskah gak berkualitas kayak gini,"
komentar seorang teman panjang lebar usai membaca beberapa bab novelku.
Dueerr! Petir menyambar dalam kepalaku saat itu juga. Tapi
tak ada hujan, karena waktu itu memang belum musim hujan. Yang jelas,
perasaanku jadi tak menentu. Pelan-pelan kutinggalkan penaku, kembali ke
rutinitas lama tanpa momen-momen merangkai aksara. Tak ada puisi seperti yang
selalu kutulis, pun tak kulanjutkan novel yang baru sepersepuluh jadi itu
(waktu itu aku belum pernah menulis cerpen).
Meski
mencoba menulis lagi, rasanya sungguh tak mudah. Aku tahu aku salah dengan
berpikir bahwa proses itu tidak penting. Dan aku sadar, bahwa segala sesuatu
yang instan itu tidak baik (aku lupa, padahal pak dokter sering bilang padaku,
bahwasannya makan mie instan banyak-banyak itu tidak sehat, ckck). Aku
kecewa pada diriku sendiri. Akhirnya, kuputuskan berhenti menulis, sampai batas
waktu yang tak bisa ditentukan.
Dua
musim tanpa menulis pun berlalu, begitu cepat, begitu tak terasa. Aku kembali
ingat mimpiku, ingat tulisan lama itu: novel yang buruk itu. Tiba-tiba aku
ingin kembali menulis. Setelah bertemu orang-orang yang mengajariku tentang
motivasi positif, alhamdulillah pelan-pelan aku bangkit. Dari sanalah
aku mulai menulis cerpen-cerpen pertamaku, dan dengan pasti memantapkan diri
untuk terjun secara total di dunia literasi, menulis berbagai jenis tulisan,
mendalaminya, mempelajarinya secara otodidak. Ini terjadi pada pertengahan
tahun 2012.
Ternyata
benar, segala sesuatu di dunia ini selalu punya dua sisi seperti halnya uang
receh. Ada hitam ada putih, ada kaya ada miskin, ada sehat ada sakit, ada
pintar ada bodoh, dan lain sebagainya. Sisi positif selalu hadir sebagai teman
baik, di kala kejenuhan menghadapi sisi negatif merajai diri. Motivasi itu,
ternyata ada yang berbentuk positif dan negatif, tergantung bagaimana efek yang
bakal kita terima. Nah, motivasi dalam awal kisahku tadi—motivasi ingin
cepat-cepat kaya tanpa mau belajar itu—termasuk bentuk motivasi yang negatif.
Kubuanglah
jauh-jauh hal itu. Kuganti motivasiku dengan yang positif. Seperti misalnya aku
ingin menulis untuk mengajak orang belajar tentang hidup. Dengan menulis kisah
inspiratif yang terilhami perjalanan tokoh di dunia nyata, misalnya, kita bisa
mengajak orang lain belajar sekaligus menegur diri, 'kan?
Motivasi
positif itu bisa berupa: menulis untuk bicara, yakni membicarakan beban yang
mengganjal di hati, tentang ketidakberesan yang masih membudaya di negeri ini,
misalnya. Tentunya ini sangat cocok bagi kita yang kurang cakap berbicara di
depan publik, sementara banyak hal yang ingin kita sampaikan demi perubahan ke
arah yang lebih baik. Nah, cara terbaik adalah dengan menulis. Tulisan kita
akan lebih mudah menyebar ke banyak orang dan banyak tempat. Dengan begitu,
bertambah banyaklah yang mendengar "suara hati" kita tanpa harus kita
bepergian mengisi materi di berbagai panggung. Bertambah banyak pulalah
pengaruh positif yang kita bagikan.
Namun,
semua itu bukan berarti kita, sebagai penulis, merasa "munafik"
dengan menolak hal-hal lain di luar motivasi positif. Maksudnya, bila proses
menulis yang dijalani sudah tepat, atau katakanlah sudah tahan banting melewati
jalan gelombang itu dengan sungguh-sungguh, insya Allah, nanti bonus
yang berdatangan—berupa uang ataupun tiket perjalanan ke banyak tempat—juga
akan terus mengalir ke kantung kita.
Aku
sendiri, saat ini masih menjalani proses panjang. Dan bagiku proses ini sungguh
nikmat. Mendengar kisah-kisah penulis yang lebih dulu sukses, terangkumlah
teori paling tepat yang wajib kita terapkan, yakni:
"Jalani proses terlebih dulu dengan sabar, mau belajar, tetap
berusaha, dan jujur dalam berkarya (tidak memplagiat/mencuri tulisan orang).
Tahan banting dengan berbagai komentar mengenai baik buruknya tulisan kita.
Baru, setelah satu demi satu tanjakan berhasil kita taklukkan,
"tuntut" apa yang kita inginkan."
Hm,
kalau saja motivasi positif itu kita genggam dan terjaga dengan baik, pastilah
segala kepahitan yang dialami tidak terlalu membuat kita pusing oleh cobaan
yang datang bertubi-tubi di sepanjang perjalanan. Kita akan bersyukur dengan
apa yang kita miliki, dengan tidak menyerah dan tetap berjalan meski dengan
satu kaki sekalipun.
Aku tak
bisa membayangkan—ini cuma seandainya ya, walau sebetulnya berandai-andai itu
tak boleh—andai Mister X temanku yang pantang menyerah itu punya motivasi lain
selain membahagiakan keluarganya di kampung, seperti ingin bersenang-senang
mumpung masih muda misalnya, pasti dia tak akan bertahan lama. Bukannya
bersyukur, malah yang ada segala cara dilakukan sampai lupa, betapa kemurnian
mimpi tidak layak dinodai oleh pembenaran yang sengaja diada-adakan.
Semoga
tulisan ini bermanfaat. Mari menikmati proses dengan berkarya melalui
kejujuran, kesabaran, dan kesadaran hati. Ingat, Tuhan telah mencatat keinginan
kita hari ini. Nanti, bila telah tiba waktu yang tepat, akan Dia tumpahkan
kebahagiaan itu ke sekujur jiwa dan raga ini, dengan syarat: tidak malas
berusaha.
Salam
santun, salam pencerahan!
Ken H,
FAM801M-Sby
Pasuruan, 25 Mei 2014
*Ken Hanggara, penulis dan pecinta sastra. Karya-karyanya berupa puisi,
cerpen, novel, artikel/esai, dan review. Telah menerbitkan
beberapa buku fiksi. Berdomisili di Pasuruan, Jawa Timur.
Comments
Post a Comment