Skip to main content

"Metamorfosis Wanita Karier ke Guru Mengaji" oleh Ken Hanggara

Tulisan ini saya persembahkan untuk Ibu kandung saya. Sebuah feature sederhana yang ditulis khusus di hari Ibu. Semoga bermanfaat dan terima kasih bagi yang sudah membaca.

***

    "Kalau ada rezeki, ya pengen. Siapa yang tidak mau melihat Ka'bah? Tapi rezeki belum ada. Mohon doanya saja," begitu ucapnya, ketika salah seorang tetangga bertanya apakah guru ngaji ini tidak terpikir untuk pergi haji.

    Siapa yang tidak mau melihat Ka'bah, kalimat itu terngiang di benak perempuan lima puluh tujuh tahun ini, setiap saat, setiap waktu. Bagaimana keinginan itu ada, tidak seperti yang kita bayangkan.

    Di halaman depan sebuah masjid, perempuan itu tampak disambut oleh beberapa anak. Mereka lucu-lucu, berseragam biru dan hijau, berebut saling mencium tangannya. Sudah menjadi rutinitas setiap sore bagi Bu Endang—begitu beliau dikenal oleh warga kampung—mengajar ngaji anak-anak usia 5 hingga 12 tahun di salah satu dusun di Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan.

    Tak ada yang mengira masa kecil yang beliau jalani begitu jauh dari kehidupannya hari ini. Lahir dari keluarga kaya dan terpandang, serba kecukupan, dengan berbagai fasilias yang harusnya membuat Endang kecil tumbuh menjadi remaja gaul, bebas, atau bahkan tidak teratur, justru membawanya ke tengah cahaya.

    Di antara sepuluh bersaudara, Endang yang menonjol dalam hal mengaji. Ini tak lepas dari didikan sang ayah yang disiplin. Namun, seiring berjalannya waktu, pekerjaan dan kesibukan sebagai wanita karier seolah menjadi benteng untuk mewujudkan salah satu keinginannya: menjadi guru ngaji. Tetapi siapa sangka, pertemuan dengan pemuda pecinta alam, yang kelak menjadi suaminya, merobohkan satu per satu dinding benteng itu?

    Hari ini kita bisa melihat bukti tidak adanya penghalang apa pun bagi mimpi mulia seorang Endang. Lepas ashar, beliau yang telah menikah selama lebih dari tiga dekade dan mempunyai tiga orang putra ini, berjalan ke sebuah masjid yang berjarak sekitar 0,7 kilometer dari rumahnya. Tidak peduli hujan, tidak peduli panas, beliau tetap berangkat, hanya untuk menularkan ilmu agama pada murid-muridnya.

    Tak ada yang menyangka, Endang yang dulu dikenal sebagai "orang kantoran", bermetamorfosis menjadi Bu Endang guru mengaji. Hijrah dari kota yang serba ada ke desa yang tidak semua kebutuhan hidup bisa tercapai—lebih-lebih keadaan ekonomi tidak seperti dulu setelah beberapa kali cobaan menimpa keluarganya—justru membuka jalan mimpi itu. Berbagai kegiatan rutin pengajian, mulai dari yang diadakan oleh RW hingga kelurahan, semua diikuti. Maka, beliau mengenal banyak tokoh agama dan masyarakat. Satu per satu gambaran tentang "orang kantoran" yang melekat erat di benak warga kampung pun, pelan-pelan gugur, melihat keseharian yang mulai berbeda dari seorang Endang.

    Pergaulan dengan mereka yang dekat dengan tuhan, membuat Endang mempunyai satu mimpi baru: ingin pergi haji. Hanya saja, seperti yang kita tahu, keadaan ekonomi sudah tidak seperti dulu. "Dulu belum kepikiran pergi haji. Padahal kalau ditabung, gaji saya dan suami cukup," ungkapnya. Pada masa-masa "jaya" itu, Endang dan suami senang membantu orangtua dan saudara mereka yang membutuhkan, sampai-sampai melupakan bahwa menabung itu penting untuk masa depan. Dan panggilan hati itu justru datang saat kondisi sudah berubah.

    Namun meski demikian, tidak ada yang perlu disesali, begitu tutup Endang ketika sekali lagi seorang tetangga bertanya. Maka, sepasang suami istri ini pun menyimpan harapan bahwa kelak mereka benar-benar bisa menyentuh Ka'bah.

    Di balik munculnya keinginan baru itu, pertengahan tahun 2007, Endang merasa bahwa mungkin jalan mimpi menjadi guru ngaji tidak pernah ada. Selain karena soal tempat, banyaknya jumlah guru mengaji di kampung pun menjadi tantangan tersendiri. Beliau pribadi tidak enak atau sungkan untuk sekadar mengucap keinginan itu di depan sahabatnya yang seorang haji—yang kebetulan seorang pengurus sebuah TPQ.

    Namun di sinilah keajaiban hadir. Melihat kemampuan mengaji Endang yang baik, tanpa diminta, Hajah Um, begitu nama sahabatnya itu, berujar, "Kalau Dik Endang mau, akan saya rekomendasikan ke pimpinan TPQ. Biar bisa bantu ngajar. Kebetulan salah satu guru ngaji sudah pindah."

    Tentu saja, tawaran ini bak bergelas-gelas air segar di tengah padang pasir. Endang tidak menolak. Dengan segera, beliau menyandang gelar "guru mengaji", meski tanpa bayaran.

    "Ilmu yang bermanfaat itu baik. Jika ditularkan untuk anak-anak itu, Ibu rasa sudah lebih dari cukup membahagiakan hati, ketimbang sekadar materi yang cepat habis," tuturnya suatu waktu pada salah satu anaknya, ketika ditanya kenapa ibu mau jalan jauh-jauh, menentang panas dan hujan tanpa mendapat apa-apa.

    Betapa tidak bahagia? Dukungan dari keluarga memudahkan semuanya. Di antara semua guru mengaji di TPQ tersebut, Bu Endanglah yang paling dikenal dan dicari para murid. Ketelatenan dan kesabaran dalam mengajar, membuat mereka mencintai beliau.

    "Saya tidak tahu kenapa anak-anak itu datang ke rumah, ketika terpaksa mereka tidak bisa masuk di sore hari, entah karena urusan sekolah atau apa. Mestinya mereka bisa ke rumah guru-guru lain yang lebih dekat untuk melanjutkan pelajaran ngaji. Tapi mereka justru kemari," katanya ketika pernah dalam satu bulan, setiap pagi, beberapa sepeda tampak terparkir di halaman depan rumahnya. Dari dalam terdengar suara ceria anak-anak mengaji.

    Keseharian sebagai guru ngaji ini tentu menguatkan keinginannya untuk pergi haji, meski untuk mewujudkan itu masih jauh jalan yang ditempuh. Siapa yang tidak mau melihat Ka'bah? Tapi rezeki belum ada, jawaban itu terngiang kembali di benak guru ngaji ini. Metamorfosis yang ia alami setelah menikah, membuatnya lebih dekat kepada tuhannya.

    "Walau belum kesampaian pergi ke Mekah, melihat anak-anak itu pintar ngaji saja saya sudah bersyukur," ucapnya.

     Langkah kaki itu membelah jalan sore yang syahdu. Entah kapan mimpi keduanya terwujud. Yang jelas, sampai hari ini, dijalaninya hari-hari seperti biasa, dengan doa dan rasa syukur. [ ]

Comments

  1. Itu, apakah Ibu-nya bang Ken sendiri yang diceritakan? kalau iya, wah subhanallah sekali.. semoga keinginan terbaiknya itu bisa segera terwujud, aamiin..

    oiya, hanya sekadar memberi masukkan, semoga kata 'tuhan' yang di atas bisa segera diganti yo bang dengan huruf kapital yang lebih baik, keyz? terima kasih, semoga sukses selalu dengan karya2-nya.. :)

    Nb:
    #itu kecoa seperti-nya memang menjengkelkan sekali dilihatnya, pengen banget bisa diusir agar tidak menganggu konsentrasi membaca, hehe

    ReplyDelete

Post a Comment

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri